Matahari sore berlalu begitu cepat saat sedan merah itu melintasi jalanan yang sepi. Wanita yang ada di dalamnya hanya bertopang dagu sambil melihat sekitar. Tempat ini terlihat asing baginya, tapi mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus menerima kondisi yang ada di sekitarnya. Dia memutuskan untuk mencari rumah baru di sekitar tempat itu. Dia butuh ketenangan, memulai hidup, bertemu dengan orang-orang baru, itu mungkin bisa lebih membantunya untuk menjalani hidup yang lebih baik.
Toh dia juga sudah diterima sebagai tenaga pengajar di salah satu SD yang ada di lingkungan baru itu dan akan sering berjumpa dengan anak-anak. Dia akan menjaga dan mendidik banyak anak-anak. Anak, yaa... seorang anak. Hal itu kembali lagi melintas dipikirannya. Buru-buru dia mengalihkan pikirannya ke hal yang lain, asal tidak pada ‘anak’.
“Kita sudah sampai,” ujar lelaki yang ada di sebelahnya.
Dia bergerak membuka pintu mobil. Lelaki itu sudah lebih dulu keluar dan mengeluarkan sebagian barangnya. Sementara ini baginya masih kelihatan asing, ‘Ya... Karena ini masih awal, besok dia akan betah sendiri’. Pikirnya. Matanya tak henti memperhatikan sekitar, kunci rumah ada padanya. Lelaki itu membantunya mengangkat barang-barang dan mendahuluinya masuk setelah pintu utama rumahnya dibuka.
Tidak, bukan saatnya mengkhawatirkan hal yang belum terjadi. Pun, bukan saatnya untuk menangisi masa lalu. Dia juga ikut mengambil barang-barang, mengangkat, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.
“Sekali-kali datanglah ke rumah. Ibu mengkhawatirkanmu,” kata lelaki itu setelah beberapa menit yang lalu mereka selesai memindahkan barang.
Mereka berada di dapur, wanita itu sangat menyukai desain rumah barunya itu. Terlebih lagi, dapurnya kelihatan cantik dengan meja bar yang membentuk setengah lingkaran. Warnanya juga kelihatan monochrom, warna kesukaannya, sehingga membuat dia merasa tenang saat berada di sana.
“Kalau aku senggang, maka aku akan berkunjung,” katanya.
Ada dua cangkir minuman di hadapan mereka. Satunya masih kelihatan penuh, yang satunya lagi tinggal setengah.
“Kau memiliki banyak waktu. Bukankah sekarang ini sudah tidak ada lagi yang kau urus? Aku hanya khawatir kalau kau sendirian,” kata lelaki itu.
Rauly Wara, lelaki yang amat mirip dengannya. Lebih tepatnya, lelaki itu adalah versi laki-laki dari dirinya. Mereka saudara kembar, tapi Wara adalah kakak laki-lakinya yang sampai sekarang masih melajang. Wara memilih bekerja dan membahagiakan kedua orang tuanya lebih dulu sebelum menikah. Benar, menikah bukan hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus dipertanggung jawabkan. Baik itu suami maupun istri. Juga harus berani saling-mengalah, mengambil resiko dan saling menerima keadaan satu sama lain. Seharusnya begitu.
Hati Sedayu Renjana sudah hancur sekarang. Jadi dia datang ke sini untuk memperbaiki hatinya yang lebur, menatanya kembali, serta menjalani kehidupan yang normal.
“Aku juga harus bekerja. Kalau tidak bekerja bagaimana aku bisa makan?” katanya menghela panjang.
Itu hanya alasan, sebenarnya, orang tuanya sendiri masih bisa menghidupinya. Kalau dia mau, dia juga bisa tinggal bersama ibu dan ayahnya. Tapi sayang, dia tidak mau menyusahkan dan bermanja-manja pada orang tuanya. Ingat umur. Setidaknya, dia bekerja untuk mengalihkan pikiran-pikiran buruk, tentang masa lalu yang sering serentak menyerang memori otaknya.
“Saat kau sedang tidak bekerja. Kau bisa menjenguk mereka. Jana, kau harus tahu kalau ibu dan ayah sangat mengkhawatirkanmu,” kata lelakit itu.
