Hai, kamu. Malam ini aku menyapamu. Lagi-lagi.
Serobek rupamu yang terselip di dompetku memang sehebat-hebatnya perayu. Menggodaku untuk berulang kali mengunjungimu. Terbang bersama rindu. Menuju bilik-bilik benakmu. Membawa hatiku yang ngilu. Karena lama tak disapa pelukmu.
Hai, kamu. Malam ini aku tak membawa oleh-oleh.
Aku tak membawa monopoli, sekotak martabak, atau tugas-tugas kuliah. Benda-benda yang dulu selalu ada. Yang jadi sejarah kebersamaan kita. Yang nama-namanya kini…memenuhi bait hymne berkabung yang kita nyanyikan.
Malam ini aku membawa perkakas lukis. Benda baru yang tak pernah ada dalam kenangan kita. Benda yang kuharap mampu melukiskan masa depan yang lebih baik untuk kita. Bukan benda yang hanya mampu menggurat luka lama. Janjiku, aku akan melukis lagi semuanya. Semua tentang kita. Kita yang berdua. Yang bersama. Yang bahagia. Janjiku, aku akan terus melukis. Sampai rentang di antara kita tak lagi tersisa. Hingga kita tak lagi berjarak.
Pertama-tama, kuserut pensil benakku. Mencoba tajamkan ingatan tentangmu. Kemudian mulai kugambar sketsa. Kilasan-kilasan yang mengawali semua. Tentang aku dan kamu. Lalu, kumulai ambil cat-catku. Ada beraneka warna. Ada yang berwarna senyum, canda, perih, hingga duka. Sesaat aku berpikir. Kemudian memutuskan tuk menyatukan segala warna. Dan terbentuklah sebuah warna terindah. Warna cinta.
Hatiku pun bersorak ria. Melukis dengan kuas rindu yang berbalurkan CINTA. Dan semuanya pun kembali jelas. Tergambar sempurna. Ada aku yang menyelipkan edelweis di telingamu. Ada kamu yang mengecup pipiku mesra. Ada kita yang berbaring di atas singgasana dunia. Berselimut angkasa. Didekap bintang-bintang yang menjadi candu kita.
Hai, kamu. Malam ini aku sudah melukiskan semuanya. Semua yang selama ini menjadi gambaran usang buat kita. Lihatlah, kenangan ini kembali berwarna. Kenangan ini sudah bukan lagi kenangan. Masa-masa itu sudah diperbaiki seperti semula.
Ini, kugenggamkan lukisan ini padamu. Lukisan dari segenap cintaku. Kamu pun tersenyum. Menerima lukisan itu dengan tangan terbuka. Lalu menggenggamnya erat. Barangkali berharap takkan membiarkannya lepas lagi dari hidupmu. Kemudian semuanya terjadi. Kanvas lukisan kita hancur seketika. Menyerpih jatuh ke atas tanah. Menyatu dengan bumi yang langsung menguburnya. Kamu pun menggeleng. Berjalan menjauh. Memudar dari anganku. Meninggalkan lukisanmu yang selama ini tergantung di dinding otakku.
Hai, kamu. Malam ini aku menyadari kesalahanku. Aku memang punya perkakas lukis kenangan yang hebat. Aku dapat melukis semua masa lalu kita, dan membuatnya tampak seperti masa kini. Aku dapat melukis sebuah realita indah dari segores imajinasi. Namun aku lupa. Aku tak dapat melukis waktu. Sekian lama waktu terbuang rupanya mengusangkan kanvas duniaku. Duniamu. Dunia kita. Waktu-waktu yang terbuang karena bimbangku. Kini saat semuanya kusesali, masa telah menggerogoti kita. Melapukkan kenangan indah yang pernah menghiasi lukisan kita berdua. Meninggalkan serpihan hati yang tak lagi dapat kita satukan.
Owhhh... Aku lebih ke seni kehidupan. Hanya konotasi tidak ada unsur seni real... Ceritanya sangat dalamnya. Benar benar Kebahagiaan yang menyakitkannnn... 😢😭😭
Comment on chapter 1. Kamu dan Perkakas Lukis