Yang pertama kali dilihat Dio adalah langit-langit putih.
Kemudian—
“Iblis!”
Dio bergerak mundur secara refleks sampai belakang kepalanya terantuk kepala ranjang.
Untuk sesaat dunia seperti berputar. Dio mengerjap-ngerjap sambil meringis. Tangannya meraba bagian yang berdenyut. —Perban?
Sementara rasa sakit mereda menjadi nyeri tumpul, suara tawa yang familiar terdengar di dekatnya.
“Diam kamu, Ken Ratu! Kamu pikir ini lucu?!”
“Iya… ahahaha… abis… abis Bapak… hahahaha… Bapak ngapain ngelongok-longok gitu hahahahah...”
“Dasar anak tidak sopan kamu ya. Nanti kamu lari keliling lapangan dua kali lebih banyak!”
“Ehh jangan dong Pak!”
Dio pernah memikirkan seperti apa rasanya kalau dia harus dirawat di rumah sakit, tapi ditunggui seorang mantan preman dengan seorang (yang mirip) mafia jelas di luar imajinasinya.
Tiba-tiba gorden di sekitar ranjang disibak dan seorang dokter wanita masuk.
“Oh, sudah bangun,” katanya ketika melihat Dio duduk sambil cemberut. “Ada yang sakit? Maaf ya...” Dokter meletakkan tangannya di dahi Dio selama dua detik. “Nggak demam. Penglihatan jelas? Nggak berkunang-kunang?”
Dio menggeleng.
“Nggak ada yang sakit? Nggak pusing?”
Menggeleng lagi.
“Bisa ikuti pulpen saya?” Dokter menggerakkan pulpennya ke kiri dan ke kanan. Dio mengikutinya.
“Bisa langsung pulang, Dok?” tanya Bos.
“Sebentar, biar kita observasi dulu satu malam ya. Kalau besok nggak ada apa-apa, bisa langsung pulang.”
Bos mengangguk muram.
“Dan tolong jangan terlalu ribut ya, ada pasien-pasien lain di sebelah.”
Kemudian dokter pergi.
“Jadi, gue kenapa?” tanya Dio, memilih menatap Ken daripada Bos. Pelipis Ken diplester, tetapi selain itu dia tidak kelihatan seperti baru habis menghabisi segerombolan preman. Bahkan baju seragamnya tidak terlihat begitu kusut.
“Tiga jahitan,” Ken menuding ke kepala Dio dengan dagunya.
Tangan Dio spontan melayang ke arah yang ditunjukkan. Perban empuk menutupi bagian yang terasa cukup perih.
“Terus kamu tadi pingsan.”
“Sekarang jam berapa?”
“Jam tujuh,” kata Bos. “Nah, saya sudah telepon orang tua kamu.”
“Apa?!” seru Dio.
Bos kelihatan bete. “Saya sudah telepon orang tua kamu!”
“Iya, saya denger. Tadi itu retoris, Pak.”
Dio yakin, kalau mereka sedang ada di lapangan, Bos akan langsung menyuruhnya lari.
“Nah, mereka bilang maaf mereka belum bisa segera pulang. Tapi paling lama akhir pekan ini sudah di sini.”
Dio mendecakkan lidah.
Tiba-tiba Bos meletakkan tangannya di pundak Dio. “Iya, saya mengerti. Nah, kamu sabar ya. Saya temenin sampe besok.”
Dio spontan terbelalak.
“Ehh, nggak usah, Pak!”
“Tidak apa-apa, kamu kan pasti kesepian sendirian di rumah sakit.”
Ken mendengus, menahan tawa. Sepertinya Bos salah memahami reaksi Dio tentang orang tuanya tidak bisa segera pulang.
“Nggak Pak, sendiri juga nggak apa-apa.”
Bos kelihatan sangsi. “Ah yang betul?”
“Iya, Pak. Paling juga semaleman saya tidur.”
“Saya aja yang nungguin Pak,” celetuk Ken.
“Elo juga pulang sana!” hardik Dio spontan. Ken mendesis.
“Nah, ya sudah kalau begitu,” kata Bos, memindahkan tangannya ke pundak Ken. “Ken Ratu, ayo pulang!”
“Bapak duluan aja,” kata Ken, jelas kelihatan enggan jalan berdua dengan wali kelas (yang mirip) mafia itu.
Bos menatap Ken dengan pandangan menyipit.
Ken balas menatap Bos dengan canggung.
Tiba-tiba wajah Bos menunjukkan kepahaman.
“Ya, ya, ya,” gumamnya, kepada diri sendiri. “Nah, kalau begitu saya duluan. Kalian jangan terlalu ribut ya! Dan cepat pulang, sudah malam ini!”
