“Ah, sial! Kenapa novel ini tidak bisa memikat lebih banyak lagi? Padahal aku sudah belajar mati-matian sampai mengorbankan kesehatanku sendiri hanya untuk mendapatkan ini?! Apa sebegitu buruknya kemampuan menulisku sampai-sampai pujian yang hanya segelintir saja tenggelam karena hinaan mereka!” Mengambil kaleng minuman soda dengan penuh amarah yang meledak-ledak di dalam hati. Meneguk cepat sampai habis tak tersisa, kemudian ia menguatkan genggamnya hingga kaleng itu menyusut ke dalam telapak tangannya.
Perasaan di hatinya pun juga begitu. Hancur tak berbentuk seperti kaleng itu…
Kring…!
Suara alarm yang sangat berisik pada pagi hari ini terdengar sampai ke telinganya. Dan itu berasal dari ranjang tempat tidur yang berantakan, selimut serta bantal terhampar-hampar di lantai kayu yang terlapisi karpet bulat coklat bergaris lingkaran merah tua. Alarm itu ia sengaja mengatur waktunya untuk membangunkannya pada jam sekarang, meskipun ia sendiri tahu betul bahwa memasang alarm adalah tindakan sia-sia untuknya, karena pastinya ia selalu saja bangun lebih awal dari suara alarm yang ia pasang.
Berdiri dari bangku tempat kerjanya. Arah pandang mata ke bawah dan melihat sebuah hamparan kapal-kapal yang pecah, tepatnya di atas meja kayu coklat terlihat penuh dengan sampah-sampah kaleng minuman soda dan beberapa bungkus plastik makanan ringan yang menumpuk di samping laptop miliknya.
Nampak suram keadaan di ruangan ini. Ia juga menyadari itu sejak meninggalkan kehidupan menyenangkannya. Menyenangkan? Rasanya itu tidak untuknya, tapi bagi mereka yang melakukannya. Entah ini adalah pilihan yang tepat atau bukan, tetapi ia sangat tidak menyesalinya sama sekali.
Terukir di saat-saat terakhirnya di tempat yang tidak menyenangkan, ia tersenyum kepada mereka yang mengaku tidak bersalah ketika masalah itu mulai memanas, tanpa mengatakan sepatah kata pun ia mulai melangkahkan kakinya ke arah kegelapan yang telah menjulurkan tangannya pada dirinya…
“Tidak ada gunanya kalau kuteruskan seperti ini! Ahh, benar yang di katakan Fajrul, aku tidak memiliki kemampuan menulis.” Tatapan mata yang hampa, kosong, hampir terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan jiwanya saja, sambil berjalan menghampiri suara alarm yang masih berdering, Kiki akhirnya mematikannya. Sebelum itu, kata-kata yang membuat dirinya semakin pesimis teringat kembali, dan, ia terseret oleh arus yang kuat menuju jurang kepasrahan yang sangat dalam, “Apa… aku harus berhenti menulis?”
Begitu Kiki mengucapkan kalimat untuk mengakhiri kehidupan tanpa arti ini, hatinya tiba-tiba berteriak dengan kerasnya menyuarakan keinginan sebenarnya, “Tidak akan pernah terjadi!”. Perkataan tak akan pernah bisa membohongi hati yang berbicara. Ya itu benar, meski kau adalah aktor terhebat di dunia sekalian pun dan bisa mengubah seluruh ekspresi di wajahmu menjadi yang kau inginkan, tetap saja, berusaha membohongi dirimu sendiri dengan segala hal di lakukan agar dapat menyembunyikannya akan berakhir melukai perasaan yang kau rasakan sekarang.
Bersembunyi di balik kegelapan yang sudah menguasai hampir seluruh bagian tubuh dan pikirannya, menyisakan setitik cahaya kecil di dalam sana yang tetap terjaga cahayanya bersinar menerangi jalan untuknya kembali suatu saat nanti.
