“Siapa dia?”
“Namanya Karla. Dia personil baru di geng kami.”
Aku membisu, sengaja membiarkan Nessa menjawab pertanyaan basa-basi yang diajukan cowok berkaos olahraga di hadapan kami sekaligus berusaha menyembunyikan keterkaguman yang melandaku.
“Oya?” Cowok itu memperlihatkan reaksi terkejut. “Tapi, dulu aku sempat dengar kalian nggak mau menambah personil lagi.”
“Memang benar. Tapi, Lou bilang dia ini pengecualian!”
Cowok itu lekas berpaling menatapku yang segera kubalas dengan senyum canggung. Aku bisa melihat jakunnya bergerak naik-turun dalam jarak sedekat ini. Hm, wajahnya tak asing. Aku merasa pernah bertemu dengannya di suatu tempat, tapi entahlah, aku lupa di mana tepatnya.
“Hai,”
Aku menengadah dan mendapati sepasang manik mata berwarna cokelat itu membalas tatapanku. Tubuh cowok ini menjulang tinggi. Mungkin yang paling tinggi dari semua murid laki-laki yang kulihat di SMA Garuda ini. Perkiraanku sekitar 180-an senti atau bisa juga lebih sedikit.
Sambil tersenyum dia mengulurkan tangannya. “Namaku Axel. Nice to meet you.”
Suaranya berat. Tapi sumpah, bukan itu yang membuat kakiku mendadak lemas, melainkan karena jemarinya yang mantap menggenggam tanganku ketika kami bersalaman. Setelah itu Axel berhenti bicara, kemudian memilih kembali bergabung dengan teman-temannya di lapangan basket.
Begitu saja.
Hanya “Hai,” dan “Nice to meet you,” yang dia lontarkan. Untuk sebuah basa-basi, bagiku ini terlalu singkat. Tapi tentu saja bukan salah Axel jika dia memilih enggan bicara panjang lebar dengan patung kuda nil sepertiku.
“Axel itu kapten tim basket kebanggaan sekolah kita. Kalo deket-deket sama dia bawaannya pasti adem, soalnya anaknya tenang banget. Nggak kayak anak basket kebanyakan yang sok playboy dan suka pecicilan nggak jelas.”
Aku mengikuti arah pandang Nessa ke tengah lapangan. Dia benar. Axel benar-benar tampan. Bahkan saat basah berkeringat seperti itu dia masih terlihat mengagumkan.
Aha. Sekarang aku ingat.
Sore itu aku terjebak hujan di depan sebuah toko roti selama hampir setengah jam. Aku tidak sendiri, ada dia. Maksudku, ada Axel di sebelahku. Berdiri bersandar pada dinding toko warna merah krem. Jaraknya hanya beberapa inci saja dariku. Aroma maskulinnya menguar dan tercium hidungku. Namun cowok itu terlalu sibuk dengan ponselnya, sehingga besar kemungkinan dia tak menyadari keberadaanku di dekatnya.
Saat itu aku diam kendati mataku tak berhenti mencuri pandang ke arahnya yang sedang berbicara dengan seseorang di ujung telepon. “Ayo, cepat sedikit! Aku masih ada urusan...” Suaranya yang berat mengandung ledakan frustrasi. Aku tidak heran jika Axel mengeluh seperti itu, sebab sepengetahuanku dia sudah menunggu lebih dari setengah jam.
Di saat yang sama, angin kencang disertai butir-butir hujan menyerbu, dan tahu-tahu saja bahunya sudah menyenggol bahuku tanpa sengaja. Terkesiap, bibirnya mengulas senyum samar sebagai isyarat permintaan maaf. Dia pasti syak karena mendapati seekor paus Orca terdampar di depan toko roti alih-alih di bibir pantai. Tapi aku ingat benar, detik itu jantungku berdegup kencang karena sorot matanya yang teduh.
Tak sepatah kata pun terlontar setelah itu. Dia membisu, aku pun sama saja. Mematung memandangi bulir-bulir hujan yang menetes dari ujung-ujung kanopi seperti orang kurang kerjaan. Satu hal yang kemudian kusadari bahwa senyum Axel memiliki potensi mengacaukan konsentrasi belajarku untuk beberapa minggu ke depan.
Kebisuan pecah oleh dering ponsel di saku Axel. Sempat kulihat dia mendesah jengkel, namun tetap patuh menjawab panggilan masuk tersebut. “Sudah nyampe mana?” ujarnya masih disertai nada frustrasi yang sedikit tertahan. Setelahnya aku tak lagi menyimak percakapannya, sebab perhatianku seutuhnya tersedot ke arah wajahnya yang rupawan.
Tak lama berselang sebuah sedan putih merapat, membuat genangan air di pinggir jalan yang berceruk ikut berkecipak sewaktu digilas rodanya. Senyum lebar segera menghiasi wajah Axel yang semula bete.
“Sori kelamaan, tadi ada razia di jalan,” seseorang berseru dari dalam mobil, yang tidak bisa kulihat jelas karena terhalang kaca jendelanya yang gelap.
“Alesan!” tukasnya. Tanpa melihatku, Axel bergegas menerobos butiran hujan lalu masuk mobil. Dan aku tetap berdiri di tempatku sambil memandangi mobil yang membawanya lenyap di tikungan jalan.
“Kar!”
Teguran Nessa membuatku tergagap-gagap. “Eh, oh, ng… ada apa?” gumamku bingung.
Nessa tertawa. “Axel effect.”
Jantungku berdegup. “Kamu bilang apa?” mataku terbelalak menatap Nessa, tidak mengerti arah pembicaraan cewek ini. Tapi tak ada tanggapan berarti darinya.
Lalu, setelah hening beberapa jenak kudengar dia mendesah. “Axel itu milik Lou. Kamu harus bisa jaga jarak dengannya, atau hidupmu bakal seperti di neraka.”
Lututku lemas seketika. Tapi buru-buru kujawab, “Tenang saja. Lagipula, Axel MANA MUNGKIN TERTARIK DENGAN GENTONG AIR!”
Nessa pun bungkam.
Tak dinyana aku justru menghabiskan tiga jam berikutnya di ruangan perpustakaan sembari mencuri pandang ke arah Axel lewat sela-sela tatanan buku yang melonggar di raknya. Kau tahu, aku begitu bersemangat berlari menuju perpustakaan yang berada di lantai dua usai mengetahui informasi penting bahwa Axel punya kebiasaan membaca buku di perpustakaan setelah bermain basket. Aku tak sempat lagi memikirkan hal lain selain memastikan informasi itu bukanlah hoaks.
Axel serius sekali membaca, dan aku tidak bosan mengawasinya dari bangku yang kududuki. Ah, dia begitu tenang menelusuri halaman demi halaman buku yang dia tangkupkan di satu tangan. Irama napasnya teratur ketimbang saat mengontrol bola di lapangan beberapa saat lalu. Rambutnya memantulkan cahaya matahari sore yang hangat di mataku. Ini pasti akan jadi gambar candid paling mengagumkan jika saja aku bisa membekukannya ke dalam foto untuk kusimpan sendiri di ponsel.
Bersambung...
PS: Jangan lupa vote dan comment yaaa...