Read More >>"> IRIS
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IRIS
MENU
About Us  

            Panti asuhan Mujigae di Kabupaten Jeongseon, Provinsi Gangwon. Di sanalah Choi Min Seok dan Han Ryeol meneruskan hari-hari mereka setelah tragedi ‘Balas Dendam 27 Desember’ enam tahun silam. Mereka menetap dengan lima anak lainnya: Nam Joon, Joon Myeon, Chang Soo, Jang Ra, dan Se Yeon, di bawah tanggung jawab Bibi Jung Ah. Min Seok mengawali aktivitas setelah empat menit fajar menyingsing. Di cuaca minus derajat selsius, ia tak mandi di sungai belakang panti asuhan bersama Nam Joon dan Joon Myeon seperti biasanya, melainkan di kamar mandi. Sementara Chang Soo masih bergelung di balik selimut lorengnya seraya mengukir banyak peta, sebelas dua belas dengan Han Ryeol. Ketika yang lain telah menunggu di halaman seraya mengenakan seragam rapi, Chang Soo baru saja selesai mandi sementara Han Ryeol terburu-buru menyusun bekalnya di dapur ditemani Bibi Jung Ah.

“Titip punya Min Seok ya, dia meninggalkan sarapan lagi hari ini,” ujar Bibi Jung Ah yang sibuk mencuci peralatan masak.

“Siap, Komandan!” Han Ryeol bergegas menuju halaman setelah menyempatkan diri menyambar sepasang sepatu fantofel lusuh dan memakainya secara asal.

            Setibanya di halaman, gadis berkepang dua itu tertegun kala mendapati hanya ada Se Yeon di atas sepedanya serta Chang Soo yang dua detik lalu membuka pagar lantas berlari sembari berteriak-teriak seperti orang gila.

“Kak Joon tunggu! Jangan tinggalkan aku!”

“Hei Han Ryeol! Cepat!” tegur Se Yeon.

Seraya memasang raut lesu Han Ryeol duduk di kursi belakang, Se Yeon pun mengayuh cepat pedal sepedanya, membuat Han Ryeol berpegangan erat pada ransel milik gadis di depannya itu diiringi rok selututnya yang berkibar-kibar, yang untungnya ia rangkap dengan celana.

            Keempat sepeda tersebut menuruni pegunungan, melalui keindahan liar yang terhampar sepanjang jalan. Angin musim dingin tak lagi membawa aroma khas pepohonan musim semi. Gunung-gunung menjulang yang nampak kerdil dari kejauhan. Sungai yang biasanya mengalir membelah tebing-tebing kokoh, kini membeku. Min Seok memimpin jalan, diikuti Joon Myeon bersama Chang Soo yang tengah memegang pundaknya sambil berdiri, sebab hanya sepeda Joon Myeon yang berjenis sepeda gunung. Di belakang mereka ada Nam Joon dan Jang Ra.

“Hei Nam Joon! Jangan cepat-cepat! Kita tidak sedang dikejar hantu tahu!” protes Jang Ra. Tiba-tiba sepeda yang dikemudikan Nam Joon melindas batu dan hampir membuat sepeda oleng jika saja ia tak segera menekan rem dan menurunkan sebelah kaki. Sementara Jang Ra sudah menjerit-jerit ketakutan, pasalnya jarak mereka hanya beberapa puluh senti dari lembah di sebelahnya.

“Bodoh, Nam Joon bodoh! Aku tidak mau lagi dibonceng olehmu!”

Nam Joon menghela napas, “Dasar merepotkan!”

            Setelah mendapatkan karcis, Han Ryeol dan Se Yeon lekas menaiki kereta di peron tiga. Mereka berdesak-desakan dengan para pelajar dan penduduk untuk mendapatkan kursi yang masih kosong. Sayang semua kursi telah terisi, Han Ryeol pun terpaksa berdiri, apalagi ia terpisah dari Se Yeon yang entah berada di mana. Tak sengaja netranya menemukan Min Seok yang duduk di sebelah jendela dengan tatapan yang terpaku pada suasana luar. Kala Han Ryeol ingin menyapa, mendadak seorang ibu-ibu tambun berdiri di depannya dan memutus akses pandangnya, bertepatan dengan itu bunyi nyaring peluit membahana di udara. Lantas kereta beranjak meninggalkan Stasiun Gujeol-ri untuk menuju Stasiun Auraji.

