Read More >>"> Senja di Sela Wisteria
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja di Sela Wisteria
MENU 0
About Us  

Hai...

Malam-malam setelah up date UNENDING LOVE, tiba-tiba saya muncul lewat cerita yang baru. Ini hanya short story, saya gak sengaja nemu naskah yang tadinya mungkin akan diikut sertakan dalam lomba, tapi saya urungkan. FYI, meski pun alurnya gak menggambarkan, tapi cerita ini terinspirasi dari pernyataan temen saya ketika dulu saya jatuh cinta pada seseorang yang selalu kusebut ia sebagai 'Dilanku'. Temen saya berkata, 'Dia akan membuatmu bahagia meskipun tidak memiliki segalanya.'

Walaupun pada akhirnya saya tak mencoba mendapatkan hatinya, saya selalu yakin saat saya jatuh cinta padanya, saya dapat banyak kebahagiaan secara tidak langsung darinya.

Segitu curhatan saya, selamat membaca. Saya tunggu like, rate, pun komen di bawah bagaimana yang kurang atau mungkin ada bagian yang cukup menggugahmu.

Salam hangat,

SR

.

.

.

.

Senja di Negeri Sakura untuk pertama kalinya di tahun ini. Mengalami dingin dalam beberapa bulan terakhir membuatku hampir melupakan indahnya cahaya senja di sore hari. Dari balik jendela rumahku, aku mengintip Pohon Wisteria yang kau tanan dekade lalu. Entah di musim gugur, musim dingin, atau musim semi, pohon itu tetap berdiri kokoh dan menyombongkan keindahannya di musim semi atau menyembunyikan diri saat musim gugur. Pohon itu selalu mengingatkanku padamu.

“Suatu hari, pohon ini harus kau rawat sendiri. Agar ia menemanimu saat aku sudah terlalu letih membuka mata untukmu.”

Itu yang kau katakan saat pertama kali menanamnya.

Suatu hari itu, adalah hari ini salah satunya. Aku sendiri, di pijakan tanah orang lain, dan meninggalkan seluruh rasa dan air mata di tanah air. Untuk menemanimu di liang lahat.

Mengingat tanah air, saat kita masih berseragam. Tanpa ponsel atau alat elektronik yang bisa menghubungkan kita begitu mudah. Saat itu, dulu, aku mencintaimu dengan rintihan surat-surat kesan rindu yang kukirim dengan tinta biru.

Kau adalah orang yang terkenal karena memenangkan kejuaraan Fisika saat kelas satu. Begitu kita sama-sama naik ke kelas dua. Dunia menjadi berubah dan banyak mengenalmu, termasuk diriku yang selalu enggan mengenal terlalu banyak orang.

“Mahesa!” teriakan seorang guru menggema ke seluruh koridor sekolah. “Kemari kamu!” katanya lagi nyalang mengejarku yang sudah jauh berlari di depannya.

Siapa peduli, pikirku. Kabur adalah pilihan tepat saat aku tidak menyukai suatu pelajaran di sekolah. Seluruh siswa yang berada di kelas kontan saja mengintip aksiku di pagi hari yang tenang itu. Termasuk dirimu yang saat itu keheranan melihatku yang berlari keluar kelas.

Itu hanya salah satu rutinitas pagiku. Aku dikenal sebagai siswa yang sulit diatur, jarang masuk sekolah, dan berandalan. Semua orang menandaiku dengan seperti itu. Tak sedikit dari siswa-siswa di sekolahpun yang enggan padaku. Tak masalah, akupun tidak begitu tertarik dengan kehidupan sosial atau berteman dengan banyak orang.

Tapi, kupikir Erina itu berbeda, di saat yang lain membicarakanku dari belakang. Ia justru terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya padaku.

“Hai, Erina,” sapaku ketika ia sedang menunggu bis untuk pulang.

Kau terlihat tidak nyaman ketika kusapa.

“Kamu Janu Mahesa itu kan?” tanyamu dengan wajah dinginmu.

“Kamu tahu saya?” tanyaku.

Kau menunjuk tasku yang sedang kugendong. “Tasmu itu, sering banget numpang di meja BK,:” jawabnya.

