LEAD TO YOU – PART 2
*****
Aku menghela napas dan membaca doa setelah berwudhu. Tiba-tiba aku melihat ada seorang laki-laki keluar dari arah toilet pria. Ia sempat melihatku sekilas, tapi langsung memalingkan lagi wajahnya. Sedangkan aku buru-buru berlari untuk masuk ke dalam masjid dan mencari mukena yang ada di sana dan segera mengenakannya, aku bermaksud untuk keluar lagi dan menemui laki-laki itu untuk minta pertolongan, tapi aku tidak menemukan siapapun di luar.
Tapi kemudian aku mendengar suara microphone dari dalam masjid menyerukan shalat subuh. Sudah menjelang subuh, itu artinya aku menghabiskan semalaman berjalan menuju pemukiman ini. Aku masuk kembali ke dalam masjid dan duduk, tubuhku baru terasa sakit semua. Tenagaku terkuras habis, pandanganku buram, air mataku menggenang lagi. Alhamdulillah Ya Allah, Kau telah menolongku...Hasbunallah wa ni’mal wakil, cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.
Masjid mulai kedatangan jamaahnya, kemudian adzan Subuh pun berkumandang dengan merdunya. Sepertinya anak lelaki tadi yang sedang mengumandangkan adzan sekarang. Di sebelahku mulai ada beberapa orang mengisi shaff, tidak banyak, hanya ada lima orang di bagian shaff wanitanya, termasuk aku. Wanita di sebelahku menoleh ke arahku ketika kami sudah selesai melakukan shalat berjamaah. Ia tersenyum dan menatapku. Mungkin ia bingung melihatku terus mengeluarkan air mata.
“Kamu sepertinya bukan warga sini ya?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan, saat ini untuk mengangguk saja rasanya sangat berat sekali. “Iya Bu, saya dari kampung di seberang hutan sana...” sahutku sambil menunjuk ke arah luar masjid dengan lemah.
“Oh pantas saja, saya tidak pernah melihatmu sebelumnya” ujarnya, “kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi.
Aku malah terisak sembari menggeleng, “Enggak Bu, saya baru saja dikejar-kejar orang jahat yang mau memperkosa saya, kalau boleh saya mau menumpang istirahat di masjid ini...” jawabku sambil menyeka air mataku.
“Astagfirullah! Pantas saja wajahmu penuh luka seperti itu” serunya dengan ekspresi cemas. “Kamu ikut ke rumah saya saja ya---kenalkan, saya biasa dipanggil Ibu Atik” katanya.
“Saya Gadis, Bu. Terima kasih banyak kalau ibu membolehkan saya istirahat di tempat ibu”
Ibu Atik menuntunku berdiri dan memapahku berjalan, karena terus terang sepertinya aku tidak kuat lagi untuk berjalan sendiri. Ibu Atik sepertinya orang baik.
Kami tiba di sebuah rumah sederhana yang tidak jauh dari masjid, mungkin kira-kira tadi lima menit saja berjalan. Rumah sederhana itu, bagian depannya hanya diterangi oleh lampu bohlam yang kira-kira terangnya sekitar 6-7 watt, pintunya terbuat dari kayu sederhana yang berbunyi ketika Ibu Atik membuka pintunya dan aku melihat anak lelaki yang di masjid tadi yang menjawab salam kami. Ia sempat tertegun sesaat ketika melihatku, namun ia segera menundukkan kepalanya.
“Itu Yusan, anak Ibu”
Aku mengangguk, “Saya bertemu dengannya tadi di masjid” jawabku.
“Oh---Yusan tadi yang mengumandangkan adzan Subuhnya, dia anak yang sangat istimewa buat Ibu---“ ujarnya dengan raut wajah bangga.
Aku tersenyum menatap wanita itu, “Pastinya Bu...” sahutku sambil melihat ke arah Yusan”
Ibu Atik memintaku untuk duduk sementara ia menyuruh Yusan mengambilkan air minum untukku. Dan Bu Atik membawakan pakaian ganti yang bersih dan wangi untukku.
“Mungkin ini terlalu sederhana untuk kamu yang cantik, nak. Tapi ini bersih dan wangi, kamu bisa menggantinya di kamar Ibu. Mataku berkaca-kaca mendengar penuturannya. Ini lebih dari cukup.
“Terima kasih,Bu”
Aku menuju kamar yang ditunjuk Ibu Atik dan melepaskan mukena yang sejak tadi kukenakan. Luka-lukaku baru terasa pedih dan panas sekarang. Sebagian tangan dan kakiku penuh luka-luka kecil yang tidak mengeluarkan darah tapi sangat pedih ketika air hangat yang disiapkan untuk air mandiku menyiram tubuhku. Sambil mengguyur sisa air hangat di ember, lagi-lagi mataku terasa panas ingin menangis lagi, aku baru sadar kalau aku ternyata sangat cengeng. Padahal sebelumnya aku jarang menangis. Ibu, Gadis baik-baik saja, Gadis kuat kok Ibu...
Ibu Atik sudah merapikan tempat tidur yang disiapkan untukku beristirahat, mataku memang terasa sangat berat. Bu Atik membiarkanku membaringkan tubuhku yang lelah di atas tempat tidurnya.