Hari ini ia rasa sudah cukup untuk mengingatkannya pada hari-hari itu, dan memutuskan agar cepat melupakannya dengan mencoba tidur lebih awal dari jadwal biasanya…
Untuk sekali ini saja dalam kehidupannya yang membosankan, Kiki berpikir akan mencoba sesuatu yang berbeda yang sudah lama tidak ia lakukan. Meski pada kenyataannya ia masih belum bisa menghilangkan kebiasaan lama, yang sehabis bangun tidur ia akan segera berjalan ke tempat meja kerja yang berantakan. Dan sekarang itu terjadi hari ini, berjalan ke sana untuk kembali menulis novel. “Kenapa aku tidak bisa menghilangkan kebiasaan lamaku? Apa aku bodoh? Atau memang pintar?” Memuji diri sendiri dengan mengatakan kenyataan yang terbalik, rasanya bagaimana? Tambah bodoh, itu yang di rasakannya. Tertawa pelan, menertawakan perkataannya sendiri. “Jangan berlebihan Kiki. Tujuan menarik para pembaca saja cuma omong kosong belaka darimu. Dasar bodoh.”
Berdiri kembali dengan mengerutkan alisnya. Yang dipikirkannya sejak awal hampir terjawab sudah bersama menghilangnya kerutan di dahi. “A-apa sebaiknya… aku pergi keluar, terus bermain dengan teman sebayaku,” ucapnya terdengar meragukan, bukti bahwa ia tidak terlalu suka tapi tetap di paksakan. Seharusnya ia juga tak perlu mengucapkannya, apalagi sampai memikirkannya, karena itu adalah ucapan yang menyinggung kehidupannya selama ini. “Menyedihkan sekali… menjadi ansos, antisocial yang tak pernah keluar rumah selama 1 tahun, kurang lebih sih. Kalau di ingat-ingat, aku ini, cuma punya dua orang teman.” Langsung menundukkan kepala dan mendesah pasrah.
Terlebih lagi, mereka berdua sekarang sedang apa, ya? Tidak pernah mengirimi pesan atau pun menelpon, kecuali dari perempuan itu yang suka sekali spam-mail padaku… Aneh rasanya kalau melihat kelakuannya. Aneh, kah?
Yang aneh adalah dirinya, mengapa ia tidak bisa mengerti maksud dari perempuan itu sejak awal bertemu…
Tak lama setelah pikirannya mulai tenang, ia mendengar suara langkah kaki kecil seseorang dari luar kamarnya dan perlahan semakin mendekati tempat ini. Berhenti tepat di depan pintu suara langkah tersebut. “Kak Kiki. Mau main bersamaku tidak? Aku punya papan monopoli baru, nih.”
Berpikir kritis, menganalisis suara, lalu membuat kesimpulan tepat. Akhir dari ketiga tahapan yang berlangsung singkat ini mulai menunjukkan hasilnya.
Pertama, lemah lembut dan sangat ramah. Kedua, apa yang ia dengar sampai sejauh ini adalah benar-benar ketulusan murni dan baik hati. Ketiga, kesimpulan terakhir setelah menyatukan semuanya menjadi satu bagian bentuk rupa sederhana, orang ini adalah… orang yang ia kenal.
Eh! Tunggu, bukannya dia harus ke sekolah hari ini?
Menoleh ke belakang dan melihat sebuah jam dinding yang berdetak. Terus memandanginya akan perasaan khawatir telah terjadi sesuatu padanya, ia berpikir begitu karena sebelumnya juga pernah ada kejadian serupa. Untuk alasannya ia sudah tahu; melupakan atau tak mau memikirkan lagi apa yang telah terjadi, mungkin kata kasarnya adalah melarikan diri.
Sekarang sudah jam 8 lewat?! Dia sudah benar-benar terlambat! Apa mungkin… d-dia membolos? Ahh… kalau itu sih kurasa tidak mungkin deh, karena di sekolahnya dia salah satu murid terbaik dengan nilai tertinggi. Bagus dalam menganalisis suatu keadaan, juga bisa di andalkan dalam mengerjakan pekerjaan rumah seperti kakaknya yang satu ini…
Berulang kali menggelengkan kepala, ia bermaksud untuk menghentikan jalan pikirannya yang membuang banyak sekali waktu. Kemudian, mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar yang masih tertutup rapat, dan menanyakannya langsung apa yang terjadi, “Sa-sarah, bukannya kamu harus ke sekolah hari ini? Kenapa kamu malah mengajakku bermain?”
