Ello memukul-mukul setirnya frustasi. Tak peduli sama sekali dengan bercak-bercak darah yang muncul di sekitar wajahnya. Rasanya sakit memang. Tapi hatinya jauh lebih sakit. Dia tidak menyangka seorang Nasha ada main di belakangnya seperti ini. Dan apa yang mereka lakukan tadi? Bisa saja mereka sudah—
Shit!
Pikiran itu membuat Ello menggeram dan tanpa sadar memutar mobilnya memasuki area kompleks perumahan asri di persimpangan jalan. Ello butuh pelampiasan saat ini. Sangat butuh.
Dia segera membanting pintu mobilnya begitu sampai. Kaki panjangnya melangkah cepat memasuki teras rumah bertingkat dua tersebut. Cepat dia menekan bel.
Begitu pintu dibuka, sosok yang nyaris sama dengannya muncul—yang membuat mereka berbeda hanya rambut dan kacamata. Erro tampak terkejut melihat penampilan saudara kembarnya. Muka babak belur. Bibir sobek dan berdarah. Rambut acak-acakan. Serta yang paling parah kacamatanya rusak dan pecah.
“Gila El, kenapa lo—”
Belum sempat kalimat itu selesai, Ello sudah menghantamkan tinjunya pada Erro. Satu tinju tak cukup. Jadi dia melayangkan tinjunya yang lain. Erro tampak kaget. Sebisa mungkin bersikap biasa melawan tinju Ello. Padahal, kalaupun mau Erro bisa membalas lebih. Tapi dia hanya terus berusaha menghalau tangan Ello yang bergerak kalap.
“Brengsek! Brengsek!” maki Ello sambil terus memukul-mukul saudara kembarnya.
“Astaga. Lo kenapa sih? Jangan main pukul gini dong.” Erro berteriak marah. Tapi Ello malah semakin kalap dan memukul Erro lebih.
Akibatnya terjadilah perkelahian hebat di antara mereka. Erro juga tidak mungkin diam saja dipukuli terus menerus. Sehingga dia membalas dan membalas. Begitu pula Ello, meskipun sebenarnya dia tidak selihai Erro dalam adu jotos.
Suara perkelahian mereka membuat Echa berlari tergopoh-gopoh dari lantai dua. Wajahnya tampak cemas. Dia berlari mendekat dan menengahi mereka.
“Ya ampun, kalian kenapa sih?! Aduh, berhenti dong!” teriak Echa panik. “El, Ro, please udah. Finza sama Eza bisa bangun. Please berhenti! Berhenti!”
“Dia yang mulai duluan!” Erro berteriak tak terima.
Ello mulai diam. Tangannya yang tadi bergerak hebat kini mulai teredam. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat. Berdiri lama. Dan akhirnya pertahanannya rubuh.
***
Ello hanya diam menatap Echa yang tengah sibuk mengobati luka-luka di wajah Erro. Dia sedikit merasa bersalah karena malah membuat kekacauan di rumah kembarannya. Padahal niat awalnya hanya mencari pelampiasan. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
“El, lo kira-kira dong kalo mau mukulin—aww sakiiitt...” Erro meringis ketika cotton bud di tangan Echa menyenggol bibirnya yang berdarah. “Sayang, pelan-pelan dong.”
“Ihh, kamu aja yang nggak bisa diem. Makanya diem dong. Baru diobatin, nih.” Echa segera menarik punggung Erro kembali ke pangkuannya. Sehingga cowok itu tiduran lagi di paha istrinya. “Buka bibirnya, Ro.”
Erro menurut, tapi masih sambil mengoceh. “Sialan lo, El. Padahal lo tahu gue udah nggak bisa adu jotos lagi. Kaki gue rawan banget soalnya. Kena bogem dikit aja bisa parah.”
Ello mendesah. “Sori, gue lupa.”
“Jaweban macem apa tuh!”
Ello mendesah lagi. Kali ini tampak frustasi. “Shit! Gue bener-bener kelepasan. Sori, Ro.”
“Sebenernya ada apa sih, El?” tanya Echa penasaran. Dia mendekat dan duduk di samping Ello. “Sini aku obatin juga.”
Erro meliriknya. “Awas ya, nggak boleh modus. Istri orang tuh!”
Ello tampak tak menggubris ucapan Erro. Dia malah membiarkan Echa mengobati luka di lututnya. Rasanya perih. Sama seperti hatinya.
“Gue putus sama Nasha.”
Seketika Erro dan Echa terbelalak kaget. Keduanya langsung bangkit dari posisi masing-masing. Mata mereka melotot. Nyaris jatuh.
Ello melirik mereka malas. Pasangan suami istri alay. Reaksinya heboh amat, sih.
“Ya ampun! Terus lo mau cari siapa abis ini?” berondong Erro dengan seenaknya.
Ello menatapnya datar. “Cari apa? Emang barang?”
Erro ingin sekali mencekik wajah Ello yang tolol itu. Dasar bodoh. Dia sudah cukup umur, tapi bukannya menikah malah main putus-putus seenaknya. Seperti anak kecil.
“Lo pasti diputusin gara-gara kelewat datar.”
“Enak aja!” Ello mendesis. “Dia ada main di belakang gue.”
Erro membelalak. Jadi karena itu—Hah? Serius? Nasha ada main?
“Brengsek banget!” amarah Ello muncul lagi. Dia tampak memukul-mukul sofa yang didudukinya. “Gue tadi ke apartement-nya. Niat awal sih mau ngelamar dia. Tapi dia malah sama cowok lain di ranjang. Hah... sial!”
