Read More >>"> Slash of Life (Dua) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Slash of Life
MENU
About Us  

—Blip!

“Hei, kenapa sih teleponku nggak pernah diangkat? Emang rugi ya? Kamu gatel-gatel kalo ngangkat telepon?

“Kamu juga nggak pernah nelepon balik.

“Kalo besok kamu masih nggak nelepon, aku sumpahin bisulan!”

 

~ ~ ~

 

SMA Waditranagara adalah bagian dari yayasan Waditranagara: yayasan pendidikan yang terdiri dari sekolah wajib dan sebuah institut seni. TK, SD, dan SMP Wadit terletak di pusat kota, sementara SMA dan perguruan tingginya berada agak di pinggiran. Dengan sistem elevator, hampir 80% siswa Wadit sekolah di yayasan tersebut dari TK sampai SMA. Mereka sudah saling mengenal sejak kecil, dan tentu saja orang tua mereka juga saling mengenal. Bahkan besar kemungkinan orang tua mereka juga alumni Wadit. Jadinya kompak gitu lho kalau protes-protes. Dan, percaya atau tidak, selalu ada gontok-gontokan antara orang tua murid dengan yayasan setiap tahunnya.

Akhirnya, pada hari ketiga tahun ajaran baru, diraih kesepakatan antara orang tua murid, manajemen sekolah, dan kepolisian soal penjagaan keamanan. Sekolah pun dipadati murid-murid lagi.

Dulunya, daerah Wadit terkenal sering jadi arena tawuran. Bahkan, ada rumor bahwa alumni Wadit bertahun-tahun ke belakang itu dedengkotnya salah satu geng berpengaruh di kota ini. Namun, karena sudah bertahun-tahun lewat, sekarang Wadit hanya diisi oleh anak-anak yang langsung mengkeret mendengar berita soal aktivitas geng motor, walaupun masih berupa gosip.

“Sekarang Wadit udah jadi sekolah elit sih ya,” Dio berkata sambil menggaruk-garuk dagu.

“Bukannya Wadit emang dari dulu terkenal elitnya?” kata Ken, yang mengantri untuk giliran shuttle run di depan Dio.

Pelajaran olah raga pertama mereka diisi dengan aktivitas paling “favorit” semua anak: circuit training. Apalagi buat guru mereka yang (bertampang) mafia, favorit banget.

“Enggak ah rasanya,” Dio menggeleng. “Zamannya Misa dulu, yang ke sekolah bawa kendaraan sendiri itu kesannya borjuis banget. Justru yang kayak gitu yang dibuli-buli.”

“Kak Artemis sekolah di sini udah sepuluh tahun yang lalu, gitu!”

“Lah kan apa bedanya zaman dulu sama sekarang? Borju ya borju aja.”

“Nggak, maksudnya, dulu emang ke sekolah pake kendaraan sendiri itu belum terlalu ngetren.”

“Kok lo bisa tau? Jangan-jangan lo sebenernya udah sepuluh tahun ga lulus-lu—AWW!”

Dua puluh sembilan pasang mata serentak menoleh ke arah Dio, yang buru-buru mengangkat satu tangan untuk menyiratkan tidak ada apa-apa, sementara tangannya yang satu lagi mengusap-usap rusuknya. Bos memberinya pelototan galak.

“Itu sikut apa golok sih? Tajem banget!” solot Dio dalam bisikan keras.

“Salah sendiri, punya mulut nggak tau rem,” balas Ken.

“Masih mending gue cuma mulut, nggak melukai siapa-siapa. Lah elo, sikut!”

“Justru mulut itu bisa menorehkan luka lebih dalam daripada sikut, tau!”

“Ceileh bahasanya, menorehkan luka,” ledek Dio, lalu dia buru-buru meliukkan badan menghindari sikutan susulan. Di belakang Dio, Nadia terdengar menahan tawa. Dio makin merasa menang. “Tuh, Nadia aja ngetawain lo.”

Nadia buru-buru mengirim Ken pandangan panik dan kibasan tangan.

“Itu sih kamunya aja yang selalu punya prasangka jelek. Orang nggak ngetawain siapa-siapa, juga.”

“Loh, tanya aja ama orangnya,” kilah Dio. “Nad, lo ngetawain dia kan? Udah ngaku aja, nggak apa-apa. Dia nggak bakal mukul cewek kok.”

Nadia menggeleng kuat-kuat. Rambut panjangnya mengibas-ngibas di belakangnya.

“Hei, hei, Ken Ratu!” panggil Bos. “Nah, kemari, ini sudah giliran kamu!”

Ken spontan mencelat ke belakang garis start, tempat empat orang lainnya sedang menunggu. Begitu Bos meniup peluit, mereka langsung melesat menuju sisi seberang lapangan.

 

~ ~ ~

 

Selain sudah satu sekolah dari TK, anak-anak Wadit biasanya punya saudara yang lebih dulu sekolah di sana. Jadi bukan hanya persahabatan yang terjalin erat, tapi permusuhan juga. Kadang konyol sekali melihat dua kelompok berseberangan hanya karena kakak mereka dulunya saingan. Yah, mungkin peribahasa “darah lebih kental daripada air” berlaku ya? Lalu, entah bagaimana, murid-murid yang dulunya tidak dari SMP Wadit, suka terseret ke dalam kubu-kubu yang telah lama terbentuk itu.