“Istirahatlah, Gadis. Ibu akan membangunkanmu saat sarapan nanti” katanya.
“Terima kasih, Bu.”
Ia mengangguk dan keluar dari kamar yang pintunya hanya ditutup oleh tirai kain. Sesaat kemudian aku mendengar ada suara ketukan pintu dan orang mengucap salam. Entah kenapa aku berkeinginan untuk mengintip, karena aku takut ia adalah seseorang yang dikirim Max untuk mencariku, bisa saja kan?
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawab Bu Atik dari dalam rumah dan berjalan menghampiri pintu, kemudianmembukanya.
"Mba Amiii....! Ya Allah, apa kabar Mba?” seru Bu Atik menyambut tamunya. Kurasa dia bukan suruhan Max, karena Bu Atik mengenalnya dan memeluknya. Aku menghela napas lega dan kembali ke tempat tidur dengan susah payah. Sialnya kakiku tersandung kaki lemari yang ada di sebelah tempat tidur dan membuatku tersungkur. Suaraku terjatuh membuat Bu Atik dan tamunya menghambur ke kamar dan menghampiriku dengan wajah yang cemas.
“Gadis? Kamu kenapa, nak?” tanya Bu Atik.
“Saya enggak apa-apa Bu, tadi cuma tersandung sedikit”
Bu Atik dan tamunya menolongku berdiri dan membawaku ke tempat tidur. Tamu Bu Atik yang kudengar tadi bernama Bu Ami menatapku, kemudian ia melihat ke Bu Atik, “Siapa dia Tik?” tanyanya bingung.
“Oh iya, Mbak Ami, ini Gadis” ujar Bu Atik, “dan Gadis, ini kakak saya, namanya Ami” lanjutnya.
“Kenapa wajah kamu?” tanyanya dengan raut wajah prihatin.
Bu Atik yang menjawab dan menceritakan kondisiku saat tadi bertemu denganku di dalam masjid.
“Ya Allah, nak. Coba lihat tangan kamu---Atik, kamu punya obat merah atau minyak kelapa atau apalah yang bisa mengobati luka-luka Gadis?” tanya Bu Ami. Aku tersenyum menyadari perhatiannya.
“Enggak apa-apa Bu, sudah lebih baik setelah mandi air hangat tadi” ujarku.
“Sebaiknya diobati juga, supaya tidak menimbulkan bekas di kulit kamu yang mulus ini” tambahnya.
Aku mengangguk sependapat. Baiklah, ia lebih tua dariku dan pasti lebih berpengalaman dalam hal mengurus luka seperti ini pada anaknya. Bu Ami kurang lebih berusia sekitar 50 tahunan, sama seperti ibuku. Aku hampir 18 tahun sebentar lagi dan hampir lulus SMA. Tapi bagaimana caraku melanjutkan sekolah sekarang? Aku tidak mungkin kembali ke rumah lagi setelah kejadian ini. Sambil mengobati lukaku, Bu Ami banyak mengajukan pertanyaan, dan pada akhirnya aku menceritakan semua kronologis dari musibah yang menimpaku. Aku bercerita sambil meneteskan air mata lagi, sungguh aku benar-benar cengeng sekarang. Bu Atik dan Bu Ami, sesekali juga menyeka air matanya. Aku tersenyum melihat mereka ikut larut dalam kisahku ini.
“Bagaimana kalau kamu ikut Ibu saja ke kota, Gadis?”
Wajahku langsung berbinar, “Benarkah saya boleh ikut Ibu?”
Bu Ami mengangguk, “Saya bekerja di sebuah rumah besar, pemiliknya hanya tinggal sendirian. Kamu bisa tidur di kamar saya, enggak keberatan kan?”
Aku menggeleng dengan cepat, “Tentu saja enggak, Bu”---“saya pengin segera menjauh dari tempat ini” ujarku.
Ibu Ami mengangguk, “Iya, saya rasa di sana akan lebih aman dari kejaran teman ayahmu itu...” tukas Bu Ami sambil bergidik ngeri.
“Alhamdulillah Allah masih melindungimu, nak” ujar Ibu Atik yang juga setuju kalau Ibu Ami membawaku pergi menjauh secepat mungkin.
“Kalau begitu, malam ini kita pergi ke Jakarta” kata Bu Ami.
Ibu Atik mengangguk setuju, “Lebih cepat lebih baik, kan?” tanyanya sambil memandangku. “Tapi kalau Gadis merasa masih membutuhkan istirahat, mungkin bisa besok pagi saja Mbak?” katanya.
Aku buru-buru menggeleng, “Enggak, aku bisa istirahat di bis atau kereta, dan saya bisa istirahat seharian ini Bu” sergahku cepat.
“Ya, baiklah, kamu benar” sahutnya.
“Terima kasih, Bu”
Mereka meninggalkanku ketika sudah memastikan bahwa lukaku yang cukup besar sudah tertutup handyplast. Aku bersyukur bisa bertemu Ibu Atik dan Ibu Ami, dan juga anak lelaki Bu Atik yang bernama Yusan. Mereka semua sangat baik pada seorang yang baru saja dikenal dan asing bagi mereka. Aku tidak akan melupakan pernah kebaikan mereka. Semoga Allah membalas semua perbuatan baik mereka.
*****
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2