“April?” sayup-sayup terdengar suara berbisik memanggil. “Pril? April?” suara berbisik itu semakin terdengar jelas.
Si empunya nama akhirnya menemukan sumber suara, di balik tirai. Pemilik suara itu adalah Karen, satu-satunya teman kelompok April yang mendapat giliran tugas di ruang IGD.
April lekas membereskan spuit dan ampul bekas yang baru saja disuntikan di selang infus pasien.
Setelah memberikan instruksi pada pasien agar beristirahat, April membuka sebagian gorden dan menemukan Karen yang masih setia menunggu di luar.
“Pril, Bu Kartika udah sampai. Dia mau mampir ke IGD dulu, baru ke ICU. Askep-ku masih berantakan. Kamu konsul punyamu dulu, ya? Aku belum siap responsi,” bujuk Karen.
Karen adalah mahasiswi populer karena paras, gaya hidup yang selalu up to date, dan status hubungannya yang berpacaran dengan Kosakka, yang juga memiliki visual di atas rata-rata.
Semua hal itu, membuatnya melewati kesulitan dengan mudah. Seperti saat dia tersesat di ruang Poli klinik, maka satpam akan dengan senang hati menghampirinya dan membantunya. Atau saat dia merasa malas untuk mengganti popok pasien di ruang bangsal, seorang asisten perawat akan dengan senang hati menggantikan tugasnya.
Selain itu, dia selalu mudah dikenali dan disapa oleh hampir sebagian pegawai rumah sakit yang pernah bertegur sapa dengannya.
“Iya,” jawab April, tanpa sengaja juga ikut memberikan perlakuan istimewa pada Karen.
Karen tersenyum senang, membuat kelopak matanya berbentuk seperti bulan sabit. Lalu mengekor di belakang April.
“Tugas kalian udah selesai, kan?” Sebuah pertanyaan sambutan Bu Kartika untuk kedua mahasiswinya.
“Udah, kok, Bu. Lagian praktikan dari kampus lain juga ada,” jawab Karen. Diikuti anggukan April.
April menyodorkan askepnya lengkap dengan LP. Lalu duduk dengan tegang di seberang meja Bu Kartika. Kedua tangannya sudah sigap di balik meja, ia sudah melatih gerakan jempolnya untuk mengetik sesuatu di google, lengkap dengan contekan file LP dan askep yang sengaja disimpan di HP.
“Combutio Grade 3?” Bu Kartika membacakan diagnose medis yang ditulis April di askepnya.
April mengangguk, lalu mulai memaparkan kasus kelolaannya sembari Bu Kartika membaca askep April di tangannya.
“Pasien Tuan S, usia 30 tahun. Datang ke IGD kemarin sore karena kesetrum saat memasang lampu. Lalu jatuh dari tangga. Ada luka bakar di telapak tangan kiri. Pasien mengeluh pusing, sesak napas, dan sempat muntah darah.”
“Pengkajian primernya?” tanya Bu Kartika seolah sedang mengetes ingatan April.
Baik. Tiba-tiba memori otak April kosong begitu Bu Kartika menatapnya lurus.
April tersenyum lalu mengerutkan dahinya sembari memaksa ingatannya bekerja. Sungguh, ia ingin menunduk sebentar saja melihat layar HPnya demi merangsang hipokampus-nya yang membeku karena tatapan dosen yang penuh tekanan.
“ABCD itu, ya, Bu?” April mengulur waktu.
Lalu menghirup napas dengan gerakan andalannya—mendongak saat menghirup dan menunduk saat mengembus. Lalu dia bisa mencuri pandang ke layar HPnya.
“Airway-nya, tidak ada sumbatan jalan napas—“
“Katanya sempat muntah darah?” Bu Kartika menginterupsi.
“Iya, katanya, Bu. Tapi sampai di sini bersih kok, Bu.” Bagus, April! Satu masalah terlewati.
April bernapas lega. Ia bisa melanjutkan kalimat selanjutnya. Melaporkan pengkajian selanjutnya—Breathing, Circulation, Disability dengan lengkap tanpa kejanggalan.
Padahal April benar-benar merawat pasien kelolaannya, tapi dosennya selalu mencari sesuatu seolah askepnya berisi ‘data siluman’.
Bahkan April masih ingat bagaimana keadaan pasien kelolaannya waktu itu. Seorang pria yang terlihat lebih berumur dibanding usia aslinya itu terlihat tenang saat datang, tentu saja, karena nilai GCS yang April dapat setelah memeriksa respon mata, verbal, dan motorik berjumlah 13. Artinya, kesadaran pasien kelolaan April saat tiba adalah apatis.
Selain itu tangan kiri pasiennya gemetaran dengan luka di telapak tangan yang terlihat pucat keabu-abuan.