Wara lebih tua darinya, tapi Jana tidak pernah mau mengalah pada kakaknya itu. Jika dia benar-benar keukeh terhadap sesuatu, maka akan dipertahankannya.
“Aku baik-baik saja,” katanya.
“Baiklah, kalau begitu. Kau bisa menata semuanya, kan? Aku harus kembali bekerja dulu, dan ingat, jaga kesehatanmu, maaf tidak banyak membantu,” kata Wara sambil mengacak-acak rambut hitam milik Jana.
Lelaki itu masih menganggap Jana sebagai adik kecil yang paling disayang, walau dulu mereka yang paling sering membuat keributan di rumah dan merusak beberapa perabotan rumah hanya karena sebuah remote tv. Mereka berdua juga jadi bahan kemarahan ayahnya. Tapi itu dulu, segala hal-hal yang lalu menjadi kenangan.
Setelah kepergian Wara, dia duduk di sebuah gazebo yang ada di belakang rumahnya. Sambil menikmati udara yang lewat. Udara di tempat ini sangat segar, mungkin karena jarang ada kendaraan yang lewat, sehinggga polusi tidak terlalu mencemari lingkungan. Hari yang baru, juga hari yang berbeda. Tapi bukankah lebih baik menata barang-barangnya sekarang, karena besok dia sudah mulai bekerja. Dia tidak ingin kewalahan sendiri. Maka dia kembali masuk ke dalam rumah. Membawa koper-kopernya ke kamar, merapikan baju di lemarinya. Membuka kardus-kardus berisi lembaran-lembaran tulisan yang sempat dikerjakan bulan lalu. Dia belum menyelesaikan tulisannya sendiri, dia merapikan lembaran-lembaran itu di atas nakas yang ada di dekat tempat tidur. Siapa tahu, nanti hatinya akan tergerak sendiri melanjutkan tulisan itu. Entah.
Dia memasukkan selai fruits rouges buatan ibunya ke dalam lemari dapur, serta disusul sebotol monbazillac. Mungkin ibunya sengaja menyiapkannya sebelum Jana meninggalkan rumah. Tapi dia berjanji akan menelepon. Lemari esnya kosong, makanya hari ini, tidak, sore ini, Jana akan pergi ke supermarket terdekat untuk membeli kebutuhannya, juga untuk isi lemari esnya.
Benda-benda yang menurutnya tidak penting, ataupun benda-benda yang membuat dia teringat pada masa lalu dipisahkan ke dalam kardus. Lebih baik tidak meratapi masa lalu, bukan? Kemudian beberapa foto keluarga, ayah, ibu dan kakaknya dipajang di tembok ruang tamu. Lebih baik begini. Semuanya kelihatan rapi. Dia rebahan sejenak di atas sofa, hingga tak sadar kalau dirinya sudah lelap dalam tidur.
Mimpi yang masih saja menghantuinya. Hingga sekarang membuat Jana khawatir. Bajunya sampai basah akibat keringat yang membanjiri tubuhnya. Dia terbangun sesaat, mungkin sebaiknya Jana memasang pendingin ruangan. Karena rumah itu sangat panas, tapi Jana harus bekerja dulu, dia tidak ingin meminta uang terus-menerus pada orang tua ataupun kakaknya.
Lantas dia keluar dari dalam rumah. Matahari sudah mulai tergelincir ke peraduan, dan seorang bocah kecil masih sedang bermain di luar. Melihat bocah kecil itu membuat hatinya tenang. Apalagi saat si bocah kecil itu melambai padanya, dia juga balas melambai. Mungkin dia adalah anak dari tetangga barunya itu. Mungkin juga besok dia akan menyapa mereka. Tidak menunggu lama, baru seorang laki-laki keluar dari pintu kafe yang ada di samping rumahnya. Dia terlihat buru-buru sekali, tapi setelah bertemu dengan bocah kecil itu, rautnya langsung berubah. Merekapun masuk ke dalam kafe tersebut, jadi tetangganya adalah seorang pemilik kafe, mungkin suami-istri itu membuka usaha kafe bersama. Ah, keluarga memang seharusnya rukun, keluarga memang seharusnya saling menjaga. Dia masuk setelah memastikan ayah dan anak itu sudah menghilang dari pintu kafe itu.