“Kak Kiki. Inikan hari sabtu, mana mungkin aku pergi ke sekolah.”
“A-apa? Sekarang hari sabtu?!” Betapa terkejutnya mendengar hal itu dari orang Sarah saat tahu keadaan kamarnya sudah seperti kapal yang sehabis berperang. “Oh… My… God…”
“Ada apa kak?” Sarah menggenggam gagang pintu dan mendorongnya. Tapi, Kiki dengan cepatnya bergerak lebih dulu, lalu menahan pintu tersebut dengan kaki kanannya agar Sarah tak bisa melihat keadaan kamarnya.
Ta-tadi itu hampir saja. Kalau Sarah sampai melihat ini, tamat sudah…
“Ti-tidak, tidak apa apa kok. A-aku tadi itu hanya teringat masalah yang pernah kulupakan, dan sekarang aku ingin membersih- ti-tidak, maksudku baru menyelesaikan masalah itu. Jadi, kamu jangan masuk ke sini dulu, ya.”
“Masalah? Kakak punya masalah?! Kenapa tidak bilang sama Sarah?” Tidak ada jawaban. Tapi, Sarah bisa mendengar suara agak berisik dari dalam sana, dan oleh karena itu ia menjadi penasaran dengan keadaan yang sebenarnya. “Kak, kak Kiki! Tolong di jawab, jangan diam saja! Memangnya ada apa?” Tetap tidak juga menjawab. Sarah menyerah, lalu berpikir untuk tidak ikut campur masalah yang di bilang kakaknya. Daripada pusing-pusing memikirkan masalah yang tidak jelas maksudnya apa, ia lebih memilih mempercayainya bahwa tidak ada kejadian buruk yang sedang menimpanya, pikir Sarah dengan sabar menunggunya memberikan jawaban dari dalam.
Kuharap masalah itu bukanlah masalah yang besar, aku yakin.
Ada sebuah alasan kenapa Kiki tidak juga menjawabnya. Mau tahukah, kebenaran di balik penghalang pintu besar menuju “Darkness Room”…
Berada di kamar miliknya yang luasnya sekitar 6 x 5 meter persegi, pertempuran hebat tengah berlangsung oleh kekacauan yang tak di undang kedatangannya. Rencana-rencana yang baru saja terpikirkan ia langsung mempersiapkannya dengan cepat untuk menghadangnya sekaligus memusnahkannya dari tempat pribadi miliknya ini.
Bagaimana pun juga kekacauan yang telah kuperbuat ini harus kuselesaikan sendiri. Itulah yang dinamakannya, “Laki-laki jantan!” Yosha…!
Sebelum memulai pergerakan, beberapa persiapan harus terlebih dahulu terpenuhi. Dari tahap awal pembuatan rencana sampai penghujung klimaks yang mendebarkan, selanjutnya memasuki akhir dari penyelesaian masalah itu dengan menciptakan “Happy Ending” yang memiliki kesan mendalam.
“Hehehe…” Tertawa sendiri dan tersenyum aneh sambil menatapi lantai yang kotor. Dan gigi-giginya yang putih dan bagus itu di perlihatkannya tanpa sadar, berkat ketidak sadarannya pesona yang terpancarkan dari wajahnya yang tak terlalu tampan semakin naik ke tingkat tertinggi. Tapi, mengejutkan sekali, pesonanya itu tak bertahan lama berada di atas sana dan terpaksa harus turun secara drastis, ketika tahu di balik giginya yang putih itu ternyata ada sebuah bekas sisa makanan berupa kulit cabai yang terselip di antara gigi bagian bawahnya.
Bukan rencana yang buruk. Tapi, lebih tepatnya ini adalah rencana yang sempurna.
