“Fufufu! Sepertinya takdir memberiku keuntungan besar! Pagi ini terlihat sangat indah!” ucap seorang gadis bergaun merah yang setengah berlari ke sebuah kamar di sudut berbeda. Wajahnya yang putih semakin berkilau tatkala diterpa cahaya matahari. Ujung gaunnya terus bergerak seiring langka kaki kecilnya. Berikutnya ketukan kecil dibuat oleh tangan mungilnya. “Tuan Jastin! Tuan tampan! Tuan gagah! Tuan menawan!” serunya seirama dengan ketukan.
“Ada apa?” tanya Jastin yang membuka pintu tiba-tiba, hingga gadis bergaun merah hampir memukul dada Jastin.
“Tuan Jastin sudah siap-siap? Yuk pergi sarapan!” Tanpa menunggu izin dari sang pemilik, gadis bernama Airene itu menggandeng lalu menarik Jastin keluar dari kamarnya.
“Tidak perlu ditarik-tarik!” protes Jastin sambil melepas tangan Airene. Ia menatap tajam gadis itu lalu berjalan mendahului menuju meja makan. “Kenapa dia harus pindah ke rumah ini!” gerutu Jastin sambil melirik gadis yang mengikutinya dari belakang.
“Karena aku adalah tunangan, Tuan Jastin yang Tampan, Gagah, dan Menawan!” seru Airene sambil tersenyum lebar. Ia juga menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga, seolah sedang menggoda laki-laki itu.
Jastin hanya menghembuskan napas kesal. Pagi buruk berikutnya, pikirnya.
Senandung kecil Airene menjadi penghias perjalanan keduanya hingga ruang makan. Bahkan di sela-sela senandung itu terdapat ucapan pujian untuk Jastin yang tidak jauh dari tampan, indah, gagah, menawan, dan hal lainnya. Sungguh, Jastin semakin sakit kepala mendengar semua hal itu.
Nyonya Robustiano sudah menunggu di meja makan. Wajahnya semakin berseri melihat anak dan calon menantunya datang bersamaan. “Kalian sangat mesra pagi ini!” pujinya.
“Tentu saja Ibunda. Aku dan Jastin akan selalu mesra hingga akhir hayat!” Airene duduk tepat di sebelah Jastin.
“Tidak mesra dan belum tentu!” jawab Jastin ketus.
“Jastin! Jaga ucapanmu!” hardik Nyonya Robustiano.
“Bukankah memang seperti itu?” Jastin memutar kepalanya menghadap Airene. “Meski seorang gadis yang memiliki status tertinggi untuk menjadi pasangan bertunangan denganku, tetap saja semua adalah paksaan!” Jastin menyipitkan matanya.
“JASTIN!” Kali ini suara Nyonya Robustiano terdengar menggelegar. Sebagai kepala keluarga bangsawan Robustiano, wanita yang melahirkan Jastin tidak senang. Apalagi ia sudah dengan susah payah mengusahakan pertunangan yang sejujurnya ditentang itu terjadi. Suatu kesempatan yang sangat langka bagi keluarga Robustiano.
Jastin menghela napas. Ia bertekad tidak akan meminta maaf, karena menurutnya tiada yang salah dari sikapnya. Jangan berharap lebih dariku Nona, betapapun agungnya dirimu, batin Jastin sambil memulai sarapan paginya.
“Ibunda minta maaf ya atas perkataan Jastin. Lain waktu, Ibunda akan mengajarkan Jastin untuk lebih sopan,” ujar Nyonya Robustiano.
Airene tertawa. “Tuan Jastin memang suka bercanda. Aku senang mendengarnya. Jangan merasa bersalah Ibunda.”
Jastin berdecak. Ingin rasanya ia membalas ucapan gadis di sebelahnya itu. Ia tidak habis pikir mengapa gadis itu berkata seperti itu. Ah, Jastin melupakan sesuatu. Airene cukup bodoh untuk tetap tersenyum dan tidak sakit hati di saat-saat seperti itu. Akhirnya Jastin memilih diam.
Kebungkaman Jastin berlanjut hingga perjalanan kereta kuda. Bahkan hingga akademi pun Jastin tetap tidak berkata meski Airene sudah berceloteh panjang lebar kepadanya. Jastin juga tidak melirik sedikitpun. Ia malah menatap keluar kereta kuda. Pemandangan terlihat lebih menarik baginya.