            “Min Seok, istirahat nanti kau harus ke gerbang penyatuan. Pokoknya kali ini kau harus makan bekal ini!” perintah Han Ryeol yang sengaja menyamai langkah lebar Min Seok.

Min Seok tak bergeming, berlainan dengan Han Ryeol yang terus berceloteh.

“Min Seok, kau dengar aku, kan? Min Seok? Choi Min Seok!” Min Seok berlari ke arah kiri dan bergabung dengan murid lelaki lainnya, tak menghiraukan Han Ryeol yang hanya terdiam menatap kepergiannya.

“Sedang apa di sini, Ryeol? Ayo masuk!” tegur salah seorang teman sekelasnya, Mi Ran.

Han Ryeol sejemang menunduk menatap kotak bekal yang terbungkus kain, lantas mengiyakan ajakan Mi Ran.

            Seperti janjinya, begitu lonceng tanda istirahat berdentang, Han Ryeol memacu tungkainya menuju gerbang penyatuan sekencang mungkin. Gerbang penyatuan ialah di mana murid lelaki dan perempuan bisa saling mengobrol –walau dibatasi pagar besi tinggi- lantaran peraturan di sekolah mereka memang sengaja memisahkan gedung belajar antara murid lelaki dan murid perempuan dengan alasan sederhana, ‘mereka berbeda’. Setibanya di sana ia mengedarkan pandangan di antara celah pagar, berusaha menerawang dinding-dinding gedung di mana kiranya Min Seok berada. Namun, nihil. Semelotot apa pun ia, nyatanya matanya tidak memiliki kemampuan tembus pandang. Akhirnya Han Ryeol memutuskan menunggu. Belasan hingga puluhan menit pun berlalu, Han Ryeol mulai cemas sebab lelaki tersebut belum juga menampakkan hidung. Lantas Han Ryeol mendengar suara gaduh yang mendekat.

“Ryeol! Sudah waktunya masuk. Guru Dong telah berjalan menuju kelas.” Mi Ran berkata seraya terengah-engah.

“Tapi…”

Mi Ran menarik lengannya dengan kuat, “Jangan korbankan pelajaranmu untuk makhluk berkepala batu itu!” Mi Ran mendengus, Han Ryeol tak punya pilihan lain.

            Min Seok berkutat mengerjakan geometri sebelum guru memasuki ruang kelas. Tadinya ia tak menghiraukan kondisi kelas yang ramai seperti tribun penonton sepak bola, namun percakapan Jun Lee dan teman-temannya menyita atensinya.

“Enam tahun sudah balas dendam umat manusia terbayarkan. Para makhluk sialan itu telah musnah. Kalian ingat kan gambar-gambar di koran? Hutan darah, potongan tubuh berceceran, kepala-kepala yang digantung di pohon-pohon. Tapi, nenekku bilang masih ada yang tersisa. Sayang, tidak bisa terlacak siapa dan di mana mereka.”

“Apa? Mengerikan sekali. Bisa-bisa tragedi 1983 terulang.”

“Tidak akan. Kalau mereka masih ada, aku yang akan membunuhnya. Mengulitinya lalu membakarnya hidup-hidup.”

‘TUK!’ Min Seok sengaja melempar Jun Lee dengan rautan, yang tepat mengenai ubun-ubun lelaki itu.

“Jaga omonganmu, Gong Jun Lee! Mereka bisa saja dengar tahu,” sinis Min Seok sembari tersenyum miring lantas beranjak keluar kelas.

“Sialan bedebah itu!” Jun Lee mengelus-elus kepalanya dengan dongkol, tetapi tak lama berselang ia menaruh curiga pada Choi Min Seok.

