Hari-hari berlalu menyenangkan tak ada lagi gundah yang bersarang di jiwa, tak ada lagi kegelisahan yang membuat mata susah untuk tertutup di malam hari, tak ada lagi ketakutan yang menyentuh dinding hati yang paling dalam. Senang sekali merasakan hidup sesempurna itu. Kalian tahu apa kuncinya? Ketulusan dan keikhlasan.
Yang membuat hati Dzikri selalu baik-baik saja adalah Surat Al-Fatihah. Kini bukan hanya di dalam istigfarnya saja yang ia selipkan nama wanita itu, tetapi Dzikri dapat menggutarakan hatinya dengan surat itu. Dzikri, dalam shalatnya 5 waktunya, secara tidak langsung menyebut namanya, di setiap shalat sunnah juga ia sebutkan dengan begitu Nayla tidak akan hilang di dalam hati dan pikiran Dzikri. Mengasyikan bukan? Dari pada harus langsung berkata “Aku mencintaimu.” Sedangkan di antara meraka bukanlah sepasang kekasih apa lagi sepasang suami istri yang selalu memadu kasih dan menambatkan hati.
“Aku rindu kamu. Namun, pantaskah aku yang merindukanmu, walau kamu bukan miliku?” ucapnya disela-sela aktifitas membacanya di taman.
“Bagaimana aku bisa menyampaikan rindu kepadamu sedangkan kamu tak berada di sampingku? Rindu ini sudah keterlaluan, untung saja aku menaruh rindu itu di sana. Iya di sana, di dalam surat Al-Fatihah.” Ungkapnya gembira.
Rindu memang seperti hujan, tak tertahankan. Datang tiba-tiba dan berhenti pun tiba-tiba. Wahai hujan, bukankah banyak kerinduan ketika akan melupakan? Tidak terbilang keinginan melupakan saat dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang. (Tere Liye)
Hari ini adalah matakuliah Bu Windi.
“Tak ada rasa takut untuk bertemu dengannya, tak ada keraguan untuk sekedar menyapanya yang jelas aku mengaguminya.” Ucap Dzikri menyakinkan hati untuk dapat bertemu di ruang 4x4 sentimeter persegi itu.
Dzikri duduk di tempat deretan paling depan dan Nayla di deretan belakang. Mereka kembali seperti awal perjumpaan mereka. Dzikri tak memudarkan senyum kepada kawan-kawannya.
“Assalamu’alaikum semuanya!” tak terasa Bu Windi pun datang
“Wa'alaikumsalam bu.” Ucap mereka semua kompak.
“Mau bahas materi apa hari ini?” tanya Bu Windi mengejutkan mereka semua.
Tidak biasanya Bu Windi bersikap begitu, atau mungkin ia sedang bahagia karena Dzikri telah kembali mempertahankan hafalan yang selama ini ia pelajari. Bersyukur bukan? Kenikmatan selalu menyertai orang-orang dengan niat yang baik.
“Kandungan Surat Al-Fatihah bu.” Ucap Dzikri menunjukkan dirinya dengan memamerkan senyumnya.
“Boleh juga. Apa kalian semua setuju?” mengalihkan fokusnya.
“Setuju bu.” Para mahasiswa bersorak menyetujui.
“Baiklah kalau begitu. Kita mulai saja. Tapi,” ucap Bu Windi menggantung.
"Tapi apa bu?” salah satu mahasiswa pria bertanya.
“Bukan ibu yang menjelaskan, tapi kalian!” ucap Bu Windi yang mengagetkan seluruh ruangan.
Kecuali Dzikri dan Nayla. Mereka berdua terlihat tenang dan bersikap santai di kursi masing-masing, tak menghiraukan gemuruh di ruangan 4x4 cm2. Menganggap semuanya gonna be oke.
“Siapa yang akan menjelaskan ayat pertama dari Surat Al-Fatihah ini?” tanya Bu Windi menyelidik dengan gaya khasnya yang menakuti para mahasiswa.
“Saya bu.” Pria berbaju biru itu mengacungkan tangannya.
“Kamu lagi?” Bu Windi menunjukkan wajah bosannya.
Dzikri hanya nyengir kuda, dengan wajah yang seperti ini ia mulai bisa mengekspresika kelucuannya.
“Tidak adakah yang berani selain Dzikri?” tanya Bu Windi.
Lagi-lagi tak ada yang bersuara. Entah mereka tak menguasai materinya atau memang tidak tahu, apa mereka senang apabila Dzikri yang berbicara untuk mata kuliah Bu Windi.
“Ya sudah, silakan dimulai saja.” Titahnya.
Bismillâhirrahmânirrahîm. “Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Dzikri membacakannya dengan fasih.
Ayat pertama ini menegaskan pentingnya penyebutan atau tepatnya pengakuan manusia atas kuasa Tuhan, atas keesaan-Nya dan atas segala kebesaran-Nya. Manusia diajarkan dan diharuskan mengakui Maha Pemurah-Nya Tuhan dan Maha Penyayangan-Nya. Di sini, pengakuan-pengakuan itu merupakan harga mati atas setiap manusia. Jadi, ayat ini bukan sekedar mengajarkan ‘penyebutan’ atas [nama] Tuhan, melainkan deklarasi atau pernyataan atas kebesaran-Nya, yang pada ayat itu direpresentasikan melalui lafadz ar-rahman dan ar-rahim.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. “Segala puji bagi Tuhan, [yaitu] Tuhan bagi semesta alam.”
