Dengan blazer berwarna cokelat muda yang merangkap dress dari kain gingham warna biru tua, Emily berjalan dengan penuh percaya diri di koridor lantai delapan. Kemudian, ia berbelok ke arah ruangan berdinding kaca yang tidak tembus pandang dari luar. Itulah ruangan para desainer dan fashionist.
Dengan antusias yang terlawat batas, Emily segera mendorong pintu kaca. Namun, pintu tersebut sama sekali tak bergerak. Oh … apakah aku telah melupakan sesuatu? pikir Emily bingung sambil menggaruk pelipisnya.
"Gadis bodoh …. " Seketika Emily mendengar umpatan pelan itu. Ia benar-benar yakin bahwa pernyataan itu ditujukan kepadanya, karena sumber suara itu mulai mendekat. Emily memutar bola matanya sebal, dan rasanya ingin sekali ia balas mengatai orang tersebut. Namun, niatnya terurungkan.
"Kau berjalan dengan percaya dirinya menyusuri koridor lantai delapan, dan kau melupakan sesuatu yang paling penting sebelum memulai hari pertamamu di sini?" sindir Leo. Mendengar itu, wajah Emily mulai memerah. Kesal karena yang dikatakan Leo seratus persen benar.
Emily mengangguk lemah. "Yeah … aku melupakannya. Maaf."
"Hahaha …. " Emily benar-benar tidak mengerti alasan Leo yang tertawa terbahak-bahak. Ia jelas-jelas terlihat seperti orang linglung yang berdiri di depan kantor desainer tanpa tujuan yang jelas, sementara Leo hanya menertawakannya dengan bahagia. Aku yang terlalu bodoh atau dia yang mati rasa?
"Oh… Emily, bagiku kau menggelikan sekali." Emily menaikkan alis kirinya dengan bingung. "Apakah kau sudah lupa soal kartu ID?"
Astaga! Bagaimana bisa Emily melupakan hal sesederhana itu? Entahlah, mungkin karena itu terlalu sederhana sehingga Emily mengabaikannya. Namun, yang pasti kejadian kali ini memalukan. Bagaimana jika pandangan Leo tentang Emily berubah semakin buruk? Padahal first impression Leo terhadapnya tidak terlalu baik pula. Uh … betapa menyebalkan.
"Ya, aku melupakannya," jawab Emily sambil memaksakan senyumnya. "Di mana aku bisa mengambilnya?"
"Beruntung aku membawakannya untukmu," sahut Leo sambil tersenyum hangat. Pria itu menyodorkan sebuah kartu ID berwarna silver yang bertuliskan nama lengkap Emily dalam huruf Hanzi.
Dengan senang hati, Emily pun menerimanya. Gadis itu memandangi kartu IDnya sesaat, kemudian mengerutkan keningnya heran. "Kupikir kau juga tidak terlalu pintar," gumam Emily.
"Hei, apa maksudmu?" Leo tiba-tiba memanggilnya dengan nada menuntut.
"Entahlah. Kupikir aku yang harus menanyakan apa maksudmu." Emily menyunggingkan senyum nakal. "Kau mengejekku kecil karena tinggiku di bawah seratus enam puluh sentimeter, kan? Maka kau menulis namaku Zhang Xiǎo Emily, bukannya Zhang Xiào Emily. Hehe… aku tak menyangka bahwa kau dapat menuliskan hal-hal menggelikan seperti itu," lanjut Emily cekikikan.
"Aiya … Emily. Kupikir itu salahmu sendiri karena kau tak pernah melafalkan namamu dengan jelas. Mungkin kau sudah terlalu lama berdomisili di Singapore maka kau melupakan bahasa Mandarin? Huh… aku tak bertanggung jawab untuk itu," kesal Leo.
"Baiklah, baiklah. Kau tidak perlu menganggapnya serius. I was kidding. Aku akan meminta pembetulannya kepada bagian HRD nanti. Selamat tinggal, aku akan memulai pekerjaanku," ucap Emily sambil mengusap lengan Leo yang sukses dibuatnya emosi.