            “Kami pulang!” Mereka berlima tanpa Han Ryeol dan Min Seok memasuki panti seraya menenteng sepatu masing-masing. Namun,

‘BRAK!’

“Berapa kali kubilang, hah?! Aku tak butuh! Makan saja sana! Untuk apa kau peduli? Apa hanya karena kita yang tersisa? Kau lupa siapa aku? Kita musuh! Kita berlawanan!” Min Seok memasuki panti dengan amarah tak terbendung. Ia menerobos di antara teman-teman pantinya yang berdiri kaku lantas menutup pintu kamar dengan kasar. Diam-diam mereka berlima mengintip Han Ryeol yang masih berada di halaman. Bukannya menangis atau sedih, Han Ryeol malah tersenyum memberesi isi bekalnya yang berceceran. Dan itu menyulut rasa heran dari kelimanya.

            Malam gulita menyapa, Han Ryeol meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di depan pintu kamar Min Seok. Alih-alih pergi setelah mengetuk, Han Ryeol memutuskan duduk di sebelah nampan lalu bersandar di pintu.

“Kalau lapar, keluarlah. Maaf jika sikapku selama ini mengganggumu.” Kali ini Han Ryeol menatap pintu dengan gurat sedih.

“Jujur, aku pun muak hidup seperti ini. Hanya bisa tertawa, bahagia, sedih tanpa bisa mengeluarkan air mata, bersabar, padahal aku juga ingin kesal, marah, menangis. Aku ingin sesekali berada di posisimu. Tapi apa daya, sejak awal aku dilahirkan dalam dunia yang putih, dunia yang tak mengenal kamus kesalahan. Kau ingat kan ini tanggal berapa? Ya, enam tahun hanya bisa menerima. Harusnya aku kesal, marah, tapi tak bisa. Yang kuharapkan bukan putih atau hitam, tapi pelangi, ya pelangi. Di mana aneka warna adalah refleksi aneka rasa. Ada hitam, ada putih, bahkan merah, kuning, dan hijau.” Han Ryeol berhenti berucap. Ia menengok jam dinding yang menunjukkan hampir jam sepuluh.

“Aku pergi dulu. Jangan biarkan makananmu terbuang sia-sia lagi.”

            Han Ryeol menuntun langkahnya menuju kaki gunung melalui hutan yang berselimut salju dibantu sinar lentera yang ia bawa. Dalam dirinya tak terbersit rasa takut karena rasa tersebut tak pernah ada. Sesampainya di tujuan, dengan susah payah ia memunculkan sayapnya yang telah lama ia simpan di balik punggung. Ketika cahaya yang berasal dari sayapnya menerangi malam, ia mencoba menemukan letak di mana para bangsanya disemayamkan. Tetapi, nihil. Sayapnya cacat, sehingga pencariannya sia-sia. Gadis itu berlutut, memandang dengan tatapan kosong. Sekonyong-konyong cahaya putih dan hitam berpendar di kejauhan, membuat Han Ryeol terkejut. Tatkala ia berbalik, nampak Min Seok yang berdiri tegap dengan sepasang sayap hitam yang mekar sempurna.

“Doakan bangsaku juga,” ujarnya dingin.

Han Ryeol tersenyum bahagia. Selanjutnya ia menuju posisi tersebut dan mulai berdoa seraya menangkupkan kedua tangan dan memejamkan mata.

            Sepekan lebih berselang, tepatnya di hari libur. Han Ryeol yang baru bangun langsung menuju dapur karena kelaparan. Di sana ia mendapati Bibi Jung Ah dan Se Yeon yang sibuk membuat sesuatu.

“Ke mana yang lain? Tempat ini rasanya sepi sekali.” Han Ryeol memecah sunyi.

“Oh, Ryeol. Akhirnya bangun juga,” sahut Bibi Jung Ah tersenyum sambil lalu.

“Yang lain sedang main sepak bola di lapangan desa,” balas Se Yeon kemudian.

“Tapi entahlah Min Seok ke mana. Dari jam tujuh dia sudah menghilang,” timpal Bibi Jung Ah.

