"Aku minta maaf." Timpal Anung memecah hening. Lima menit berlalu beku setelah sebelumnya Anung memaksa Asih menerima dokumen yang telah dia bawa. Pertemuan mereka bukan tanpa arti. Telah lama Anung menanti hanya demi menemui Asih. Asih kerap kali berkelit menolak ajakan Anung. Alasannya beragam, mulai dari pekerjaan yang membuat Asih sulit mendapatkan libur, terlalu lelah sepulang bekerja, punya rencana mengunjungi kakaknya, tamasya dengan pacar barunya, hingga membatalkan pertemuan secara sepihak di hari yang sudah disepakati karena demam. Alasan yang masuk akal bagi Anung hingga dia terlihat bodoh dan mudah dibohongi. Siapapun tau bahwa yang dilakukan Asih hanya sebuah intrik agar mereka tidak bertemu. Namun Anung hanya menganggap Tuhan belum menakdirkan mereka untuk bersua.
Mendengar permintaan maaf tersebut Asih hanya diam. Ada sesuatu yang tertahan di hatinya. Meski dorongan untuk menumpahkan semua bagai gunung merapi aktif yang kapan saja bisa menyemburkan abu vulkanik, wedus gembel, hingga lahar yang mampu membakar apapun. Namun semua kegamangan tersebut sama sekali tak terlukis di wajah Asih. Sorot matanya tetap tajam. Membuat suasana jadi sedingin musim penghujan di bulan Desember.
Anung mulai menatap Asih. Melihat air muka yang tidak berubah sejak lima belas menit pertemuan mereka membuat Anung sadar. Apapun yang dikatakannya tidak akan meluluhkan hati gadis duduk di sebelahnya.
"Aku mohon untuk yang terakhir kali. Terima itu. Aku janji ngga akan mengganggu kamu lagi setelahnya." Bujuk Anung dengan wajah memelas.
"Yaudah aku terima. Tapi aku ngga akan simpan ini." Kata Asih tegas. "Aku akan menjual perhiasan pemberian kamu dan menyumbangkannya ke masjid atau ke orang yang lebih membutuhkan."
Mendengar usul Asih, Anung sumringah. Senyum menggantung di wajah kusut tersebut. Senyum yang memperindah penampakannya karena Insomnia yang diderita enam bulan terakhir.
"Ngga apa-apa, Sih. Setidaknya jadi lebih bermanfaat." Jawab Anung.
"Berarti sepakat ya? Aku ngga mau di kemudian hari ada yang menuntut aku untuk mengembalikan ini semua."
"Aku jamin dari pihak keluargaku ngga akan ada yang mengganggu kenyamanan kamu setelah ini."
Suara klakson mobil memecah suasana. Bersumber dari Honda Jazz berwarna merah yang terparkir lima puluh meter dari tempat mereka duduk. Mereka menoleh ke sumber suara. Tidak butuh waktu lama bagi Asih untuk mengenali kendaraan tersebut. Dengan melihat nomor kendaraan yang berujung huruf INP, Asih tau bahwa itu adalah kendaraan yang kini menggantikan motor tua milik Anung di tempat penjemputan biasa Anung menunggu Asih.
Asih segera berdiri dan mengucapkan selamat tinggal pada Anung. Pandan di sisi jalan setapak seolah tau perasaan mereka berdua, menunduk layu lemas tak berdaya. Hanya punggung Asih yang tersisa, yang entah kapan dapat dilihat lagi. Punggung yang kini menghilang dibalik pintu mobil. Meski Asih undur diri tanpa memperlihatkan wajah. Namun Anung memberikan senyum termanis sebagai hadiah perpisahan mereka. Anung tidak perduli apakah senyum tersebut hanya dilihat oleh semut yang merubungi tulang sisa sarapan orang di tanah, atau sekedar menjadi tontonan aneh bagi tawon yang mencari madu dari balik bunga yang telah menguncup. Anung masih tetap tersenyum. Bermodalkan harapan bahwa di balik kaca mobil tersebut Asih menoleh kearahnya. Mobil itu kini bergerak meninggalkan Anung dan senyum palsunya.
*
Melihat gelagat wanita di sebelahnya tidak biasa, Rizal gusar. Ingin hati mengajaknya berdialog, memecah kebekuan yang terjadi. Seratus pertanyaan untuk memulai percakapan telah disiapkan. Namun faktanya terlalu banyak pertanyaan di benak Rizal yang membuat dirinya bingung memilih salah satu di antara pertanyaan tersebut. Keringat mengalir dari kening Rizal seolah AC di mobil tersebut tidak bekerja meski diputar ke nomot tiga.
