Read More >>"> Slash of Life (Tiga) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Slash of Life
MENU
About Us  

Sambil memikirkan mau makan apa, Dio memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci beserta segenggam deterjen. Sudah lima bulan kulkasnya kosong melompong—bahkan es batu di freezer saja sudah tidak bersisa. Dia jadi bertanya-tanya kenapa dia masih membiarkan benda itu menyala.

Selesai mencuci dan menjemur pakaian, Dio memutuskan untuk keluar rumah dan membeli sesuatu yang menarik perhatiannya.

Dio biasanya tidak membuat rencana belanja bulanan. Satu-satunya hal yang dibelinya secara rutin adalah pulsa handphone, itu pun hanya sedikit karena selain ponselnya model lama yang tidak bisa dipakai internetan, dia juga sangat jarang menelepon. Malah, benda itu lebih sering dia tinggalkan saja di rumah.

Kadang dia bertanya-tanya bagaimana orang lain bisa sangat kecanduan smartphone dan internet. Padahal, hidup dengan limpahan informasi yang bercampur antara yang penting dan tidak itu pasti melelahkan. Baru menyortirnya saja sudah melelahkan.

Atau mungkin… melelahkan hanya berlaku bagi yang tidak peduli pada apapun seperti Dio.

Ketika Dio kembali dari minimarket terdekat dengan kantung plastik berisi roti sobek dan susu UHT kemasan kotak, dia menyesali kebiasaannya tidak berponsel.

Karena sekarang, di depan pagar rumahnya berdiri seorang cewek dengan rambut panjang diikat buntut kuda dan mengenakan kacamata sedang membuli tombol bel. Kalau anak itu memberitahunya dulu sebelum datang, dia kan bisa kabur.

TING-TONG-TING-TONG-TING-TONG!!!

“Ah kemana sih tu tiang listrik satu?!” anak itu menggerutu.

“Siapa yang tiang listrik?” hardik Dio, membuat si buntut kuda memekik kaget. “Dan jangan rusakin bel rumah gue bisa nggak?”

“Dio! Jadi kamu lagi nggak di rumah?”

“Lo nggak usah heran gitu deh ngomongnya.”

“Tapi ini kan hari Sabtu!”

“Emangnya kenapa kalo Sabtu?”

“Bukannya kamu cuma tidur pas hari Sabtu?”

“Lo pikir gue hibernasi?!”

Ken nyengir lebar sambil menggaruk belakang kepalanya.

Dio memelototinya sambil membuka pintu pagar. Dia membiarkan pagar itu terbuka sementara dirinya berjalan memasuki rumah. Selewat beberapa detik, dia mendengar Ken mengikutinya masuk.

Padahal seminggu terakhir ini cewek itu memberinya silent treatment. Dia pikir mereka sudah berhenti main teman-temanan dan segala omong kosong soal kelompok curhat itu tidak akan berlanjut. Tapi mungin itu hanya wishful thinking Dio saja.

“Aku mau jemput kamu. Ayo ke rumahnya Nadia.”

Dio melempar kantong plastik di tangannya ke sofa dan berbalik menghadapi Ken.

“Hah? Ngapain?”

“Pake nanya, lagi!” kata Ken galak. “Ya buat ngeyakinin Nadia supaya nggak jadi pindah sekolah!”

Dio mengerutkan kening. “Heh, lo ngomong yang jelas kepala sama buntutnya.”

“Nggak usah berlagak nggak ngerti deh!” tukas Ken. “Gara-gara kamu, Nadia jadi mau pindah sekolah tau!”

“Gimana ceritanya?!”

“Gara-gara yang kamu bilang minggu kemaren. Emangnya kamu pikir kenapa lagi Nadia nggak sekolah seminggu ini? Karena dia sakit hati sama omongan kamu, tau! Trus dia nggak mau ketemu kamu lagi, makanya dia mau pindah sekolah!”

Dio ternganga mendengar kata-kata Ken. Bukan karena shock atau merasa bersalah, tapi karena semua itu terdengar seperti skenario opera sabun. Memang sejak kejadian Sabtu nahas pekan kemarin itu Dio tidak pernah lagi melihat Nadia. Sejujurnya, Dio merasa agak lega anak itu tidak masuk, karena itu artinya kemungkinan mereka rapat “curhat” nol persen. Ken pasti tidak sudi berbincang berdua saja dengannya selama jam istirahat.