“Benarkah? Ya ampun, pergi ke mana anak itu?” gumam Han Ryeol. “Ngomong-ngomong, kalian sedang buat apa?”

“Tentu saja kue tart, sekarang kan ulangtahun Min Seok. Oh ya, Yeon, tolong ke pasar beli cokelat batangan dan ice sugar, ya.” Bibi Jung Ah merogoh saku celemeknya dan mengeluarkan sejumlah uang.

“Baiklah.”

“Ya ampun! Aku lupa sekarang dia ulangtahun. Kalau begitu aku ikut ke pasar, ya.”

Se Yeon menatapnya tajam.

“Kumohon.” Han Ryeol bertingkah sok manis.

“Mandi dalam lima menit!”

Han Ryeol kalang kabut menuju kamar mandi.

            Min Seok telah tiba di sebuah rumah tua yang sedari sebulan lalu ia incar. Kini ia duduk di hadapan seorang wanita lanjut usia yang masih nampak cantik parasnya.

“Jadi, apa maksud kedatanganmu?”

Se Yeon membonceng Han Ryeol yang tersenyum sumringah sembari menenteng sebuah kresek putih. Tiba-tiba seseorang menghadang jalan mereka, membuat Se Yeon mengerem mendadak disusul Han Ryeol yang menubruk punggungnya.

“Di mana Min Seok?” tanyanya emosi.

“Ada perlu apa kau?” Han Ryeol lekas menyahut.

Lelaki itu sejenak tersenyum sinis. “Asal kalian tahu, dia itu peri yang masih hidup!”

“Apa?!” Se Yeon kaget bukan kepalang. Sementara Han Ryeol membelalakkan matanya seraya menyengkeram ujung bajunya.

“Kau salah.” Han Ryeol berkata dengan dingin. Selanjutnya ia melakukan sesuatu yang membuat Se Yeon dan lelaki itu membeku di tempat.

            27 Desember tahun 1983 merupakan tragedi pembunuhan penduduk desa disertai perampasan harta benda secara keji oleh bangsa peri hitam yang kalap akibat badai salju parah yang menimbulkan krisis pangan serta obat-obatan bagi bangsa peri. Sehingga memicu lahirnya  tragedi balas dendam pada 27 Desember 1992; pembantaian bangsa peri oleh para manusia yang melibatkan beberapa tukang sihir guna melumpuhkan kekuatan para peri. Para manusia tidak mengetahui bahwa bangsa peri terdiri dari dua kubu; Kaum Acerbus si Hitam dan Kaum Candidus si Putih, sehingga mereka pun membantai semuanya. Namun, tiga peri berhasil selamat; Han Ryeol yang mengerahkan segenap kekuatan untuk melarikan diri sesuai perintah ibunya seraya membawa Min Seok yang kala itu terluka parah. Ia tak sengaja menemukannya bersandar lemah di balik batu besar. Seorang Ratu Kaum Acerbus, Alfron, yang sebelum tragedi berhasil terkena sihir hingga tanpa sadar ia membeberkan kelemahan-kelamahan bangsa peri serta mengikrarkan diri menjadi manusia seumur hidup, ya, ialah Sang Pengkhianat.

“Kau ingin menyusul jejak ibumu?”

Min Seok terdiam sejemang, lantas ia mengangguk.

“Hahaha… Jadi, kau memilih menjadi pengkhianat sepertinya?”

“Apa itu salah?” Pertanyaan retorik.

“Mengapa?” Wanita itu tak lagi menatap ramah.

“Karena aku sudah muak.”

Si wanita menghela napas, “Kau tidak akan pernah bisa melupakan hal yang paling kau benci dan menyakitkan. Apa kau tidak akan menyesal?”

“Aku ke sini karena aku sudah siap dengan segala konsekuensi.”

Keputusan telah final.