Kalau melihat kenyataan tersebut, rasanya sih logis saja kalau Bos tiba-tiba menyuruh anak-anak walinya untuk melakukan rekreasi bersama kelompok curhat mereka. Apalagi, rupanya rencana Bos membuat anggota kelompok-kelompok benar-benar random, benar-benar terjadi.

Yang jelas, logis bukan alasan yang cukup kuat untuk membuat Dio jadi lebih antusias melakukan tugas ini.

“Tuh kan, kata aku juga apa,” kata Ken dengan nada pongah, sementara mereka duduk di salah satu bangku di luar atap kantin pada jam makan siang. Bangku di bagian luar ini tidak dilengkapi meja, sehingga mereka harus makan sambil memegangi piring. “Biar bisa kompak, kita harus ngadain acara jalan-jalan bareng.”

Dio menahan diri untuk tidak mengerang.

“Hari Sabtu aja gimana? Aku harus latihan kalau Minggu,” usul Ken.

“Macet,” gerutu Dio.

“Nadia gimana, bisanya kapan?”

Nadia mencicit dari sebelah Ken, “Saya mungkin bisa… hari Sabtu…”

“Lo sendiri bukannya Sabtu latihan juga?”

“Sabtu itu aku ngelatih anak-anak sama latihan mandiri,” jawab Ken ringkas. “Lagian, Abah pengertian kok kalo soal sekolah.”

“Tapi Ken, lo nggak boleh begitu!” kata Dio keras dengan ekspresi serius, membuat Ken melongo.

“Hah, maksud kamu?”

“Sebagai seorang pendekar, lo harus mendedikasikan waktu yang lo punya untuk mempertajam kemampuan lo! Lo nggak ada waktu buat jalan-jalan!”

“Kamu cuma lagi cari alasan supaya kita nggak pergi ya?”

“Enggak, gue seratus persen kuatir kemampuan lo luntur!”

“Aku nggak jadi lemah cuma karena nggak latihan sehari!” tukas Ken. “Lagian aku belum lulus tau.”

“Nggg… anu…” Nadia menyela, secara sukses membuat Dio dan Ken berhenti saling teriak. “Um… Ken itu… latihan silat?”

“Iya, Nad,” jawab Dio cepat. “Dia ini calon penerus perguruan Elang Merah. Lo pasti tau Elang Merah kan? Kakeknya ini guru di sana, dan kalau beliau udah pensiun entar, posisi itu bakal dipegang Ken. Gimana, penting banget kan? Makanya, dia nggak boleh ngorbanin waktu latihan buat main bareng kita!“

“Udah deh, jangan pake orang lain buat alesan! Lagian kamu sok  banget ngomong gitu, padahal kamu sendiri lemah dan brenti di tengah jalan! Liat tuh Kak Artemis, bisa sampe lulus jadi pendekar.”

Dio spontan tersinggung.

“Nggak usah bawa-bawa Misa! Lagian gue nggak lanjut karena rumah gue pindah, tau!”

“Alesan apaan tuh? Cuman pindah dari Tirtakencana ke Tanjakan, juga.”

“Itu tuh jauh, lima belas kilo!”

“Tuh kan, emang kamunya aja lemah. Pokonya, kalau Nadia bisa hari Sabtu, berarti kita jalan-jalan hari Sabtu.”

“Kenapa lo nanya jadwal Nadia tapi nggak nanya jadwal gue?”

“Emangnya kamu punya kegiatan apa di hari Sabtu selain tidur?”

“Makan.”

“Um…” Nadia mengangkat tangan sebelum Ken sempat bicara lagi. “Kalau… kalau Dionysus nggak mau jalan-jalan… gimana… um… kalau kita main ke rumah Dionysus aja?”

Ken spontan menjentikkan jari.

NOOOO!!!” Dio langsung menolak. Dia meletakkan piringnya yang sudah bersih di kursi lalu berdiri menghadap dua cewek paling tidak serasi itu. “Nggak, nggak ada!”

“Emang kenapa? Ah iya, kamu kan sendiri ya, pasti rumah kamu berantakan,” kata Ken dengan wajah prihatin.

“Enak aja, justru karena gue sendiri, rumah gue tuh rapihh!”

“Kalo gitu nggak apa-apa dong, kita main ke sana?”

“Nggak boleh, nggak ada!”

“Ih, pelit.”

“Gue bukannya pelit, tapi gue self-preserving.”

“Apaan tuh? Mengawetkan diri?”

“Menjaga diri, dodol!”

“Nah, kalo nggak mau kita main ke rumah kamu, berarti pilihannya ya jalan-jalan dong?”

Dio menggoyang jari. “Gimana dengan pilihan gue di rumah gue, lo di rumah lo, dan Nadia di rumahnya?”

“Pokonya, kalopun harus aku seret, kamu bakal ikut kita jalan-jalan Sabtu nanti,” kata Ken dengan nada final.

