Reina duduk sendirian di kafe tempat Sheila bekerja. Hidungnya tampak menikmati aroma wangi yang mengambang di udara dari cangkir cappuccino yang ada di hadapannya. Sama seperti yang sudah-sudah, kali ini pun Sheila memberikan secangkir cappuccino secara cuma-cuma. Seringkali dia merasa tak enak pada sahabat satu-satunya itu, tetapi seringkali itu pulalah Sheila berhasil meyakinkannya untuk tidak merasa sungkan menerima pemberiannya yang tak seberapa itu.
Sheila terpaksa meninggalkannya sendirian karena keramaian para pengunjung kafe pagi ini. Sepertinya, para pelayan yang bekerja di kafenya itu agak kewalahan memberikan pelayanan kepada para pengunjung yang datang.
Reina mengangkat cangkirnya dan meneguknya dengan perlahan. Aroma dan rasanya yang manis dan nikmat membuat air liurnya hampir saja menetes.
“REINA!”
Seruan nyaring Sheila berhasil membuat Reina terlonjak kaget. Reina mendengus kesal. Hampir saja cangkir yang dipegangnya menumpahkan minuman favoritnya itu.
“Sheila!” seru Reina dengan nada yang tak kalah nyaringnya, “kamu apa-apaan sih, Shil? Suara kamu itu hampir saja membuat gendang telingaku pecah tau.”
Sheila malah tertawa, kemudian duduk di depan Reina. Di tengah-tengah tawanya, dia berkata, “Wajah kamu lucu banget tadi, Rei. Tapi untung aja cappuccinonya nggak tumpah.”
“Iya nih. Untung aja cappuccinonya nggak tumpah. Kamu juga sih, pake ngagetin segala,” omelnya.
Sheila menghentikan tawanya, lalu berkata, “Maaf, maaf. Tapi lain kali aku bakal ngelakuin lagi. Jadi kamu tenang aja.”
Reina bisa mendengar suara cekikikan Sheila. Reina menghela napas, lalu menggeleng kepalanya dengan pelan. Reina tahu sifat jahil Sheila tidak akan pernah bisa hilang. Walaupun begitu, Sheila sangat peduli dengannya. Reina sangat bersyukur karena bisa bertemu dan menjadi sahabatnya.
“Astaga, Shil. Kau benar-benar sahabat ajaib.”
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Tatapan mata Sheila tiba-tiba menangkap pemandangan yang tak biasanya. Terlihat seorang cowok tengah memperhatikannya dan juga Reina. Sheila menepuk-nepuk tangan Reina. Kedua matanya berbinar-binar menatapnya.
“Ada apa, Shil?” tanya Reina bingung.
“Kau lihat itu, Rei?” tanya Sheila dengan nada yang bersemangat.
“Kau lupa kalau aku buta,” ucapnya ketus. “Emang apaan sih?”
Sheila menatap Reina tak enak. Dia lupa kalau Reina buta. “Maaf, Rei. Aku nggak bermaksud menyinggungmu. Hah… cowok itu benar-benar membuatku lupa.”
“Cowok?” Reina tersenyum kecil. Pantas saja dia mendengar suara Sheila yang begitu semangatnya. Itu semua pasti karena cowok yang dilihatnya.
“Kuperhatikan sejak tadi cowok itu melihat ke arah kita, Rei. Dia ganteng banget. Di antara semua pengunjung yang pernah aku lihat, dia cowok terganteng yang baru aku lihat,” jelas Sheila tanpa mengurangi semangat bicaranya. “Rei, dia menuju kemari.”
Selangkah demi selangkah cowok itu berjalan menuju satu meja. Di tengah hiruk piruk pengunjung, cowok itu memilih menuju meja Reina dan Sheila. Tak perlu waktu lama, cowok itu kini berdiri di hadapan mereka. Tangan kanannya membawa secangkir cappuccino. Dia tersenyum menatap mereka, lalu berkata dengan ramah, “Boleh aku gabung dengan kalian?”
