Aku melihat bayangan diriku di cermin kamar. Benar-benar terlihat sangat kacau. Lingkaran hitam di bawah mataku semakin terlihat, tulang pipiku telihat lebih menojol dari biasanya, dan aku sangat terkejut ketika berat badanku turun dengan tidak wajar. Apa depresi ini akan membunuhku? Aku tertawa, menertawakan diriku sendiri. Aku wanita, 27 tahun, dan single.
Apa single itu suatu ancaman?
Aku tidak paham apapun tentang percintaan. Nol besar untuk usiaku yang sudah hampir kepala tiga. Ini semua gara-gara aku tidak terlalu suka dikekang. Mungkin pikiranku begitu picik ketika pacaran itu aku anggap suatu kekangan. Tapi itulah yang terjadi pada teman-temanku sampai saat ini. Membuatku ragu untuk pacaran dan pacaran itu terlalu buang-buang waktu. Apa aku terlalu picik lagi?
Sebenarnya aku bohong kalau aku tidak pernah jatuh cinta. Aku jelas-pernah-dan-hampir punya pacar. Pernah merasakan cinta itu. Tapi itu sudah lama sekali. Ketika cintamu itu bertepuk sebelah tangan, kau akan tahu kenapa aku menganggapnya buang-buang waktu. Tiba-tiba saja kau melamun, tiba-tiba saja kau teringat semua tentang dia, tiba-tiba kau kehilangan semua mood mu untuk mengerjakan suatu hal. Itulah mengapa aku memutuskan untuk single sampai saat ini.
Single yang akhirnya membuatku snewen.
Aku sebenarnya bukan tipe orang yang gampang stress atau depresi. Tapi tekanan sosial yang aku alami beberapa akhir ini terasa membebani hidupku. Pertanyaan kapan menikah itu semakin sering aku dengar. Desas-desus kedekatanku dengan seseorang selalu menjadi bahan gosip murahan ibu-ibu kompleks. Ibu-ibu muda mulai khawatir dengan suami mereka yang hanya sebatas tersenyum padaku. Ah, apa aku terlihat begitu berbahaya?
Apa cuma aku yang mengalaminya?
NB:
apa ada yang usianya 27 tahun atau lebih dan single?
atau malah belum sampai 27 tahun tapi sudah mendapatkan pertanyaan ini?
wah.. idenya keren. Mengangkat permasalahan wanita single.
Comment on chapter Prolog ; My Biggest Question