Dua gadis berkarakter sangat berbeda terlihat tengah terlibat dalam perbincangan serius. Yang satunya terlihat menggebu-gebu, sedangkan yang satunya lagi, terlihat berbicara seperlunya dengan suara yang begitu kecil.
Gadis yang kedua ini, terlihat sangat pemalu, terlihat dari gestur tubuhnya yang tak nyaman saat mendapatkan perhatian dari beberapa pengunjung kafe lain.
Ya, keduanya memang tengah berada di sebuah kafe kecil yang cukup terkenal dikalangan pemuda-pemudi di kota tersebut. Kafe yang menjadin tempat mereka menghabiskan waktu santai mereka.
"Kartika Kirana, sahabatku yang palinggg cantik, kita liat konser yuk? Aku yang beliin tiketnya kok!! Oppa-Oppa gak boleh dilewatkan!!"
Gadis pemalu yang ternyata bernama Kartika Kirana tersebut, hanya menggeleng ringan. Dengan pelan ia menjawab, "Enggak Venty, aku harus kerja. Kamu tau sendiri, aku lagi nabung buat ikut ujian paket C, dan biaya masuk kuliah gak murah."
Gadis yang semula menggebu-gebu tersebut terdiam, lalu duduk dengan tenang. Ia mengerucutkan bibirnya dan berujar, "Tika-tika, padahal ada jalan mudah, tapi kamu malah milih yang sulit. Jelas-jelas, Om Senu udah nawarin buat ngebiayain pendidikan kamu."
Tika, adalah nama kecil dari Kartika. Hanya orang-orang terdekatnya, yang biasa memanggilnya seperti itu.
"Aku gak mau ngerepotin orang lain."
"Walaupun itu artinya, kamu harus berenti sekolah? Terus kerja, disaat seharusnya kamu belajar di sekolah?"
Kartika mengangguk polos. Venty mengangkat tangannya. Hampir tujuh tahun mengenal Kartika, Venty tahu betul bagaimana pemikiran sahabatnya itu.
"Oke, terserah kamu aja. Yang penting, tahun ini kamu bisa dapet ijazah paket C. Aku udah kuliah semester empat loh, Tik. Aku maunya wisuda bareng sama kamu."
Jartika mengangguk. "Tabunganku sudah cukup. Tahun ini, aku ikut ujian paket C. Dan daftar perguruan tinggi."
Venty mengangguk dan memberikan kata-kata penyemangat. Keduanya tertawa renyah. Venty kembali membantu Kartika belajar. Sungguh pemandangan yang sangat manis. Seperti seorang kakak, yang tengah mengajar adiknya.
Ya, itu wajar. Karena Venty yang usianya menginjak sembilan belas tahun, terlihat begitu cantik dengan tampilan khas mahasiswi yang stylish. Sedangkan Kartika, tampak menggemaskan dengan tampilannya yang masih seperti anak sekolah menengah pertama. Tubuh Kartika yang mungil, menjadi faktor utama.
Keduanya memang seumuran. Hanya saja, Kartika tak melanjutkan pendidikannya, disebabkan keterbatasan ekonomi. Sepeninggal ayahnya, Kartika menjadi yatim piatu. Itulah yang menyebabkan Kartika yang memang awalnya pemalu, semakin menutup diri dari lingkungan.
Jelas, kepergian ayah Kartika saat dirinya baru saja menginjak usia dua belas tahun, membawa sebuah luka besar. Setiap harinya, Kartika terus menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian ayahnya itu.
Untungnya, Venty selalu setia menemani Kartika. Sosok sahabat sejati bagi Kartika. Sahabat yang tak hanya ada ketika suka, tapi juga menemani dirinya saat berduk.
Venty jugalah, yang mampu menarik Kartika dari bayang-bayang rasa bersalah. Lingkaran hitam, yang hampir membuat Kartika menyusuk ayahnya di surga.
Kartika tersenyum. Ia sungguh berterima kasih, Tuhan telah mengirimkan sahabat seperti Venty untuknya.
Kartika berkedip pelan saat Venty menjetikkan jarinya di keningnya. Refleks, Kartika meringis merasakan sengatan rasa sakit di keningnya. Bibirnya mengerucut kesal, matanya menyorot polos pada Venty yang kini terkekeh keras.
