Mengatakan bahwa Pinky tidak akan menyerah akan Mika, bukan berarti ia akan terang-terangan merebut pemuda itu dari tangan Juwita. Ayolah, dia mungkin gadis yang nekat, tapi ia takkan bertindak semurahan itu.
Entah teknisnya bagaimana, setidaknya Mika tahu bahwa pemuda itu masih jadi yang terpenting untuknya.
"Gue kecewa sama elo," ucap Eri sambil menyodorkan botol berisi air mineral dingin ke arah Pinky, lalu menjatuhkan pantatnya di samping gadis itu.
"Gue juga," Yuna yang sudah duduk terlebih dahulu di sisinya menyahut.
Mereka menghabiskan waktu istirahat paruh pertama dengan duduk-duduk santai di halaman belakang sekolah. Membiarkan ujung rumput menggelitik betis mereka yang terbuka.
Pinky membuka botol tersebut lalu meneguk isinya perlahan.
"Kenapa?" Ia bertanya santai.
Eri mendesah.
"Elo bilang elo akan nyerah jika Mika udah punya pacar. Sekarang begitu dia punya pacar, elo malah meralat kata-kata elo. Yakin deh, bahkan jika Mika dan Juwita bener-bener menikah, elo pasti berubah pikiran dan memutuskan nungguin hingga mereka bercerai," ia menggerutu.
Pinky tergelak, nyaris menyemburkan air di mulutnya.
"Bisa jadi," jawabnya enteng, membuat dua temannya makin kesal.
"Gue pernah bilang bahwa mencintai Mika tuh ibarat ikut lomba lari. Melelahkan, terkadang harus jungkir balik. Belum lagi jumlah pesertanya banyak. Gue hanya merasa bahwa Juwita tengah berada sekitar ratusan meter di hadapan gue. Satu hal yang pasti, kami sama-sama belum mencapai finish," lanjutnya.
Eri dan Yuna mendesah bersamaan.
Well, ini Pinky. Bahkan jika mereka bersujud untuk memintanya berhenti, gadis ini takkan berubah pikiran.
"Terserah elo aja deh. Yang bisa kami lakuin cuma menghibur elo kalo kelak elo nangis lagi," ucap Yuna.
"Oh, ngomong-ngomong soal nangis," sergah Eri. "Apa yang akan elo lakuin ke mereka?" Ia menyenggol bahu Pinky, dan ketika gadis itu menatapanya, Eri menunjuk belakang mereka dengan isyarat mata.
Pinky berbalik, dan menyaksikan dua pemuda yang berada tak jauh darinya, duduk bersebelahan dan sesenggukan. Dimas dan Jefri.
Serius deh, mereka sudah menangis sejak beberapa jam yang lalu.
"Kami udah nyuruh mereka berhenti. Tapi mereka nggak berhenti nangis karena dirimu. Bujuk sana," ujar Eri.
Pinky memutar bola matanya dengan kesal. Sempat berniat untuk melabrak dua pemuda itu, tapi otaknya terlalu lelah untuk melakukannya.
Akhirnya ia bangkit, mendekati dua pemuda yang sesenggukan tersebut, lalu duduk di depannya.
"Apa kalian masih marah sama gue?" tanya Pinky.
"Iya," mereka menjawab kompak.
"Karena gue masih ngejar Mika?"
"Iya," lagi-lagi mereka menjawab kompak.
Pinky menarik nafas panjang.
Sabar, Ping! Jeritnya dalam hati.
"Tadinya kami seneng ketika mendengar elo akan berhenti mencintai Mika. Nyatanya elo bohong. Bagaimana jika kelak elo terluka lagi? Bagaimana jika elo nangis lagi? Huhuhu...," Dimas sesenggukan.
Pinky memasang senyum manis. Senyum paling manis yang pernah ia lontarkan pada dua makhluk absurd di hadapannya.
