Awal kejahatannya disaksikan dengan sepasang mata yang mengikuti silau tajamnya pisau yang memantulkan cahaya bulan dengan polesan warna merah pada sekelilingnya malam itu. Cahaya itu cukup membantunya ketika dia melakonkan perannya, menusuk-menusukkan detak jantung yang bernada pelan wanita dihadapannya. Satu senti pun tubuhmu berusaha untuk tidak bergerak saat bersembunyi di lubang selokan yang dikelilingi semak-semak alang-alang yang tinggi dan selembut kain cotton. Sepasang mata ini menjadi saksi setiap gerak-gerik tangan dan kaki atas kebengisan yang dibuatnya. Sehabis itu, dia mengisap air liur yang masih memiliki sedikit wangi segar vanilla dengan lidah merah kehitaman panjangnya kemudian meletakkan tubuh wanita yang lemah dan solek itu pada sungai yang diam nan sejuk didekat tempat persembunyianmu. Dia menghiasi tubuh mayat itu dengan bunga jasmine dan mawar pada sekelilingnya dan meletakkan lima batang bunga mawar merah ditangan mayat itu dengan lehernya yang dibiarkan berdarah dan terbuka lebar.
Lelaki itu segera pergi meninggalkan tempat itu setelah menyelesaikan tugasnya. Dirimu masih terdiam mengulangi kejadian yang baru saja terjadi. Melihat keadaan mayat itu dengan badan yang seketika membeku menyadari ini bukan pembunuhan yang biasa. Ketika kamu melihat mayatnya dari jauh, mayat itu terlihat sangat cantik dan rupawan tidak seperti mayat yang sudah dibunuh. Kamu akan mengira itu adalah sebuah adegan pertunjukkan klasik kuno yang ciamik dimana wanita sedang bersandiwara mengambang diatasnya dengan bunga-bunga yang menghiasinya. Lelaki itu adalah pembunuh berdarah dingin yang memiliki hati yang kejam pada setiap wanita yang berwajah lembut dan elegan, berambut tebal, panjang dan hitam keemasan, dengan kulit sutra dan nafas sewangi parfum vanilla. Setelah menjadi saksi bisu pembunuhan itu kamu akan masih bersembunyi, menutup mulut menahan suara dan napasmu agar tidak terdengar oleh pembunuh itu. Ketika kamu melihat pembunuh itu sudah jauh dari tempat persembunyian. Kamu keluar dari alang-alang. Melarikan diri namun kamu seperti tidak mengenal dimana tempat itu. Setelah melewati alang-alang yang rimbun yang dekat dengan sungai tempat pembunuhan tadi.Tempat yang kamu pijak saat ini sangat gurun dan berdebu. Tidak jauh dari situ ada beberapa kuburan dan rumah-rumah gubuk yang cukup jauh satu sama lain. Kamu tidak tahu harus beristirahat dimana. Dalam benakmu, kamu harus pulang rumah saat itu juga. Secepatnya.
Kamu pulang dengan perasaan yang dihantui kegelapan dengan buluk kuduk yang terkejut yang mengikuti kencangnya arah angin. Kamu berjalan cepat sambil melihat sekelilingmu tanpa henti. Ketika kamu tiba di rumah, detak jantungmu masih berderam kencang dan keras. Badanmu mengeluarkan titik demi titik keringat dingin membuamu memeluk dan melengkungkan badanmu dipojok sudut tempat tidur. Pikiranmu tenggelam dalam suara-suara bisikan hantu, iblis dan burung hantu yang menertawaimu yang siap menyambarmu seketika hingga tenggelam dalam gelap gulita malammu itu.
Besoknya ketika ayam berkokok, kamu terbangun dan teringat kembali pada mimpi semalam. Pikiranmu yang masih berkaset kusut dengan perasaan yang kuncup membuatmu mengurung diri di kamar selama seminggu. Ketika kamu mendengar suara pembawa berita di televisi yang menyajikan berita pembunuhan itu, udara di tenggorokanmu menyekikmu. Kamu berusaha menarik nafas pelan-pelan namun usahamu gagal. Kamu berlari ke kamar, menutup pintu, dan kembali melengkungkan badanmu mencoba menarik nafas dalam-dalam sekuat tenaga meski tubuhmu terasa begitu lemah.
Beberapa hari setelah hari itu kamu bisa kembali ke rutinitas. Kamu menjauhkan pikiranmu dengan melihat kue di depan kafe di Pamulang dekat rumahmu. Sore itu, kamu menikmati kue strawberry dengan memakannya pelan-pelan sambil mendengar alunan musik klasik Yiruma The Moment. Tiba-tiba kamu melihat seorang lelaki paruh baya, berkumis hitam legam dan tebal, tubuh kurus dan tinggi semampai dengan kulit coklat terbakar melihatmu dari balik pintu kaca kafe. Mengingatkanmu kepada stalker yang mengikutimu selama 3 tahun. Musik klasik tenang yang tadinya menyejukkan menjadi bara api yang panas dan menyala seketika. Kamu berhenti makan dan raut wajahmu menjadi datar dan tegas.
