4
Musim Panas, 2017
(Rienna Arabella)
Ketika satu kali kegagalan, dua kali kegagalan masih membuatmu terlihat baik-baik saja. Maka kegagalan yang ketiga kalinya dan seterusnya akan membawamu pada tingkat kepercayaan diri yang rendah. Disaat itulah kau akan lebih sering menyalahkan dirimu sendiri, kau akan membandingkan kesuksesan orang lain dengan dirimu, kau akan merasa bahwa kau tak berharga, kau merasa tak begitu pantas dilahirkan di dunia.
Hingga pada fase yang berujung dengan kau yang akan lebih sering mendapati dirimu termenung, menangis hingga tertawa sekaligus. Bayangan-bayangan tentang kematian yang lebih indah dibandingkan kehidupan akan mendorongmu untuk menelan pil penenang sebanyak yang kau bisa telan, mencekik lehermu sendiri, memutus urat nadimu atau melompat dari sebuah gedung tertinggi agar kau dapat merasakan kedamaian. Tapi semua itu tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, percayalah! Karena aku telah mengalaminya dan mungkin masih berlangsung untuk melewatinya.
Setelah hampir satu tahun berada di Jepang, aku tetap tidak mengalami perubahan. Pikirku dengan pergi ke negara ini aku akan dapat menghadapi semua kenangan itu dan menyembuhkan luka yang kumiliki. Tapi pada kenyataannya, aku justru semakin tenggelam di dalamnya, semakin terpuruk karena bayanganmu yang telah berubah menjadi sebuah delusi yang nyata.
“Yang harus kau lakukan adalah berdamai dengan dirimu sendiri! Memaafkan segala kesalahan dan penyesalanmu di masa lalu…”
Setiap bertemu, dia selalu memberiku sugesti itu. Tapi setiap kali bertemu dengannya pikiranku juga selalu terpecah. Satu sisi mendengarkan suaranya dan sisi yang lain memperhatikan sebuah jendela kaca yang berada di balik punggungnya. Jendela yang selalu dibiarkannya terbuka dengan beberapa tanaman hias yang bergantungan dan beberapa pot bunga yang diletakan di sebelahnya. Kulihat dari waktu ke waktu, tanaman-tanaman itu tidak tumbuh subur, diantaranya bahkan mulai layu. Mungkin karena musim panas di Jepang yang telah mencapai puncaknya atau memang karena mereka tak bisa hidup dalam sebuah pot di dalam ruangan.
“Rienna…” dia memanggilku karena menyadari bahwa aku telah kehilangan fokus.
“Tidak bisakah kau beri aku dosis yang lebih tinggi saja? Akhir-akhir ini aku bahkan sangat sering berhalusinasi!” gumamku.
Dia menghelaikan nafas dengan berat dan melepaskan kacamata minus yang bertengger di hidungnya. Laki-laki berumur 29 tahun itu pun tampak lebih tampan dari saat dia berkacamata dan seandainya aku lebih normal, aku mungkin akan tertarik padanya. Dia juga bukan seorang psikiater biasa, melainkan teman dekatku karena dia dan kakak perempuanku pernah satu sekolah saat di Jepang.
“Aku tidak bisa memberimu dosis lebih, kecuali jika aku senang melihatmu terbunuh karena overdosis! Lagipula kau tidak akan berhalusinasi jika kau bersedia untuk menghadapi ketakutanmu itu…”
“Memangnya apa yang aku takutkan?”
“Kenangan tentang dia!” jawabnya seolah membuat dadaku terasa dihantam. Aku tidak tahu apakah aku pernah secara tidak sadar menceritakannya atau dia bisa membaca pikiranku. Tapi yang pasti, dia benar tentang semua itu. “Aku tidak akan menyebutkan siapa namanya, kau tentu lebih mengenalnya dari aku. Tapi jika kau bersedia, aku bisa memberimu informasi tentangnya−”
“Tidak! Aku tidak mau! Aku belum siap tentang itu…” sergahku.
