LEAD TO YOU – PART 22
*****
Pada akhirnya, aku minta Dinar mengantarku ke sekolah saja, karena setelah ujian terakhir kemarin aku kan memang belum pernah datang lagi ke sekolah. Semoga Ibu Puji tidak mempermasalahkan kedatanganku tanpa memakai baju seragam. Setelah berjanji untuk menemui Dinar lagi dan menyimpan nomor ponselnya, aku turun dari mobilnya dan menghambur ke kantor Kepala Sekolah. Sudah jam 2 kurang, semoga beliau masih ada di kantornya. Beberapa siswa berada di luar kelasnya. Tapi tidak terlihat satupun teman-teman sekelasku.
Aku mengetuk pintunya dan membukanya dengan gerakan lambat, Bu Puji melebarkan matanya ketika melihatku. “Gadis?! Silakan masuk Nak!”
“Assalamualaikum, Bu Puji” aku mengucapkan salam dan mencium tangannya.
“Waalaikumsalam” jawabnya dan tangannya menunjuk kursi di depannya memintaku duduk, “kamu kemana aja? Mentang-mentang sudah menikah...” katanya.
Aku tidak heran kalau Bu Puji tahu aku sudah menikah, mungkin Omar atau Alghaz yang memberitahunya. Aku hanya tersenyum meresponnya dan ia meraih tanganku, “Biasanya, wanita yang sudah menikah itu, pakai cincin kawin di jari manisnya. Punya kamu mana?” tanya Bu Puji sambil tersenyum menggodaku.
“Saya simpan Bu” jawabku sekenanya. “Ehm...saya mau minta tolong Bu Puji...”
“Apa itu?”
“Kapan saya bisa mendapatkan ijazah saya Bu?”
“Kamu masih mau meneruskan sekolah walau sudah menikah? Sudah izin suami kamu?”
“I-iya Bu...” jawabku tanpa kejelasan menjawab yang mana.
Bu Puji berdiri, “Tunggu sebentar ya, saya yang akan tanyakan ke bagian TU-nya” katanya. Aku mengangguk. Kemudian aku mengamati ruangannya, tidak begitu besar tapi tidak kecil juga. Bu Puji orang yang sangat apik dan rapi. Semua tertata rapi, baik di meja maupun di dinding. Foto keluarganya ada di meja, kotak penyimpanan pulpen berada di sampingnya. Meja kacanya selalu mengkilat dan bersih, di depannya ada laptop yang sedang menyala. Bu Puji mungkin sedang mengerjakan sesuatu saat aku masuk tadi. Aku menghela napas sambil melihat jam di tanganku, bersamaan dengan itu bel pulang berbunyi, sudah jam 2 tepat.
Bu Puji kembali ke ruangannya. “Maaf membuatmu menunggu, Dis” ujar Bu Puji sambil kembali duduk di kursinya. “Untuk ijazah belum keluar, kamu nanti bisa pakai surat keterangan kelulusan untuk mendaftar ke universitas...” ujarnya seraya memeriksa jam tangannya. Raut wajah Bu Puji sedikit berubah, ia kelihatan cemas dan gugup.
“Ada apa Bu?” tanyaku tidak tahan melihatnya gelisah.
“Eh, tidak ada apa-apa, anu---saya rasa saya ketinggalan sesuatu tadi di ruang TU” tukasnya sambil menatap ponselnya.
Dahiku berkerut melihat Bu Puji dengan tergesa keluar ruangannya. Perasaanku jadi ikut gelisah melihat tingkah Bu Puji tadi. Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan di pintu, aku memutar tubuhku melihat ke arah pintu. Aku cukup syok, ketika melihat sosok yang muncul dari balik pintu.
“Omar?” kemudian ada seseorang lagi di belakangnya, “Lidya?
“Assalamualaikum, Gadis” sapa mereka bersamaan.
“Waalaikumsalam” jawabku, “bagaimana kalian tahu aku di sini?” aku menghela napas setelah melontarkan pertanyaan itu, “oh ya, pasti Bu Puji yang memberitahumu ya...”