“Ken, kekompakan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksain!” kata Dio, mencoba taktik lain. “Daripada jalan-jalan bareng, kenapa kita nggak banyak-banyak ngobrol aja di sekolah? Nih, kayak gini, makan siang bareng. Tau nggak, salah satu cara supaya bisa saling mengenal itu adalah makan bareng!”

Ken menatap Dio dengan sorot tidak peduli. “Tau nggak, cara lain supaya bisa saling mengenal itu jalan-jalan bareng!”

“Cara lainnya… um… nginep bareng kan?” usul Nadia.

Ken dan Dio spontan menoleh kepadanya dengan ekspresi tidak percaya.

“Ih, kamu mau nginep sama bekantan kayak gini?” tandas Ken.

“Lo sendiri, siamang!” balas Dio.

Nadia menunduk muram.

Ken mengelap peluh di dahi yang tidak ada. “Udah, nyerah aja. Ini udah jadi mandat dari Pak Bos. Kalo kamu nggak ngerjain, entar disuruh shuttle run sampe kolaps loh!”

Mendengar itu Dio jadi terdiam. Bukan karena tidak punya jawaban untuk dilontarkan, tapi karena apa yang diucapkan Ken mungkin banget terjadi. Guru mereka kan (kelihatan seperti) mafia, pasti tega menghukum murid dengan kejam.

Karena Dio berhenti menyanggah, Ken langsung tersenyum lebar.

“Oke ya, berarti hari Sabtu ya,” katanya sambil mengacungkan jempol.

“Iya, Ken,” angguk Nadia.

“Karena gue terpaksa ikut, jadi gue yang milih tempat dan jam ketemuan,” kata Dio, tidak ingin menyerah begitu saja.

“Aku mau ke museum perjuangan,” usul Ken, sama sekali tidak mendengar kata-kata Dio.

Dio spontan terlihat mual. “Ken, kita kan disuruh rekreasi. Re-kre-a-si. Bukan belajar!”

“Apa salahnya rekreasi sambil belajar?” ngotot Ken. “Ya kan Nad?”

Nadia terlihat bingung menyikapi dua teman sekelompoknya yang selalu beradu argumen di setiap kesempatan itu.

“Salahnya, belajar dan rekreasi itu dua hal yang nggak klop,” kata Dio. “Belajar bikin rekreasi nggak fun, dan rekreasi bikin belajar jadi nggak fokus. Jadi kita janjian aja di Mems jam dua belas siang.”

“Curang!” seru Ken. “Mems sih deket rumah kamu!”

“Apa salahnya milih tempat yang deket rumah?” tantang Dio, mengembalikan pertanyaan Ken.

“Salahnya, ada temen kita yang rumahnya di timur jauh. Yang adil itu pilih tempat yang di tengah-tengah.”

“Nadia kan kemana-mana dianter mobilnya, nggak repot ngangkot kayak kita,” dalih Dio. “Ya kan Nad?”

Nadia cuma bisa bilang, “I-iya…”

“Tuh.”

Ken cemberut, tidak puas.

“Um, menurut saya, nggak apa-apa kita ke Mems,” kata Nadia. “Yang penting… um… kita semua bisa pergi.”

Ken masih mengerutkan kening, tapi dia akhirnya mengangguk, setuju untuk berkompromi.

Seolah-olah menutup pembicaraan mereka, bel tanda jam istirahat usai berdering. Tanpa kata, mereka merapikan perkakas makan di nampan dan membawanya ke dalam untuk dibereskan oleh pengurus kantin. Sambil membuntuti Ken dan Nadia, Dio membatin: ternyata kelas baru ini tidak ada menarik-menariknya!

 

~ ~ ~

 

Hari Sabtu pun tiba. Sejak pagi, Jalan Tanjakan yang mengarah ke lokasi wisata pertanian di bagian utara sudah dipadati kendaraan. Memorable Square (Mems), pusat perbelanjaan terbesar di kota ini, terletak di ruas jalan ini. Pada akhir pekan, pengunjung Mems biasanya memperparah kemacetan yang timbul dari arus wisatawan menuju gunung.

Dio memutuskan pergi berjalan kaki dari rumah begitu melihat kendaraan-kendaraan mematung memenuhi jalan, tidak bergerak sama sekali. Kalau kondisinya sudah begitu, masih lebih cepat jalan kaki daripada ngangkot. Walaupun, jarak dua setengah kilometer itu lumayan bikin berkeringat. Setidaknya jalannya menurun.

Sebagai seorang cowok, Dio merasa sudah etikanya dia datang duluan. Maka walaupun malas, dia berhasil tiba di pintu masuk Mems lima belas menit sebelum jam janjian…

…lalu kecewa karena rupanya cewek-cewek teman janjiannya tak punya kesadaran untuk datang on time. Tau gitu ga usah buru-buru pergi tadi.

Dio menggaruk belakang kepala, membuat rambutnya semakin berantakan. Dia merasa dipandangi. Bagaimana ya kalau rambutnya ditata ala Superman lalu memakai kaus pressbody dan jaket kulit hitam alih-alih kaus oblong dan kemeja flanel? Jangankan dipandangi, mungkin dia bakal dimintai tanda tangan dan foto bareng layaknya artis?