Setelah manusia mengakui segala kebesaran Tuhan, maka pada ayat kedua ini Tuhan melalui Surat Al-Fatihah menasehatkan manusia supaya melakukan pendekatan pribadi kepada-Nya, yaitu dengan cara memuji-Nya. Ini adalah langkah pertama yang harus dilakukan manusia setelah ia menegaskan pengakuan tadi. Sebenarnya, kebesaran Tuhan tidaklah berkurang tanpa pujian manusia dan segenap makhluk, dan kebesaran-Nya pun tidak pula bertambah dengan adanya pujian-pujian itu dengan kata lain bagaimana caranya berkomunikasi dengan Tuhan.
Arrahmanirrahim. “Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Pengulangan pujian ini untuk sebuah penegasan. Ar-Rahman bermakna [Tuhan] yang Maha Pemurah, atau Pengasih. Dia mengasihi seluruh makhluk yang ada di dunia, baik yang beriman atau yang bukan. Sedangkan ar-Rahim bermakna mengasihi seluruh orang-orang yang beriman kelak di akhirat.
“Maliki Yawmiddin. [Tuhan] Yang menguasai hari kiamat”.
Pengakuan sekaligus juga pujian, bahwa hanya Tuhanlah yang berkuasa pada hari kiamat. Ini merupakan pujian ketiga berturut-turut, dan begitulah pendidikan dari Tuhan kepada manusia.
“Iyyaka Na’budu… “Hanya Engkaulah yang kami sembah.”
Pada ayat di atas, Tuhan menggunakan kalimat Iyyaka Na’budu, yang berarti Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan bukan kalimat Na’budu-Ka, yang berarti Kami menyembah kepada-Mu. Pada kalimat pertama secara jelas menegasikan seluruh hal dan hanya menyembah Tuhan, sedangkan kalimat kedua bisa bermakna Kami menyembah kepada-Mu, tapi juga mengagungkan yang lain.
“Wa Iyyaka Nasta’in. “Dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”
Setelah mengajari manusia tentang metode pendekatan terhadap Tuhan, beberapa pujian serta penegasan tentang sesembahan, barulah Tuhan mengajarkan bahwa setelah manusia melakukan hal itu semua, maka manusia diberi “kesempatan” untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Dan pertolongan serta permintaan itu dilakukan manusia hanya ditujukan kepada Tuhan, bukan yang lain.
“Ihdinas-Shirathal Mustaqim. Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Pengajaran Tuhan selanjutnya, manusia tidak bisa berbuat sombong, oleh karenanya ia diajarkan untuk selalu memohon dan meminta, yang dalam hal ini adalah permintaan untuk sebuah kebenaran. Dan hanya kepada Tuhan sajalah manusia itu memohon kebenaran. Makna kebenaran atau jalan yang lurus di sini tentulah tidak sederhana, namun ia disimplifikasi pada ayat berikutnya.
“Shirathalladzîna An’amta ‘Alayhim Ghoyril-Maghdhubi ‘Alayhim waladh-Dhollin. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Kenikmatan Tuhan hanyalah diberikan kepada orang-orang yang Dia kehendaki, dan itu bukanlah kepada orang-orang yang dimurkai dan yang memilih jalan sendiri. Abdullah ibn Abbas menyebutkan bahwa orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan oleh Tuhan, di antaranya, adalah para nabi, shodiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh, orang yang bersih jiwanya.
Dan waktu begitu cepat berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 saat untuk melaksanakan ibadah dzuhur. Kelas dibubarkan dengan tertib.
***
Alasaan pertama mengapa Dzikri mengutarakannya melalui Surat Al-Fatihah ini bahwa Dzikri mengaku, tanpa adanya Allah di dalam hatinya, hidupnya akan suram. Ia bersyukur atas limpahan karunia, kasih sayang yang Allah berikan untuknya, ia bisa bertahan sampai detik ini bersama orang-orang tercinta yang mendukung dan mendoakan keselamatan yang hanya diperuntukan kepada muslim yang beriman dan bertaqwa. Diberikan kelebihan dalam menjalankan kehidupannya sebagai seorang tahfidz. Kebesaran Allah yang tiada tara menciptakan langit dan bumi beserta isinya dan ia pula yang menciptakan dan menghadirkan rasa cinta kasih ini untuk Nayla. Tuhan menguasai apa yang tidak diketahui oleh umatnya baik itu rezeki, jodoh, dan kematian. Segala sesuatunya berada di tangan Allah, karena Dia yang kami sembah.
Alasan kedua adalah ketika Dzikri mulai takut akan perasaan yang ia miliki, Allah berikan peringatan pada dirinya untuk tidak terlalu jauh melangkah. Pukulan keras untuk hatinya, bahwa apa yang ia lakukan adalah salah, mencintai Nayla tanpa ada ikatan pernikahan itu akan mnimbulkan dosa, menimbulkan fitnah maka dari itu Allah memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum semuanya terlambat dan Allah tujukan jalan yang lurus, jalan yang benar, jalan yang terang untuk mencapai ridho-Nya untuk mencapainya tidak sesederhana itu. Ada kebenaran yang menjadi pemicu untuk lebih baik dari yang dilakukannya dan kenikmatan Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Suatu saat nanti jika mereka tidak diperjodohkan dalam dunia semoga Dzikri dan Nayla diperjodohkan di dalam akhiratnya.
***
@Riyuni Sukses yaa, semangat jg :)
Comment on chapter Perjumpaan yang Mengagumkan