Dan benar saja, Ken pun tidak mengacuhkannya selama seminggu ini.

Namun, rupanya terlalu awal untuk menganggap ini akan berlangsung permanen.

“Kalo emang dia mau pindah, kenapa kita mesti ngalang-ngalangin?” kata Dio. “Itu kan pilihan dia.”

“Kalo dia cuma pingin pindah sekolah sih emang pilihan dia,” kata Ken. “Tapi kalo dia pindahnya karena kamu, ya kamu tanggung jawab dong!”

“Lo bilang udah banyak cewek nangis gara-gara gue. Tapi nggak ada yang pindah sekolah tuh. Itu mah dianya aja yang sensitif!”

Tiba-tiba, Ken menyambar tangan kanan Dio dan memitingnya. Dio tidak sempat berteriak, apalagi mengelak. Tahu-tahu, dia sudah bersimpuh dengan satu tangan terkunci di punggung.

“Ngapain sih lo?!!” bentaknya, mencoba menoleh untuk menatap wajah Ken, tapi tidak bisa. “Sekarang lo punya hobi baru ngahajar tuan rumah ya? Lepasin gue, mau gue laporin polisi?”

“Silakan aja kalo nggak malu!” tantang Ken. “Emang kamu mau ngaku nggak bisa ngelawan cewek?”

“Lo kan bukan cewek, tapi preman—AWWW!!!”

Ken mengencangkan pegangannya sampai Dio menjerit. Dalam hati Dio berharap tetangganya tidak mendengar teriakannya barusan, karena pasti malu-maluin banget kalau mereka berdatangan untuk menolongnya dan menemukannya dalam posisi menyedihkan begini. Dio tidak malu mengakui kalah kuat dari Ken yang calon pendekar salah satu padepokan pencak silat terkemuka, tapi masalahnya tetangga-tetangganya tidak tahu kalau Ken itu calon pendekar.

“Sialan. Jadi begini caranya lo nyuruh gue minta maaf?”

“Soalnya kamu itu orang yang nggak bisa cuma dibilangin. Nah, gimana, sekarang mau ikut aku ke rumahnya Nadia?”

“Lagian lo dapet info darimana dia mau pindah? Lo nggak mengada-ada kan?”

“Enak aja, aku dapet kabar dari Bos!”

“Lo yakin dia yang nggak mengada-ada buat nge-guilt trip gue?”

“Nggak mungkin kan? Lagian Bos kan nggak tau apa yang sebenernya terjadi minggu lalu.”

Dio mendecakkan lidah. Sebetulnya, Ken yang bertugas menceritakan perihal acara rekreasi mereka di buku curhat, jadi dia tidak tahu seberapa banyak yang Ken ceritakan. Pantas Bos tidak memanggil Dio satu kali pun selama seminggu ini, padahal dia sudah siap-siap akan diceramahi—rupanya Ken tidak menceritakan setiap detailnya.

Dio tidak tahu harus berterima kasih atau sebal pada Ken soal itu.

Ken mengetatkan kunciannya, membuat Dio mendesis.

“Jadi, gimana, mau nggak ke rumah Nadia?”

“Iya, iya, lepasin gue!” kata Dio akhirnya, menyerah. Lebih baik menurut sekarang daripada lengannya copot.

Begitu dilepaskan, Dio langsung tersungkur ke lantai karena kehilangan keseimbangan. Dalam hati dia membuat catatan untuk mulai berlatih silat lagi supaya lain kali bisa melawan kalau Ken mau menghajarnya.

Bentar, kenapa gue malah siap-siap dihajar? Maso apa gue? pikir Dio. Dia pasti mulai jadi sinting.

“Kapan lo mau ke rumahnya Nadia?” tanyanya sambil meregangkan otot-otot.

“Kok nanya kapan?” lengking Ken. “Ya sekarang lah!”

Kali ini Dio melongo. Dia meneliti penampilan Ken dari atas sampai bawah, kemudian menggeleng. “Lo mau ke rumahnya Nadia pake trening?”

“Iya. Emang kenapa?”

Dio mengusap pipinya yang tadi mencium lantai. “Setau gue sih harus pake baju formal.”

Ken mengerutkan kening. “Masa sih? Emang mau ketemu pejabat?!”

Dio memutar mata. “Ampun dah Ken, lo kira neneknya Nadia itu siapa? Pejabat, tau!”

