Jastin tengah bersantai di sebuah pohon ketika waktu istirahat. Setelah menghabiskan beberapa potong roti, ia merebahkan tubuhnya. Kedua tangannya ke atas menjadi tumpuan kepalanya. Angin nan lembut membelai wajahnya, hingga ujung rambutnya sedikit bergerak-gerak. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, demi melepas lelah yang terus menggantung di pundaknya.
Tiba-tiba Jastin membuka mata. Detik berikutnya kepalanya tertoleh bersamaan dengan tubuhnya yang tertangkat. Ada suatu perasaan aneh yang mengintainya. Seolah ada beberapa orang sedang mengawasinya. Jastin menatap sekitar bingung. Bukankah akademinya dijaga begitu ketat? Sebelah tangan Jastin ke belakang tubuhnya, bersiap menyentuh belati kecil yang sengaja dibawanya kemana-mana.
“Tetap siaga seperti biasanya, huh?”
Jastin terkejut. Ia berbalik ke belakang dan mendapati laki-laki berseragam lengkap dengan pedang di pinggangnya. Pengawal pangeran, kenal Jastin.
Selang beberapa detik setelah itu, Vincent berjalan mendekati Jastin. Langkahnya tegap, seolah menunjukkan posisinya sebagai putra mahkota.
Jastin segera berdiri dan menunduk untuk memberi hormat. Namun ia merasakan aura yang menekannya. “Yang Mulia,” ucapnya setelah memberi hormat.
Vincent melirik pengawal pribadinya. Ia memberi aba-aba agar laki-laki itu menjauh untuk sementara waktu. Vincent ingin berbicara serius dengan Jastin.
“Ada keperluan apa Yang Mulia datang menemui hamba?” tanya Jastin.
“Jangan biarkan Airene melakukan sumpah setia!” ucap Vincent.
Jastin mengerutkan dahinya. Ia teringat kejadian dua hari lalu, tentang Airene yang hampir saja berjanji nyawa kepadanya. “Dia tidak akan melakukannya.” Jastin memandang sisi lain sambil menyipitkan matanya.
“Satu hal lagi, kuharap kamu tidak mengikatnya hingga ia tidak bahagai. Lebih baik sedari awal selesaikan semuanya.” Suara Vincent terdengar begitu dingin. Ada rasa marah yang dipendam dalam setiap kata yang ia ucapkan.
“Yang Mulia, hamba tahu bahwa Nona Jastin disebut-sebut sebagai putri mahkota, calon ratu selanjutnya. Jadi, jika Yang Mulia adalah orang yang lebih tahu bagaimana mengakhiri ikatan ini. Hamba juga sebisa mungkin lebas dari semua ini,” balas Jastin tidak kalah.
Tangan Vincent mengepal. Ingin rasanya ia melayangkan pukulan ke wajah Jastin. Ia marah. Ia kesal. Tanpa Jastin ucapkan, ia sudah sangat ingin membawa Airene ke sisinya. Ia ingin mengikat gadis itu dengan ikatan yang paling kuat dan membuatnya menjadi penjaga paling setia Airene. Namun banyak hal yang tidak bisa Vincent langkahi. Ia tidak ingin merusak senyum cerah dan riang di wajah Airene.
Vincent menghela napas. Sakit di dadanya semakin menjadi ketika mendapati fakta bahwa dia bukanlah orang yang membuat Airene seperti itu. ia mendengkus. Rasa sakitnya berganti dengan rasa tidak terima Jastinlah orangnya. “Jika aku bisa, aku akan melakukannya,” tegasnya.
“Kenapa Yang Mulia tidak bisa melakukannya?”
“Kamu!” Vincent menyalang. “Apa kamu tega menghapus kebahagiaan di wajah Airene? Menyadari bahwa kamu orangnya sungguh membuatku muak!” aku Vincent.
“Maaf Yang Mulia,” ucap Jastin. Ia sudah menyadari sejak lama bahwa Vincent, Putra Mahkota Panthera menyukai Airene. Tidak heran jika laki-laki hebat seperti Vincent menaruh rasa kepada Airene yang juga sepadan dengannya. Dahulu Jastin sempat bingung ketika mengetahui bahwa Airene menyukainya dan ingin bertunangan dengannya.
“Aku memperhatikanmu!” Vincent berbalik meninggalkan Jastin.
Jastin menyugar rambutnya. Ucapan Vincent menandakan bahwa laki-laki itu tidak akan memutuskan pertunangannya, namun mengawasinya. Mungkin jika Jastin membuat Airene menangis atau hal lainnya, maka saat itu juga Vincent memberi hukuman kepadanya. Jastin merasa bahwa hari-harinya semakin berat. Beban di pundaknya terus bertambah.
Kenapa aku harus terlibat cinta saudara? Ah, tidak! Bahkan mereka tidak berbagi darah, tanya Jastin dalam hati.
Vincent mengambil kertas lainnya yang berisi laporan tentang keadaan beberapa wilayah di perbatasan. ia mengusap wajahnya ketika mendapati sesuatu yang salah. Beberapa penjabat daerah menaikkan pajak untuk kepentingan mereka.
“Mereka tidak akan jera, Yang Mulia. Meski satu tikus tertangkap, masih banyak tikus di luar sana yang masih mencuri.” Airene memasukkan sepotong kue kering ke dalam mulutnya.
“Lalu ada kelinci kecil yang sibuk memasukkan kue ke dalam mulutnya,” sambung Vincent yang dibalas kekehan Airene.