Aku bukan tidak tahu jika kau juga berada di Jepang, hanya saja aku lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Alasanku pergi ke Jepang pun adalah untuk melihat wajahmu kembali meskipun dari kejauhan. Tetapi nyaliku menciut karena aku tidak tahu harus bersikap seperti apa jika bertemu denganmu nanti.
“Baiklah… kita lupakan tentang itu!” dia kembali membuka suara setelah mengamatiku wajah cukup lama. Aku yakin dia terkejut dengan reaksiku yang emosional. “Bagaimana jika kita pergi berlibur bersama? Kulihat sejak berada di Jepang, kau hanya mengurung diri di dalam flatmu dan hanya keluar untuk berbelanja atau menemuiku. Tidakkah kau berpikir bahwa itu justru akan memperburuk keadaanmu?”
“Aku hanya berpikir pernah tinggal cukup lama di Jepang jadi semua tempat sudah pernah kukunjungi! Dan Tokyo pun seperti rumah keduaku…”
“Bukan di Tokyo tapi ke distrik Hokkaido! Bagaimana? Disana ada area pertanian yang sangat luas dan menarik untuk dikunjungi. Terakhir kali aku pergi kesana juga saat liburan musim panas bersama teman-temanku dari universitas…”
Untuk beberapa saat aku kembali terpaku. Bukan hanya karena dia menyinggung Hokkaido tetapi juga karena semua yang diucapkannya kembali mengingatkanku pada kenangan tentangmu. Seolah takdir dalam hidupku memang tak akan pernah terlepas dari bayang-bayang tentangmu di masa lalu.
“Kenapa sih elo pulang ke Indonesia setiap liburan musim panas? Gue iri tau gak sih sama lo yang bisa pulang setiap musim panas, lha… gue gak pernah bisa karena papa harus terus bertugas. Ayolah… Na! Sekali aja elo tetap ada di Jepang tahun ini! Paling enggak nemenin gue pas ultah gue nanti…”
Kau merengek seperti anak kecil saat tahu aku sedang mengemasi barang-barangku untuk rencana liburan musim panas di kampung halaman. Sebagai seorang anak yang mengikuti orang tuanya merantau, aku tentu sangat menantikan pulang ke negara asalku. Karena tidak ada hal yang terbaik dari kampung halaman, meskipun negara yang kutinggali beberapa tahun terakhir adalah tempat yang terbaik.
“Gak bisa! Tahun ini papa juga ikut pulang dan kalau gue tetap ada di Jepang, gue sama siapa, muka rombeng?” cibirku yang berusaha tidak mempedulikanmu.
“Yah… sama gue lah! Lo kan bisa tinggal di rumah gue selama musim panas!”
“Ogah! Gue gak suka ngerepotin mama lo…”
“Yaelah… Mama udah terbiasa kali direpotin! Lagipula dia kan dari dulu pengen punya anak perempuan, jadi dia pasti seneng lah kalau ada lo di rumah!”
“Gak! Pokoknya gue mau pulang ke Indo! Lagian lo kenapa gak ikut kak Kenzo aja sih? Dia dan komunitasnya selalu punya kegiatan setiap musim panas dan kabarnya mereka ada rencana trip ke Hokkaido tahun ini. Lumayan kan lo bisa ngisi liburan musim panas lo dengan hal positif…”
“Kenzo?”
“Iya… teman sekelas kakak gue, senior kita dulu! Dia keturunan Indo karena mamanya orang Indonesia. Makanya dia juga akrab sama orang-orang Indo! Cocok buat elo yang katanya alergi berteman sama orang Jepang asli!”
“Gue berteman gak pernah menyinggung SARA kali, Na! Cuma malas aja sama beberapa orang Jepang, khususnya Akira!”
“Ck! Ngapain sih elo bawa-bawa nama dia?”