Ken terperangah, bibir mangap sejenak. Kepanikan terpeta jelas di wajahnya. “Waaah… jadi gimana dong? Aku nggak bakal boleh masuk nih kalau begini? Aku kan nggak kayak gembel… trening ini mahal tau, dibeliin Ibu di Singapur!”

“Siapa yang peduli trening lo beli di Singapur? Trening ya trening aja,” kata Dio. “Mau pinjem baju nyokap? Mudah-mudahan sih ga bau kamper. Ngomong-ngomong soal bau, mending bau kamper sih daripada bau badan lo…”

Ken mengendus-ngendus ketek, membuat Dio mengerutkan hidung.

“Emang bakal cukup?” tanya Ken ragu.

Dio manggut-manggut. Memang sih, Mama itu kira-kira setinggi Nadia dengan berat badan dua kali lipatnya. Pasti bajunya nggak cocok dipakai Ken. Apalagi selera Mama itu kain polyester bermotif bunga-bunga warna-warni yang agak—ehem—norak.

“Bajunya Misa deh,” putus Dio.

“Kak Artemis? Nggak apa-apa nih nggak izin sama orangnya?”

“Peduli amat lah, asal ntar abisnya lo cuci trus seterika sampe licin. Orangnya entah kapan juga pulangnya.”

Ken menimbang-nimbang. “Masa sih ke rumah temen aja mesti baju formal?”

“Nadia kan bukan sembarang temen. Pintu pagernya aja dijaga tentara. Keluarga mereka tuh udah kayak harta peninggalan sejarah.”

“Kita balik ke rumahku dulu aja gimana?” tawar Ken.

Dio memutar bola mata sambil mendengus kesal. Dia jadi merasa ironis. Tadi dia yang ogah pergi, sekarang malah dia yang pingin buru-buru. Soalnya rumah Nadia itu jauh di ujung timur, udah masuk daerah kabupaten malah. Mereka harus muter dulu ke rumah Ken? Mana macet lagi hari begini. Nyampe besok juga sudah syukur.

“Lagian lo kok pake trening sih? Tumben?”

Ken mengangkat bahu. “Tadi lari ke sini.”

“Buset. Lima belas kilo kan tuh?”

“Iya, soalnya Abah nggak suka kalo aku bolos latian Sabtu berturut-turut.”

“Kata lo, Abah ngedukung aja kalo buat urusan sekolah?”

“Iya sih… cuman ya… aku nggak enak aja...” suara Ken makin lama makin kecil. Dia melipat lengan di dada dan menatap ke luar, ke langit biru. Dio mengernyit. Ekspresi pemikir dan tampang Ken itu nggak klop banget, bikin dia jadi tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Sepanjang ingatannya, Ken itu anak yang berpikir pakai bogem. Yang penting hajar dulu, baru ngomong. Seperti yang dilakukannya barusan. Mottonya adalah, kalau perlu pukul, ya pukul.

She’s not one for pulling punches.

Atau setidaknya, sampai kelas tiga SMP, begitulah Ken yang Dio kenal.

“Ya udah deh, pinjem baju Kak Artemis aja,” kata Ken. “Yang penting aku nggak ke sana sendirian.”

Dio spontan menyeringai lebar.

“Bilang aja takut, dasar.”

“Iya deh, aku takut ke sana sendirian. Gimana kalo ketemu neneknya? Liat fotonya di koran aja udah serem!”

“Ngomong-ngomong… Misa pernah foto sama Safira Brahmadibrata loh,” gumam Dio, tiba-tiba teringat. Ken spontan terbelalak.

“Ciyus? Kok bisa? Apa karena runner up turnamen? Atau karena siswi berprestasi?”

“Kayaknya waktu dia ngetuain pameran deh. Yang dulu kita dateng.”

Ken meninju telapak tangannya. “Oh, iyaaa! Waktu itu mereka ngundang Safira Brahmadibrata ya? Keren yaaa! Tahun ini kayaknya nggak ngundang siapa-siapa deh…”

“Tapi pameran waktu itu rusuh kan? Jangan-jangan karena Safira jadi bintang tamunya. Pejabat borju macam dia pasti banyak musuhnya.”