Airene menutup buku yang sudah dibacanya setengah. Ia berdiri dari sofa lalu menghampiri Vincent. Setelah memberi hormat ia berkata, “Mereka, tikus-tikus yang membuat rakyat menderita tiada habisnya jika hukum kerajaan ini masih longgar, Yang Mulia.” Airene menoleh memandang jauh ke jendela. “Hukuman dipenjara dan didenda bagi mereka adalah hukuman kecil. Karena setelah penjara dan denda selesai, mereka akan kembali melakukan aksi mereka. Mereka tidak akan pernah jera.” Tangan Airene mengepal. Ia pernah beberapa kali menyelinap ke daerah kumuh, di mana para penjabat daerahnya menarik pajak yang besar. Kala itu ia hampir memenggal kepala seorang penjabar di sana. Jika Vincent tidak cepat menghentikannya, mungkin Airene berakhir di dalam penjara, atau yang lebih parah, di tiang gantungan.
“Airene, tidak mudah untuk kita mengubah hukum seperti itu. Aku tahu bahwa hukuman yang pantas untuk tikus berengsek itu adalah kematian, dipenggal, atau digantung di alun-alun kota.” Vincent mengeluh. Sebagai seorang putra mahkota, ia tidak memiliki wewenang yang cukup tinggi dalam hukum kerajaan. Membuat sebuah hukum kerajaan membutuhkan proses yang panjang. Dan tentu saja juga harus melewati persetujuan para menteri, yang mana juga terlibat atas pajak tidak benar itu.
“Maka kita harus membuat alasan yang kuat atas keberadaan hukum tersebut.” Airene menyatukan tangannya. Detik berikutnya terdengar pintu diketuk. Pengawal pribadi Vincent segera berjalan dan membukanya. Airene kembali ke sofa dan membaca bukunya kembali.
“Yang Mulia, hamba datang membawa surat dan undangan!” lapor seorang pelayan.
Vincent melirik tumpukan kertas di belakang pelayan yang melapor itu. Ia mengusap wajahnya karena tahu isi tumpukan yang tiada habisnya itu. “Letakkan di sana,” perintahnya.
Sang pelayan berjalan ke meja yang berada tak jauh dari Airene. Setelah menyusun surat dan undangan, dua pelayan tersebut mengundurkan diri dari ruangan.
Airene mengintip Vincent dari balik bukunya yang terlihat frustasi. Ia semakin penasaran akan surat dan undangan yang baru saja datang itu. Undangan dan surat apa yang membuat Vincent frustasi bahkan tanpa membacanya.
Kenapa mereka tiada henti-hentinya? tanya Vincent sambil memejamkan mata.
“Wah, surat lamarannya semakin hari semakin banyak!” seru Airene. “Yang Mulia sungguh luar biasa!”
Vincent mengangkat kepalanya cepat. Ia segera berdiri dan merebut beberapa kertas di tangan Airene. “Jangan membacanya!”
“Kenapa Yang Mulia tidak menerima salah satu dari gadis-gadis cantik ini?” tanya Airene mengambil surat yang lain untuk dibacanya.
“Berhenti membacanya Airene!” kesal Vincent. “Ini perintah!” tambahnya. Seketika Airene menjatuhkan surat di tangannya. Ia berdiri tegap lalu memberi hormat, “Maafkan hamba Yang Mulia!”
Vincent berdecak. “Simpan semua surat ini!” perintahnya kepada pengawal pribadinya.
Airene kembali duduk di sofa, melanjutkan membaca bukunya. Vincent juga kembali ke kursinya, namun ia tidak berniat untuk membaca laporan lagi. Pandangannya tertuju kepada Airene. Ia menghela napas.
Ketukan pintu berikutnya membuat Vincent dan Airene menegakkan kepala. Keduanya sama-sama menatap pintu, seolah-olah akan ada hal yang mengejutkan.
“Yang Mulia, Nona Hortensia datang berkunjung!” lapor pelayan dari luar ruangan.
“Ya,” balas Vincent.
Pintu terbuka. Seorang gadis sepantaran Vincent melangkah masuk. Penampilan sedikit angkuh, khas seorang gadis bangsawan pada umumnya di mata Vincent.
Airene memiringkan kepalanya. Berita apa yang dibawa Hortensia yang sangat jarang berkunjung ke ruang kerja Vincent. Ia menegakkan kepalanya kembali tatkala Hortensia menatapnya.
“Yang Mulia,” hormat Hortensia lalu kembali menatap Airene.
“Kakak,” sapa Airene.
“Mengapa seorang perempuan terlalu sering bermain dengan laki-laki yang bukan tunangannya?” tanya Hortensia.
Airene terkejut. “Tapi kakak, aku—“
“Tetap saja Airene, dia adalah Yang Mulia.” Hortensia mendekat. “Dia tidak pernah berbagi darah denganmu, apa kamu ingin berselingkuh sebelum menikah?” bisiknya.
Airene menahan napas. Ia berjalan lalu menghadap Vincent. “Yang Mulia, saya mohon izin!” hormatnya lalu melangkah cepat keluar dari ruangan.
Vincent tercengang. Ia melirik Hortensia tajam setelah pintu ditutup kembali. “Sebenarnya apa tujuanmu, Hortensia?” tanyanya geram.
“Bukan apa-apa. Aku hanya meluruskan yang seharusnya. Yang Mulia, berhentilah mengejar Airene. Dia tidak akan pernah berada di sisi Yang Mulia.” Hortensi melangkah mendekat. Gerakannya dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat sangat anggun. “Namun aku bisa berada di sisi Yang Mulia,” tambahnya sambil menggenggam tangan Vincent yang berada di atas meja.
Mksh
Comment on chapter Pendahuluan