Tapi kalau dipikir lagi, kalau pake jaket hitam bisa jadi bukannya dimintain tanda tangan, dia malah disamperin satpam dan diminta enyah. Soalnya, jaket hitam adalah ciri khas geng paling menyeramkan di kota ini. Sebetulnya jaket yang dimaksud bergambar kobra di punggungnya, tapi karena alasan keamanan, orang biasa umumnya enggan berjaket hitam. Kalaupun mau, setidaknya bukan jaket kulit. Ngeri aja kan kalau tiba-tiba di jalan dikejar segerombolan anak geng karena dikira anggota Kobra Hitam.

Pukul dua belas lebih dua puluh menit, Ken tiba, segala omelan yang sudah Dio persiapkan menguap, tergantikan oleh keinginan tepok jidat. Dio lupa sama sekali selera berpakaian Ken—atasan model kebaya, bawahan rok batik, dan bakiak.

Namun, Dio bisa bernapas lega ketika melihat kaki Ken beralaskan sandal jepit berbahan kayu dan tali jerami. Walaupun sama-sama menimbulkan bunyi kelotak-kelotek, setidaknya bukan bakiak yang suka dipakai ke toilet (karena sehari-harinya, Ken mengenakan bakiak dengan tali karet ban, tebalnya lebih dari lima senti, udah kayak egrang).

“Lo nggak punya baju selain kebaya ya?” komentar Dio, mengalihkan pandangan ke kepala Ken, dan mendapati rambut panjang Ken dikepang satu, disampirkan melalui bahunya sehingga menjuntai ke depan.

“Piama?” kata Ken.

Dio memutar bola mata.

“Kok lama sih lo?”

“Macet.”

“Nah, itu kan yang gue bilang. Sabtu tuh hari macet nasional.”

Ken mengabaikannya. “Nadia belum dateng?”

“Lo liat sendiri gue sendirian kan?”

“Siapa tau dia udah di dalem,” geram Ken sambil membunyikan buku-buku jarinya.

“Belom, dia belom dateng.”

Lalu mereka berdiri bersisian di dekat pintu masuk, mengawasi mobil-mobil yang bergerak menuju parkiran di lantai dasar. Dio merasa dipandangi semakin banyak orang. Coba kalau Ken pakai kaus biasa, mungkin mereka tidak akan terlihat terlalu mencolok.

Tapi, kalau ngomongin soal mencolok…

“Waduh!”

“Kenapa?”

“Nadia bakal dateng bareng bodyguard-nya gak ya?”

Ken terbelalak horor. “Bener juga…”

“Ya udah lo mengajukan diri jadi bodyguard sementara aja. Bodyguard yang asli suruh pada nongkrong di parkiran.”

“Maksud?!”

“Lo kan pendekar. Lebih dari cukup lah buat ngejagain satu tuan puteri.”

Ken mencibir, “Dua, maksudnya?”

“Gue nggak usah diitung!” Dio mengerucutkan bibir. “Kalo ada apa-apa, gue bisa kabur duluan.”

Ken sudah tidak punya energi untuk berkomentar.

Beberapa mobil lagi melewati jalan di depan mereka. Semuanya berplat luar kota. Kalau begini terus, bisa-bisa laporan kegiatan mereka isinya tentang kaitan antara life style masyarakat masa kini dengan emisi gas karbon. Dio membuka topik baru saking bosannya.

“Ngomong-ngomong, sejak kapan lo temenan sama Nadia? Seinget gue waktu kelas satu dia kemana-mana sendiri. Katanya kan dia nggak punya temen, nggak dibolehin temenan sama rakyat jelata sama neneknya.”

Ken mengusap dagu. “Itu gosip aja, kali. Kayaknya keluarganya Nadia nggak kayak borju-borju sinetron.”

“Tapi kenyataannya Nadia emang nggak punya temen kan?”

“Kayak kamu, ya?” kata Ken sambil nyengir licik.

Dio mendelik.

Ken melanjutkan, “Aku pertama kalinya ngobrol sama Nadia ya Senin kemarin itu.”

“Wah? Kok lo kayak protektif banget gitu? Gue kirain kalian udah kenal.”

“Abis—“ Ken tiba-tiba berhenti bicara. Dio mengangkat alis.

“Abis? Apa?” desaknya.

Ken menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang perkataannya sambil menatap langit yang cerah. “Abis… kamu kan terkenal suka bikin cewek nangis. Udah gitu Nadia sampe berdarah-darah lagi. Jadi aku langsung nyimpulin aja...”

Dio tercengang. “Haaaaah? Fitnah darimana tuh?! Lagian, lo pikir gue kaya lo?!”

Ken meringis. “Sori… Abisnya kamu kalau ngomong nggak pake tedeng aling-aling. Coba, ada berapa cewek yang pernah nembak kamu? Kamu tolak semua kan? Dan kamu nolaknya juga nggak baik-baik kan?”

Dio berjengit, tidak bisa menyangkal. Sebetulnya dia juga tidak bermaksud menolak semua penyataan itu dengan kata-kata nyelekit. Tapi mau bagaimana lagi, siapapun yang ada di posisi dia pasti deg-degan kan? Begitu kuping dipenuhi dengan gemuruh aliran darah yang dipompa jantung habis-habisan, otak jadi bagaikan diselubungi kabut. Akhirnya si otak seperti menyerah berpikir dan mengalihkan tanggung jawab pada sistem refleks, yang rupanya tidak terlalu andal menangani hubungan sosial.