“Siap Pak, segera Pak!”
Kemudian Bos meninggalkan mereka.
“Apa sih dia ngangguk-ngangguk gitu?” bisik Ken. “Bikin perasaanku nggak enak.”
“Lo nanya gue?” kata Dio datar. “Trus, kenapa lo nggak cepet pulang? Gue kan harus istirahat.”
Ken hanya duduk di kursi yang tersedia dengan santai. “Tunggu lima menit doang. Aku nggak mau bareng-bareng dia. Hihh...”
“Eh, dia gitu-gitu juga wali kelas lo.”
“Wali kelas kamu juga.”
“So?”
“Ya aku nggak mau aja deket-deket dia. Serem.”
Dio spontan tertawa. “Lo takut sama Bos? Lebih takut mana sama Safira Brahmadibrata?”
Ken menatap langit-langit sambil menggaruk dagu.
“Bos… kali ya?”
Sejujurnya Dio tidak mengantisipasi jawaban Ken.
“Wah? Kok bisa?”
Ken celingukan seperti maling takut ketahuan. “Senggaknya neneknya Nadia nggak bisa ngurang-ngurangin nilai aku!”
Untuk kedua kalinya Dio tidak bisa menahan tawa.
Namun, dia langsung berhenti melihat tatapan Ken. Ekspresi wajahnya nampak sendu.
“Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?”
Ken menggeleng. “Aku nggak ngira aja kamu masih bisa ketawa lepas kayak gitu.”
“Lo pikir gue apaan?” Dio langsung menukas.
Ken mengangkat bahu.
Dio memandang berkeliling, dan menemukan benda yang dicarinya terpasang di atas kepalanya. Ditekannya tombol saklar sehingga lampu biliknya padam. Siluet dari bilik-bilik sebelah terlihat bergerak-gerak di balik tirai.
“Loh, kok dimatiin?” tanya Ken.
“Kan gue mau tidur.”
“Eh bentar dong, jangan tidur dulu. Masa aku nunggu sambil liatin kamu tidur?”
“Terus? Bukan lo yang baru dapet tiga jahitan di kepala kan?” Sementara berkata begitu, Dio merasa sisi kepalanya berdenyut.
“Ya… enggak sih...”
“Ya udah.”
Dio menarik selimutnya sampai menutupi dada.
“Eh bentar, dong, jangan tidur dulu. Emang kamu udah ngantuk?”
“Gue ngantuk ngeliatin muka lo.”
“Mukaku menenangkan ya?”
“Cuih!”
“Muncratt!”
“Salah sendiri ngomong nggak pake akal.”
“Ehh sialan… kalo kita lagi nggak di rumah sakit, aku kemplang kamu sampe empang!”
“Lo mau nyari empang dimana?”
“Aku gali dulu biar bisa nyeburin kamu!”
“Niat banget!”
“Kalo buat kamu emang harus niat!”
“Wah, gue sangat tersentuh. Yaudah lo gali empang dulu sana dan biarin gue tidur.”
“Ehhhh jangan tidur dulu dong!”
Terdengar suara cekikikan tertahan dari bilik sebelah. Dio mendesah. Bikin malu aja.
“Turunin volume suara lo. Toa banget sih...”
Ken mengangkat kedua tangannya sebagai gestur minta maaf.
“Jadi?”
Ken mengerjap. “Jadi apanya?”
“Lo bilang gue jangan tidur. Trus ngapain dong gue? Ngelamunin cara nyemplungin lo ke empang? Ngomong, buruan!”
Bola mata Ken bergulir ke kanan. “Ngomong apa?”
“Apa kek. Gimana kalo soal preman-preman tadi? Lo ada masalah apa sama mereka?”
Giliran Ken yang mendesah.
“Nggak tau, sumpah! Aku nggak pernah ketemu mereka!”
“Jadi maksudnya lo difitnah?”
Ken mengacak rambutnya sendiri. “Iya kali ya? Tapi kenapa?”
“Menurut lo mereka anak Kobra Hitam?”
“Uuuuu...” Ken mengacak rambutnya semakin keras. “Mungkin ya. Mungkin juga enggak.”
Dio berhenti bicara, memerhatikan gerak-gerik Ken. Selesai membuat rambutnya berantakan seperti dalam iklan sampo, Ken bertopang dagu ke punggung tangan, alisnya bertaut dan bibirnya cemberut.
“Ada hubungannya sama Kubu?” tanya Dio.
“Hngggg… entah...”
