Alleetta Anastasia Sendouw
Pernah enggak sih kalian manfaatin orang yang deket sama kalian? Semacam nebeng waktu pulang dari sekolah, minta dianterin ke tempat les, atau cuma sekedar nemenin kalian pergi ke mana pun.
Dan, kalian cuma pengen enaknya doang. Kemana-mana cuma, "Ya, kalo lo yang bawa motor, gue mau pergi!" atau sekedar, "Jalan-jalan yuk, tapi gue cuma ngekor..." atau hal lainnya yang bisa enak di kalian, tapi di orang yang deket lu kagak.
Iya, kayak gue. Aleetta Anastasia Sendouw. Otak gue yang penuh dengan rasa ego dan gengsi —sejajar pokoknya sifat gue yang ini— yang kemana-kemana enggak bakalan sendirian, selalu ada satu orang yang setia menemani hidup monoton gue.
Aneh. Gue sempet mikir gini. Apa dia enggak kesel dengan sikap gue yang ego-nya itu gede banget? Atau sekedar bantah apa yang gue mau? Atau sekedar nolak gue ketika maksa keluar rumah, walaupun itu udah tengah malem?
Ya soalnya ... udah ada banyak orang yang secara enggak sengaja deketin gue dan mereka berharap bisa berteman sama gue dengan baik-baik dan berakhir bahagia.
Tetapi, gue malah bikin mereka ngejauh karena sikap gue ini. Menjerumuskan mereka ke neraka buatan gue sendiri. Gue yang seenak jidat nyuruh mereka untuk nurutin apa yang gue mau.
Sampai akhirnya mereka bilang gini ke gue, "Sadar diri dong, Al! Gue mau temenan sama lo karena gue mau deket, bukan sekedar jadi babu lo!"
Iya, gue sadar banget. Sifat keras kepala gue dari kecil yang enggak bisa ditahan kalau ada sesuatu yang enggak bisa gue dapat, harus didapatin saat itu juga. Pokoknya selama itu bisa gue gapai, bakalan gue usahain walaupun harus ngorbanin orang dideket gue, sekalipun orang yang gue sayang.
Bodoh memang. Tapi mau gimana lagi? Sifat dari lahir.
Tapi, asal kalian tahu. Ada satu orang yang masih bertahan sama sikap gue yang kayak eek kambing ini. Dan gue enggak habis pikir apa yang buat dia masih bertahan ama ego besar gue yang enggak bakalan hilang walaupun udah dibawa ke dukun.
Dia temen gue.
Cowok.
Temen gue dari awal masuk sekolah. Temen sekelas juga, temen satu les-lesan juga, temen gue yang pokoknya paling the best, the real best friend gue.
Namanya ...
Siapa ya, namanya? Anjir, gue lupa.
Gue memang pelupa dengan hal sekecil apa pun itu. Dan bahkan, sekarang, gue lupa siapa nama dia?
"Al?"
"Hmm?" gue cuma mendeham sambil meluk pinggangnya. Enggak ada suara setelah itu, alis gue berkerut bingung. "Kenapa?"
Dia, temen gue —yang entah siapa namanya— cuma fokus ke arah jalanan raya sambil sesekali curi pandang lewat kaca spion.
"Mau kemana?"
Yang saat itu, gue lagi ngelamun buat mengingat nama dia, seketika langsung buyar. "Haa?"
"Mau kemana?" katanya lagi, diselingi dengan tawaan kecil yang terdengar jelas ditelinga gue.
"Oh." sahut gue datar. "Terserah."
"Oke."
Bisa gue lihat dari balik kaca spion kalau dia cuma ngangguk sambil mikir sesuatu. Sampai akhirnya, dia membelokkan motor dan gue harus bernapas lega begitu dia menghentikan motornya, kalian tahu enggak? Daritadi kita cuma muter-muter Surabaya enggak jelas tujuan.
Dan disinilah akhirnya. Sebuah taman, lengkap dengan danau. Yang setahu gue, memang tempat paling pas buat hunting.
Gue turun dari motor dia, dan melihatnya memarkirkan motor lalu sepuluh detik kemudian dikasih nomer parkir oleh bapak-bapak yang tidak tahu datang darimana. Nyelonong aja kayak hantu, begitu gue dan dia tiba ditempat ini.
Dia tersenyum ke arah gue begitu menyelesaikan urusannya. Gue lihat, sambil jalan dia mengeluarkan sebuah kamera DLSR, membuka lensa. Dan ...
Bip...
Klik..
Eh, sialan nih bocah. Main asal jepret aja. Gue mengerucut bibir, berjalan mendekat sambil menoyor kepalanya. "Napa asal jepret, babang?"
Dia cuma nyengir enggak jelas. "Bagus, tapi. Mau lihat?"
Gue cuma diam, enggak tahu harus apa ketika dia menunjukkan fotonya ke arah gue. Iya. Memang bagus. Gue bisa lihat gimana indahnya gue di foto itu.
Foto yang belakangnya memang blur warna hijau karena belakang gue banyak pepohonan. Dan ditengah-tengahnya ada gue, dengan wajah flat lihat ke arah kamera karena saat itu kebetulan lagi lihat dia. Poni pendek gue yang dibiarin ke samping, rambut gue yang hitam kecoklatan tampak bersinar, wajah putih gue yang kelihatan pucat.

Perfect.
Gue suka. Hitung-hitung buat nambah postingan di IG.
Tanpa sadar, gue mengangguk mengiyakan ucapannya barusan. "Fix, gue makin suka sama lo."
Memang bagus dia bisa gue andalin.
Memang bagus dia deket sama gue.
Memang bagus dia enggak pernah nolak apapun yang gue minta.
Memang bagus kalau dia mau nurutin permintaan gue.
Karena dengan begitu, dia bisa jadi bidak gue yang paling berharga.
Bagus ceritanya. Ditunggu kelanjutannya ya kakk
Comment on chapter A : Ego