“Biarin, biar lo makin sebel sama dia” balasmu, “Tapi janji ya, Na! Tahun ini elo harus balik ke Jepang lebih awal! Tepatnya sebelum hari ulang tahun gue! Karena gue gak mau kesepian tanpa teman atau pacar di hari special gue...” pintamu memelas. Sejujurnya aku sudah menyiapkan kejutan untuk hari ulang tahunmu, sebuah hadia yang mungkin akan membuatmu senang. Tetapi aku berpura-pura tidak peduli agar kau tidak curiga.
“Iya… tapi gue gak bisa janji! Karena kakak gue itu paling susah dibujuk buat balik ke Jepang lebih awal”
“Yaelah… elo selalu gitu, Na! Sekali-kali demi gue kenapa? Demi ngerayain ulang tahun teman lo yang paling ganteng ini!”
Aku tidak mungkin melupakan raut wajahmu yang sedang merengek kala itu atau kata-katamu yang sangat percaya diri itu, juga langkah kakimu yang kesal dan berbalik pergi dariku. Aku mengingat semua itu seperti halusinasi yang membuatku tak mampu membedakan kenyataan dan hayalan. Tapi aku juga mengingat bagaimana hatiku kau patahkan untuk kesekiankalinya. Kau membawaku pada sebuah harapan karena janji yang kau ucapkan tapi disaat yang bersamaan kau juga memberiku goresan-goresan dari pisau tak kasat mata yang kau sembunyikan di hatimu.
“Bagaimana senior bisa tahu kalau aku suka mendengarkan musik? Hadia dari seorang bidadari pasti akan aku simpan dengan baik! Aku juga akan memakainya setiap waktu! Terima kasih karena sudah mengingat hari ulangku. Aku juga senang bisa membantu senior yang cantik selama berada di Hokkaido…”
Semua kata-kata yang kau ucapkan dengan seseorang dari sambungan telepon menahan langkahku tepat di depan pintu kamarmu. Kulihat kau juga menggenggam sebuah kotak hadia berwarna biru yang ketika kau buka berisi sebuah benda yang serupa dengan benda di dalam kotak hadia yang kugenggam. Kau tampak senang dan bahkan memandanginya tanpa henti. Semua yang kulihat pun membuatku berpikir jika hadia yang kuberikan tidak akan berarti lagi bagimu, karena kau telah mendapatkannya dari seseorang yang lebih istimewah. Aku berbalik pergi darimu sesaat kemudian, tanpa sepengetahuanmu. Aku menyimpan hadia itu di tempat yang tidak akan pernah kau temukan. Dan bersamaan dengan hal itu aku tak lagi ingin berharap padamu.
“Na… Rienna…” seperti déjà vu, aku seolah mendengar suaramu memanggilku. Tapi sekali lagi itu bukan kau, itu suara dokter Seisuke Kenzo, Pskiaterku.
“Tidak! Aku akan tetap di Tokyo saja selama musim panas! Lagipula kenapa psikiaterku harus repot-repot mengajakku liburan? Apakah dia juga melakukan hal yang sama dengan pasien-pasien gangguan jiwa yang lainnya?”
Dia tertawa dengan cibiranku. Menjadi pasien ganguan jiwa tidak harus membuatku kehilangan selerah humor. Aku masih bisa tertawa bahkan sering terbahak-bahak saat mencoba menghibur diri dengan menonton video-video lucu atau stand up comedy, meskipun tawa itu hanya sesaat karena setelahnya aku akan membayarnya dengan tangisan yang lebih keras.
“Aku hanya melakukannya pada pasienku yang spesial! Karena sejak kakakmu menelponku, kau sudah menjadi tanggung jawabku. Dan kau pasti tidak sadar bukan kalau kau sedang menolak ajakanku untuk berkencan?”
“Benarkah? Itu berarti aku adalah perempuan yang bodoh karena menolak berkencan denganmu? Tapi bagaimana jika aku menebusnya dengan pergi makan malam bersama untuk hari ini dan seterusnya?”
“Tentu aku sangat setuju dengan tawaran itu!” balasnya sembari mengedipkan sebelah mata, membuatku tersenyum memaksa.