April yibahkan masih bisa bergidik saat mengingat hampir seluruh kulit tangan pasiennya hangus dengan cukup dalam.
Bu Kartika menatap April seperti menunggu lanjutan kalimatnya. Namun, penantiannya tak menghasilkan apapun. April telah menyelesaikan kalimatnya sejak tadi.
“Diagnosa keperawatan apa yang kamu ambil?”
Syukurlah, Bu Kartika tak terlalu menginterogasi pengetahuan teori April, yang otomatis kemungkinan giliran Karen semakin dekat. Padahal dia sudah menghafalkan dan membuat catatan kecil mengenai derajat, klasifikasi, luas, penghitungan kebutuhan cairan, dan segala teori mengenai luka bakar.
Kepanikan berpindah pada anak perempuan yang duduk di samping April yang sibuk mempelajari askepnya yang berantakan.
“Ketidakefektifan Pola Napas dan Nyeri Akut.”
Bu Kartika menatap April, lalu bergantian menatap lembaran kertas askep di tangannya. “Ini data nyeri di pengkajian tidak ada, tapi di Analisa Data bisa muncul pengkajian PQRST?”
BHAIQ. Satu kebodohan tercyduk.
“Dilengkapi data pengkajianmu, ya!” ucap Bu Kartika sembari meninggalkan jejak indah di lembar kertas pengkajian April. “Etiologi diagnosa Ketidakefektifan Pola Napas, kenapa bisa Edema Cerebri?—“
Sunyi.
“Copas ini pasti?! Keluarin NANDA-nya! Cari etiologinya ada apa aja?”
Seperti singa yang menemukan mangsanya. Bu Kartika tampak bersemangat kembali. Ia bahkan rela mengabaikan getaran-getaran HP-nya sejak menemukan kecacatan dalam penulisan askep April.
Postur tubuh yang gagah lengkap dengan mata elangnya, Bu Kartika mencari mangsa selanjutnya dengan mudah, Karen.
Di mata Bu Kartika, dia terlihat seperti seekor kelinci kecil yang gemetaran di balik rerumputan tandus. ‘Singa’ itu siap menelannya.
Selagi April berkutat dengan NANDA--kitab keperawatannya, Bu Kartika meletakan askep April, kemudian beralih pada askep Karen yang terlihat lebih tipis.
“Diabetus Mellitus,” Bu Kartika membaca lantang bagian diagnosa medis di lembar askep Karen.
Hah?” seru Karen spontan, dilanjut dengan gerakan kedua tangannya menutup mulut.
Bu Kartika menatap kelinci buruannya yang terlihat semakin mudah untuk diterkam itu.
“Kenapa? Askepmu sendiri kok malah kaget,” komentarnya dengan senyum khas, bak siluman singa.
Kemudian Bu Kartika melanjutkan ke bagian bawah, sebaliknya, sebaliknya, dan sebaliknya. Selain banyak pengkajian yang belum terisi, kesalahan terbesar Karen adalah pada bagian diagnosa medis dan data pengkajian yang sangat singkat itu sama sekali berbeda jauh.
“Ini gimana maksudnya, Karen? Diagnosa medisnya DM. keluhannya, pasien mengatakan lemas, 2 hari diare 20 kali dalam satu hari, cair tanpa ampas, terasa mual. Pengkajian ABCD cuma begini?—“ Bu Kartika tampak sedang melakukan scanning.
“—di pengkajian sekunder bagian past illness, kamu tulis ‘pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat hipertensi maupun diabetus mellitus’?” Bu Kartika menunjukkannya di hadapan si penulis langsung.
“Pemeriksaan fisik juga masih banyak yang kosong?”
Lembar berikutnya terbuka.
“Ini lagi, di Analisa Data tekanan darah 180/110mmHg? Di lembar pengkajianmu tadi—“ ucap Bu Kartika sembari membuka kembali lembar sebelumnya. “120/80mmHg?”
Karen bisa mendengar suara detak jantungnya. Bahkan suara detak vena jugularis-nya bisa memecahkan gendang telinganya, padahal bukan kali pertamanya ia melakukan kesalahan seperti ini.
Seharusnya semalam ia benar-benar memeriksa ulang hasil copas-nya dan menyingkronkan data dengan benar. Ia terlalu menuruti kata-kata Kosakka dan malah sibuk menemani pacarnya itu berburu sepatu yang bahkan tidak mungkin dipakai di rumah sakit.
Karen ingin membenturkan kepalanya di meja. Seandainya setelah ia melakukan itu bisa membuat semua situasi ini terlewatkan, ia pasti benar-benar melakukannya.
“Udahlah. Saya nggak mau baca lagi. Buang-buang waktu dan tenaga,” ucap Bu Kartika, ketus. Kemudian beralih pada April yang sedang tercengang dengan amukan khas Bu Kartika.