Kubu (singkatan Kutu Kelabu—iya, memang tidak nyeni kalau dibandingkan dengan Kobra Hitam atau Penyu Hijau) adalah geng yang dipimpin Ken di SMP dulu. Dio tidak tahu bagaimana persisnya Ken didaulat jadi ketua geng itu, tapi yang dia tahu benar semuanya gara-gara kebetulan. Kalau tidak salah, Ken dicegat geng itu untuk diisengin, tapi akhirnya malah balik menghajar ketua mereka dan secara otomatis merebut jabatan itu. Gara-gara geng itu, walaupun tidak banyak berulah, Ken jadi sering dipanggil ke ruang BK. Dia juga jadi banyak bentrok dengan anggota Komdis, salah satu divisi OSIS yang tugasnya jadi kuli razia.
Dio tiba-tiba teringat.
“Si Rena anak Komdis ya?” ujarnya.
“Hng?”
“Sepupunya Nadia, yang kemaren histeris liat lo.”
“Bukannya dia ngejerit karena ngeliat kamu?”
Dio menggaruk hidung. “Oh iya, bener juga.”
“Kenapa dia?”
“Dia anak Komdis, yang demen ngerazia anak-anak bermasalah kayak lo.”
“Aku nggak bermasalah!”
“Pantesan dia sakit hati lo nggak inget dia. Kalian pasti udah sering banget ketemu di ruang BK. Udah gitu, lo malah lupa.”
Wajah Ken kelihatan bersemu merah bahkan di tengah-tengah cahaya temaram seperti sekarang.
“Yaaaa… ngapain kan aku nginget-nginget orang yang kerjanya nyatetin pelanggaran yang ngomong-ngomong bukan aku pelakunya?”
Dio terkekeh.
“Nggak usah ngetawain aku!”
“Geer amat lo… gue ketawa sendiri juga.”
Ken berpose sok mikir. “Kayaknya pukulan tadi sore bikin otak kamu geser ya?”
“Cari hinaan yang kreatif dikit dong, Ken.”
“Kamu tuh kalo nggak bisa ngebales langsung berkelit gitu ya.”
“Sialan, kok gue jadi merasa diremehkan?”
“Lah, baru sadar?”
“Yaudah pulang lo sana, udah lebih dari lima menit!”
Ken meleletkan lidah.
“Pelit! Baru dua menit tau!”
“Lo beneran nge-stopwatch?”
“Enggak sih...”
Dio melipat lengan, memerhatikan Ken dengan lebih seksama. Sebenarnya dia memang tidak ngantuk-ngantuk amat… tapi terus dia harus ngapain? Kenapa pula Ken berkeras ingin tinggal? Kalau memang hanya karena tidak ingin bareng-bareng Bos, dia bisa pura-pura ke toilet dulu, atau ngapain kek. Dio yakin Ken sama malesnya antara bareng Dio dan bareng Bos. Yah, mungkin lebih males bareng Bos, tapi kan barengnya paling cuma sampe pintu keluar. Habis gitu dia tinggal naik angkot.
Kecuali rumah Bos dan rumah Ken searah dan mereka harus naik angkot bareng. Atau Bos mengendarai motor? Sebagai guru mungkin dia bakal menawari mengantar Ken, dan sebagai murid Ken pasti menolaknya.
Iya sih, itu pasti awkward banget.
Dio menarik napas dalam-dalam.
Kalau dipikir-pikir, dia lumayan beruntung hanya menderita tiga jahitan di kepala. Memang, pukulan di kepala bisa berarti fatal, tapi mengingat dia bisa dapat lebih banyak luka sore tadi, rasanya nggak bersyukur banget kalau masih banyak ngeluh. Bahkan, sepertinya Ken menderita lebih banyak lebam daripada dia.
Apakah ini pertanda bahwa Dio memang harus mulai latihan silat lagi? Pertemuan dengan preman berikutnya, mungkin dia nggak seberuntung ini.
Tapi kalau dia tiba-tiba nongol di saat sekarang, bisa-bisa nanti yang jadi pelatih dia adalah Ken. Ogah. Okelah Ken memang calon pendekar Elang Merah, plus dia cucunya Abah Dharma. So pasti dari segi ilmu sangat kredibel. Cuman gengsi aja kalau harus berguru kepada mantan ketua preman yang sekarang terobsesi jadi murid unggulan tapi masih fail itu. Selain itu, melihat temperamennya, risiko benjol sepertinya sangat tinggi.
Dio tercenung oleh pikirannya sendiri.
Argh!
Kenapa sekarang dia dengan sangat serius mempertimbangkan akan mengorbankan hari liburnya yang berharga untuk memeras keringat?
Nggak, nggak, nggak.
Ada yang salah. Dan ini semua gara-gara Ken.
“Ken,” panggil Dio.
“Hng?”