******
(Jelfrine Kahendra)
“Untuk perasaan yang kadang tak mengenal harga diri, untuk perasaan yang coba kuusir pergi namun terus memaksa datang kembali, untuk perasaan yang selalu memaafkan kesalahan berulang-ulang dan untuk perasaan yang selalu jatuh dan cinta kepada seseorang yang sama. Selamat ulang tahun…” (7/07/2007)
Di bawah terik matahari musim panas, di tengah kesunyian kota yang tengah letih berkerja dan diiringi nyanyian para kawanan burung di angkasa, aku membaca kembali sederet kalimat dalam kartu ucapan itu. Ada makna yang tersembunyi di dalamnya yang baru kusadari beberapa tahun terakhir ini, saat seseorang yang menulisnya telah pergi.
Bersamaan dengan kartu ucapan itu, kuletakkan pula sebuah penjepit rambut, sebuah ilustrasi wajahmu dan yang terakhir sebuah kotak kado berisi earphone yang kutemukan bersamaan dengan kartu ucapan itu. Semua terkumpul dalam sebuah kotak besar yang kugenggam dengan perasaan dilema. Kau mungkin tak pernah mengira jika benda-benda itu dapat sampai ke tanganku, tersimpan hingga bertahun-tahun. Namun kini aku terpaksa harus membuangnya jauh.
Aku telah memutuskan dalam hatiku untuk memilih Yuiko, tanpa harus kembali untuk menyesalimu. Karena bagi logikaku, kau hanya kepingan dari masa lalu. Dan meskipun aku pernah mengharapkanmu, pernah berpikir untuk memilihmu. Namun pada akhirnya aku menyadari bahwa sejak dulu kau pun takut membuka hatimu untukku.
“Hei… kaleng biskuit! Elo udah balik ke Jepang kenapa gak ngubungin gue?” Tukasku saat menghampirimu di kedai es krim dekat area Dendo Park. Aku tahu dari ibuku bahwa kau dan keluargamu telah kembali ke Jepang sebelum liburan musim panas berakhir. Namun entah mengapa kau tidak menemuiku seperti janjimu.
“Gue pikir lo masih di Hokkaido?” jawabmu dengan santai sembari menyendok es krim dari mangkuk besar di hadapanmu. Karena kesal dengan jawaban itu, aku pun langsung merebut sendok di tanganmu dan mulai memakan es krimmu dengan rakus.
“Halah… gabung komunitas kayak pramuka gitu mana betah gue! Gak ada seru-serunya! Untung gue ketemu kak Yuiko disana, jadi gak garing-garing banget…” cecarku tanpa berusaha memahami ucapanmu lebih jauh. “Ternyata, Na! Orang tua kak Yuiko itu berasal dari Hokkaido jadi dia ngabisin liburan musim panas disana. Dan secara kebetulan kak Kenzo juga kenal dengan orang tua kak Yuiko, jadi kita semua bantu-bantu di pertanian keluarga kak Yuiko. Ckck… dunia sempit banget ya, Na!”
“Oh… gitu?” sahutmu singkat.
Aku menghentikan gerakan tanganku menyendok es krim dan mulai memandangmu serius. “Kenapa sih elo jadi pendiam sejak balik dari Jakarta? Gak ada oleh-oleh gitu buat gue? Kali aja buat hadia ultah meskipun terlambat!”
“Gak ada! Gue mau bawa ondel-ondel buat lo tapi gak muat di pesawat…” dan kau membuang muka, menghindari tatapanku.
“Haha… lucu lo!” tanggapanku tanpa berusaha memperpanjangnya. Aku selalu menerima semua alasanmu, meskipun aku berpikir mungkin itu hanya kebohonganmu.
“Tapi sumpah ya elo tega banget gak pernah ngasih hadia ultah buat gue…” aku mulai kembali menjadi diriku yang semula, yang tak pernah curiga dengan sikapmu. Sejujurnya kau adalah seseorang yang cukup special untukku. Dari awal aku bertemu denganmu, aku telah memandangmu berbeda. Hanya saja, kau tak seperti gadis lain. Kau tertutup dan kaku sehingga aku berusaha menjadi temanmu agar kau nyaman.