"Kamu sih, malah ngelamun!!"
Kartika tak berkomentar, dan kembali menunduk untuk melihat buku pelajarannya. Tapi bibirnya yang kecil, masih mengerucut tajam.
"Btw, Tante Affa mau ketemu kamu. Kangen katanya. Jadi, nanti malem aku jemput ya?" tanya Venty.
Kartika mengerutkan keningnya samar. Hari ini, Kartika tidak memiliki jadwal kerja. Jadi, tak ada salahnya Kartika menyetujui ajakan Venty. Toh, Kartika sudah lama tak bertemu dengan Affa, tante dari Venty.
Kartika mengangguk. Venty bersorak girang. Akhirnya Kartika mau diajak untuk ke luar dari kontrakan usangnya. Venty hanya ingin, jika sesekali Kartika menghirup udara segar dan mendapat penghiburan dari kehidupannya yang pasti sangat melelahkan dan berat.
...
"Kartika makin cantik aja."
Kartika bersemu saat mendapatkan pujian tersebut. Padahal ia tahu jika itu hanya basa-basi. Ia sadar diri, penampilannya sungguh biasa saja. Dengan rambut hitam sepunggung yang tergerai lurus. Wajah yang hanya dipoles bedak bayi, dan mengenakan gaun yang warnanya mulai pudar.
Tapi Kartika tetap menjawab, "Terima kasih, Tante Anggi."
Ya, yang baru saja memujinya adalah Anggi. Istri dari Guntur, alias ibu dari Venty, sahabatnya.
"Pasti dong, Kartika kan temennya Venty," ucap Venty sembari memeluk tubuh mungil Kartika dengan gemas. Kartika sampai dibuat sesak oleh pelukan Venty tersebut.
"Gak ada hubungannya, jangan ngada-ngada kamu!" Anggi tampaknya ingin menjaili putrinya yang super cerewet itu. Guntur yang tengah menyetir hanya bisa menggeleng pelan, melihat interaksi putri dan istrinya tersebut.
Keempatnya memang tengah berada di dalam mobil yang dikemudikan secara pribadi oleh Guntur. Mobil tersebut terus melaju, menuju mansion milik Senu dan Affa.
Venty dan Anggi terus mengoceh sepanjang perjalanan. Sebenarnya, hanya Venty yang mengoceh, Anggi hanya berkomentar dengan ketus, tapi tak membuat Venty jera untuk terus berbicara. Sedangkan Kartika hanya diam, dan sesekali tertawa pelan.
"Sudah sampai!"
Kartika tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Guntur. Tangannya ditarik oleh Venty, turun dari mobil. Venty dengan lincah membawa Kartika menuju pintu mansion mewah Senu serta Affa yang terbuka lebar.
Di ruang tengah, semua orang telah berkumpul. Ada pasangan pemilik rumah, Senu serta Affa yang makin terlihat lengket diusia mereka yang mulai memasuki usia lanjut. Lalu ada pula Dhan bersama Irma, istrinya yang merupakan seorang desainer kondang asal New York.
Dengan sopan, Venty dan Kartika mencium satu persatu tangan mereka, lalu duduk berdampingan di sebuah sofa panjang.
"Tika kenapa jarang main ke sini? Tante kangen tau!" Affa terlihat senang dan berniat untuk menghampiri Kartika, tapi Senu dengan santai menarik tangan Affa dan berakhir membuat istri itu duduk di pangkuannya.
"Mau ke mana? Kartika tidak akan pergi kemana-mana. Jadi tetap di sini!"
Affa mendengus saat mendengar penuturan suaminya. Ia membiarkan Senu yang kini memeluk pinggangnya dengan erat. Hal itu menjadi bahan olokan Guntur dan Dhan yang juga kini merangkul pasangan mereka masing-masing.
Ruang tengah berubah riuh. Sungguh menyenangkan. Ah, jika saja Hans serta Joni--sahabat Senu--juga ada di sini, suasana ini akan semakin sempurna. Sayangnya, keduanya memang tinggal di luar negeri beserta keluarga kecil mereka. Dan hanya akan kembali ke Indonesia, ketika ada acara-acara tertentu, yang memang mengharuskan mereka kembali.