Reina terkejut mendengar suara cowok itu. Suaranya terdengar tak asing di telinganya. Devan. Itu memang suara Devan. Dia tersenyum senang seraya berkata, “Devan? Kamu Devan, kan?”
“Hebat sekali kamu, Rei. Kamu bisa tahu aku hanya dari suaraku aja,” puji Devan. “Ngomong-ngomong, boleh nggak aku duduk di sini sama kamu? Bosan sekali duduk sendirian di sana.”
“Tentu saja. Duduklah!”
Tanpa berkata apa pun lagi, Devan duduk di samping Reina. Sheila yang sejak tadi duduk di depan Reina mengernyitkan dahinya. Tatapan matanya terus mengarah pada Reina dan cowok yang dipanggil Devan itu.
“Kalian berdua saling kenal?”
Reina tersenyum, “Iya, Shil. Aku dan Devan sudah saling kenal.”
Devan tersenyum sembari mengulurkan tangannya kepada Sheila. “Devan.”
“Sheila.” Sheila menjabat tangan Devan.
Suasana di antara mereka terasa canggung. Baik Reina dan Devan sama-sama tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka berdua tampak asyik menikmati cappuccino masing-masing.
“Bagaimana kalian kenalannya?” Sheila bertanya namun sebenarnya tidak sungguh-sungguh bertanya. Lebih tepatnya, dia hanya mengisi kekosongan di antara mereka sejak tadi.
Devan menghentikan minumnya dan menatap Reina. Reina sama sekali tak menggubris pertanyaan dari temannya. Dia malah tampak menikmati minumannya.
“Aku nggak sengaja bertemu Reina sendirian di tepi jalan,” jawab Devan.
Sheila tampak keget mendengar jawaban dari Devan. Sejak Reina buta, Reina sama sekali tak pernah jalan-jalan sendirian, apalagi di tepi jalan. Berbagai pertanyaan mulai berputar-putar di kepalanya. Tetapi, dia mengurungkannya. Dia merasa tak enak bila harus menanyakan hal itu kepada Reina sekarang, apalagi ada Devan yang duduk di samping Reina. Dia tak ingin merusak suasana yang sudah canggung ini. Tetapi di sisi lain, Sheila tampak senang melihat sahabatnya itu bertemu dengan Devan. Dia bahkan masih belum percaya Reina bisa bertemu dengan cowok yang tampan seperti Devan. Bila diperhatikan, Devan terlihat cool, rambutnya yang sedikit berantakan menambah ketampanannya, senyumnya sangat manis, kharismatik, cocok dengan Reina yang baik hati. Baru melihatnya saja, Sheila sudah terpesona dengannya. Tapi sayangnya, Devan terlihat tertarik kepada Reina.
Hiruk piruk dari pengunjung kafe tak lantas memperbaiki suasana di antara mereka. Suasana yang tercipta di antara mereka semakin tak mengenakan. Reina yang biasanya bicara, tak kunjung bicara. Mungkin karena ada dirinya, Reina menjadi canggung berbicara dengan Devan. Sheila pun memutuskan untuk menjauh dari mereka agar Reina dan Devan bisa semakin akrab.
“Rei, kamu nggak apa-apa kan berdua aja sama Devan? Sepertinya para pagawaiku butuh bantuanku lagi,” ucap Sheila sembari beranjak dari kursinya.
Reina tampak kaget. Dia bingung harus bersikap seperti apa terhadap Devan. Apalagi, Sheila tak menemaninya, membuat kepalanya tak bisa berpikir. Tapi, Reina bisa memaklumi sikap Sheila. Sheila pasti dibutuhkan oleh para pegawainya untuk mengurus kafenya. Apalagi kafe ini adalah miliknya, dia wajib mengatur dan mengurus kinerja dari para pegawainya.
“Aku nggak apa-apa kok. Kamu ke sana saja. Kasihan para pegawaimu, pasti kewalahan.”
“Maaf ya, Rei.” Sheila lantas pergi meninggalkan Reina berdua dengan Devan.