Ketika dia pergi kamu cepat-cepat pergi dari kafe itu dan berpikir untuk tidak pulang malam itu. Kamu akan menginap di rumah temanmu untuk beberapa hari. Semalaman menginap di kamar temanmu, kamu memikirkan cara menghentikannya untuk mengikutimu. Dari rencana gilamu yang seperti ini:
Pada suatu subuh, kamu mengantongi korek api dan membawa tangki minyak tanah, berjalan kearah tempat biasa dimana dia duduk dan tidur di Pos keamanan. Kamu menumpahkan minyak tanah pada sekelilingnya dan menyalakan bara api yang hebat. Membiarkannya terjebak dan mati ditengah bara nyala api sehingga dia tidak akan mengamatiku lagi.
Kamu menyadari secara rasional, idemu tidak cukup menghentikannya. Belum tentu juga kamu akan berhasil lolos dari keanehannya mengikutimu. Entah anehnya, dia hanya mengikutimu ketika kamu sedang santai saja. Kamu mengabaikannya selama 3 tahun. Dia mengikuti bermula ketika suatu malam di perempatan jalan yang macet nan ramai memenuhi jalan. Dia menawarkan tumpangan padamu sehabis pulang. Kamu menolaknya dan menaiki taksi lain waktu itu. Setelah malam itu, dia suka memperhatikanmu dari kejauhan dan tersenyum kepadamu. Seakan-akan dia mengenalimu. Senyumannya seperti menyambut kedatangan dambaan hati dengan matanya terfokus pada dunia yang kamu pijaki. Kedua hal itu membuat badanmu melingkar-lingkar, mengerut dan dipenuhi kegelapan. Kamu tidak akan tahan menghadapi orang itu.
Selama berbulan-bulan dia mengamatimu, dia bertanya untuk berkenalan padamu dan memberi tahu namanya. Kamu merasa hal itu tidak penting dan terburu-buru lalu mengabaikannya. Kepalamu terfokus pada arah jalan dan cepat-cepat berjalan menjauhinya. Melirik sedikit kearahnya mengetahui bahwa dia kecewa denganmu. Kamu tetap berjalan terus dan mempercepat laju kakimu. Meninggalkannya dengan wajah penuh kegelapan dan layu. Kamu kembali tidak pulang ke rumah pada malam itu karena tidak ingin melihatnya lagi.
Perasaan dan pikiranku yang dipenuhi rintikan hujan dan petir yang kencang pada malam itu di rumah tantemu, membuatmu terlelap. Waktu itu tepat pukul sebelas malam, sepasang matamu terbelalak melangkahkan kakimu keluar menuju dapur mengikuti suara hatimu akan rindunya tajam pisau yang kamu biasa gunakan untuk memotong urat nadimu kalua hati gelisah akan lelaki parah baya yang suka mengikutimu. Membungkusnya pada kertas koran. Terjun keluar dari rumah melewati jendela. Kakimu tepat memijaki tanah di lantai dasar. Berlari menerobos siapapun yang melewatimu untuk bertemu pembunuh berdarah dingin itu untuk meredakan kegelisahanmu.
Mengikuti arah jalan menuju alang-alang tempat persembunyian itu berada. Kamu terus menyisir pelan alang-alang disebelah kanan dan kirimu mencari tempat pembunuhan tragis iitu berada. Ketika kamu menemukannya. Kamu merentangkan badanmu, menusukkan tajamnya pisau kepada tenggorokanmu untuk merangsang pembunuh itu untuk mendekatimu.
Sosok bayangan hitam mengelilingimu lalu menjadi satu tersenyum padamu, mengangkat tubuhmu keatas langit lalu seraya berkata “Aku telah kembali untuk menguasai dunia ini sesuai mimpiku.”
Kesadaranmu yang menurun memberi kesempatan pada pembunuh itu untuk menerobos tubuhmu dan mengikatmu pada janji kegelapan semesta untuk membalaskan dendam pada dunia yang membunuhnya ketika dipenjara karena membunuh banyak korban pada zamannya dan dendammu pada lelaki tua yang mengikutmu. Badanmu berdiri tegak, memutarkan sepasang mata pada arah kedepan. Berjalan kearah depan menuju rumah dimana lelaki tua itu tinggal.
Besoknya kamu mengamatinya dari jauh memperhatikannya dari terbit sampai terbenamnya matahari, mencari detik-detik waktu yang tepat untuk menghentikan langkah kaki dan detak jantung yang meracuni ombak pikiranmu. Ketika dia berhenti tiba-tiba, menyadari ada yang mengikutinya. Kamu dengan topeng diwajahmu, menyambarkan jantungnya dengan pisau kemarin sedalam kepalan tangan. Ketika dia merasa sesak dan lemah tak berdaya, memegang tanganmu. Kamu menghempaskannya ke tanah. Kamu berjalan cepat sambal tersenyum puas.