“Itu kan cuma ngomong. Gue nggak mukul atau ngapain. Lagian, kok lo bisa punya pikiran begitu? Lo kan udah tau gue dari lama.”

Ken melipat tangan di dada, matanya masih terpancang ke langit. “Setahun terakhir ini kan kita nggak pernah ngobrol. Sampe lupa segala kalo ternyata kita satu sekolah lagi.”

“Emangnya orang bisa berubah sedrastis itu dalam setahun?” kata Dio sangsi.

Akhirnya Ken menghentikan pose menatap masa depannya dan menghadap Dio.

“Bisa aja, tau.”

Kemudian Dio paham.

“Ah iya, lo bukti nyata ya? Dalam setahun, udah promosi dari preman jadi anak OSIS.”

Srett—

Ken menyodok rusuk Dio dengan tangannya.

“Adow! Sakit, kampret! Ini bagian yang lo sikut kemaren! Masih memar, tau!”

“Jangan sebut-sebut soal preman,” ancam Ken dengan aura gelap.

Dio buru-buru angkat tangan.

Obrolan terhenti sementara mereka kembali meneliti setiap mobil yang lewat, mengira yang berikutnya akan berhenti di depan mereka dan mengeluarkan gadis mungil dengan rambut berwarna terang, mata biru, dan baju kebesaran.

“Tapi kalo baju bebas mah nggak sekedodoran itu kali ya?” celetuk Ken tiba-tiba.

Dio mengusap dagu. “Gimana kalo ternyata itu emang selera fashion dia?”

“Seneng baju longgar sih biasa,” kata Ken. “Tapi nggak separah pake ukuran XL buat bodi XS juga kali.”

“Soal itu… rasanya udah keterlaluan sih.”

“Salah pesen seragam kali ya?”

“Kalopun salah, dia bisa pesen khusus ukuran custom yang pas buat badannya kan? Neneknya sarapan berlian gitu, masa beliin seragam custom buat cucunya nggak bisa?”

“Sarapan berlian, dong… saking borjunya ya?”

“Brahmadibrata itu udah bukan borju lagi,” kata Dio, berhenti sejenak untuk memberi kesan dramatis. “Ningrat.”

“Borju sama ningrat bedanya apa?”

“Borju itu istilah asing. Kalo ningrat istilah lokal. Jadi kastanya lebih tinggi lagi.”

Ken menggeleng. “Kayaknya ada yang salah sama penjelasan itu.”

Dio mengangkat bahu, kembali memerhatikan mobil-mobil lewat. Saat itulah sebuah mobil impor mengilap memilih berhenti di depan mereka.

Tuan Puteri yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, secara spektakuler telat hampir sejam. Tapi, itu bukan masalah terbesar yang harus dihadapi Dio dan Ken saat ini.

 

~ ~ ~

 

Dio bertanya-tanya, kalau seseorang disebut punya sedikit common sense, itu seberapa sedikit sih? Sesedikit apapun, setidaknya cukup kan untuk tidak memilih gaun Cinderella buat jalan-jalan di mall?

Karena Nadia datang dengan gaun putih pengantin dan high heels berbahan transparan yang terlihat seperti sepatu kaca. Belum lagi shawl bulu cokelat-kelabu di bahunya yang terbuka, make up kelas premium, dan rambut yang dipilin-pilin yang pastinya butuh dibentuk selama berjam-jam. Lengkap dengan tiara yang kelihatan bertatahkan berlian asli.

Begitu beliau turun dari mobil impornya dengan bantuan bodyguard, Dio tiba-tiba merasa seperti sedang berada di karpet merah (keset merah betulan bertuliskan “WELCOME” di depan pintu masuk tidak membuat segalanya jadi lebih baik).

Inilah waktunya untuk peristiwa yang amat jarang terjadi: Ken dan Dio sependapat. Nih anak mau fashion show ya?!!!

Kalau bibir Dio tanpa sadar terbuka saking terpananya, maka Ken sudah mangap lima-jari ala penyanyi seriosa. Selama beberapa detik, ketiga teman sekelas terpaku berpandangan, beberapa satpam, petugas parkir, dan petugas cleaning service berhenti mengerjakan tugas mereka, dan pengunjung mall lainnya membeku di tempat melihat pemandangan itu.

“Lo pikir—“ Dio membuka suara, tapi terpotong oleh pekikan Ken.

“Nadiaaaaa!!!”

Nadia terperanjat.

“K-kenapa, Ken?”

“Kamu khusus nyalon buat jalan-jalan di mall?!” seru Ken, lupa bahwa mereka ada di tempat umum.

“Saya nggak ke salon kok… um… cuma dibantu sama pelayan,” kata Nadia rendah hati. Mungkin di istana Tuan Puteri ada kontingen Pelayan Tata Rambut. Siapa yang tahu, kan.

“Ken, gue balik ya, oke?” kata Dio, kehabisan napas. Dia mesti jalan-jalan bareng gadis desa dan puteri fairy tale? Nggak, nggak deh nggak usah… emang lagi cosplay?!!!