            Seoul, 2001. Min Seok bukan lagi sosok berusia ratusan tahun yang wajahnya tetap awet muda. Kini ia berumur 17, tengah berdiri di hadapan seorang wanita paruh baya berkursi roda. Pertemuan berkat setitik cahaya putih yang baru tiga detik lalu musnah setelah menemaninya hampir tiga tahun. Transformasi dari figur yang telah menyelamatkan hidupnya dua kali. Figur yang mati tragis di tangan Gong Jun Lee.

            Wanita itu meraih kedua tangannya, menggenggamnya dengan lembut. Perlahan, air matanya menganak sungai.

“Maaf. Sungguh maaf, Alf.” Ia memeluknya dengan penuh kasih.

Sementara yang dipeluk terpaku, perasaannya campur aduk; marah, sedih, bahagia, kecewa. Min Seok memang melupakan masa lalunya, terkecuali sesuatu yang ia benci, seseorang yang sekarang memeluknya. Namun, ia tahu kejadian silam bukan salahnya sepenuhnya. Apalagi di lubuk hati terdalam, ia sadar ia pun menyayanginya. Dengan ragu ia balas pelukan itu. Secara ajaib kehangatan seolah mengalir ke sekujur tubuhnya, air matanya pun meleleh. Ini bukan Acerbus, bukan Candidus, melainkan Iris. Inilah rasa pelangi itu. Indah. Seindah makhluk tak kasat mata yang tersenyum di depan matanya.

Terimakasih, Faye.

Dan ia menghilang terbawa embusan angin.

 

Tags: Angst Fantasy

How do you feel about this chapter?

3 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cazador The First Mission
7777      2101     21     
Action
Seorang Pria yang menjadi tokoh penting pemicu Perang Seratus Tahun. Abad ke-12, awal dari Malapetaka yang menyelimuti belahan dunia utara. Sebuah perang yang akan tercatat dalam sejarah sebagai perang paling brutal.
Chahaya dan Surya [BOOK 2 OF MUTIARA TRILOGY]
9964      1707     1     
Science Fiction
Mutiara, or more commonly known as Ara, found herself on a ship leading to a place called the Neo Renegades' headquarter. She and the prince of the New Kingdom of Indonesia, Prince Surya, have been kidnapped by the group called Neo Renegades. When she woke up, she found that Guntur, her childhood bestfriend, was in fact, one of the Neo Renegades.
Mentari Diujung Senja
117      86     0     
Fan Fiction
Dunia ini abu untuk seorang Verdasha Serana Kana. Hidupnya ini seperti dipenuhi duri-duri tajam yang tak ada hentinya menusuknya dari seluruh penjuru arah. Ibunya yang tak pernah menghargai dirinya, hanya bisa memanfaatkan Sasha. Lelaki yang di kaguminya pada pandangan pertama malah jadi trauma baginya. Dia tak tahu harus lari kemana lagi untuk mencari perlindungan Philopophy series : Ba...
Delapan Belas Derajat
9965      1862     18     
Romance
Dua remaja yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Salah satu dari mereka memiliki kelainan hitungan detak jantung. Dia memiliki iris mata berwarna biru dan suhu yang sama dengan ruangan kelas mereka. Tidak ada yang sadar dengan kejanggalan itu. Namun, ada yang menguak masalah itu. Kedekatan mereka membuat saling bergantung dan mulai jatuh cinta. Sayangnya, takdir berkata lain. Siap dit...
Code: Scarlet
22409      4364     15     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Crystal Dimension
291      196     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
The Red String of Fate
590      403     1     
Short Story
The story about human\'s arrogance, greed, foolishness, and the punishment they receives.
HIRAETH
365      253     0     
Fantasy
Antares tahu bahwa Nathalie tidak akan bisa menjadi rumahnya. Sebagai seorang nephilim─separuh manusia dan malaikat─kutukan dan ketakutan terus menghantuinya setiap hari. Antares mempertaruhkan seluruh dirinya meskipun musibah akan datang. Ketika saat itu tiba, Antares harap ia telah cukup kuat untuk melindungi Nathalie. Gadis yang Antares cintai secara sepihak, satu-satunya dalam kehidupa...
Kebaikan Hati Naura
582      318     9     
Romance
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal di rumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal di situ.