Vincent menarik tangannya. Ia berjalan dan berdiri di sisi jendela besar. “Lebih baik kamu katakan apa yang kamu inginkan, Hortensia!”
Hortensia melipat tangan di depan dada. “Mungkin di cerita-cerita akan ada aku, sebagai pameran pembantu untuk Yang Mulia, mendapatkan Airene. Lalu aku akan mendapatkan Jastin. Sayangnya aku tidak berminat dengan bocah sok segalanya itu.” Hortensia menggeleng.
Vincent tertawa. “Aku? Ketika orang-orang menghamba?” tanya Vincent. Ia lebih berfokus tentang Hortensia memanggil dirinya “aku”.
“Aku tidak terbiasa menggunakan hamba Yang Mulia, kecuali kepada Yang Mulia Raja.”
“Angkuh sekali kamu, Nona!”
“Yah, tidak aturan yang menceritakan tentang hal itu Yang Mulia. Lagipula Yang Mulia dan aku satu keluarga, keluarga kerajaan!” Hortensia mendekati Yang Mulia. Sebelah tangannya terulur sambil berkata, “Aku akan membantu, Yang Mulia menepis semua undangan-undangan itu. Selama itu, Yang Mulia bisa mencari cara untuk membawa Airene ke sisi, Yang Mulia. Bagaimana?” tanya Hortensia.
Vincent mendengkus. “Jadi, setelah tidak yakin akan mendapat posisi sebagai kepala keluarga Davion, kamu datang kepadaku agar bisa mendapatkan posisi yang lebih baik?” tanyanya.
“Um, tiada salahnya tentang semua ini. Jika aku tidak bisa menjadi kepala Davion, maka aku bisa menjadi putri mahkota. Dengan kata lain calon ratu masa depan!”
“Aku akui kejujuranmu Hortensia,” puji Vincent.
“Terima kasih, Yang Mulia!” Hortensia memberi hormat dengan menunduk dan mengangkat sedikit roknya. “Jadi, bagaimana?” tanyanya lagi.
Vincent memutar tubuhnya, menghadap Hortensia. Kedua matanya menelisik gadis yang seumuran dengannya itu. Sejujurnya untuk menjadi seorang ratu, keberanian Hortensia pantas untuk diakui. Ia benar-benar sosok kuat bagai tembok kokoh yang tidak mudah runtuh. Kekuatan seperti itu harus dimiliki seorang pemimpin yang membawa sekian banyak pasukan. Sayangnya Vincent tahu bahwa Hortensia menginginkan sebuah kedudukan. Ia haus akan kekuasaan. Vincent bergumam panjang.
Airene berjalan ditemani seorang pelayan menuju kereta kuda yang akan membawanya pulang. Ia mengusap dagunya, sedikit penasaran dengan pembicaraan antara Vincent dan Hortensia. Jarang-jarang kakak perempuan yang terpaut tiga tahun di atasnya itu menemui Vincent secara langsung.
“Nona, kita akan pergi ke mana?” tanya pelayan di belakang Airene.
Airene memandang langit. Ia mengetuk dagu berkali-kali sambil mengeluarkan gumaman panjang. Tujuannya ada dua, pulang ke rumah Robustiano atau mengunjungi rumah Davion. Ia terkekeh sebentar, mengingat bahwa sekarang ia memiliki dua tempat untuk berpulang.
“Nona?” tanya pelayan cemas.
“Davion, kita kembali ke Davion!” ucap Airene.
Pelayan memandang Airene cukup lama. Ada gurat khawatir di wajahnya. Ia hendak protes namun tangan Airene yang terangkat membuatnya mengurungkan niat. Wajahnya masih khawatir meski Airene tersenyum lebar.
“Tidak apa. Tidak apa. Tenang saja” ulang sebelum masuk ke dalam kereta.
“Baik, Nona!” ucap pelayan akhirnya.
Kereta kayu berwarna biru mudah itu bergerak menuju bagian selatan, ke kediaman Davion. Hanya butuh lima belas menit perjalanan dengan kereta kuda, Airene sudah bisa melihat gerbang utama Davion. Sepuluh menit berikutnya, Airene sudah berada di depan pintu. Ia disambut oleh beberapa pelayan yang dibalas dengan senyuman, seperti biasa.
“Wah, putri muda kembali pulang,” sapa seorang wanita yang duduk di kursi.
Airene segera membungkuk. “Ibunda!” sapanya.
Sang wanita hanya mengangguk, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya, merangkai bunga dan menyusunnya di dalam vas berwarna putih yang berukir naga.
Airene menghela napas. Bagaimanapun respon Ibunda jauh lebih baik dari pada ibu-ibu tiri di dalam cerita dongeng. Jika dalam cerita dongeng ibu tiri akan menyiksa anak tirinya, maka dalam kasus Airene hal itu tidak ditemukan. Ibundanya—ibu kandung Hortensia hanya bersikap dingin padanya. Beliau tidak terlalu peduli dengan Airene. Ya, Airene patut bersyukur akan hal itu. Tidak ada penyiksaan dari ibu tiri dalam hidupnya.
Airene berhenti sebentar melihat foto keluarga yang terpajang di dekat tangga. Ia melirik wanita yang duduk berbalut gaun merah. Ia menghela napas, merasakan rindu yang terus berkumpul dalam hatinya. Keluarganya yang terdiri dari satu ayah, dua ibu, dan dua anak perempuan cukup umum untuk keluarga bangsawan. Dalam keluarga tersebut, istri pertama akan menjadi Nyonya Besar dan istri kedua menjadi selir. Meskipun anak selir lebih tua dari anak Nyonya Besar, anak Nyonya Besar akan tetap menjadi anak utama. Itulah Airene Davion. Meskipun Hortensia lebih tua tiga tahun darinya, status putri utama tetap menjadi miliknya.
