Sapuan lembuat angin pagi membelai wajah Alex yang masih meringkuk di balik selimut kumalnya. Gadis itu menggeliat, ia menatap ke atas dan mendapati sinar matahari sedang berusaha mengintip masuk lewat celah di dinding rapuh gubukya. Ditariknya selimut yang menutupi tubuhnya dan beranjak menuju halaman gubuknya.
Matahari mulai meninggi. Tetesan embun pagi dan genangan-genangan air kotor sisa amukan hujan semalam terlihat disana-sini. Ia mendesah. Sukurlah, ia pikir ia sudah berada di tanah antah-berantah karena gubuknya diterbangkan angin semalam. Nyatanya gubuk itu tak serapuh yang ia kira.
Alex kembali ke dalam rumah. Menyambar handuk kecil dan bergegas menuju kolam kecil tak jauh dari gubuknya untuk membasuh diri. Pagi ini akan ada rombongan pedagang yang melewati desa. Jika ia beruntung, ia mungkin akan menemukan seseoang yang tertarik pada barang-barang antik temuannya. Dengan semangat dan harapan yang tinggi, ia segera kembali ke gubuknya begitu selesai membasuh diri.
Membuka lemari reotnya dengan satu sentakan yang gesit, dan sekejab merasa beruntung lemari itu tak roboh. Ia mengacak-acak kumpulan baju kumalnya. Berpikir sejenak lalu memutuskan untuk mengambil mantel hitamnya yang sepanjang lutut dan jelana jeans usang yang robek di bagian lututnya. Dengan tak sabar ia menggunakan sepatu bootnya dengan satu sentakan kasar untuk memasukkan kaki kirinya lalu melakukan hal yang sama dengan kaki kanannya.
Rambutnya yang hitam panjang sebahu digerainya. Diraihnya bungkusan itu dengan penuh ketelitian. Berharap tidak melukai isinya dan tidak meninggalkan sesuatu yang berharga yang bisa ditukar dengan makanan. Ia melangkahkan kakinya keluar, tersenyum menyambut matahari pagi yang seolah menyemangatinya.
Perjalanan menuju desa tak semudah yang dibayangkan. Alex harus menuruni bukit gunung yang terjal setinggi 100 meter baru kemudian dapat merasakan rumput-rumput hijau perbukitan. Sekali saja kau tergelincir, maka kau akan terjungkal masuk ke jurang. Dan terperangkap di jurang yang terlihat tak berdasar tanpa seorangpun yang bisa mendengarnya adalah hal yang paling tidak diinginkan Alex untuk menghabiskan paginya yang indah.
Alex menuruni tebing dengan hati-hati dan sesekali menumpat ketika ia hampir saja terpeleset. Hujan kemarin membuat jalan semakin licin dan sluit dilalui. Namun, bagi Alex hal tersebut adalah hal yang sangat biasa walau kadang membangunkan adrenalin dalam tubuhnya.
Begitu dekat, dengan lompatan ringan. Sepatu boot Alex sudah merasakan segarnya rerumputan bukit. Ia harus berjalan sekitar 800 meter untuk sampai di gerbang desa. Ramai. Adalah hal pertama yang ditunjukkan desa itu. Mungkin karena ada para pedagang datang, pikirnya. Orang-orang desa berbondong-bondong mengerumuni mereka dengan sekantong penuh uang di celana mereka. Yang tentu saja, membuat para pedagang itu bersorak kegirangan. Dalam hati, tentunya.
Alex memasuki gerbang itu dengan percayadiri. Seolah-olah ia adalah orang yang akan mendapatkan harga lelang tertinggi dari barang yang dibawanya.
“Permisi, tuan. Apakah kau tertarik membeli barang antik?” tanya Alex pada salah seorang pedagang yang sedang mengelar barang dagangannya satu persatu.
Pedagang itu menghentikan aktivitasnya sejenak dan menoleh pada Alex, “Barang apa yang kau bawa?” tanyanya kemudian.
“Ah, ini. sebentar,” kata Alex sembari mengambil buku kuno miliknya.
“Ini, saya memiliki sebuah buku kuno. Saya rasa ini adalah barang berharga yang langka. Ini mungkin bisa mendatangkan keuntungan bagi tuan,” bujuk Alex.
Pedagang tua itu nampak sedikit tertarik dan menyambut uluran Alex untuk mengambil buku itu. Ia menimang buku itu dalam kedua tangannya untuk sejenak.
“Hmm...nampaknya ini adalah buku kuno yang cukup berharga. Hanya jika berada di tangan yang tepat. Namun, seperti yang kau lihat nak. Aku hanya berjualan rempah-rempah dan aku sama sekali tak tertarik akan bisnis jual beli barang kuno,” kata pedagang itu sembari mengembalikan buku kuno ke tangan Alex lagi.
Alex mengambil buku itu, terbesit rasa kecewa dalam hatinya. Benar, pedagang yang satu ini hanyalah menjual rempah-rempah. Alex memerhatikan barang yang digelar pedagang itu dan hanya menemukan beberapa rempah rempah umum seperti jahe, beberapa akar kayu manis dan sedikit tanaman herbal.
“Paman, apakah anda tahu seorang pedagang yang khusus menjual barang-barang antik dalam rombongan ini?”
“Hmm...hanya ada satu orang. Namanya Maro,” ucap pedagang itu.
“Maro?” ulang Alex.