“Udah ketemu belum, April?”
April terhenyak. Padahal bukan dia yang kena marah, tapi malah dia yang nyalinya menciut.
“Ah, Gangguan Neurologis, Bu? Karena trauma kepala? Kan pasiennya sempat jatuh dari tangga, mengeluh pusing juga?” terang April, perlahan.
Berarti ada cedera kepala? Hasil CT scan-nya apa?”
JREEEEENNNGGGG!!!
Satu hal penting yang terlewatkan oleh April—tidak melampirkan hasil pemeriksaan penunjang. Lalu Bu Kartika juga akan segera mengamuk untuk kedua kalinya begitu ia menemukan lembar pemeriksaan penunjang di askep April—kosong.
“Cek lab? CT scan? EKG? Mana?” ucapnya sembari membuat coretan tanda tanya besar di lembar lampiran pemeriksaan penunjang.
Hening.
“Kalian ini, sudah Sarjana, tapi bikin askep masih amburadul begini? Saya nggak mau baca sampai evaluasi. Pengkajian aja banyak bolong-bolong. Askep anak SMK aja lebih bagus dari ini. Saya nggak mau nerima yang beginian, ya?! Ini revisian saya tunggu di email sampai besok malam!” ucap Bu Kartika yang dijawab dengan anggukan keduanya.
“Ya sudah. Darah tinggi lama-lama saya nanti. Anak-anak di ICU juga nanti askepnya pasti nggak jauh beda begini?” gerutu Bu Kartika sembari beranjak dan menghilang di balik pintu ruang mahasiswa.
“Ah! Aku kehilangan selera hidup,” pekik Karen sembari menyandarkan punggungnya di kursi dengan lemas.
April mendengus kesal pada dirinya sendiri. Berkali-kali dia berniat melakukan dengan sempurna, tapi berkali-kali juga dia memilih menunda melakukan itu.
April hanya membuka lembar demi lembar askepnya yang dipenuhi coretan Bu Kartika.
Sungguh tugas yang memuakan. Ditulis tangan melelahkan, diketik komputer boros.
Seandainya melewati pendidikan Profesi Ners ini tanpa membuat askep, hidupnya pasti lebih tenang, lebih sehat tanpa tangan yang pegal untuk menulis askep dan mata panda karena begadang, selain itu juga pasti lebih hemat karena tidak perlu membeli printer, kertas, dan tinta.
Bagi April maupun Karen, kebijakan askep yang ditulis tangan atau pun diketik komputer, keduanya tidak ada bedanya. Sama-sama membuat hidup para mahasiswa tegang.
Tulis tangan, jika ada satu coretan dosen meski satu kata, artinya kau harus menulis ulang satu lembar penuh. Bayangkan jika dosen menyoret satu kata di setiap lembarnya. Kau harus menulis ulang semuanya!
Ketik komputer? Terdengar menggiurkan. Karena tidak ingin ribet, kau pasti lebih memilih merombak pekerjaan lama dan diganti dengan data baru.
Sayangnya, kadang ada beberapa bagian yang terlewat. Akibatnya? Seperti yang dialami Karen tadi. Sangat mengenaskan.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan kasar, mengagetkan Karen dan April yang tengah dalam keputusasaan.
Dian terbelalak menatap April di depan pintu dengan napas terengah, beberapa kali ia mengusap matanya. Memastikan tidak ada yang salah dengan pengelihatannya sekarang.
“Ngapain ke sini?” komentar Karen begitu melihat anak praktikan stase KMB (Keperawatan Medikal Bedah) menerobos masuk ruang IGD.
“Kalian nggak nyimak grup?” tanya Dian sembari duduk di bangku yang sebelumnya diduduki Bu Kartika.
Karen lekas panik. “Bu Kartika ngumumin masalah tadi grup?” pekiknya sembari buru-buru mengecek grup chat yang selalu ia atur dalam mode silent.
Tamatlah riwayat mereka. Sudah kena semprot, masih diumumkan di ke satu angkatan pula. Seketika mereka pasti akan menjadi topik utama pembicaraan. Membayangkannya saja bisa membuat Karen bergidik.
-------------
**Combutio grade 3: luka bakar derajat 3, dimana lapisan kulit dan organ dalam kulit rusak, biasanya kulit berwarna putih/abu-abu, biasanya tidak lagi terasa nyeri
**Hipocampus: bagian otak yang mengatur sistem memori
**GCS (Glasgow Coma Scale): pengkajian tingkat kesadaran dengan memeriksa respon Eye, Motoric, Verbal
**Edema Cerebri: pembengkakan pada otak
wah kehidupan pekerjaan .. keren kak lanjutkan ya
Comment on chapter Bab 1