Gemericik air hujan masih menetes membasahi tanah halaman sekolah. Deru angin yang mengoyak dahan-dahan pepohonan sekejab menghamburkan dedaunan kering hingga jatuh ke permukaan. Keramaian masih melingkup di area sekolah. Masih sekitar dua jam lagi kegiatan sekolah akan usai. Namun tidak untuk Arga. Lelaki itu nampak asyik duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan dengan telinga yang tertutupi earphone.
"Lo ngapain sih disana? Gerimis masih turun, kalau lo sakit gimana?" kata seorang lelaki seusianya yang menarik tangannya untuk menepi ke pinggir lapangan.
Lelaki itu adalah Rega, sahabat Arga. Sejak satu tahun yang lalu mereka mulai menjalin persahabatan hingga kini. Arga hanya terdiam saat Rega meletupkan amarahnya karena melihat Arga duduk terdiam di lapangan walaupun keadaannya hujan. Keduanya pun duduk di kursi panjang depan kelas mereka. Lima menit mereka terduduk, tiba-tiba Arga bangkit dan bergegas pergi dari hadapan Rega.
"Ga, lo mau kemana?" teriak Rega sambil mengejar Arga.
Arga berhenti di depan loker miliknya, terlihat ia tengah membuka loker yang terisi penuh oleh Origami.
"Sudah berapa banyak origami yang lu buat ?" timpal Rega dengan napas tersengal-sengal.
Diam dan diam yang selalu dilakukan oleh Arga, ia tidak menjawab pertanyaan dari Rega walau hanya sepatah kata. Rega menatap Arga penuh harap.
"Lo jangan gini terus dong ga, gue tau lo ada masalah. Tapi lo nggak boleh patah semangat kayak gini dong."
Dan lagi-lagi Arga bersembunyi dalam diamnya, rasanya sulit sekali untuk bercengkarama dengan baik bersama Arga. Bel pulang sudah berbunyi, murid-murid berbondong untuk segera meninggalkan sekolah. Rega yang selalu ada di samping Arga membiarkan Arga untuk sendiri dalam diamnya. Mungkin dengan begitu Arga merasa dirinya akan lebih baik. Namun sebelum Rega meninggalkan Arga, Rega menemukan sobekan kertas yang terbuang di dekat Arga duduk. Rega pun memungutnya. Rega terdiam setelah membaca puisi yang sepertinya telah ditulis oleh Arga. Rega pun memasukkan kertas itu di dalam saku celananya dan meninggalkan tempat tersebut.
*****
Malam ini langit dipenuhi oleh bintang-bintang yang seakan menari mengitari sang bulan. Arga tengah terduduk di depan teras seraya melipat kertas untuk dibentuk menjadi sebuah origami yang sudah tertulisi oleh kata-kata puitis. Tiba-tiba dari belakang sebuah tangan meraih pundak Arga.
"Ga, makan dulu! Mama dan papa udah nunggu di meja makan." Dery, kakak lelaki Arga yang mengajak adiknya untuk segera bergabung di meja makan bersama yang lainnya.
"Kalian makan dulu aja nanti Arga nyusul."
Dery pun meninggalkan Arga. Sementara kedua tangannya masih terus melipat-lipat kertas dengan berbagai aneka warna menjadi origami yang indah. Setelahnya Arga meletakkan kertas-kertas itu begitu saja. Ia bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menuju halaman. Ukiran senyum manis terpampang di wajahnya seketika ia mendongakkan kepalanya ke atas. Ia merasa bahwa bintang dan bulan telah menyapanya.
"Ga, lebih baik kamu makan dulu, sudah malam." Untuk kedua kalinya Dery memerintahkan Arga agar segera makan.
Untuk kali ini Arga mengiyakan permintaan Dery. Ia pun beranjak menuju meja makan.
"Sini, biar mama ambilin!" tawar mama Arga.
"Nggak usah ma, biar Arga ambil sendiri."
Di ruang tamu Dery tengah berbincang-bincang bersama dengan sang papa, dan mamanya menemani Arga hingga selesai makan malam. Seusai makan Arga langsung beranjak menuju kamarnya. Dekorasi kamar yang penuh dengan origami terkesan membuat kamar ini di huni oleh anak-anak kecil. Namun sebenarnya tidak, Arga sengaja memenuhi setiap sudut kamarnya dengan origami agar ia selalu mengingat betapa indahnya masa kecil. Masa kecil adalah dunia yang membawa kita menuju mimpi dan fantasi, Arga menyebutnya begitu. Dikala dunia nyata tak seindah dengan yang dikehendaki, dunia mimpi pun bisa menjadikan hidup Arga lebih baik dari yang diinginkan olehnya.
Perlahan Arga merebahkan tubuhnya diatas ranjang dan tertegun diamlah ia dalam kesunyian malam. Puncak malam sudah menyapa kawanan makhluk hidup di bumi ini, tanpa terkecuali Arga. Sulit sekali mata Arga tuk terpejamkan, ia bangkit dan mengambil ponsel di meja belajarnya. Sesaat ia memutar musik di dalam ponselnya dan berusaha untuk lenyap dalam tidur dan mimpi.