Di mulai dari menjinjit seperti seorang pencuri yang sedang beraksi dalam menjalankan misinya, langkahnya menuju ke tempat bantal dan guling yang berada di dekat ranjang, meski ia sudah berhati-hati melakukannya tapi tetap saja kakinya secara tidak sengaja menginjak kaleng-kaleng kosong dan menimbulkan suara yang mencurigakan.
Ia beruntung suara itu ternyata di abaikan oleh Sarah, coba kalau tidak? Satu kemungkinan terburuknya adalah Sarah akan membuka pintu tersebut dan melihat kekacauan di depan matanya.
Berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam untuk menangkan hatinya yang di penuhi kegelisahan dan ketakutan. Setelah kembali tenang ia melanjutkannya dengan melangkah seperti tadi, pelan-pelan tapi pasti.
Dan itu terbukti, ia berhasil sampai ke tempat tujuannya tanpa di curigai Sarah sama sekali dan juga ia dapat mengambil dua barang yang di carinya. Membalikkan badan. Ia langsung terdiam memandangi pintu kamar yang jaraknya lumayan dekat, namun terasa jauh ketika ia berpikir mulai melangkah kembali.
Bagaimana ini? Tetap maju ke sana, atau… melemparnya dari sini? Kayaknya lebih mudah di lempar daripada berjalan.
Tanpa mempertimbangkan lagi adanya kemungkinan terburuk, ia menghempaskan begitu saja bantal dan guling ke arah pintu, dan membenturnya sampai menimbulkan suara cukup keras.
Brukk!
“Kak Kiki?! Kak Kiki, tidak apa-apa di dalam sana? Boleh Sarah masuk sekarang?” tanya Sarah terkejut mendengarnya, juga mengkhawatirkan keadaannya.
Sudah kuduga, Sarah masih menungguku di depan pintu. Kalau begitu, lanjut ketahap berikutnya… Tahan dulu. “Ehem, ehem!”
Memejamkan mata. Kemampuan yang sudah lama ia sembunyikan dari keluarganya akhirnya ingin di perlihatkan, tapi ia tidak menunjukkannya secara terang-terangan di depan Sarah. Waktu matanya terbuka, itulah tandanya di mulainya panggung pertunjukkan.
Yosh, aku siap!
“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa Sarah. Dan maaf ya, kamu masih belum boleh masuk ke sini, soalnya, aku lagi fokus menirukan cerita di dalam novelku. Terus yang barusan itu aku tak sengaja malah menendang pintu. Hehehe…”
“Tapi, kak Kiki baik-baik saja, kan?”
“Ya, sangat baik.”
“Syukurlah kalau kak Kiki tidak apa-apa. Sarah senang mendengarnya…”
Maafkan aku Sarah, sudah membohongimu demi kepentingan pribadiku. Tunggu sebentar, bukankah ini terlalu mudah untuknya pergi dari si-
Krrt…
Perkiraannya mengenai Sarah akan pergi begitu pembicaraan ini selesai ternyata salah besar, itu bukan sebuah kesalahan lagi namanya tapi tak sesuai sama sekali dengan akhir yang Kiki bayangkan. Dan ia berakhir terjatuh ke dalam lubang kepanikan luar biasa. Di saat mendengar dan melihat gagang pintu kamarnya berputar 90 derajat, ia hanya terdiam saja.
To be continue…
#Note
"Mendebarkan, bukan? Dan kalian ingin tahu apa yang terjadi dengan Kiki selanjutnya?" ucap Author yang tengah duduk santai di kasur sambil merebahkan punggung belakangnya ke dinding yang dingin, merasa nikmat sekali dengan ketenangan, kesunyian, dan ketentraman yang terasa damai.
Tunggulah pesan-pesan berikut ini... (pip...!)
@Saber_Darkness28 wah di grup tinlit juga, kbtulan critaku juga masih tahap revisi boleh deh kasih sarannya. dan mnrutku crtamu bagus, rajin promo aja semangat!
Comment on chapter Prolog