"Zal. ACnya kecilin ya. Dingin banget." Pinta Asih.
Segera Rizal mengecilkan nomor pada tuas pendingin di mobil tersebut. Tidak seperti Asih yang beku sejak bertemu dengan Anung. Raut wajah Rizal seperti orang dikelilingi api yang membakar diri. Wajahnya pucat, keringat menjalar bagai rembesan pipa saluran air berlubang mikron tak kasat mata.
"Itu amplop apa, Sayang?" tanya Rizal setelah melihat amplop cokelat bertali yang dibawa Asih. Mencoba untuk mencairkan suasana.
Asih masih diam. Matanya terpaku menatap jalan di depannya. Pandangannya kosong, persis seperti orang yang sedang terhypnosis ditelevisi. Mungki hanya Tuhan yang tau apa yang terjadi kepada Asih. Suasana mobil hening. Menyisakan desingan mesin mobil yang berpacu kala pedal gas yang diinjak. Merasa kalah dengan keadaan, Rizal berpikir usaha apapun yang dilakukan tidak akan ada gunanya. Tangannya meraih tombol radio dan memutar tuas volume untuk menyesuaikan suara. Sekedar menenangkan kalut batinnya.
Asih masih berkutat dengan pikirannya. Bayang Anung kini perputar tepat di kepala. Dari paras hingga perangai tidak ada yang berubah. Kecuali tubuh yang menciut dan kulit yang lebih bersih. Untuk sesaat Asih menoleh ke arah kursi pengemudi. Di sana terlihat Rizal yang sedang menikmati lagu berjudul Reason yang dibawakan grup band Hobastank. Nampak dari air mukanya Rizal berusaha keras menikmati perjalanan sambil menguapkan canggung di benaknya.
"Zal. Kamu tau tadi aku ketemu siapa?" Tanya Asih membuka obrolan.
"Eh? Iya. Kenapa, Sayang?" Rizal yang sedari tadi fokus pada jalan dan musik. Terkejut karena senang dengan suara Asih yang memecah konsentrasi. Radio yang sedari tadi memecah hening dipadamkan.
"Ih, Kamu! Tau ah!" Ucap Asih merajuk.
"Maaf, Sayang. Kan aku lagi nyetir." Kata Rizal bingung.
"Kamu tau tadi aku ketemuan sama siapa?" Tanya Asih mengulangi pertanyaan dengan nada diperbesar.
"Tau ko. Anung kan?"
"Iya aku ketemuan sama Anung tadi. Kamu tau ngga apa yang dia kasih ke aku?" Tanya Asih lagi sambil memperlihatkan amplop yang ada di tangannya.
"Ngga tau. Emang itu apa?" Tanya Rizal penasaran.
"Ini surat perhiasan yang pernah Anung kasih ke aku dulu." Jelas Asih.
"Terus?"
Waktu yang didamba Rizal akhirnya tiba, Asih menceritakan pertemuan singkatnya dengan Anung. Mereka yang tidak membicarakan masalalu, mereka yang memperdebatkan perlu atau tidaknya dokumen itu diserahkan kepada Asih dan kesepakatan merekalah yang akhirnya menjadi jalan keluar terbaik.
"Oooowh. Jadi sekarang kamu mau jual perhiasan pemberian Anung dan hasil penjualannya mau disumbangkan?" Respon Rizal sambil menganggukan kepala.
"Kamu ngga cemburu kan?" Tanya Asih takut-takut Rizal marah.
"Kenapa harus cemburu?" Tanya Rizal balik. Hening kembali datang sesaat. "Kamu kan udah jujur. Kenapa aku harus cemburu? Aku percaya Anung cuma masalalu kamu. Aku juga percaya kamu bukan wanita yang mudah terjebak nostalgia cuma gara-gara ketemu mantan selama seperempat jam. Lagipula bukannya kita harus bisa fokus pada prioritas dan masa depan?." sambil mengusap kepala Asih lembut.
Asih hanya diam, untuk kemudian meletakkan kepalanya ke pundak Rizal. Air mukanya masih menyisakan misteri. Seperti ada yang mengganjal. Mendengar pernyataan Rizal yang diluar bayangannya, rasa bersalah mengepung dada. Badaipun kini berkecamuk di kepala Asih.
"Aku sayang kamu." Kata Rizal sambil mengecup kening Asih.