“Nona!” hormat seorang pelayan.
“Di mana Ayahanda?” tanya Airene.
“Ayahanda berada di ruang kerja, Nona!”
“Baiklah! Terima kasih!” Airene mengangguk.
Sang pelayan menunduk, memberi hormat setulus hati kepada Airene yang sangat dihormatinya. Sang pelayan itu pula yang menjaga Airene setelah kematian ibu kandungnya. Ia sangat menyayangi Airene dan berharap setelah ini Airene bahagia.
Airene mengetuk pintu. Detik berikutnya terdengar suara laki-laki yang mempersilahkannya masuk. Perlahan ia mendorong pintu dan memberi salam kepada kepala keluarga Davion sekaligus ayahnya.
“Ada apa pulang ke rumah Airene?” tanya sang ayah yang tetap membaca kertas di hadapannya.
“Airene hanya ingin berkunjung ayahanda, di waktu libur akademi,” balas Airene.
“Harusnya kamu mempergunakan waktu seperti ini untuk belajar, atau bisa pergi bersama tunanganmu. Kenapa memilih membuang waktu dengan datang ke rumah?” tanya ayah Airene yang memandang Airene sejenak lalu melanjutkan pekerjaannya.
Karene aku merindukan ayah, balas Airene dalam hati. Ia tidak ingin melontarkan kalimat itu. Ia tidak ingin kalimat itu membuat ayahnya berkata seperti yang lalu.
“Bagaimana pelajaranmu di akademi? Apakah profesor membimbingmu dengan baik? Atau mungkin aku harus mengganti professornya?” tanya ayah Airene.
Airene tersenyum kecut. “Tidak ayahanda, professor mengajarkanku denga baik. Ayahanda tak perlu membuang waktu untuk mencari professor yang lebih baik.”
“Perlu Airene! Kamu harus menjadi penerus Davion yang layak, siap dengan segala hal dan pantas untuk duduk di posisi ini. Bukankah itu janjimu dahulu?” Suara ayah Airene sedikit keras.
“Airene akan berusaha lebih baik, ayahanda!” Airene menunduk. Ia sangat ingat dengan janji yang ia ucapkan beberapa waktu yang lalu.
“Baguslah! Aku harap kamu tidak mengecewakanku nantinya!” Sang ayah mengambil kertas lain dari tumpukan dan mengamatinya dengan wajah serius.
Airene menautkan tangannya. Ia melirik tumpukan kertas yang tinggi hampir sama dengan tiga buah buku sejarah kerajaan. Sepertinya ayahnya sangat sibuk dengan kertas-kertas itu. Lalu Airene melirik wajah ayahnya. Dari jaraknya berdiri, ia bisa melihat sedikit lingkaran hitam di bawah mata ayahnya. Mungkin beberapa malam ayahnya kurang tidur.
“Um, ayahanda, mungkin ada yang bisa Airene bantu,” ucapnya pelan dan hati-hati.
“Tidak! Kamu belum siap untuk hal-hal seperti ini. Sebaiknya kamu kembali ke Robustiano, belajar atau baca buku yang mendukung pendidikanmu. Itu lebih berguna dari pada kamu menghabiskan waktu di sini!” tolak ayah Airene.
Airene menggigit bibir bawahnya. “Baiklah Ayahanda!” Ia memberi hormat dan mengundurkan diri. Ia kembali melewati lorong dan berjumpa dengan ibu tirinya. Beliau tidak memperhatikan Airene keluar dari rumah, bahkan ketika ia mendengar salam.
Airene kembali duduk di kereta kudanya. Ia meminta pelayan pribadinya untuk duduk bersama kusir. Ia ingin melewati waktu sendirian tanpa ada yang menatap keadaannya.
Kepala Airene disandarkan. Matanya terpejam. Ia kembali mengenang asal dari semua kejadian pertunangannya. Kedekatannya dengan Vincent adalah hal yang seharusnya tidak diketahui ayahnya. Sang ayah yang mengetahui dirinya begitu akrab dengan seorang putra mahkota bermaksud untuk menikahkannya dengan laki-laki, dengan kata lain menjadi putri mahkota. Pernikahan yang sangat menguntungkan bagi keluarga Davion itu sangatlah langka, terlebih ayahnya sangat yakin Vincent akan menyetujuinya. Namun Airene tidak pernah berkeinginan untuk menikahi laki-laki yang sudah dianggap sebagai kakak laki-laki. Lagi pula ia sudah menaruh rasa kepada Jastin Robustiano.
Selama beberapa waktu Airene bertarung untuk mematahkan ide ayahnya itu. Hingga akhirnya sebuah perjanjian terbentuk. Airene bisa mengejar laki-laki disukainya dan tidak menikah dengan Vincent dengan syarat bahwa ia harus menjadi penerus Davion yang pantas. Melihat kesempatan yang sangat langka itu, Airene menyetujuinya. Karena itulah, hari-hari Airene di akademi dilalui dengan pembelajaran sebagai penerus keluarga Davion.
Egois memang, tapi Airene ingin memperjuangkan cintanya. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan Jastin, Airene membuat pertunangan itu terjadi. Airene sadar bahwa perasaannya belum menjadi cinta yang sesungguhnya karena ia tidak memikirkan perasaan Jastin, namun ia pastikan bahwa pada akhirnya Jastin akan bahagia, bersama dirinya.
Mksh
Comment on chapter Pendahuluan