"Ayah!!" Seorang anak kecil tiba-tiba muncul dan berlari menuju Dhan, itu adalah putra Dhan yang masih berusia enam tahun.
Dhan dengan sigap menangkap dan mendudukkan putranya yang bernama Andrew di atas pahanya. Irma langsung mengecup pipi Andrew dengan sayang, membuat putra kecilnya tersebut terkekeh senang.
Matanya yang bulat terlihat berbinar indah. Tapi saat menatap Kartika, matanya yang bulat terlihat makin berbinar. Ia langsung meloncat dari paha ayahnya dan berlari menerjang Kartika. Andrew memang sangat menyukai Kartika. Bahkan cita-citanya adalah, memiliki kakak perempuan secantik Kartika.
"Kak Tika! Hehe." Andrew memeluk Kartika dengan erat. Kartika tersenyum dan membalas memeluknya. Venty dengan jail mencolek pipi Andrew, ia tahu jika Andrew sangat tidak menyukai dirinya. Lebih tepatnya, tidak suka Venty yang menjaili nya setiap saat.
"Apa sih?!! Jangan colek-colek deh, Andrew enggak suka!! Nanti Andrew aduin sama Kak Tika. Biar Kak Penti, dicubit Kak Tika!"
"Yeu, Kak Tika gak mungkin nyubit Kakak. Soalnya Kak Tika sayang sama Kakak. Dan Kak Tika gak sayang Andrew, buktinya Kak Tika gak mau jadi kakaknya Andrew."
Seketika Andrew marah dan menangis saking kesalnya. Tapi orang-orang dewasa di sana tampak terbiasa dengan hal itu, dan tak terlihat serius. Mereka malah tertawa melihat interaksi Venty serta Andrew.
Tapi Affa tampaknya tak tega dengan Andrew yang menangis terisak di pelukan Kartika, jadi ia langsung bangkit dan berkata, "Ayo kita makan, sepertinya anak-anak sudah lapar!!"
Semua orang mengangguk setuju, sedangkan Kartika terlihat menegang. Tampaknya ia mulai cemas tak beralasan lagi. Hal yang sering terjadi pada Kartika.
Venty yang menyadari kecemasan Kartika segera menepuk pundak sahabatnya itu dengan lembut dan berkata, "Ayo, jangan takut! Kan ada aku."
Kartika mencoba mengatur napasnya yang memberat, sebelum mengangguk ragu. Ia dan Venty, melangkah bersama menuju ruang makan, masih dengan Andrew yang melekat erat dalam pelukan Kartika.
Dan setibanya di ruang makan, Kartika segera duduk di tempatnya. Acara makan malam dimulai dengan Senu yang membukanya. "Silakan. Aku yakin, kalian pasti sudah merindukan masakan istriku."
Dengan suasana hati yang lumayan membaik, Kartika mulai makan malamnya sembari menyuapi Andrew yang meraung ingin disuapi dirinya. Tak ada yang bisa menolak keinginan Andrew, jadi Kartika dengan telaten menyuapi Andrew sembari sesekali menyuap untuk dirinya sendiri.
Makan malam berlangsung tenang hingga selesai. Dan kini, para orang tua tengah menikmati teh hangat, sembari berbincang mengenai bisnis serta urusan orang dewasa yang lainnya.
Sedangkan Kartika dan Venty bertugas menemani Andrew yang ingin melihat kucing peliharaan Affa yang memiliki rumah kecil sendiri di beranda samping mansion mewah tersebut.
Ada dua kucing. Yang satu berwarna putih mulus, berbulu tebal dan bermata biru, kucing ini bernama Witi. Sedangkan yang satunya, berbulu hitam tebal, serta memiliki mata yang sama hitamnya dengan bulunya. Affa memberi nama kucing ini, Bleki. Kartika sendiri sering merasa takut jika Bleki menatap dirinya.
Andrew terlihat begitu senang membelai lembut bulu Witi. Sedangkan Venty asik mempermainkan Bleki dengan mainan kucing yang ia pegang.
Kartika sendiri, hanya diam dan memperhatikan keduanya. Ia tidak terlalu suka kucing, ia lebih suka kelinci. Tapi sayangnya, Affa sudah tak memelihara kelinci lagi.