Maafkan aku, Zal. Tangis Asih dalam hati.
Mobil mendarat sempurna di depan pagar rumah Asih. Langit mulai berubah perlahan seolah mewakili perasaannya. Awan hitam menggulung di langit biru. Perlahan menyebar dan halangi surya sinari bumi. Menciptakan abu-abu di langit.
Melihat air muka kekasihnya, Rizal paham dengan situasi yang terjadi. Berangsur pamit dan menolak tawaran untuk sekedar menyeruput teh manis yang sudah menjadi kebiasaan Asih saat menjamu tamu.
Sesaat obrolan ringan berakhir. Mobil Rizal meninggalkan rumah Asih perlahan. Menghilang di kelokan.
Langkah Asih gontai. Tubuhnya lemas. Hanya salam yang mampu terucap dari lisan Asih. Mengecup punggung tangan wanita yang paling dia cintai. Meski keriput dan dingin berbau detergen. Asih percaya karena tangan itulah ia tumbuh dewasa. Karena tangan itu pulalah ia menjadi wanita cantik yang paham dunia dan seisinya. Bahkan jika bukan karena wanita tersebut, Asih mungkin tidak pernah sanggup menahan getirnya kehilangan lelaki yang telah menemaninya lima tahun belakangan. Dialah Nurma, Nenek Asih tercinta.
Kamar terasa lengang. Kesunyian ini seolah istana bagi Asih. Istana tempat Asih memerintahkan seluruh penduduk bonekanya tertib di pinggir Kasur dan menghiasi kamar. Tempat Asih terbebas untuk menjadi dirinya sendiri. Meluapkan apa yang ada di hati dan pikirannya. Asih memerintahkan tape memainkan musik favoritnya dengan menekan remote yang ada di tangannya. Lagu Aku tenang karya Fourtwenty menggema keras di sana. Cukup untuk menutupi isak yang pecah. Mendekap erat kotak berwarna abu-abu berpita biru yang dikeluarkan dari emari pakaian.
Masih dalam isak segala sesal keluar. Asih mulai merancu. Seandainya dia mampu membendung keegoisan Ayahnya mungkin hari ini tidak akan pernah ada. Mungkin di ranjang itu kini dia dan Anung menyerahkan diri pada cinta yang selalu didamba. Saling memuji dan memberikan semangat demi kelancaran hari kemudian.
*
Sepuluh bulan lalu
"Emang kamu udah siap dipinang?" Tanya Mamah Asih kepadanya yang kini memendamkan wajahnya di bantal. Malu-malu Asih menjawab dan hanya terwakili dengan anggukan kepala.
"Kalo diajak ngomong itu bangun. Bukan tiduran buang muka ke bantal! Ngga sopan banget sama orang tua!" seru Ayah Asih marah.
Bagaimana tidak? Percakapan yang seharusnya dilakukan secara serius bagai sidang paripurna, menjadi tidak oleh tingkah Asih yang tak terkendali.
Asih yang sejak datang bertingkah normal, berubah gugup saat Sang Ayah menanyakan keberadaan Anung yang tidak mengantarnya seperti biasa. Dengan memberikan alasan logis bahwa Anung sedang lembur kerja ternyata tidak cukup menghentikan berondongan pertanyaan Ayah dan Ibu Asih dengan pertanyaan tentang Anung. Segala hal tentang Anung dipertanyakan mereka berdua dengan serius. Bahkan terlalu serius bagi Asih. Mengingat ayahnya adalah tipikan orang yang sangat jarang bersikap seperti itu. Hingga pada pertanyaan yang membuat air wajahnya berubah. Membuat rona muncul di kedua bulatan pipinya. Kesiapannya menjadi istri.
"Abis Ayah tumben ih. Ngga biasanya banget serius kaya gitu." Keluh Asih terhadap Ayahnya.
"Bukan begitu, Asih. Kamu sudah dewasa setidaknya kamu harus tau bagaimana caranya bicara serius dengan orang tua." Timpal Ayahnya.
"Sudah, Yah. Ngga perlu dipermasalahkan. Namanya juga anak perawan, wajar kalau sikapnya seperti itu." Potong Ibu Asih menengahi. "Jadi kamu gimana, Sih? Sudah siap memangnya jadi Istri?"
"Siap, Bu. Sejak Anung dan keluarganya ke sinipun Asih sudah siap lahir batin." Jelas Asih sambil memperbaiki posisinya. "Tapi kan sebelumnya Ayah sama Ibu bilang kami harus ngalah buat Bang Zul."