“Iya, namanya Maro. Kau pergi saja ke ujung. Dia menggelar dagangannya di ujung selatan.”
“Terimakasih, paman.”
Alex memasukkan kembali buku miliknya ke dalam tas kantongnya dan bergegas menuju ke selatan. Suasana mulai sedikit mendung sekarang, arak-arakan awan mulai menutup sinar matahari yang cerah pagi ini. ia harus bergegas sebelum hujan turun dan perjalanan kembali akan jadi hal yang lebih sulit.
Begitu sampai di ujung, Alex segera memutar pandangannya mencari pedagang yang bernama Maro itu. Pendagang barang antik satu-satunya dalam rombongan.
Begitu melihatnya, Alex segera berlari kecil menghampirinya.
“Permisi, apakah kau yang bernama Maro?” tanyanya dengan sopan. Ini adalah harapan terakhirnya saat ini.
“Iya, kau siapa? Apa kau mau mencari barang-barang antik?”
“Tidak, tapi saya mau menjualnya.”
“Baiklah, mari duduk sebentar.” Ajak Maro sambil mempersilakan Alex duduk di sebuah kursi di dekatnya.
“Terimakasih,”
“Nah, barang apa yang mau kau jual?” tanya pedagang itu antusias.
“Ini adalah sebuah buku kuno. Saya yakin anda pasti sangat tertarik,” ucap Alex dengan sangat yakin sambil mengeluarkan bukunya.
Padagang barang antik itu terlihat tertegun untuk sejenak begitu melihat Alex mengeluarkan buku kunonya. Namun, ia cepat-cepat menutupi keterkejutannya.
“Ah, ini buku yang sangat berharga.” Ucapnya setelah buku itu berada dalam tangannya. Senyum terkembang di wajah Alex, ia merasa ia akan mendapat untung besar hari ini.
Pedagang itu diam sejenak. Ia mulai menatap Alex dan buku kuno itu secara bergantian. Seolah sedang mencocokkan keduanya.
“Ini ambilah kembali. Buku ini cocok untukmu. Mungkin kau harus belajar sedikit bahsa kuno untuk bisa membacanya,” kata padagang itu. Hal yang sama sekali tak disangka oleh Alex.
“Tapi, saya sama sekali tak membutuhkan buku kuno ini. yang saya butuhkan adalah uangnya.”
“Hahaa...percayalah padaku. Buku ini memang ditakdirkan untukmu. Simpan saja, kau akan mendapatakn keberuntungan,” ucap pedagang itu sambil beranjak meninggalkan Alex yang rupanya masih ingin berdebat.
“Huft...”
Alex hanya bisa memasukkan buku kuno itu kembali ke dalam tasnya dengan pasrah. Hilang sudah harapanya untuk mendapatkan beberapa keping koin sebagai timpal balik atas usahanya membawa buku itu jauh-jauh ke pasar.
Ia hanya bisa beranjak pergi dengan gontai. Mungkin ia akan kelaparan lagi untuk hari ini. tanpa Alex ketahui pedagang itu menoleh padanya kembali dan mengawasi Alex dari kejauhan. “Bawalah, nak. Buku itu memang untukmu. Ia sudah mengikat kontrak dengan pemiliknya.”gumannya sembari tersenyum kecil.
Alex meneruskan perjalanannya untuk kembali ke gubuknya.
Langkahnya lesu dan tanpa semangat sama sekali. Bagitu ia mendongak ia hanya mendapati awan yang semakin tebal dan siap memuantahkan hujan badai kapan saja. Huft...tiba-tiba saja matanya menangkap sesuatu yang terlihat begitu menggairahkan untuknya.
Uang!
Ada selembar uang tanpa pemilik tergeletak di tanah. Alex menoleh kanan-kiri dan tak ada siapapun di sana. Ah, pemilik uang ini adalah orang yang akan menemukannya. Dan itu adalah dia. Uang itu kini miliknya. Dengan buru-buru Alex segera mengambil uang itu dan memasukkan dalam saku celananya. Ia membalikkan langkahnya dan kembali ke pasar.
Alex menjejalkan beberapa roti dan daging ke dalam tas kantongnya dan bergegas melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda. Cepat! Sebelum hujan turun dan tebing yang terjal akan menjadi semakin licin untuk dilalui.
Ia menghitung sisa uangnya. Masih ada beberapa sen tersisa. Dan makanan yang ia beli cukup untuk persediaan beberapa hari ke depan. Nampaknya, pedagang barang antik itu benar. Buku ini mungkin akan mendatangkan keuntungan baginya.
***
Gemuruh petir sahut meyahut menyambar angkasa yang sepenuhnya kelam. Alex hanya bisa mendengus lega, karena ia sudah duduk manis di dalam gubuknya sambil memanggang selembar daging di atas bara api yang menyala-nyala.
Bau daging panggang memenuhi ruangan. Perutnya semakin keroncongan dan lidahnya sudah tak sabar untuk mengecap daging panggang yang dilumuri rempah, roti dan secangkir susu hangat.
Wajar saja Alex begitu mendambakan makanan itu karena sejak kemarin tak ada satupun makanan yang melumuri kerongkongannya sama sekali.
@innos
Comment on chapter PrologHai kak, treimakasih sudah berkunjung ke ceritaku
Terimakasih juga buat sarannya
Insyaallah nanti aku perbaiki lagi,
Semangat juga buat kamu ya, :)