“Aku minta beliau memberiku kabar, kalau kau datang menemuinya” sahut Omar.
Aku mengangguk, “Ya, tentu saja”
“Kenapa kau tidak membawa ponselmu, Dis??” tanya Omar.
“Ponsel itu bukan milikku, aku tidak berhak membawanya, itu punya Alghaz”
“Gadis, harusnya kau tidak meninggalkan ponselmu. Karena kami tidak tahu harus menghubungimu kemana untuk memberi kabar tentang ayahmu” ujar Omar.Jantungku tiba-tiba berpacu tiga kali lebih cepat saat Omar menyebut soal ayahku, “Kenapa dengan ayahku, Omar?” tanyaku.
“Ayahmu meninggal dunia tadi malam, dan dimakamkan tadi pagi., kami benar-benar tidak tahu bagaimana cara menghubungi dan memberitahumu” ujarnya penuh penyesalan.
Innalillahi wainnailaihirajiun.
Ya Tuhan, pantas saja aku kemarin merasa gelisah, padahal aku berjanji pada ayahku akan menemuinya lagi. Hujan kecil mulai berjatuhan dari sudut mataku. Ayah, maafkan aku. Apakah ayah dimakamkan secara layak?
“Apa? Ayahku---“ aku menyeka air mataku. “Tapi dia baik-baik saja waktu aku mengunjunginya, ya dia memang sempat sesak napas karena batuknya, tapi ia terlihat...” aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku sendiri karena teringat ayahku. Mungkin ayahku pernah berbuat jahat, tapi ia juga pernah menjadi ayah yang sangat baik untukku. Ayah sempat meminta maaf padaku, semoga ayah juga sempat memohon ampun dan bertobat pada Allah SWT. Lidya menghampiriku dan memelukku. Aku menangis di dadanya, menyesal tidak ada di samping ayahku saat ia mau menghadap Penciptanya. Ini yang terbaik untuk ayah, aku percaya itu. Ya Allah, ampunilah ayahku. Aku kembali terisak, membayangkan kalau sekarang aku benar-benar sendirian di dunia ini.
“Keadaan Alghaz juga tidak lebih baik” ujar Omar menyebut Alghaz.
Aku mendongak menatapnya, menyeka air mataku.
“Dia mabuk-mabukan dan sangat kacau, Dis. Kurasa hanya kamu yang mampu membuat Alghaz kembali ke jalan yang benar” ujar Omar, diiringi anggukan Lidya.
“Mr. Devran jadi pemarah sejak kamu pergi, Dis. Aku rasa dia juga menyesal dan merasa bersalah sudah membuatmu pergi. Kalau kamu sakit hatinya, aku percaya hati Mr. Devran lebih sakit lagi, Dis” tambah Lidya.
Aku jadi membayangkan wajah Alghaz dengan segala kekacauan yang digambarkan Omar dan Lidya padaku. “Tapi dia tidak menginginkanku lagi---aku tidak bisa berada di sampingnya lagi, kalian tahu kan, Omar, Lidya?”
“Tidak Dis! Alghaz membutuhkanmu, ia cuma bingung dan tidak tahu harus bagaimana berdamai dengan masa lalunya. Bayangan pembunuhan itu tidak mau pergi dari benaknya sampai bertemu denganmu” tutur Omar, “mendengar kenyataan bahwa kau adalah anak dari pelaku pembunuhan tersebut membuatnya sangat frustrasi. Kau itu ibarat helaan napasnya sekarang, hanya saja menjadi menyakitkan karena kau berhubungan dengan masa lalunya yang sangat buruk. Bisa kau bayangkan bagaimana dia sekarang? Ia tidak mungkin melepaskanmu Dis, karena ia bisa mati kalau melakukan hal itu! Al harus mempertahankanmu, supaya dia tetap hidup. Walau ia harus merasakan sakitnya pada setiap helaan napasnya, kau mengerti maksudku?” ujar Omar panjang lebar.
Aku adalah helaan napasnya? Sebenarnya berjauhan seperti ini dengan Alghaz pun membuat dadaku sesak.