Ken langsung mencengkeram tangan Dio kuat-kuat, tidak mengizinkannya pergi. Cewek itu melotot. Dia pasti tidak mau ditinggal jalan-jalan berdua dengan Cinderella kesiangan.

“Um… kenapa ya?” tanya Nadia.

Ken menelan ludah keras-keras. “Nadia, kamu bawa baju ganti nggak?”

Nadia terlihat heran. “Um… enggak.”

Dio bisa melihat otak Ken berdesing cepat di dalam tengkoraknya. “Shopping yuk?” cetusnya.

“Um… ayo…?”

Dio menunduk, berbisik di telinga Ken. “Plis, lo pilihin baju yang normal. Dan secepatnya. Gue tunggu di Meat Lovers.”

Dengan hembusan napas keras, Ken mengangguk. Mungkin acara jalan-jalan mereka bukan hanya soal mengakrabkan diri sebagai teman sekelompok, tapi juga soal mengajari Tuan Puteri bagaimana caranya jadi rakyat jelata.

Setelah dua puluh menit yang membuat Dio introspeksi diri, Nadia sudah berganti wujud jadi remaja cewek biasa. Memang tidak semua bajunya diganti. Syal bulunya sekarang jadi kardigan warna salem berbahan adem. Sepatu Cinderellanya sudah diganti sneakers putih berleher rendah. Topi bisbol dengan aksen manik-manik di kedua sisinya menggantikan mahkota konyolnya (yang, berhubung berliannya kelihatan asli, sebetulnya sih tidak konyol-konyol amat). Bagian rok gaunnya memang masih terlihat gaudy kalau diperhatikan dengan teliti, tapi dipadukan dengan kardigan, sneakers, dan topi, tampilannya sudah tidak begitu mencolok mata.

Para bodyguard bersedia menunggu majikan mereka di mobil setelah negosiasi alot dengan Ken. Ken sampai menunjukkan kartu identitas perguruan Elang Merah-nya, membuat salah satu bodyguard jadi gelagapan.

Segalanya nampak normal-normal saja. Yang tidak Dio dan Ken tahu, petualangan mereka hari Sabtu ini masih panjang.

“Akhirnya,” kata Dio, mengangguk setuju melihat Nadia.

“Akhirnya,” angguk Ken, tapi sambil menyikut Dio supaya tidak menunjukkan kelegaannya dengan kentara.

Sementara itu, Nadia kelihatan murung. Lidah topinya menutupi wajahnya yang terus menunduk, membuat Ken merasa bersalah karena menyuruhnya ganti baju. Tapi mau bagaimana lagi, pilihan lainnya adalah jalan sambil diliatin orang-orang. Dio yang benci jadi sorotan pasti akan bersikap menyebalkan sepanjang hari, mengeluarkan kata-kata pedas yang bisa bikin kuping copot.

“Um… maaf ya, saya sudah ngerepotin,” kata Nadia muram.

“Udah, udah,” kata Ken. “Sekarang kita pesen makan aja yuk.”

Seorang pelayan datang membawakan buku menu.

“Kalo kita ke sini,” kata Ken, “wajib nyoba croissant isi dagingnya tuh. Mantap!”

“Itu sih favorit lo,” kata Dio.

“Emangnya kamu ngga suka?”

“Gue lebih suka steak.”

“Um… mungkin saya mau coba croissant isi dagingnya,” kata Nadia.

“Bumbu dagingnya macem-macem. Tuh, ada yang bumbu kari, bumbu rendang, blackpepper...” ujar Ken, menunjuk bagian bawah halaman croissant daging. Nadia manggut-manggut.

“Ini bisa dibungkus nggak ya?” tanya Nadia. “Um… saya mau bawa buat pak supir dan yang lain… um… sama buat Nenek...”

“Bisa, minta aja sama masnya,” angguk Ken.

“Abis makan pada mau kemana?” tanya Dio.

“Kemana ya?” Ken menggaruk hidung. “Toko buku—kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?!”

Dio segera mengubah ekspresi herannya menjadi cengiran. “Gue kirain lo mau usul ke toko alat olahraga.”

“Kamu ngejek ya?”

“Enggak kok, cuma perasaan lo aja.”

Ken memberi Dio tatapan sebal.

Begitu mereka sudah menyampaikan pesanan masing-masing, Dio mengeluarkan buku curhat mereka dari dalam tasnya.

Sejauh ini, buku itu baru diisi biodata setiapa anggota kelompok. Mereka masih belum tahu apa yang sebaiknya dituliskan di dalam situ. Berhubung wali kelas mereka yang kepo itu akan membaca semuanya, mereka jadi bingung menentukan mana yang pantas disampaikan dan mana yang tidak. Kalau buku itu hanya sebagai media komunikasi di antara mereka bertiga saja sih, mau ditulisi apapun tidak masalah.

”Kamu nulis apa sih?” selidik Ken.

“Gue lagi menggambar penampilan lo berdua pas baru dateng tadi,” sahut Dio tanpa mengangkat muka. “Mungkin kalau Bos tau seaneh apa selera fashion murid-muridnya, dia bakal mencoba melakukan sesuatu buat meluruskan kalian.”