***
Deru mesin kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan seakan merubah pagi yang sejuk menjadi keruh. Di dalam mobil Arga diantar oleh Dery menuju sekolahnya. Sementara Dery akan pergi kuliah. Keduanya jauh dari kata sama. Dery lebih senang bergaul dan bergaya masa kini ketimbang dengan Arga yang lebih senang menyendiri. Namun dibalik perbedaan itu, keduanya saling menyayangi, terutama Dery. Dery begitu menyayangi Arga melebihi dirinya sendiri.
"Nanti gue ada urusan kuliah, kamu pulangnya naik taksi aja ya."
"Urusan apa kak ?"
"Ada deh, kamu hati-hati di sekolah ya! Belajar yang bener."
Arga pun keluar dari mobil dan beranjak memasuki gerbang sekolah. Sesaat setelah melintasi taman, Rega datang menghampiri Arga. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kelas. Untuk kali ini Arga lebih bisa berbicara walau hanya sedikit, namun setidaknya itu cukup membuat Rega lega atas sikapnya. Seminggu lagi akan ada pesta ulang tahun sekolahnya yang ke 34, berbagai acara demi acara telah di persiapkan untuk meramaikan perayaan tersebut. Dan yang paling ditunggu adalah acara pentas seni nya. Semua murid dari dalam ataupun sekolah luar boleh berunjuk bakat disini. Seperti ulang tahun yang sebelumnya, Arga enggan untuk menghadiri acara semacam ini. Namun Rega terus memaksanya untuk ikut dan menghadiri acara tersebut.
"Oke, aku akan hadir, tapi jika aku bosan, aku akan pulang." Putus Arga dengan agak tidak rela.
Rega tersenyum mendengar ucapan Arga yang mau hadir. Bayangan akan hura-hura dan bergembira bersama Arga telah mengitari benaknya. Keduanya pun melanjutkan langkahnya menuju ke dalam kelas. Di bangku kesayangannya, Arga tengah mencorat-coret kertas bekas yang ada di hadapannya.
Sesaat kemudian bel masuk kelas berbunyi, dan hari ini adalah saatnya pelajaran Bahasa Indonesia yang diajar oleh pak Danu. Pagi ini begitu damai dengan kesunyiannya, hanya sesekali terdengar kicauan burung dan hentakan sepatu yang sesekali melintas.
Di tempat yang berlainan Dery tengah sibuk dengan tugas kuliahnya di kampus. Dirinya ditemani oleh Keysa, Rosa, dan Erick. Mereka satu angkatan tapi beda jurusan. Dery dan Erick masuk jurusan arsitek sedangkan Rosa jurusan Ekonomi, dan Keysa jurusan Sastra Indonesia. Keempat remaja ini begitu asyik dalam menjalani hari-hari mereka, terutama Erick.
"Der, nanti kita mampir ke rumah Keysa ya."
"Ngapain kamu kerumah Rik?" timpal Keysa.
"Masak kamu lupa sih Key,aku kan kerumah kamu mau kenalan sama camer ku." jawabnya cengengesan.
Keysa yang merasa sebal langsung mencubit perut Erick, hal yang sama juga dilakukan oleh Dery.
"Dasar kamu Rik, apa kamu sudah lupa dengan Sonia ?" tukas Keysa.
Erick meringis tersipu malu setelah Keysa berusaha memojokkan posisinya. Rosa dan Dery tertawa terbahak-bahak mendengar tingkah sahabatnya itu. Sesekali Dery melirik ke arah Keysa. Rupanya secara diam-diam Dery menaruh perasaan lebih untuk Keysa. Sifat humoris dan apa adanya Keysa mampu menarik Dery untuk menaruh hatinya kepada Keysa.
"Der, ntar lo antar gue ya. Itung-itung ngirit ongkos gue, kan lo tau sendiri keadaan gue." Pinta Key dengan wajah yang dibuat semelas mungkin.
Dery yang tak kuasas melihat wajah imut gadis itu pun menyanggupi keinginan Keysa dan mereka berdua pun pulang dengan meninggalkan teman-temannya di tempat. Sementara Arga masih tetap di sekolah hingga sore ini. Ia duduk beralaskan koran di taman sekolah. Disebelahnya penuh dengan kertas lipat berbagai warna yang hendak di buatnya untuk Origami. Sebuah Origami kuning telah dibuatnya dengan melampirkan secarik puisi di dalamnya. Arga pun bangkit dari duduknya, ia meraih benang kecil di dalam tas sekolahnya lalu mengikatkan tali itu pada ekor Origami. Di gelantungkannya tali itu di atas dahan pohon mangga.
"Semoga Dewa mimpi berkenan mengabulkan keinginanku." gumamnya sembari mengikat tali tersebut di atas dahan pohon mangga.