Sejujurnya bohong jika Airene tidak mengerti situasi dirinya setelah mendapatkan kode jelas dari Jastin. Mulanya ia berpikir, bahwa dengan memiliki latar belakang keluarga yang kuat, Jastin setidaknya bisa bersikap baik dan menghargainya. Tak mengapa bagi Airene jika Jastin belum membalas perasaannya. Semua adalah setelahnya. Namun ternyata, Jastin jauh lebih ketus sebelum mereka bertunangan. Bohong jika hati Airene tidak mendengar ucapan Jastin. Ia bahkan sering tersenyum paksa, setelah menelan ludah pahit.
Airene mengatupkan bibirnya. Sepertinya sudah cukup ia berceloteh panjang lebar kepada Jastin. Mungkin memandang wajah samping Jastin adalah pilihan terbaik. Berbicara dengan Jastin saat ini seolah Airene bertemu tembok kamarnya.
Airene menelan ludah. Sosok Jastin tampak begitu sempurna. Kulit yang tidak terlalu terang menghiasi sisi dirinya. Rambutnya yang lurus dan tidak terlalu panjang membuat wajahnya tegas. Pahatan hidungnya pas, seolah diciptakan hanya untuknya. Matanya yang tajam namun tenang adalah bagian favorit Airene, terutama warna abu-abu gelap yang menghanyutkannya dalam lautan rasa. Tampannya, puji Airene dalam hati.
Pikiran Airene berkelana ke masa lalu. Tanpa menolehkan kepala sedikitpun dari wajah samping Jastin, Airene mengingat kejadian masa lalu. Pertemuannya yang tergolong biasa namun terasa istimewa bagi Airene. Kala itu Airene kecil berlari menghindari dari kejaran Ibundanya namun terjatuh tatkala bertubrukan dengan anak laki-laki yang tak lain adalah Jastin.
Airene tiba-tiba terkekeh kecil, mengundang pandangan Jastin sebentar. “Tuan tahu, apa yang membuatku jatuh cinta? Adalah wajah sangar Tuan tatkala aku tak sengaja menubruk Tuan.”
“Terserah,” balas Jastin.
Kali ini Airene tertawa. “Bagimu, aku adalah setitik noda dalam ingatan. Namun bagiku, kamu adalah segumpal kenangan pembuat tawaku.” Airene tersenyum tatkala Jastin menatapnya setelah ia mengucapkan kalimat itu. Lalu ia menoleh ke sisi lain, menatap pemandangan di luar kereta, bersamaan dengan senandung kecil.
Jastin mendesah. Ia sangat bertanya-tanya mengapa gadis seperti Airene begitu memujanya. Ia sangat sadar bahwa penampilannya masih jauh kalah dari putra-putra bangsawan lain. Bahkan di sisi Airene sudah ada laki-laki tampan yang bagaikan kesatria bayangan gadis itu. Aneh baginya jika Airene jatuh cinta tatkala laki-laki sempurna berdiri di dekatnya. Bahkan gadis itu mampu menarik semua pelajar laki-laki di akademi tempat mereka menuntut ilmu.
Biasanya gadis sesempurna Airene akan memilih bersama dengan orang yang sesempurna seperti dirinya. Alasannya sederhana, menjaga kesempurnaan di dirinya. Mereka akan melakukan segala cara agar tetap berada di atas atau semakin naik ke atas. Pandangan bahwa sempurna akan menjadi sempurna adalah prinsip untuk menjaga status mereka. Sehingga banyak keluarga kerajaan menikah sesama keluarganya, selain saudara kandungnya demi menjaga status mereka. Lalu kenapa Airene berbelok arah dari kebiasaan itu?
Jastin tak menemukan alasan lain selain karena mencintainya. Alasan yang sangat picik sekaligus tidak masuk akal. “Aku jadi penasaran apa saja isi otakmu, Nona.”
Airene menoleh. Ia memutar bola mata, tampak berpikir keras. “Bagaimana membuatmu jatuh hati, satu, dua kali, hingga berkali-kali.” Airene memutar bola matanya lagi. “Lalu, wajah tampanmu, Tuan.” Ia memutarnya lagi.
“Berhenti berbicara, Nona, atau aku akan berhenti berbicara denganmu,” potong Jastin sebelum Airene mengucapkan sesuatu.
Mulut Airene sudah terbuka lebar, hendak menjawab apa yang ia pikirkan. Karena mendengar ancaman Jastin, ia merapatkan bibirnya cepat hingga menimbulkan suara. Kamu, kamu, dan kamu, ucapnya dalam hati. Perjalanan menuju akademi kembali hening. Sayup-sayup terdengar deru napas yang saling bersahutan, tapak kuda yang beradu dengan tanah, derikan kereta kayu dan suara-suara lainnya.
Mksh
Comment on chapter Pendahuluan