“Kamu sering ke BK juga?” tanyaku.

Kau menyilangkan kedua tanganmu di depan. “Aku sering ke BK tapi bukan untuk diceramahi kayak kamu. Kalau kamu nyapa aku cuma untuk gangguin aku. Maaf. Aku gak akan kepancing sama anak berandalan kayak kamu.”

Itu tidak menggangguku, jujur. Justru ucapan Erina membuatku semakin tertarik padanya.

“Baguslah kalau kamu kenal saya. Saya jadi semakin suka sama kamu.”

Kau justru terlihat bingung dengan ucapanku barusan. Aku sedang tidak menggodaimu, itu hanya perihal bagaimana aku tertarik padamu dengan sangat jujur.

Untuk mendekatimu, butuh banyak usaha, bahkan keyakinan agar kau percaya bahwa aku bukan berandal yang senang mencari ribut, aku hanya punya cara berpikir yang berbeda dari yang lain. Hanya itu.

Hingga perlahan, hatimu mau membukanya untukku. Saat itu aku sangat berterimakasih padamu, juga kedua orangtuamu, tak lupa pada Tuhan. Jika kita tak ada pertemuan di waktu dulu, sekarang aku akan memiliki kenangan berbeda, yang pasti aku akan sengsara karena tidak bertemu denganmu.

“Aku suka sore hari. Aku juga suka Jepang,” ucapmu ketika kita sedang memandangi jingga langit dan juga rindang pepohonan yang menghalanginya sebagian.

“Tidak suka saya?” tanyaku.

Kau mengangguk. “Tentu saja, kamu salah satunya.”

“Nanti, suatu hari, saya akan menculikmu ke Jepang untuk melihat senja disana,” ucapku dengan nada yang mantap.

Kamu tertawa kecil mendengan ucapanku. “Saya sedang tidak melucu,” kataku.

“Hahaha… Maaf.”

“Kamu jangan tertawa seperti itu. Jantung saya cuma satu jika disuruh bekerja ekstra seperti ini.”

Kamu tersipu malu dan justru membuang muka padaku.

Lama kami saling diam, dan hanya mendengar gesekan ranting dengan udara seperti saling berbisik membicarakan kita berdua.

“Aku penasaran, kenapa kamu berbicara selalu formal? Apa ke semua orang kamu seperti itu?” tanyanya memecah keheningan kami.

“Saya menghormati kamu layaknya saya menghormati Ibu dan perempuan-perempuan lainnya. Tanpa perempuan, saya gak akan muncul disini.”

Kamu lagi-lagi  tersenyum seperti itu. Membuat debaran kencang sela-sela rongga dadaku. Apa yang harus kulakukan agar kau berhenti membuat debaran hebat ini. Cukup yang biasa saja, agarku tidak lelah untuk mencintaimu selamanya.

Hingga kuliah dan bekerja, kata kita itu selalu aku ucapkan dalam setiap pertemuan denganmu. Agar menjadi pengingat bahwa hatiku selalu tertambat padamu. Begitu pula denganmu.

“Kenapa kamu masih mau sama aku?” tanyanya. Ia adalah perempuan jujur yang kebetulan aku mengenalnya, dan kebetulan pula aku mencintainya.

“Kenapa kamu juga masih mau sama saya?” tanyaku balik.

“Ih, jawab aku dulu,” ucapmu sedikit kesal.

Aku tak langsung menjawab, mencari jawaban dalam otakku namun tak menemukan kalimat yang pas. Sepuluh tahun adalah waktu yang sangat lama, bukan perkara mudah menyatukan dua kepala dengan jalan pikir masing-masing, tapi entah kenapa, aku tak pernah mendengar kata berhenti darinya untuk bersamaku. Namun aku tak punya hak dan kuasa untuk berhenti mencintainya atau memintanya untuk pergi.

“Saya hanya selalu cinta kamu setiap harinya dengan takaran yang sama dan perasaan yang sama,” jawabku.

“Hanya itu? Terlalu abstrak buatku,” keluhmu.

“Lalu apa?” tanyaku meminta ia yang menjawabnya.