"Yeah … baiklah. Selamat bekerja," balas Leo seraya melambaikan tangannya sekilas, kemudian berbalik menuju ruangannya.
Tanpa Emily sadari, kedua sudut bibirnya bergerak ke atas, membentuk lengkungan lembah yang manis. Mengabaikan perasaan baru yang muncul di pikirannya, Emily segera mencoba kartu ID versi typo yang baru saja didapatkannya tadi dengan menggesekkannya pada bagian detektor.
Huh… untung saja ini masih bisa digunakan.
***
Di ruangannya yang berada pada sudut Departemen Kreatif, Emily sedang menata posisi desain barunya di sebuah patung model berwarna hitam.
"Emily, waktunya makan siang." Tiba-tiba, suara seorang rekan desainer membuyarkan konsentrasi Emily yang tengah menikmati pekerjaannya.
"Terima kasih, Katherine. Aku akan menyusulmu nanti. Kini aku sedang memperbaiki letak desain terbaru kita," sahut Emily bersemangat.
"Baiklah. Bersenang-senanglah. Jangan terlalu memaksakan diri," balas Katherine—desainer atasan Emily—singkat, kemudian bergabung dengan teman-teman lainnya.
"Tentu." Emily pun lanjut merapikan bagian bawah sample pakaian terbaru itu, kemudian membawanya ke tempat display. Bekerja sebagai desainer maupun fashionist adalah hal yang sangat menarik bagi Emily, sehingga ia selalu menikmati apapun yang dikerjakannya.
Seusai menyelesaikan pekerjaannya, Emily kembali masuk ke ruangannya dan menghempaskan tubuh di kursi eksekutif di balik meja kerja. Gadis itu menggeledah lacinya, mencari dompet dan berniat untuk segera pergi menyusul Katherine serta teman-teman yang lain. Namun, hingga semenit kemudian ia tetap tak menemukan dompetnya di area sekitar meja.
Oh, Tuhan… ini membuang waktu, pikir Emily gusar. Akhirnya, gadis itu pun menyerah untuk terus mencari. "Eerrgh… mengapa sifatku begitu menyebalkan seperti ini? Tidak berguna—Auwww …. " Emily meringis kesakitan ketika ia tak sengaja menendang ujung mejanya.
"Kau tidak menyusul mereka? Kupikir tadi Katherine mengajakmu." Terdengar dua kalimat yang begitu mengejutkan Emily.
Apakah dia hantu? Aku tidak mengerti mengapa dia selalu muncul di saat aku menunjukkan kebodohanku, pikir Emily sambil memandang Leo sebal. Ujung bibirnya semakin mengerucut. "Tidak."
"Katherine tidak mengajakmu …. "
"Bukan. Maksudku, aku tidak menyusul mereka," sergah Emily.
"Oh … kenapa?" cecar Leo.
"Dompetku hilang. Dan aku ingin mencarinya dengan konsentrasi penuh," jawab Emily tegas. Gadis itu kembali menyibukkan dirinya dengan mengacak-acak meja kerjanya.
"Jika aku dapat menemukannya, apa yang akan kau berikan untukku?" tanya Leo misterius sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
Is he kidding me? pikir Emily sambil tersenyum miring. "Aku akan menraktirmu makan siang. Kau boleh menentukan tempatnya," jawab Emily asal. Ia tahu bahwa jika dirinya saja tidak mampu menemukan barangnya, apalagi orang lain. Itulah yang selalu dikatakan ibunya.
"Great!"
***
Emily masih tak dapat memercayai hal ini. Sekarang ia duduk berhadapan dengan bosnya, Leo di Restoran Chi Xing, yang notebenenya merupakan salah satu restoran paling mahal di Guangzhou. Ia meratapi mie Sichuan dan bebek Peking-nya yang tak tersentuh di tengah-tengah meja.