"Dimas yang baek, dan Jefri yang cakep," Ia meraih tangan mereka dan menggenggamnya erat.
Pipi kedua cowok itu segera bersemu merah.
Dan segera tatapan Pinky berubah.
"Jika kalian nggak berhenti menangis, jangan pernah ngikutin gue lagi. Jangan.pernah." Peringat gadis itu dengan gigi terkatub.
Dan ajaibnya, tangis Dimas dan Jefri berhenti seketika.
"Berhenti ato nggak?"
"I-iya, berhenti kok. Kami udah nggak nangis lagi." Mereka gelagapan.
"Bagus. Jadi kita masih berteman 'kan?"
"Masih," Dimas dan Jefri menjawab kompak.
Pinky tersenyum lagi.
"Oke," Ia meraih tisu dari sakunya lalu menyodorkan ke arah mereka.
Buru-buru dua cowok di hadapannya menghapus air mata mereka dengan tisu tersebut. Setelah itu mereka menyodorkan tangan mereka ke arah Pinky lagi.
"Elo bisa memegang tangan kami lagi kalau mau. Lama juga nggak apa-apa. Kami rela," ucap Jefri, sambil nyengir. Dimas juga.
Pinky melotot. "Awas kalian," ancamnya.
Sementara Eri dan Yuna hanya menatap adegan itu dengan geli.
"Entah kenapa aku lebih setuju kalo Pinky pacaran sama salah satu dari mereka," bisik Eri.
Yuna segera mengiyakan.
***
Kelas yang tadinya sepi karena sedang ada tes, berubah ramai ketika bel tanda waktu habis berbunyi.
Ada yang mengeluh karena belum sempat selesai mengerjakan. Ada pula yang buru-buru mencari contekan dari teman yang lain.
Pinky yang pertama kali berdiri dan mengumpulkan lembar jawaban di meja guru. Biasanya memang ia yang selesai lebih dulu. Maklum, Pinky siswa paling pintar di sekolah ini. Sebetulnya malah ia sudah selesai mengerjakan soal ulangan itu sejak 20 menit yang lalu. Tapi ia enggan mengumpulkan dulu karena jika ia melakukannya, teman-temannya yang lain akan heboh dan buru-buru menyelesaikan soal mereka.
Jadi ia sengaja mengulur waktu agar teman-temannya bisa lebih tenang mengerjakan tes.
Juwita yang mengumpulkan lembar jawaban paling akhir. Bukan karena ia bodoh hingga baru menyelesaikan soal-soal itu. Pinky tahu Juwita gadis yang pintar, ia tahu bahwa gadis itu juga sudah selesai mengerjakan soal tes sejak beberapa menit yang lalu. Sama seperti dirinya, ia juga sengaja mengulur waktu.
Kadang Pinky merasa, Juwita mirip dengannya dalam beberapa hal.
Hanya saja, gadis itu lebih pendiam, sementara dia cenderung meledak-ledak.
"Juwita, bantu bapak membawa buku-buku ini ke kantor ya?" pak guru menunjuk tumpukkan buku di mejanya.
"Baik pak," jawab Juwita.
"Akan saya bantu pak," Mika bangkit.
"Biar saya saja yang bantu, pak," dan buru-buru Pinky bangkit.
"Elo, duduk kembali," ucapnya sengit pada Mika.
Mika melongo heran. Ini anak maksudnya apa sih?
Kemarin-kemarin ia mengucapkan kata cinta, sekarang malah menatapnya dengan sorot permusuhan. Apa Pinky salah makan sesuatu? Gerutunya dalam hati.
Dan sebelum pemuda itu sempat bergeser dari tempat duduknya, Pinky bergerak terlebih dahulu dan berlari menuju meja guru.
Ia tidak terlalu suka berdekatan dengan Juwita. Tapi ia lebih tidak suka lagi jika Juwita berdekatan dengan Mika, walau mereka pacaran.