Sesuai perkiraan Dio, emosi Ken langsung terpancing. Kadang dia bertanya-tanya apakah dirinya termasuk sadis, karena sangat menikmati memprovokasi orang lain (mungkin dia harus meninjau ulang keputusannya menjadi manusia netral).

“Heh, apa salahnya sama bajuku?!”

“Udik, tau nggak.”

“Ini bukan udik. Ini tradisional, tau!”

“Dalam masyarakat modern ini, lo mestinya tau kapan pas pake gaya tradisional dan kapan enggak.”

“Emangnya salah kalau aku suka gaya tradisional?”

“Bukannya salah, tapi kan ada waktu yang pas buat pakenya. Jalan-jalan dandanan begitu bikin orang noleh dua kali tau!”

“Kamu ngomong gitu, padahal kamu sendiri lebih sering bikin orang ngeliatin.”

“Tapi seenggaknya orang ngeliatin gue karena gue ganteng. Bukan karena dandanan gue freak kayak kalian!”

“Apa?! Coba ngomong sekali lagi!”

“Anu,” sela Nadia, tiba-tiba bangun. “Um…”

“Denger ya, ini buat kebaikan kalian berdua. Kalian mestinya berterima kasih karena gue mau nyebutin kekurangan kalian dengan jujur! Kalo tiap jalan-jalan penampakan kalian kayak begitu, temen kalian yang malu, tau!”

Ken ingin menendang Dio atas kata-kata itu, tapi ketika dilihatnya Nadia hanya berdiri mematung, perasaan Ken langsung tidak enak. Dia menarik lengan baju Nadia, menyuruhnya duduk.

“Nad? Ayo… duduk…?”

Nadia tidak bergeming. Dia bahkan tidak terlihat bernapas. Ken semakin panik.

“Saya… harus pulang,” kata Nadia dengan susah payah.

“Ehh? Nad, jangan dulu, bentar—“ kata Ken tegang, menarik-narik baju Nadia lebih keras.

“Saya… um… saya masih ada… um… pekerjaan...”

Dengan satu tarikan kuat, Nadia melepaskan tangannya dari pegangan Ken, kemudian berlari menuju pintu keluar.

“Eeh… Nadia! Nad!” panggil Ken, buru-buru mengejar. Namun, saking buru-burunya, dia malah tersandung kaki kursi sampai terjerembab. Bunyinya membuat semua orang spontan menoleh.

Dio mengusap wajah. Sudah kedua kalinya dalam seminggu dia melihat cewek tengkurep di lantai. Dia meletakkan pensilnya di atas meja dan berpindah ke sisi Ken, membantunya bangun.

“Di, kejar Nadia, buruan!” seru Ken kalut, kedua matanya sebesar piring.

“Nggak usah,” kata Dio. “Kan tadi dia bilang dia ada kerjaan.”

“Kamu nggak ngerti ya? Dia sakit hati tau kamu bilang malu-maluin. Makanya dia pingin cepet pulang! Kamu mesti kejar dia dan minta maaf sekarang juga.”

Namun, di luar dugaan Ken—mestinya dia sudah menduganya—Dio tidak bergerak, hanya mengerutkan kening dan cemberut selah-olah dia tidak baru saja memorakporandakan hati cucu salah satu orang paling berpengaruh di negeri ini.

“Ngapain, emangnya omongan gue salah?”

Ken menggeram kesal. “Kalopun isinya nggak salah, caranya kamu ngomong tuh salah banget!”

“Udah deh Ken, nggak usah sok jadi anak baik-baik. Maksa banget, tau nggak? Lo nggak pernah peduli orang lain musuhan atau baikan. Why start now?

Ken menatap Dio dengan melongo. Ken tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab Dio. Terlalu banyak hal yang ingin disampaikannya sampai dia bingung harus mulai dari yang mana. Dan semuanya mengandung makian yang lebih baik tidak diutarakan di depan umum.

“Menyedihkan,” ujar Ken tajam, setelah menit-menit berlalu.

“Sori?”

“Kamu itu orang yang menyedihkan. Kamu orang yang nggak bakal pernah punya temen, kamu orang yang hidupnya bakal selalu kosong, dan kamu orang yang nggak bakal pernah jadi apapun. Kamu cuma mayat hidup, Di. Menyedihkan.”

Rahang Dio terkatup rapat. Dia membalas pandangan Ken, kedua lengannya kaku di sisi tubuhnya.

Klik. Rasanya seperti menghadapi sebuah tirai yang menutupi sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah diungkap. Sesuatu yang Dio tahu persis apa, tapi dia membiarkan tirai tetap menutup, agar dia bisa berpaling dan menganggap tidak ada apapun di baliknya.

Dia ingin membalas kata-kata Ken. Tapi, dia tahu, apa yang akan dikatakannya tidak adil. Karena yang Ken lakukan hanya menyingkirkan tirai.

Namun… jika dengan itu garis di antara mereka menjadi jelas, memangnya kenapa? Dia tidak berminat bermain sahabat-sahabatan dengan orang-orang yang melakukannya hanya karena disuruh. Dio tidak pernah pernah butuh teman sebelumnya—why start now?