“Ya semacam pendapatmu tentangku. Selama ini kan bukan berarti kita selalu baik-baik saja? Pasti ada saat kamu benci sama aku.”

“Saya tak pernah membencimu. Benci seperti kata yang terlalu kuat. Pada beberapa hal, mungkin saya pernah kesal, tapi kamu selalu meredakan rasa kesal saya.”

Lagi-lagi yang kamu lakukan hanya tersipu malu. “Lalu, kamu harus jawab pertanyaan saya.”

“Aku suka kamu dengan keunikanmu, dengan bagaimana kamu berpikir, dengan bagaimana kamu menempatkan diri saat aku justru seperti tak tahu diri. Dengan seperti itu membuatku bersyukur menemukanmu” jawabmu yang benar-benar di luar dugaanku.

“Aku hanya mencintaimu setiap harinya, dengan takaran yang sama dan perasaan yang sama.”

Erina, justru akulah yang sangat bersyukur, atas kejujuranmu, atas kesederhanaanmu yang mau mencintaiku sedalam itu.

Ada saat di mana pertengkaran kita terlalu hebat untuk di redam. Semakin mudah komunikasi, bukan berarti membuat hubungan kita semakin baik-baik saja. Saat itu, aku terlalu sibuk bekerja, dan kamu menunggu kabarku di saat ada orang lain yang mulai muncul dalam kehidupanmu, juga ingin mengambil alih hatimu.

Aku bukan laki-laki yang akan merelakanmu. Tidak, sampai aku mendengar semua darimu, dan menculikmu selamanya.

‘Tolong hubungi aku sebelum kita benar-benar berakhir.’

Itu pesan terakhirmu. Aku tahu, semua salahku. Tidak mengabarimu yang justru tengah memikirkanku. Ahh! Aku ini memang laki-laki kurang bersyukur. Tapi dengan begitu, aku menyadari kekuranganku dalam mencintaimu saat itu, ketakutan terbesarku di dunia, kau tak di sisiku lagi.

Dan aku tak ingin hal itu muncul terlalu cepat. Maka, pada malam itu, saat aku sudah mendapat ijin dari kedua orangtuamu. Dengan rasa hormat yang masih ada, aku menunggumu pulang tak jauh dari rumahmu. Sengaja, agar kau terkejut dan semoga itu membuatmu senang.

“Saya mau sama kamu. Menculikmu selamanya dari kedua orangtuamu. Membawamu kabur sejahu-jauhnya dan mewujudkan mimpimu saat SMA. Erina, kamu mau sama saya? Menjadi orang di samping saya seumur hidup,” ucapku memberikan kotak kecil merah bludru dengan cincin di dalamnya.

Kau tak menjawab, hanya menahan air matamu. Lalu kemudian kau menangis memelukku. Menyembunyikan tangismu dariku.

“Aku hanya takut kamu benar-benar pergi dari sisiku. Dan itu ketakutan terbesarku.”

Seperti telepati, hatiku dan hatinya bagai sudah diukur Tuhan untuk terus terhubung dengan rasa yang selalu sama. Dengan demikian, aku akan benar-benar menculikmu Erina, tunggu saja.

Pernikahan kami benar-benar berlangsung secara khidmat, hanya beberapa tamu yang kami undang tapi kuyakin perasaanku begitu lega dan bahagia secara bersamaan. Bersamamu sepanjang sisa hidupku adalah hadiah yang begitu besar untuk kuterima di semesta yang maha luas ini. Menautkan jari-jarimu di sela-sela jariku setiap waktunya menjadi penambah energi untukku terus maju dan membahagiakanmu melebihi siapapun.

Hingga mimpimu akhirnya bisa kuwujudkan, janjiku akhirnya terbalaskan. Rumah sederhana di pinggiran Kota Hokkaido juga senja yang biasa menyinari hunian ini setiap sorenya, menjadi cita-cita juga waktu terindah yang kau lewati bersamaku.

“Terima kasih ya, kamu selalu membahagiakanku tanpa jeda. Aku selalu bersyukur karena kamulah yang menyumbangkan tulang rusuknya di tubuhku.” Kau menyandarkan tubuhmu di sampingku, aku meresapi setiap helaan napas pun wangi hidupmu yang menaungi napasku setiap harinya tanpa henti.