Sebetulnya sih, tidak persis pamerannya yang rusuh. Sembilan tahun yang lalu, pada hari-H pameran terjadi bentrokan geng di luar komplek Wadit. Uniknya, kerusuhan itu tidak sampai ke sekolah. Bahkan, para pengunjung baru tahu bahwa hari itu ada tawuran lewat berita besok paginya. Sampai hari ini, peristiwa itu masih misteri: bagaimana mulainya, kenapa, bagaimana berakhirnya, dan yang paling penting, siapa saja yang punya andil.

Menurut kabar yang beredar, bentrokan terjadi karena kesalahpahaman antara SMA Rajawali I dengan Wadit. Dulu, seragam Wadit berwarna biru, mirip dengan seragam SMK Putra Perkasa yang adalah salah satu langganan tawuran. SMA Rajawali I sengaja mengerahkan massa pada hari-H pameran supaya kekacauan yang mereka buat berdampak besar bagi Wadit. Tidak dinyana, sebelum tiba ke Wadit, mereka dihadang geng Penyu Hijau, yang waktu itu belum terlalu terdengar gaungnya.

Singkat cerita, pasukan Rajawali I berhasil dipukul mundur—dengan puluhan korban luka-luka—dan pameran Wadit tidak tersentuh.

Entah darimana munculnya nama Penyu Hijau, tapi karena mereka berada di antara Rajawali I dan Wadit, orang-orang bergosip bahwa Penyu Hijau adalah geng bentukan Wadit.

Tentu saja, tidak ada yang tahu pasti siapa sebenarnya mereka, atau bahkan apakah Penyu Hijau benar-benar ada.

Sekarang sih sudah betulan ada, tapi isinya anak-anak alay semua. Sulit membayangkan geng beranggotakan anak-anak kemarin sore itu bisa menghalau pasukan SMA Rajawali I. Bentrokan di dekat sekolah sebelum tahun ajaran baru juga tidak terdengar seperti yang mungkin dilakukan bocah-bocah setengah mateng itu—walaupun media memberitakan demikian.

Tapi ini hanya pemikiran Dio saja, yang bisa jadi lebih banyak salahnya daripada benarnya.

Ngomong-ngomong, Yayasan Waditranagara mengubah seragamnya menjadi abu-abu sejak insiden “Pameran Berdarah” itu.

“Jadi, kenapa lo bengong? Buruan ke atas dan ganti baju. Kamar Misa yang sebelah kiri tangga,” kata Dio, tidak ingin buang-buang waktu lebih lama lagi.

“O-oke, oke!”

Ken berlari menuju tangga di ruang tengah. Dio mengantarnya dengan pandangannya sebelum berjalan ke arah kamar di dekat dapur—kamarnya, untuk ganti baju juga. Dia menyempatkan diri mengecek log ponselnya, yang tergeletak begitu saja di atas meja.

Rupanya Ken memang tidak menghubunginya dulu sebelum kemari.

Dio menghela napas berat.

Tiba-tiba saja dua akhir pekan pertama musim sekolah ini dia sibuk. Kalau awalnya saja sudah begini, bagaimana akhirnya nanti? Dio cuma bisa berharap wali kelas mereka bakal muak sendiri dengan program keakraban ini dan membubarkan semua kelompok curhat. Kemudian dia pun akan kembali beristirahat dengan tenang.

Ketika Dio sedang mengancingkan kemejanya, telepon rumahnya berdering.

Selewat beberapa detik, panggilan dialihkan ke answering machine.

“Woi, Sabtu siang-siang gini kamu kemana sih? Paling tidur kan? Angkat teleponnya dong! Apa kabar sekolahmu? Kamu dapet Bos nggak tahun ini? Kalo sekali lagi aku telepon nggak kamu angkat, aku langsung terbang ke situ!”

Dio memutar bola mata. Kayak yang penerbangan dari Australia bisa ujug-ujug begitu. Memangnya dia mengendarai pesawat sendiri?

Ketika Dio baru selesai menyeletingkan celana jinsnya, pintu kamarnya tiba-tiba menjeblak terbuka.

“Di! Yang barusan itu Kak Artemis?” kata Ken antusias. Dia sudah berubah wujud dari atlet menjadi pelamar kerja dengan kemeja putih dan rok span hitam. Kakinya mengenakan pantofel hitam dengan hak runcing lima senti. Berdirinya kelihatan tidak seimbang. Dio jadi mengutuk selera fashion kakaknya. Artemis itu sudah lebih tinggi daripada rata-rata cowok, ngapain dia masih pakai high heels?

“Kampret! Jangan sembarangan buka pintu. Kalo gue lagi nggak pake celana gimana?!”