Ia pun kembali ke tempat asalnya terduduk, dipandangnya origami itu yang tergelantung manis di atas pohon. Sesaat ia melirik jam yang ada di tangan kirinya.
"Ya ampun, udah sore.”
Dikemasnya seluruh barang yang tergeletak di dekat Arga terduduk dan memasukkannya ke dalam tas. Ia pun beranjak meninggalkan taman dan mencegat taksi untuk di tumpanginya di depan gerbang sekolah. Setelah cukup lama Arga berdiri di depan gerbang, sebuah mobil hitam mendekatinya dengan memberi sinyal klakson sebelumnya. Dia adalah Dery, kakak Arga yang tengah melintas di daerah tersebut untuk mengantar Keysa. Dery pun menyuruh Arga untuk masuk ke dalam mobil.
"Kamu darimana saja Ga, kok baru pulang ?" tanya Dery mendesak Arga.
"Ini adik lo Der ?" tanya Keysa menoleh ke belakang.
Dery mengangguk, Keysa pun membalikkan badannya dan menjabat tangan Arga sebagai perkenalan. Keysa memperhatikan seluruh penampilan Arga, mulai dari rambut, wajah, hingga kaki. Sesaat Keysa tertawa tengil.
"Lo lucu banget, beda sama kakak lo. Kayak bocah tau." Ledek Keysa.
Dery tertawa mendengar ucapan Keysa, sementara Arga terdiam sebal atas ucapan Keysa yang dianggapnya sebagai sebuah penghinaan.
"Kamu sendiri apa kabar? Perempuan nggak ada lembut-lembutnya sama sekali." timpal Arga membalas ucapan sengit dari Keysa dengan ucapannya yang tak kalah sengit.
Keysa sekejab naik darah setelah Arga berbicara sengit kepadanya, ia menyobek kertas di dalam tasnya lalu ia remat-remat dan melemparkannya tepat di wajah Arga. Pertikaian kecil diantara Arga dan Keysa pun tidak dapat dihindari. Sekejab Dery merasakan bahwa ini semua lucu, namun detik berikutnya ia merasakan bahwa hal ini sebagai sebuah bencana. Ia pun mengerem dadak mobilnya, hingga satu per satu diantara mereka merasa kaget.
"Kalian berdua apa-apaan sih, baru juga kenal, udah kayak tikus sama kucing."
"Iya adik lo itu yang tikus, ya udah kalau gitu gue berhenti disini aja deh Der, makasih tumpangannya ya." ucap Keysa dan beranjak turun dari mobil Dery.
Di dalam mobil Arga enggan menatap Keysa yang begitu menyebalkan dihari pertamanya bertemu. Mobil kembali dilajukan oleh Dery, suasana sesaat menjadi senyap. Dan Dery pun membuka pembicaraan dengan bertanya alasan Arga baru pulang jam segini. Arga pun menjawab sebagaimana mestinya yang ia lakukan, tak ada satu pun yang disembunyikan olehnya kepada Dery.
"Lain kali kamu harus bilang sama papa atau mama, paling enggak sama kakak, biar kita tidak khawatir." nasehat Dery.
Arga menanggapi nasehat Dery dengan begitu bijaksana. Keduanya begitu saling melengkapi satu sama lain.
****
"Apa iya aku ini culun, kayak bocah?" gumamnya seraya menatap wajahnya dibalik cermin secara tamat-tamat.
"Ahh...ngapain aku dengerin ucapan perempuan aneh itu sih, kak Dery kok mau aja sih berteman dengan dia. Dasar aneh."
Ia pun merebahkan tubuhnya di atas ranjang, berharap kelelapan tidur akan segera menyapanya, dan ia pun akan masuk ke alam mimpi. Alam yang begitu mendamaikan baginya. Dalam hati ia ingin sekali bertemu dengan dewa Mimpi yang seketika membaca origami sekaligus menyulap mimpinya menjadi sebuah kenyataan. Namun ia harus bersabar menanti hal itu, karena bertahun-tahun ia telah gantungkan origami untuk segera mengantar mimpinya bertemu dengan dewa Mimpi, namun tak satupun dari origami tersebut terbalaskan.
Seketika Arga sudah terlelap dalam tidurnya, mama Arga menghampirinya yang tertidur pulas diranjang. Ia pun mendekat. Perlahan tangan lembutnya mengelus-elus rambut Arga, dan tanpa terasa bulir airmata jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Bukan salah kamu jika harus terus berharap datangnya Dewa mimpi dalam tidur kamu dan berusaha menyulap mimpi itu menjadi nyata."
Malam semakin larut dalam senyap, hawa dingin kian terasa menancap ke suluruh syaraf tubuh. Di luar, kabut tebal tengah turun dan membuat pandangan semakin suram. Dan biarlah Arga menikmati indahnya bermain dalam dunia mimpi yang diinginkan olehnya.
Bagus kak bikin baper π
Comment on chapter EPILOG