“Saya yang berterima kasih karena kamu mau menerima sepasang tulang rusuk saya,” balasku.

Kau terkekeh, aku pun tersenyum. Dua interaksi sederhana yang menambah daya pikatmu di mataku.

“Suatu hari, Tuhan pasti akan memisahkan kedua tangan kita yang saling bertautan ini, entah Ia memanggilmu terlebih dahulu, atau justru aku yang menjadi pertama.”

Fakta bahwa kami berada di semesta yang fana adalah keyakinan yang selalu ingin kulewati, bersamamu selalu membuatku berdoa di sepertiga malam untuk menjadi momen yang abadi.

“Tapi pohon yang kita tanam di depan itu, akan menjadi naungan di mana aku akan selalu bernapas dan menggantungkan kenangan sama kamu. Bahwa eksistensi pohon itu nanti, akan menjadi saksi kalau cinta kita tak mengenal penghentian waktu.”

Aku tak menjawab namun terus mendengar ucapanmu, mengingkari fakta bahwa hanya Tuhan yang sanggup meregangkan genggaman kita, entah kapan akan terjadi.

“Saat ini yang saya mau hanya terus bersamamu, hingga tua dan ringkih.”

“Aku juga kok.”

Janji kami di antara bias jingga memang terlaksana dengan baik, memiliki keluarga dan keturunan yang harmonis. Tetapi, Tuhan memang benar-benar menepati janji-Nya untuk memisahkan kami. Berpuluh-puluh tahun bersamamu, di titik ini aku merasa sendiri, di titik ini aku merasakan patah hati, di titik ini aku tahu jika ketiadaanmu kini adalah luka yang membekas abadi.

Aku tak meraung menangisi liang lahatmu. Aku terdiam seperti dirimu yang juga terdiam sambil menutup mata selamanya, namun jauh di dasar hatiku, aku tengah terguncang dan melihat dinding-dinding hatiku yang hancur berantakkan. Kehilanganmu adalah hal terhebat yang sanggup mengikisku pelan dan menyakitkan.

Pohon Wisteria yang kau tanam kini tumbuh tinggi menjulang. Keturunan-keturunanmu selalu mengabadikan bunga-bunga yang bergelantungan setiap musim seminya. Aku lebih memilih mengamati sela-sela pohon yang memang kau gantungkan napasmu dan kenanganmu. Ketika bunga di atas pohon itu bermekaran, dan angin memainkan pelan ranting-rantingnya yang ringkih, saat itu pula aku bisa mendengar deru napasmu abadi di telingaku, kenangan-kenangan yang selalu indah bersamamu terekam sempurna di mata dan di ingatanku.

Tunggu aku sayang, tunggu aku Erina, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi di sela-sela Wisteria.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DariLyanka
2778      953     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril
Kepak Sayap yang Hilang
91      85     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Percikan Semangat
862      467     1     
Short Story
Kisah cinta tak perlu dramatis. Tapi mau bagaimana lagi ini drama yang terjadi dalam masa remajaku. Cinta yang mengajarkan aku tentang kebaikan. Terima kasih karena dia yang selalu memberikan percikan semangat untuk merubahku menjadi lebih baik :)
Throwback Thursday - The Novel
15088      2233     11     
Romance
Kenangan masa muda adalah sesuatu yang seharusnya menggembirakan, membuat darah menjadi merah karena cinta. Namun, tidak halnya untuk Katarina, seorang gadis yang darahnya menghitam sebelum sempat memerah. Masa lalu yang telah lama dikuburnya bangkit kembali, seakan merobek kain kafan dan menggelar mayatnya diatas tanah. Menghantuinya dan memporakporandakan hidupnya yang telah tertata rapih.
NADI
5674      1518     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
A Ghost Diary
5033      1587     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Until The Last Second Before Your Death
446      319     4     
Short Story
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
Pisah Temu
960      521     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
RINAI
391      286     0     
Short Story
Tentang Sam dan gadis dengan kilatan mata coklat di halte bus.
Under The Same Moon
364      238     4     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.