“Ngapai gue harus ngasih hadia? Tiap tahun elo udah dapat banyak hadia ulang tahun dari cewek-cewek lo.”
Aku mungkin merasa biasa dengan perkataanmu, namun kau mungkin tidak sadar jika kata-kata itu juga mematakan kepercayaan diriku. “Iya… tapi tahun ini kan gue gak punya cewek! Gue cuma punya elo…”
Kau membalas tatapanku untuk sepersekian detik. Tapi bersamaan dengan hal itu, kuliahat keraguan pula di mata. “Oh… yaudah, gue minta maaf!” sahutmu.
“Cuma sekedar minta maaf nie?” cibirku, “Kak Yuiko yang baru kenal gue aja kasih kado earphone buat gue, elo yang bestfriend gue cuma minta maaf?”
“Kak Yuiko?”
“Iya… kak Yuiko kasih gue kado! Sumpah ya aslinya dia emang baik dan dewasa banget! Ya… walaupun gue merasa cuma dianggap junior tapi boleh dong gue berharap suatu hari nanti gue bisa jadi pacarnya?”
Tanpa kau sadari aku diam-diam mengamati ekspresi wajahmu setiap kali nama itu kusebut, dan entah mengapa wajahmu terlihat masam.
“Yaudah… elo mau kado apa dari gue?” tanyamu sesaat kemudian.
“Apa ya? Muka lo yang lagi manyun aja deh!”
“Maksud lo?”
“Gue mau gambar muka lo yang manyun biar muka jelek lo itu bisa gue nikmati sepanjang waktu, haha…”
Aku tersenyum pahit mengingat semua itu. Sembari membuang kotak besar itu ke dalam tong sampah, kenangan itu pun tiba-tiba menyelusup masuk ke dalam benakku. Aku pun harus mengakui sekali lagi jika aku pernah menyimpan perasaan untukmu sebelum aku putus asa dan menjadikan perasaan itu sebagai pelapiasan untuk mendapatkan cinta perempuan yang bersamaku kini.
“Jeka? Apa yang sedang kau lakukan di luar? Jangan bilang kau lupa jika kita berencana mengunjungi orang tuaku di Hokkaido?” suara yang mengalihkan angan-anganku itu adalah suara Yuiko. Aku bertemu dengannya di depan apartemen ketika dia hendak menjemputku.
Aku pun memaksa tersenyum padanya dan melangkah menghampirinya, “Aku tidak lupa! Jangan khawatir! Aku hanya keluar sebentar untuk menyelesaikan sesuatu…” ujarku kali ini sembari menariknya ke dalam dekapanku.
”Kau memakai cincin juga?” tanya Yuiko ketika melirik jari tangan yang tengah menopang lengannya. Aku melamar Yuiko beberapa hari yang lalu, sebelum rencana kunjungan kami ke Hokkaido. Dia juga mengenakan cincin yang sama di jari tangannya, tapi aku tidak memberitahunya jika cincin itu sepasang.
“Tentu saja! Aku ingin menunjukan pada orang tuamu jika aku benar-benar serius denganmu…” jawabku sembari menatap ke dalam matanya.
Perempuan bermata bulat itu pun tersenyum membalas tatapanku. Wajahnya tidak pernah terlihat secerah itu. Dia juga memakai riasan yang tidak terlalu tebal sehingga kecantikan dalam dirinya benar-benar memancar indah. Aku ingin menyakinkan dalam hatiku jika aku sungguh beruntung memilikinya dan aku tidak harus kembali ke masa lalu.
@aiana kira-kira seperti itulah hehe
Comment on chapter AuntumSenang banget di komen, terima kasih banyak ^^
Aku juga suka "27 Syndrome" kayak aku banget itu ceweknya wkwk