“Apa kau tahu bagaimana takutnya dia kau bertemu Max di luar sini Dis? Dia mungkin terlihat jahat di matamu sekarang, tapi dia memerintahkan semua orang mencarimu, dan memakinya karena tidak bisa menemukanmu. Dia mungkin tidak mau melihatmu karena mengingatkannya akan masa lalunya, tapi dia ingin kau tetap aman!” ujarnya lagi.
Air mataku jatuh membayangkan cemas dan khawatirnya Alghaz tidak bisa menemukanku. Apakah aku yang terlalu egois dan tidak mengerti perasaannya?
“Kuharap kau mengerti yang dirasakan suamimu, Dis” tukas Omar lagi.
Aku menggeleng, “Apa dia masih menganggapku sebagai istrinya, Omar? Setelah dia tahu aku adalah anak dari pembunuh orang tuanya?”
“Dia tahu kau tidak bersalah, Dis. Satu-satunya kesalahanmu adalah karena kau berhubungan darah dengan Baskoro, itu saja. Dan tentu saja menjadi anaknya bukanlah kehendakmu! Tapi kehendakNya” ujar Omar. Ia menghela napas, berjalan mendekatiku, “yang jadi pertanyaannya sekarang, apakah kau masih menganggap Alghaz suamimu? Apa kau masih mencintainya? Kau juga tahu dia tidak bersalah dengan merasakan semua ini, kan?” tanya Omar.
Aku bungkam, terdiam. Aku mencintai suamiku, Al Ghazali Devran. Benar, kata Omar, Alghaz tidak bersalah punya perasaan seperti sekarang. Wajar saja ia membenci anak dari pembunuh orang tuanya, aku yang harusnya memohonkan maaf padanya atas nama ayahku, aku yang harusnya meminta maaf dan menebus dosa ayahku, aku yang harus mengganti kasih sayang yang hilang dari kedua orang tuanya. Aku yang seharusnya menyembuhkan lukanya! Bukan malah pergi meninggalkannya...
Aku terisak di pelukan Lidya. “Aku-mencinta-i Al-ghaz, Omar” ujarku terbata-bata.
“Aku senang mendengarnya...” sahut Omar.
Aku menghela napas sambil menjauh dari Lidya, “Aku bertemu Max tadi.”
Mata Omar melebar, begitu juga Lidya. “Apa katamu? Bertemu dengan Max?”
Aku mengangguk, “Ya, aku mendatangi rumahnya.”
“Ya Tuhan, kau gila, Dis!”
“Aku tidak sengaja datang ke rumahnya. Awalnya aku bertemu anak perempuan Max, Dinar, dan dia mengajakku ke rumahnya. Aku tidak tahu kalau Max adalah ayahnya...”
“Astagfirullah, lalu? Apa yang pria bejat itu lakukan padamu, Dis?” tanya Lidya bernafsu marah.
Kepalaku menggeleng, “Tidak ada, karena di mata Dinar, anaknya, Max adalah sosok ayah yang baik”
Omar dan Lidya berdecak.
“Dinar yang menawarkan bantuan padaku kemarin, dia gadis yang baik, Omar. Dia pasti tidak akan menyangka ayahnya adalah seorang yang jahat. Max benar-benar berperan sangat baik di depan Dinar. Begitu Dinar hilang dari pandangannya, barulah dia berani mendekati dan mengancamku” ujarku.Entah kenapa saat bercerita ini aku seperti sedang menceritakan kisah hidupku sendiri. Ayahku awalnya juga sangat baik di mataku, aku tidak tahu bahwa ia terlibat sebuah kejahatan, aku bahkan tidak menyangka ayahku sanggup berbuat jahat, apalagi membunuh orang.
Omar mengangguk, “Dan dia tahu kau tidak akan menceritakan keburukannya di depan anaknya...”
Aku ikut mengangguk juga. Setelah pembicaraan lebih mendalam lagi mengenai masalahku dengan Alghaz. Aku setuju kembali ke rumah Alghaz, namun sebelumnya aku minta diantar ke makam ayahku. Omar dan Lidya tersenyum lega dengan keputusanku.
*****
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2