Cepat-cepat gadis itu meraup sebagaian tumpukan buku di atas meja. "Ayo," ajaknya pada Juwita lalu segera beranjak keluar kelas. Gadis yang dipanggil namanya meraup sisa tumpukan buku di atas meja lalu bergerak mengikutinya.
***
Pinky dan Juwita melangkah beriringan menuju ruang guru yang berada di lantai satu. Mereka harus berjalan menuruni tangga dan melewati beberapa blok kelas untuk sampai di sana. Itulah mengapa pergi ke ruang guru dianggap melelahkan oleh sebagian anak dari kelas mereka karena lumayan melelahkan.
"Pinky," Juwita memecah keheningan di antara mereka.
"Hm," Pinky menjawab pendek.
"Apakah kita bisa bersahabat?"
Pertanyaan gadis itu tak membuat Pinky menatap ke arahnya.
"Kita emang sahabat 'kan?" Ia balik memberikan pertanyaan retoris.
"Enggak. Kita belum jadi sahabat. Kita hanya teman sekelas," Juwita kembali berujar.
"Itu aja udah cukup," Pinky menjawab datar.
Tak ada pembicaraan lagi.
"Elo gadis yang baik, Pinky." Juwita mencoba membuka pembicaraan lagi.
"Thanks," jawab Pinky cepat, lagi-lagi tanpa melihat ke arahnya.
"Elo udah beberapa kali nolongin gue,"
"That's my pleasure."
"Dan gue tahu kalo elo mencintai Mika."
Dan kalimat itu yang mampu menghentikan langkah Pinky.
Ia memutar tubuh dan menatap ke arah gadis di sampingnya yang juga tengah menatap ke arah dirinya.
"Ya, dan gue bukan satu-satunya gadis yang punya perasaan itu," Pinky menjawab tanpa ragu.
Tak ada gunanya juga ia berbohong. Buat apa?
Juwita sudah tahu, dan ia hanya mengiyakan.
"Tapi 'kan dia pacar gue," Juwita berujar dengan ekspresi campur aduk. Antara kaget dengan jawaban Pinky, sekaligus kesal ia harus mendengar jawaban itu.
"Gue tahu. Semua orang di sini juga tahu kalau elo pacar Mika. Lalu?"
"Bukankah seharusnya seseorang nggak boleh mengharapkan pacar orang lain?"
Pinky terkekeh mendengar kalimat Juwita.
"Maksudnya gue nggak boleh mencintai Mika karena dia pacar lo, gitu?"
Juwita tak bersuara hingga Pinky melanjutkan kalimatnya.
"Juwita, gue cinta sama Mika jauh sebelum ia bertemu dengan elo, jauh sebelum kalian berpacaran. Nyuruh gue melupakan perasaan gue hanya dalam sekejap mata, ibarat nyuruh gue berlarian ke jalanan memakai stiletto setinggi 15 senti. Sulit, dan sepertinya mustahil gue lakukan," jawabnya.
"Bukan elo yang berhak menentukan apa yang gue rasakan. Gue aja nggak mampu mengontrol perasaan gue, apalagi elo," lanjutnya.
Juwita mematung. Terlihat bingung ingin memberikan jawaban apa. Membuat Pinky mendesah lelah.
"Ini nggak seperti seolah gue akan merebutnya dari lo dengan cara licik layaknya drama di televisi. Gue cuma menjawab apa yang elo katakan. Dan faktanya memang begini. Can't help," ia mengangkat bahu lalu melangkah kembali.
"Apa elo sangat mencintainya?"
Pinky berhenti. Ia menggigit bagian dalam bibirnya lalu berbalik dan menatap lurus ke mata Juwita. Ia mengangguk.
"Gue mencintainya, sangat. Sampai-sampai gue rela memungutnya jika kelak elo mencampakkanya ke tempat sampah," tegasnya.
Lalu ia bergegas, tanpa menoleh lagi ke arah Juwita.
***
Memasuki tahun ajaran baru, sekolah mengadakan perjalanan wisata ke puncak.