Kini Reina duduk berdua dengan Devan. Rasanya aneh sekali berdua dengannya. Tak seperti saat berdua dengan Sheila, ada rasa yang berbeda saat bersama dengan Devan. Entah, apalah itu. Dia sendiri pun tak mengetahuinya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Devan memulai pembicaraan.
“Lumayan. Aku ingin sih datang ke sini setiap hari, tapi aku merasa nggak enak sama Sheila.”
“Kenapa merasa nggak enak? Bukankah cewek tadi temanmu?”
“Setiap kali aku ke sini, aku selalu di traktir sama dia cappuccino ini. Aku kan merasa nggak enak sama dia,” terangnya. “Kalau kamu? Kamu sering datang ke sini?”
Devan kembali menyeruput cappuccinonya, lalu berkata, “Nggak juga. Aku baru dua kali datang ke sini. Tadinya mau janjian bareng sama teman, tapi malah nggak jadi. Katanya mereka ada urusan mendadak.”
Reina diam. Dia tak tahu lagi harus berkata apa. Di cangkirnya hanya tersisa sedikit cappuccino. Entah kenapa jantungnya terus berdetak tak karuan bila berdua dengan Devan. Mungkinkah dirinya mulai menyukai Devan?
“Hei! Kok malah bengong? Apa kamu nggak suka bila aku duduk di sini?”
Suara Devan membuat Reina tersadar dari lamunannya. Dia segera berkata agar tak terjadi kesalah pahaman, “Nggak kok. Aku sama sekali nggak keberatan bila kamu ada di sini.”
“Kamu sudah punya pacar?”
Reina terbatuk mendengarnya. Ada rona kemerahan yang terlihat dari kedua pipinya. Dia mengatur napasnya, berharap agar Devan tak tahu bagaimana hatinya saat ini.
“Tentu saja nggak ada. Mana ada sih cowok yang mau sama cewek buta seperti aku ini. Hanya bisa menyusahkan saja.”
“Kamu jangan bicara seperti itu dong, Rei. Kamu itu cantik, baik lagi, pasti banyak yang suka sama kamu.”
“Tapi aku buta.”
“Itu kan cuma fisiknya saja. Kamu jangan samakan sifat semua cowok. Ada loh cowok yang memandang cewek nggak cuma dari fisiknya saja,” jelasnya dengan semangat, “termasuk aku. Aku senang bisa bertemu denganmu.”
“Ih, gombal.” Reina tersipu malu mendengarnya. “Kata Kak Citra dan Sheila, kamu ganteng banget, pasti banyak cewek yang mendekatimu. Kamu pasti sudah punya pacar.”
“Siapa yang bilang? Nggak kok. Aku sama sekali belum punya pacar,” jawabnya singkat.
“Bohong!” Reina tak percaya. Tak mungkin cowok setampan Devan tak memiliki cewek yang menjadi tambatan hatinya.
“Terserah kamu mau percaya atau nggak. Tapi sampai sekarang, belum ada cewek yang cocok denganku,” terangnya sembari menatap dalam Reina. “Kamu boleh percaya pada ucapanku ini atau nggak, aku senang bisa bertemu denganmu di tepi jalan saat itu. Bagiku, kamu itu cewek istimewa yang belum pernah aku lihat dari cewek-cewek lain. Entah kenapa, aku merasa nyaman bila sama kamu.”
Lagi-lagi Reina terkejut dibuatnya. Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Devan membuat hati Reina berbunga-bunga saking bahagianya. Bukannya kembali berdetak normal, jantungnya malah semakin berdetak kencang. Kepalanya terasa buntu. Dia tak tahu harus bersikap seperti apa agar Devan tak mengetahui apa yang dirasakannya sekarang.
Tanpa Reina sadari, Devan terus memandang wajah cantik Reina. Sebuah senyuman tanpa sadar terukir di wajahnya. Dalam hatinya, dia sangat mengagumi sosok yang kini duduk di sampingnya itu. Tak hanya parasnya saja yang cantik, sifatnya pun sangat baik. Dia sadar bahwa hatinya benar-benar menyukai Reina dan ingin memilikinya seutuhnya.
***
suka ceritanya ..semangat
Comment on chapter BAB 1 MIMPI BURUK