“Pulang sana.”
Ken menggembungkan pipinya.
“Yaudah, terserah lo. Lagian kalo elo sih, pulang tengah malem juga nggak bakal kenapa-napa. Gue sih mau tidur.”
Dio hendak berbaring membelakangi Ken, tapi dia teringat bahwa jahitannya akan tertindih. Maka dengan kesal dia menelentangkan diri. Selama dia memejamkan mata, Ken tidak akan tahu kalau dia tidak tidur.
“Aku ngerasa nggak bisa nemuin Abah,” Ken tiba-tiba berkata.
Dio refleks membuka matanya kembali, tetapi Ken tidak melihat ke arahnya, seolah-olah dia menganggap Dio sudah tidur.
Emangnya gue sepelor itu apa? Dio menggerutu keki.
Namun, ketika Ken meneruskan bicara, dia nampak sengaja tidak menatap ke wajah Dio.
Apa dia ingin Dio menganggap tidak mendengar apapun yang dikatakannya dan bersikap biasa saja ketika esok hari tiba?
…apa dia sedang ngebet curhat?
“Sebenernya sih Abah nggak bakal marahin aku. Aneh ya? Padahal Abah tuh keliatannya galak banget. Tapi sebenernya Abah jarang marah. Ya emang sih, Abah bakal ngamuk kalau tahu ada yang pake jurus Elang Merah buat nggak bener. Bapak pernah cerita, angkatannya dulu ada yang dihajar Abah sampe bener-bener babak belur gara-gara ketauan berlagak sambil bawa-bawa nama Elang Merah. Katanya sih orang itu semacam langsung dicoret gitu dari daftar warga padepokan. Tapi itu kan emang orangnya aja ngaco.”
Ken berhenti untuk menarik napas.
“Dan sebenernya Abah juga nggak tau masalahku. Tapi… maksudnya… pernah nggak sih, kamu pengen ngelakuin sesuatu buat seseorang, dan kamu nggak pernah bilang sama orang itu, dan kamu pengen bikin surprise buat orang itu. Tapi lalu di tengah jalan kamu ternyata nggak bisa ngelakuin itu, dan kamu mundur, lalu kamu jadi merasa bersalah dan malu sendiri sama orang itu.
“Orangnya sih nggak tau kamu ada rencana ngelakuin sesuatu buat dia, dan dia juga nggak tau kalau kamu udah gagal. Tapi ya tetep aja kamu merasa bersalah. Karena kamu tau kalau apa yang mau kamu lakuin itu berhasil, itu bakal jadi hadiah yang berarti banget buat orang itu.
“Tapi kamu gagal. Total, tal, tal, tal...”
Ken berhenti. Mengusap wajahnya.
Dio berhenti memandanginya dan beralih memelototi langit-langit. Memfokuskan pandangannya ke bohlam yang memantulkan cahaya lampu dari bilik lain.
Langit-langit yang asing, alas tidur yang asing, situasi yang asing.
Kenapa gue ada di sini? Dio menanyai dirinya sendiri.
Kalau dia tidak menunggui Ken pulang, kalau dia tidak kepo…
Tunggu, kenapa dia tadi menunggui Ken? Kenapa dia nggak pulang duluan aja seperti murid-murid yang lain?
Setidaknya dia tidak akan kena timpuk, tidak akan bermalam di rumah sakit, dan tidak akan mendengarkan curhat colongan yang menggemparkan dunia persilatan ini.
Nggak, serius, kenapa sih tadi dia nggak langsung pulang aja?
Dan kenapa pula Ken curhat dengan sok kriptik begitu? Surprise macam apa yang sedang direncanakannya untuk Abah? Berhenti dari berkelahi?
Atau… jangan bilang surprise-nya adalah jadi ranking satu seangkatan?
“Yang bener aja!” seru Dio sambil mencelat bangun.
Ken terlonjak di tempat duduknya. “Loh, kamu belum tidur?”
“Lo beneran ngira gue udah tidur?” hardik Dio, benar-benar tersinggung.
Wajah Ken terlihat seperti campuran menyesal dan lega. Dia menyelendangkan tasnya ke bahu.
“Oke, udah lima menit. Aku pulang deh.”
Bagaikan badai, Ken melesat keluar kamar.
Dio termangu menatap gorden yang berkelepak, perlahan kembali diam.
“Begitu gue bangun besok, semua ini udah jadi kemarin,” katanya kepada diri sendiri, kembali berbaring.
95 banding lima, auto sakit perut ketawa cekikikan. Tenyata kalau di perhatiin tokoh Ken, karakternya hampir mirip dengan, tokoh Tio di ceritaku.
Comment on chapter Satu