Selain melepas penat setelah menghadapi ujian, kunjungan ini juga tidak sekedar bersenang-senang.
Setiap siswa telah dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mengerjakan laporan yang telah ditugaskan oleh wali kelas.
Pinky satu kelompok dengan Dimas, Yuna, dan dua siswa dari kelas berbeda. Jefri dan Eri terpisah. Sementara Mika dan Juwita berada di kelompok berbeda.
Awalnya, acara jalan-jalan itu berjalan lancar. Namun ketika mereka hendak kembali ke bis yang akan membawa mereka pulang, kehebohan terjadi.
Juwita hilang.
Menunggu selama hampir dua jam, gadis itu tak kembali ke tempat semula. Berikut dengan tiga siswa lain yang juga satu kelompok dengannya.
Kalap mengetahui Juwita hilang, Mika menghampiri Pinky.
"Apa elo melakukan sesuatu padanya?" Ada sorot menghakimi pada kalimatnya.
Pinky tercengang.
"Elo nuduh gue melakukan sesuatu yang buruk padanya?" Ia menatap pemuda itu dengan marah.
Mika menggigit bibir. Merasa bersalah telah menuduh gadis itu. Atau mungkin karena ia terlalu cemas mengetahui Juwita hilang.
Mencoba berpikir tenang tapi ia gagal. Tanpa mempedulikan perintah guru, cowok itu bergerak, melesat cepat menembus rimbunnya hutan belantara, mencoba mencari sendiri keberadaan Juwita.
***
"Juwita!" Mika meneriakkan nama gadis itu berulang-ulang.
Dan tetap saja tak ada jawaban. Hingga tanpa sadar, ia terus saja bergerak menembus lebatnya hutan belantara, tanpa berpikir panjang kemana arah tujuannya.
"Juwita!" panggilnya lagi.
Dan tetap sia-sia.
Pemuda itu menyisir rambutnya dengan frustasi. Tas punggungnya terasa makin berat, dan ia mulai kelelahan.
"Gimana ini? Elo dimana Juwita?" ratapnya.
"Elo belum menemukannya?"
Dan suara itu membuat Mika terlonjak.
Ia berbalik dan menemukan gadis itu bergerak ke arahnya dengan nafas terengah-engah.
"Pinky?" desisnya tak percaya.
Pinky meletakkan dua tangannya di atas lutut sambil mengatur nafasnya yang tersengal.
"Untuk apa elo di sini?" Mika nyaris menjerit.
Pinky menelan ludah. Gadis itu memperbaiki letak tas punggungnya, lalu bergerak mendekati Mika.
"Gue ngikutin elo. Ngelihat elo berlari memasuki hutan kayak orang kesetanan, gue berlari ngejar elo," jawabnya.
Kedua mata Mika mengerjap.
"Kenapa elo ngikutin gue?"
"Karena gue nggak terima elo nuduh gue melakukan hal buruk pada Juwita, dasar bedebah!" Dan akhirnya Pinky berteriak jengkel.
Pemuda di hadapannya terdiam sesaat.
"Gue nggak melakukannya! Gue nggak akan mungkin setega itu mencelakai orang lain! Jangan asal tuduh sembarangan dong! Elo pikir hanya elo aja yang cemas kalau Juwita hilang? Pak guru dan teman yang lainpun khawatir," jeritnya lagi.
Mika menelan ludah.
"Maaf, tadi gue terlalu ... bingung," ucapnya kemudian.
Pinky mencibir dan menatap pemuda itu dengan jengkel.
"Ngomong-ngomong, elo tahu sekarang kita ada di mana? Karena gue nggak tahu."
Pertanyaan Pinky serta merta membuat Mika menatap sekitar. Perlahan cowok itu mengumpat lirih lalu menyisir rambutnya dengan frustasi.
Astaga, ia juga tak tahu sekarang mereka ada di mana?
***
to be continued.