Berengsek. Bagaimana bisa dia yang menemukan dompetnya, huh, pikir Emily frustasi. Ia bahkan belum mendapatkan gaji pertamanya, namun alangkah menyedihkannya bahwa ia harus mengeluarkan uang 2.100 RMB untuk membayar makanan siang itu.
"Emily, apakah kau tidak ingin makan? Ini enak sekali, lho," ucap Leo sambil terus melahap mie Sichuan-nya.
Mendengar itu, Emily segera menegakkan kepalanya kembali. "Hmm … tentu. Tentu saja ini enak. Makanan mahal pasti enak. Yeah …. " Gadis itu mulai frustrasi dengan bagaimana nasib kehidupannya sebulan ke depan. Emily benar-benar kehilangan nafsu makannya. Rasanya ia ingin menyingkirkan, membuang, dan menginjak-injak semua makanan itu.
Dengan berat hati, ia mulai menyumpit mie Sichuan dari piring putihnya, kemudian meletakkannya pada ujung lidah seolah-olah itu makanan paling hambar yang tak akan pernah ia makan lagi seumur hidupnya.
"Kenapa? Apakah kau tidak suka? Sini, biar kuhabiskan." Leo hendak mengambil piring yang tersia-sia oleh Emily, namun dengan gesit gadis itu menjauhkannya.
"Tidak boleh. Jika aku tidak menghabiskannya, aku akan membawanya pulang. Tetangga apartemenku punya anjing Labrador yang patuh," ucap Emily sambil memasang senyum termanis di wajahnya, senyum yang sangat dibuat-buat. Anjing Labrador itu bahkan lebih menyenangkan daripadamu, tambahnya dalam hati.
"Jadi menurutmu anjing Labrador tetangga lebih berharga daripada bosmu sendiri?" Leo menghentikan makannya dan menatap Emily dengan kening berkerut. Emily hanya merespons dengan mengangkat bahunya, namun hatinya tentu saja berkata: Jika bosnya sangat menyebalkan sepertimu, bahkan aku lebih memilih memberi makan anjing.
"Aku dapat menjamin kehidupanmu, lho," tambah Leo sembari menaikkan alis kirinya.
"Oh, ya?" Emily bertanya memastikan. Ia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Leo. Namun, tak langsung menjawab kebingungan Emily, pria itu langsung beranjak dari tempat duduknya menuju kasir.
Tak lama kemudian, Leo kembali dan Emily masih memandangnya dengan tatapan bingung. "Kau …. Ya, Tuhan. Kau tidak membayar semuanya, kan?" tanya Emily tak percaya.
Leo mengedikkan bahunya misterius. "Yeah… tapi kujamin kau pasti akan menggantinya." Mungkin, Leo benar-benar mengerti bagaimana memperlakukan gadis seperti Emily, hingga Emily dapat selalu merasa santai di sisinya.
"Huft … syukurlah, aku tidak menghabiskan gaji pertamaku dengan berhutang pada Restoran Chi Xing," ujar Emily sambil mengelus dadanya lega. "Terima kasih, Bos."
"Hmm …. Makanlah yang banyak," ucap Leo kemudian. Pria itu mengusap puncak kepala Emily dengan lembut, lalu melanjutkan makannya.
Sementara Emily mematung sejenak sejak usapan itu, hati dan pikirannya mulai dipenuhi dengan pikiran-pikirannya di masa lalu. Sesuatu yang pernah dirasakannya di masa lalu kini terulang kembali.
Aku yakin seratus persen bahwa aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi … kenapa rasanya bisa serumit ini? Ia seperti pernah menjadi bagian terpenting dalam episode kehidupanku di masa lalu, pikir Emily bingung.
Footnote:
Xiǎo= kecil
Xiào= tertawa
Labrador Retriever Canis familiaris adalah salah satu anjing ras terpopuler di dunia karena energik, pandai, dan bersahabat sehingga cocok dijadikan anjing pekerja. (Wikipedia)
😃 hmm... Latarnya tentang fashion menarik juga
Comment on chapter Prolog