“Sisanya, giliran anak perempuan polisi-polisi yang menangkapku.”, katamu dalam hati.
Kamu memasuki rumah tantemu, pura-pura tersenyum padanya. Mengarahkan kaki kepada laptop di meja kamarnya. Mengetikkan judul berita tahun 1997, mengikuti gerak matamu mencari nama-nama polisi yang menangkapmu pada hari terakhir kemenanganmu membunuh puluhan mayat. Dengan senyuman licik, kamu menuliskan nama-nama tersebut dan tempat tinggal mereka. Selesai itu, kamu meninggalkan rumah menuju tempat mereka. Bersembunyi didekat rumah mereka, mengamati salah satu anak perempuan mereka untuk menjadi korban berikutnya untuk memulai kemenanganmu yang sempat terhenti. Satu per satu anak perempuan mereka terbunuh dengan cara yang sama dengan wanita pertama yang dibunuh. Kepuasanmu bertambah berkali lipat dari sebelumnya. Menepati semua dendammu yang telah terselesaikan.
Membuka pintu esok harinya adalah awal mula dendammu yang terselesaikan kembali diadili untuk dipertanggungjawabkan kepada hakim. Kamu tidak akan lari namun kamu tidak akan membiarkan mereka menang dengan mudah. Ketika seorang pengacara bertanya, “Darimana asal pikiran untuk membunuh gadis-gadis malang itu?”
“Kamu hanya menjawab,”Sebuah kehormatan dapat menjelaskannya padamu, tetapi tidak sebentar aku menceritakan semua pikiran ini berasal”, senyummu. “Kamu dapat memulai secepatnya sebelum kamu dijatuhi hukuman mati, kami punya buktinya.”, katanya percaya diri. “Oh. Apakah itu”, katamu. “Pisau itu memiliki banyak golongan darah, termasuk kamu. Kenapa kamu menguburnya di alang-alang ketika gadis dengan tenggorokan sobek itu meninggal ?”
“Menarik. Tidak semudah itu menemukan pisau itu kalau kamu tidak ada disitu”, katamu terkesan.
Gelapnya malam yang meredupkan cahaya ruangan tahananmu memberimu sebuah ide menarik. Melihat sipir tahanan yang sibuk memainkan ponsel dan mengadukkan kopi untuk siap bertugas sepanjang malam kamu rasuki dengan memberikannya racun tikus yang kamu kantongi dari ruangan penyimpanan ketika hendak membersihkan kamar mandi siang tadi.
Ketika dia menegukkan kopi itu kemudian terjatuh dengan busa-busa racun tikus yang hanya memakan waktu 15 menit. Kamu mengambil kuncinya dan membuka pintu itu dan mengganti pakaian sipir untuk menyamar keluar dari bangunan tahanan itu. Tidak ada yang mengenalimu meskipun kamu tidak mengubah pita suara.
Hujan menepismu yang berjalan menuju arah rumah pengacara yang mempunyai bukti kuat tindakan kejimu. Melewati balkon lantai pertama, kamu melingkarkan tanganmu tepat pada leher. Siletan kuat pisau ditanganmu melukainya. Badannya tergeletak dilantai melihatmu mencoba mengambil ponsel didalam tas. Kamu menginjakkan kakimu pada tangannya dan merampas tas yang didalamnya juga terdapat kunci brankas yang mengarahkanmu pada bukti kuat pisau itu. Ketika seseorang mengetuk pintu dari luar ruangan, membuka pintunya melihatmu dan pengacara itu tergeletak di lantai. Kamu mengancamnya lalu pergi dengan kedua pisau ditanganmu.
Kamu melihatnya dari balik kaca jendela depan rumah yang menggerakkan bibir mengisyaratkan kantor polisi. Kamu berlari kencang sebelum seseorang melihat kedua pisau ditanganmu.Sambil berlari kamu memikirkan ide licik untuk mengelambui mereka.
Menyangkul tanah sebesar badanmu didekat tempat yang tidak jauh dari alang-alang sebelum polisi mencarimu. Saat kamu yakin itu sudah cukup dalam, kamu meninggalkan raga gadis itu didalamnya. Menguburnya disitu lalu pergi menyelimuti gelapnya langit malam.
Polisi mencarimu dimana-mana untuk menahanmu dan melarikan pengacara yang terluka ke rumah sakit. Mereka menanyakan pada saksi mata malam itu, siapa yang dilihatnya saat membuka pintu. Ia menjawab, “Bukan perempuan pembunuhnya, tetapi bayangan gelap menyerupai manusia.” Setahun setelah itu, kamu merasuki tubuh gadis yang kamu kubur. Menggerakkan seluruh badannya keluar dari dalam tanah yang terkubur dengan alang-alang lebat.