“Ih, jijay!”

“Elo!!”

“Iya, iya, sori. Kak Artemis mau pulang ke sini? Kapan?”

“Mana gue tau?”

“Lah itu di teleponnya tadi?”

“Dia kan banyak kerjaan di sono. Udah ah, ngapain sih nanyain dia?” kata Dio ketus. Ken terlihat kecewa, tapi Dio tidak peduli. Kalau Ken ingin menghubungi, atau bertemu Artemis, itu urusannya. Dio tidak mau terlibat.

“Nanti kasih tau dong kalo Kak Artemis udah pulang.”

“Kenapa harus?”

“Ya nggak apa-apa kan, emangnya rugi ngasih tau aku kalo Kak Artemis udah pulang?”

Dio memasukkan dompetnya ke saku, lalu berjalan keluar, mendorong Ken minggir dari pintu.

“Tauk ah. Udah buruan,” katanya, bete. Kalau Artemis betulan pulang, jangankan memberi tahu Ken, dia sendiri mending pergi dari rumah dan tidur di kolong jembatan!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    95 banding lima, auto sakit perut ketawa cekikikan. Tenyata kalau di perhatiin tokoh Ken, karakternya hampir mirip dengan, tokoh Tio di ceritaku.

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
November Night
347      242     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
HABLUR
4379      1330     2     
Romance
Almarhum Mama selalu bilang, "Yang membedakan permata dengan batu lain adalah tingkat tekanan yang mengubahnya." Ruby Andalusia. Coba tanyakan nama itu ke penghuni sekolah. Dijamin tidak ada yang mengenal, kecuali yang pernah sekelas. Gadis ini tidak terkenal di sekolah. Ia ikut KIR, tetapi hanya anggota biasa. Ia berusaha belajar keras, tetapi nilainya sekadar cukup untuk ber...
Love 90 Days
1966      1002     1     
Romance
Hidup Ara baikbaik saja Dia memiliki dua orangtua dua kakak dan dua sahabat yang selalu ada untuknya Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan bila ada harga yang harus dibayar atas semua yang telah dia terima yaitu kematian Untuk membelokkan takdir Ara diharuskan untuk jatuh cinta pada orang yang kekurangan cinta Dalam pencariannya Ara malah direcoki oleh Iago yang tibatiba meminta Ara untu...
Kamu
2106      1127     1     
Romance
Dita dan Angga sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bersekolah di tempat yang sama sejak Taman Kanak-kanak. Bukan tanpa maksud, tapi semua itu memang sudah direncanakan oleh Bu Hesti, ibunya Dita. Bu Hesti merasa sangat khawatir pada putri semata wayangnya itu. Dita kecil, tumbuh sebagai anak yang pendiam dan juga pemalu sejak ayahnya meninggal dunia ketika usianya baru empat tahun. Angg...
One-room Couples
1014      488     1     
Romance
"Aku tidak suka dengan kehadiranmu disini. Enyahlah!" Kata cowok itu dalam tatapan dingin ke arah Eri. Eri mengerjap sebentar. Pasalnya asrama kuliahnya tinggal dekat sama universitas favorit Eri. Pak satpam tadi memberikan kuncinya dan berakhir disini. "Cih, aku biarkan kamu dengan syaratku" Eri membalikkan badan lalu mematung di tempat. Tangan besar menggapai tubuh Eri lay...
Memeluk Bul(a)n
20125      3391     28     
Fantasy
Bintangku meredup lalu terjatuh, aku ingin mengejarnya, tapi apa daya? Tubuhku terlanjur menyatu dengan gelapnya langit malam. Aku mencintai bintangku, dan aku juga mencintai makhluk bumi yang lahir bertepatan dengan hari dimana bintangku terjatuh. Karna aku yakin, di dalam tubuhnya terdapat jiwa sang bintang yang setia menemaniku selama ribuan tahun-sampai akhirnya ia meredup dan terjatuh.
Mahar Seribu Nadhom
4521      1508     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
DREAM
664      419     1     
Romance
Bagaimana jadinya jika seorang pembenci matematika bertemu dengan seorang penggila matematika? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah ia akan menerima tantangan dari orang itu? Inilah kisahnya. Tentang mereka yang bermimpi dan tentang semuanya.
MAMPU
5170      2037     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
Kamu
237      191     0     
Short Story
Untuk kalian semua yang mempunyai seorang kamu.