“Iya,” katanya akhirnya. “Gue nggak bakal pernah jadi apapun. Tapi seenggaknya gue nggak pasang topeng untuk berpura-pura jadi sesuatu, atau pura-pura care sama orang padahal tujuan gue cuma dapet nilai bagus.”

Mata Ken menyipit. Tangannya melayang ke kerah kaus Dio, menariknya. Terdengar sentakan napas dari para pengunjung dan karyawan kafe. Dari sudut matanya, Dio melihat dua orang pelayan laki-laki bergerak ke arah mereka.

“Mas, Mbak,” salah satu dari mereka menyapa. “Maaf, mengganggu. Pesanannya sebentar lagi siap, jadi mohon bersedia menunggu sebentar.”

Ken melepaskan Dio dengan satu dorongan kasar. Dia mengangkat kedua tangan sambil berbalik menghadapi dua pelayan itu. Yang barusan bicara tersenyum lebar, membuat Dio salut akan keberaniannya. Di dalam hatinya, orang itu pasti kebat-kebit. Jangankan dia, Dio saja merasa rusuknya yang memar-memar tidak sanggup menahan jantungnya tetap di tempat.

“Maaf, Mas,” kata Ken, membetulkan posisi kursinya yang terjungkal, kemudian duduk di atasnya.

Seolah-olah timing-nya sudah diatur, seorang pelayan lain datang membawa pesanan mereka. “Tenderloin steak dengan saus jamur,” kata si pelayan. Sambil menaruh piring-piring di meja, dia menyebutkan nama menunya satu persatu. “Untuk take away-nya sedang dibungkus, ya. Selamat menikmati.”

Dio langsung tegang, dan kali ini disebabkan oleh alasan yang berbeda daripada risiko dihajar Ken. Dia mengarahkan pandangan penuh horor kepada Ken, dan mencelos melihat cerminan ekspresinya di wajah anak itu.

“Mas,” kata Dio, “take away-nya bisa dibatalin nggak?”

Mas pelayan yang membawakan pesanan menoleh kepada dua temannya dengan sorot bertanya.

Kemudian, mas-mas yang tadi melerai tiba-tiba tersenyum manis, manis banget.

“Maaf Mas, soalnya udah selesai dimasaknya, jadi nggak bisa dibatalin.”

“Masa udah selesai lagi masaknya? Biasanya juga lama,” protes Dio, walaupun tahu protesannya itu terdengar bego.

“Iya Mas, kami selalu meningkatkan pelayanan untuk kepuasan pelanggan.”

“Gue nggak butuh peningkatan pelayanan lo!” gerutu Dio pada dirinya sendiri, tetapi terdengar jelas.

“Kamu yang mesti bayarin ini semua,” kata Ken, melambaikan tangan ke meja, sudah tidak nafsu lagi untuk makan.

“Enak aja lo. Bagi dua lah!”

“Aku ga bawa duit sebanyak itu!”

“Gue juga enggak!”

Hening sesaat.

“Kamu kejar lah Nadia, siapa tau masih di parkiran.”

“Yang bener aja!”

Mungkin menyadari bahwa dua orang pelanggan mereka kelihatan seperti mau kabur dari kenyataan, seorang pelayan lagi datang membawa secarik kertas. Mas senyum-manis-tapi-penuh-kejahatan mengambil kertas itu.

“Sama take away-nya, totalnya jadi—“

“Waaaa!” jerit Ken. “Nggak tau, nggak tau, nggak mau tauuu!”

RIP Sabtu yang damai.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    95 banding lima, auto sakit perut ketawa cekikikan. Tenyata kalau di perhatiin tokoh Ken, karakternya hampir mirip dengan, tokoh Tio di ceritaku.

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
Evolvera Life
7951      3056     28     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
Harmonia
3740      1171     4     
Humor
Kumpulan cerpen yang akan membuat hidup Anda berubah 360 derajat (muter ke tempat semula). Berisi tentang kisah-kisah inspiratif yang memotivasi dengan kemasan humor versi bangsa Yunani. Jika diterbitkan dalam bentuk cetak, buku ini akan sangat serba guna (bisa untuk bungkus gorengan). Anda akan mengalami sedikit mual dan pusing ketika membacanya. Selamat membaca, selamat terinspirasi, dan jangan...
Unsuitable
1153      523     6     
Romance
Bagi Arin tak pernah terpikirkan sekalipun bersekolah dalam jerat kasus tak benar yang menganggapnya sebagai pelacur. Sedangkan bagi Bima, rasanya tak mungkin menemukan seseorang yang mau membantunya keluar dari jerat tuduhan yang telah lama menimpanya. Disaat seluruh orang memilih pergi menjauh dari Bima dan Arin, tapi dua manusia itu justru sebaliknya. Arin dan Bima dipertemukan karena...
Kamu, Histeria, & Logika
56310      6031     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
522      286     4     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
When I Found You
2750      927     3     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
Serpihan Hati
10080      1655     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
LUKA TANPA ASA
6264      1871     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
JEPANG
414      271     2     
Short Story
cerpen ini dibuat dengan persetujuan dari orang orang yang terlibat.
Memories About Him
3105      1513     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...