Kartika melihat Venty yang merogoh saku gaunnya. Venty menoleh dan berbisik, "Windu."
Kartika hanya tersenyum. Windu, adalah pacar Venty. Tapi keduanya pacaran dengan status backstreet. Itu karena, Venty belum diperbolehkan untuk menjalin hubungan dengan lelaki, walaupun usianya telah menginjak tujuh belas tahun, sama seperti Kartika.
Venty segera mencari tempat tersembunyi untuk mengangkat telepon pacarnya tersebut. Kartika sendiri hanya terkekeh pelan, tapi kekehannya segera terhenti saat melihat Bleki berlari ke luar dari area rumah kucingnya. Kartika bangkit, lalu berbicara sebentar pada Andrew agar diam di tempatnya, sedangkan ia mengejar Bleki yang berlari menuju taman belakang.
Kartika memelankan langkahnya saat memasuki area taman belakang. Area tersebut terlihat remang-remang, wajar karena lampu taman terlihat dipasang di titik-titik tertentu.
Ragu-ragu, Kartika melangkahkan kakinya menyusuri tanah berumput sembari memanggil nama Bleki dengan suaranya yang bergetar pelan. Tapi setelah hampir sepuluh menit berkeliling di taman remang-remang tersebut, Kartika tak menemukan Bleki.
Namun, saat Kartika akan kembali ke tempat Andrew, Kartika melihat semak beri di dekat pohon mangga bergoyang. Lalu ekor hitam yang berbulu lebat, terlihat muncul di sana. Seketika senyum Kartika mengembang, dengan perlahan, Kartika melangkah menuju semak-semak tersebut. Berniat untuk menyergap dan menangkap kucing hitam milik Affa.
Tapi bukannya menemukan kucing berwarna hitam, Kartika malah melihat sosok hitam tinggi besar yang menariknya ke dalam kegelapan sudut taman.
Kartika jelas panik. Jantungnya berdentum kuat, napasnya terengah. Air matanya mulai menggenang tinggi, tubuhnya bergetar hebat, dan isakannya mulai terdengar lirih. Jelas saja reaksi Kartika seperti ini, Kartika takut!!
Apalagi dirinya tak bisa melihat apa pun selain kegelapan. Yang Kartika rasakan hanyalah sebuah pelukan erat yang melilit tubuhnya. Dan aroma khas pria yang memenuhi penciumannya.
Kartika ingin berteriak minta tolong, tapi suaranya tercekat di pangkal tenggorokan, dan lidahnya terasa kelu. Yang ada, bibirnya hanya bergetar, serta terbuka lalu tertutup dengan cepat. Seperti ikan mas yang kekurangan air. Tubuh Kartika semakin bergetar hebat saat mendengar bisikan tepat di telinganya.
"Halo Kartika. Apa kau merindukanku?"
Napas Kartika tertahan, saat daun telinganya terasa basah. Seperti tengah dijilat dan dikulum dengan lembut. Sensasi sensual bagi sebagian orang, tapi yakinlah bagi Kartika hal itu hanya membuatnya ketakutan.
Matanya mulai membayang saat sensasi basah dan hangat tersebut, merambat hingga rahangnya. Begitu sentuhan tersebut bersarang di bibirnya, saat itu pula tubuh Kartika melemas seiring kesadarannya yang melayang pergi.
Sosok hitam yang memeluk Kartika dengan erat, segera menjauhkan bibirnya dari bibir Kartika yang dingin. Ia menyeringai, dan berbisik tepat dihadapan wajah Kartika yang mungil,
"Kau masih sama. Si bintang kecil yang penakut. Tapi tenang saja, mataharimu telah datang. Ya, Baskara telah datang, khusus untuk Kartika."
Lalu sosok itu kembali mengecup bibir Kartika, mengulumnya lembut penuh dengan kasih sayang.
Bulan serta bintang-bintang, tak terlihat menghiasi langit malam. Sepertinya, mereka semua berkomplot untuk memberikan kesempatan untuk sang Matahari, yang tengah melepaskan kerinduannya pada Bintang kecil yang sangat ia cintai.