"Iya lah harus ngalah. Kamu mau Abangmu jadi perjaka tua?" Jawab Ayah Asih.
"Tapi kan kami udah nunda rencana dua kali, Yah. Masa mau ditunda lagi?" sambut Asih. Ibu Asih yang kini sibuk menenangkan Adik Asih yang merengek minta susu, meninggalkan mereka berdua dalam percakapan.
"Yaudah kalo kamu mau disegerakan. Sudah siap dana belum?" Tanya Ayah Asih.
"Nah ini yang mau dibicarain sebenarnya. Ayah udah itung-itungan belum sama Ibu berapa kebutuhan mengadakan resepsi di sini?"
"Belum lah." Jawab Ayah Asih. "Kamu aja baru ke sini sekarang. Gimana caranya Ayah tau kamu dan Anung siap berumah tangga?"
"Aku sama Anung sih maunya bulan syawal ini, Yah." Kata Asih sambil menunukkan kepala.
Mendengar pernyataan tersebut Ayah Asih tak bersuara. Mulutnya komat kamit sambil menatap jari seolah sedang menghitung sesuatu. Entah apapun yang dihitung Ayah Asih, namun hal tersebut berlangsung selama tiga menit. Menyisakan hening dan tangis rengek Adik Asih yang belum mendapatkan keinginannya.
"Kalau begitu kita bicarakan lagi setelah Ayah menghitung biaya yang diperlukan bersama Ibumu. Dua minggu lagi suruh Anung kemari." Ucap Ayah Asih setelah berhenti mehitung jari. "Bilang kepada Anung untuk bersiap-siap, karena kamu perawan Ayah satu-satunya, Ayah ngga mau malu dihadapan saudara kita yang banyak."
Mendengar ucapan tersebut Asih paham bahwa banyak mulut yang harus disumpal makanan enak. Banyak mata yang harus dimanjakan dekorasi mewah. Banyak telinga yang harus dibuat segan dengan alunan musik dangdut lawas terbaik. Serta banyak dengki yang harus kalah dengan kebanggaan. Membuat Asih lemas dan tak dapat berkata apapun.
*
Cicak yang hinggap tak akan paham apa yang dirasakan Asih. Yang dia tau hanyalah santap siang lezat sedang menari menunggu untuk ditangkap dengan satu juluran lidah. Iringan lagu Pamit dari Tulus menemani Asih. Hujan di luar menjadi sangat deras. Alam seolah tau bagaimana perasaan Asih kala itu. Dibuka kotak yang berada dalam dekapannya. Ada banyak barang tergeletak dalam kotak tersebut. Potret Anung dan Asih dengan bingkai bunga yang terbuat dari kertas berwarna merah muda menghiasi bagian dalam tutup kotak tersebut. Terdapat berbagai barang di dalamnya. Ada kotak berwarna biru dengan pinggiran berwarna emas berbentuk hati yang berisikan perhiasan pemberian Anung saat mereka bertunangan, surat-surat terlipat berisikan puisi Anung yang tercipta hanya untuknya seorang, dan beberapa potret yang menggambarkan kebahagia mereka berdua kala bersama. Diantaranya ada yang menangkap moment saat Anung membantu Asih melayani tamu kala menjadi pagar ayu di pernikahan sepupu, Anung sedang asik sendiri dengan smartphone saat bermain game meski dirangkul untuk swafoto, ada pula potret mereka sedang duduk di ruang tamu rumah nenek Asih.
Dari semua potret di sana, yang paling membuat hati Asih teriris adalah potret ketika Asih menaiki Ayunan dan Anung yang mendorong. Wajah mereka dalam gambar tersebut sangat berbahagia. Seolah kumbang bertemu kembang. Pemabuk bertemu anggur terbaik. Dan manusia lelah bertemu ranjang. Begitu sumringah senyum yang terlukis.
Sungai kecil mengalir di pipi Asih untuk yang kesekian kalinya. Hati Asih semakin goyah, gundah. Dikerubungi sesal dan marah pada diri sendiri. Menyingkirkan kotak di hadapannya dengan satu hempasan, mencoba tidak perduli meski isinya berceceran di lantai kamar. Mendekap guling dan memendamkan diri sekali lagi.
Maafkan aku Anung. Hanya itu yang Asih katakan dalam gumam pelan hampir tak terdengar.
.
.
.
Bersambung.
ceritanya menarik.
Comment on chapter PADAM : Jumpa Usai Luka