“Hari ini aku melihatmu, melihat dirimu berada di tempat seperti biasa yang kulihat. Bukan di taman melainkan tempat di mana kamu menghabiskan waktu untuk membaca. Bersama dengan teman-temanmu, terpampang jelas, dan kamu pun juga melihatku. Melihatmu tepat di depan kelopak mataku. Kamu acuh, kamu memalingkan wajahmu, akibat perlakukan yang kubuat padamu. Perasaan itu, perasaan yang tak dapat menghilang begitu saja tetapi semakin tumbuh berkembang. Perasaan yang membuatku gundah. Ada apa denganku? Sadarlah. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan.” Curhatnya pada secarik kertas.
Bahkan ketika barisan-barisan itu melenggak-lenggok di atas kertas, Dzikri tak henti-hentinya berdzikir memohon yang terbaik di antara mereka berdua. Memohon petunjuk dari segala harapan yang ia tanam di dalam dzikirnya.
Nayla seakan tak melihat keberadaan Dzikri di sudut ruangan ini, mungkin Nayla dengan amat terpaksa melakukannya. Bukan maksud untuk membalas apa yang sudah ia lakukan terhadap Nayla, melainkan ia juga harus menjaga hatinya, menjaga perasaannya untuk tidak terlalu berharap pada siapa pun, untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu dekat dengan pria manapun.
“Bagaimana bisa kamu bersikap seperti ini kepadaku? Ada apa denganmu?” pertanyaan itu yang selalu menyelinap di relung hati Nayla.
Nayla bersikap seperti itu bukan berarti dirinya menyukai Dzikri. Ada hal-hal yang Nayla tidak mengerti pada sikapmya, padahal awalnya pun mereka tidak saling mengenal satu sama lain kemudian mencoba untuk berteman, berbagi cerita, berdiskusi bersama, bertukar pikiran mengenai agama dan ilmu psikologi, mencoba mengenal sifat keduanya. Mencoba berkomunikasi dengan baik, memperbanyak teman, mencoba saling menghargai dengan lawan jenis, memahami dan mengerti pemikiran satu sama lain.
“Di sini kamu tak pernah tahu. Di sini kau tak pernah paham. Di sini kamu juga tak pernah mengerti. Bagaimana menjadi pria seperti aku dan kamu tak pernah berpaling ketika aku selalu saja memandangmu di sudut sana. Aku ingin kau tahu bagaimana aku menyebut namamu di dalam dzikirku untuk sosok wanita sepertimu, meski sepanjang malam aku seperti itu. Bayangmu merusak memori ingatanku. Tersedu dalam kelam tersudut dalam semayam. Hanya mampu mengagumimu dan manjangkaumu di balik hijab itu yang tak dapat kuraih dengan anggota tubuhku sendiri.” Seorang pria memperhatikan wanita yang ia kagumi dari kejauhan.
Dalam hidup, Tuhan selalu berikan yang terbaik untuk umatnya, mungkin bukan terbaik yang manusia inginkan, melainkan pasti yang terbaik yang manusia butuhkan. Ketika merasa tak bahagia dengan hidup yang dijalani, maka ingatlah, bahwa ada seseorang yang bahagia hanya karena adanya kamu. Untuk itu, maafkanlah. Karena hanya dengan meminta maaf adalah bukti rasa cinta dan hormat terhadap orang lain sekaligus memaafkan adalah bukti rasa cinta dan hormat terhadap diri sendiri.
Cinta tak pernah salah. Pun ketulusan tak pernah sia-sia. Hanya ego manusia yang membuat cinta dan ketulusan terkesan tak berarti. Ketika kamu mempercayai seseorang, kamu akan sangat rapuh, tapi jika kamu tak mampu percaya, kamu tak akan bisa menemukan cinta. Ketika seseorang membenci, janganlah dibalas membencinya, tunjukan versi terbaik yang kamu miliki. Mereka membenci, hanya karena mereka tak bisa menjadi seperti orang lain.
Kadang lebih baik diam daripada menjelaskan perasaan yang sesungguhnya, karena menyakitkan ketika mereka bisa mendengar tetapi tak bisa mengerti. Jangan remehkan diri sendiri. Percayalah, setiap orang terlahir untuk sebuah alasan, untuk memberi harapan kepada seseorang yang membutuhkannya. Mungkin bagi diri sendiri, apa yang ada di dalam diri tidak ada apa-apanya, tidak berharga namun untuk orang lain bisa jadi diri ini begitu berarti. Berhenti mengejar seseorang yang kamu pikir pantas kamu dapatkan. Lebih baik persiapkan diri untuk seseorang yang memang pantas. Tindakan yang tepat di saat ini adalah permintaan maaf yang terbaik yangg bisa diberikan. Agar bisa bahagia, jangan hanya mencari hal-hal yang dapat membuat hidup bahagia, tetapi juga temukan hal-hal yang membuatmu sedih dan berhenti melakukannya.
Dalam hidup, kita tak bisa menghindari rasa sakit, tapi dengan begitu bisa memilih apakah sakit itu mendewasakan atau membuat semuanya terpuruk. Terkadang harus berpura-pura bahagia dan baik-baik saja. Hingga menyadari bahwa hal itu jadi kekuatan untuk melangkah. Kadang harus mendengarkan mereka yang lebih tua, bukan karena mereka selalu benar, tapi mereka lebih banyak tahu mana yang salah.
“Untukmu yang selalu aku kagumi, entah berapa lama lagi aku bisa memujamu dalam dzikir dan do’aku. Entah berapa lama lagi aku bisa melihatmu berada di sana, berada di tempat di mana aku belum mampu menggapaimu dan kamu cukup berada di sana. Jangan ke mana-mana apa lagi kamu pergi, tentunya aku terluka. Terluka karena kamu tak lagi di hati ini. Cukup saja aku memandangmu di tempat yang belum mampu kamu gapai juga, maka aku pun sama. Tidak akan pergi tetap di sini, mengawasimu dari jauh agar aku tahu apakah kamu berbuat baik atau buruk. Apakah kamu berpaling kepada yang lain, yang jauh lebih baik dariku. Yang mampu membuatmu bahagia dibandingkan denganku, aku harap itu tidak ada. Yang aku inginkan adalah bersamamu menuju pernikahan yang diridhoi Allah Subhanallahu wa Ta’ala, mempunyai titipan Tuhan yang amat shaleh dan shalehah, menghabiskan sisa hidup bersamamu hingga tua nanti, berbagi suka ataupun duka, bersama mengarungi kerasnya dunia. Itu, dariku untukmu.” Ucapnya setelah melaksanakan ibadah sunnah di dua per tiga malam.
***
@Riyuni Sukses yaa, semangat jg :)
Comment on chapter Perjumpaan yang Mengagumkan