Erro dan Echa membelalak. “RANJANG?!” kemudian jeritan mereka terdengar koor. Lalu yang terjadi berikutnya malah seringaian nakal Erro ke arah istrinya yang tersenyum malu-malu.
Astaga. Ello ingin sekali menggeplak kepala mereka berdua. Bisa-bisanya disaat dia serius seperti ini mereka malah sempat berpikiran mesum. Dia menyesal menceritakan masalah ini ke mereka.
“Ehem... gue mau numpang tidur.” Ello mendesis jengkel. Seketika dia langsung merebahkan tubuhnya ke sofa dan berusaha memejamkan mata.
“El, lo belum selesai ceritanya!” gertak Erro marah.
Ello melirik sekilas. Tampak mengabaikannya. Kembali dia menutup mata. “Buruan tidur sana. Gue tahu kalian mau main di ranjang,” sindirnya.
Erro terkekeh. “Oke, besok aja lanjut ceritanya. Night.”
“Hmm...” Ello berusaha memejamkan mata. Dan dia tertidur pada menit ke-lima.
***
Sinar matahari yang menelusup dari celah jendela membuat Ello terbangun dari tidurnya. Dia menguap sebentar dan mencoba bangkit. Sial, tubuhnya sakit semua. Ello meraba luka-luka di wajahnya. Hampir mengering meski masih begitu perih.
Suara tangisan bayi membuatnya menoleh ke arah dapur. Dia baru ingat bahwa semalam menginap di rumah Erro. Cepat dia melangkah memasuki dapur. Disana tampak kakak iparnya sibuk menyuapi Finza. Sementara Erro yang sudah rapi sibuk menggendong Eza.
Ello menatap mereka dengan seksama. Ribet juga punya anak kembar. Serius dia tidak mau punya anak kembar.
Eh, barusan dia bilang apa? Serius dia mau punya anak? Nikah aja belum. Pikiran itu membuatnya merasa tertampar. Belum lagi bayang-bayang Nasha dan si cowok brengsek.
Lagi-lagi Ello mendesis jengkel. Dia tidak mau ingat. Sama sekali.
“Om Ello udah bangun tuh.” Echa bersuara sambil sibuk menyuapi bayi perempuannya. “Ayo kasih salam dulu dong.”
Finza tertawa sambil menepuk-nepuk tangan. “Agihh...”
Ello tersenyum. Dia mendekat dan segera mengelus puncak kepala Finza. Bayi itu tertawa lagi. “Pagi keponakan Om yang cantik. Sarapan pake apa?”
“Pake bubur, Om. Ayo akh dulu sayang,” jawab Echa.
“Akkhh...”
“Pinter. Eza mau juga?”
“Mau. Sini dong Eza laper, Cha.” Ini yang berteriak Erro.
“Eza buka mulutnya dulu—akh... Pinter.” Echa bersorak sambil menyendokkan bubur kembali pada Finza.
Ello yang melihat kesibukan mereka hanya terkikik.
“Apaan lo ketawa? Besok lo juga bakal ngerasain gini juga kali.”
Seketika Ello stop tertawa. Wajahnya kembali pada posisi semula. Datar. “Sori, abisnya kalian rempong banget pagi-pagi gini.”
“Yes, ini emang kehidupan rumah tangga. Rempong-rempong tapi seneng.”
Ello mendengus. Jawaban macam apa itu. Dia hanya melenggang santai sambil meraih sebotol colla dari dalam kulkas.
“Pagi-pagi nggak bagus minum es, El.” Echa menyeru dengan tampang angry mother.
“Hmm...” Ello segera memasukkan colla itu kembali. Dia duduk di samping Erro yang tengah bermain dengan Eza. Kembarannya itu sudah rapi dengan kemeja biru donker dan celana katun.
“Pagi-pagi kok udah rapi sih, Ro?”
Erro yang tengah mengelap mulut Eza menoleh. “Gue ada projek baru. Jadi hari ini rapat crew.”
“Majalah Grenada udah selesai?”
“Bulan ini udah. Mungkin dapet job lagi bulan depan. Sekarang gue lagi ada projek film era 90-an.”
Ello hanya mengangguk-angguk. Dia paham betul kerjaan Erro juga menumpuk sama seperti dirinya. Sebagai fotografer sekaligus kameramen handal, tentu saja job yang didapatnya banyak sekali. Belum dia harus mengurus pemotretan beberapa majalah. Bahkan kadang mengambil beberapa shooting film. Tapi yang dia sukai dari Erro adalah dia selalu membawa semuanya dengan santai. Take it easy, begitu katanya.
Beda sekali dengan dirinya yang serba serius. Semua hal dibawa serius.
“Gila udah jam delapan. Gue bisa dimarahin si bos. Mana meeting mulai jam sembilan.” Erro berteriak heboh. Sekarang cowok itu sibuk mondar-mandir. Masuk-keluar kamar berulang kali.
“Cha, kameraku dimana? Duh, nggak bisa kerja dong kalo gini.”
Echa ikutan panik. “Bukannya kemarin DSLR yang baru kamu taruh di kamar. Masak nggak ada?”
“Aku lupa naruh dimana.”
“Ya ampun.” Echa berdecak sebal. “Mending pake yang lain, kamera kamu kan banyak.”
“Tapi garapanku disitu.”
Ello menatap mereka dengan malas. Mereka semalem ngapain sih jadi pikun begini? Ah, bodoh amat. Dia mengedikkan bahu cuek. Kemudian melenggang masuk ke dalam kamar mandi setelah menyambar handuk biru milik kembarannya.
“Ro, gue minjem kaos.” Ello menyahut cepat.
“Ambil—Kamera sialan dimana sih?”
“Coba di meja kamar deh. Cek dulu semuanya. Barang penting gitu kok bisa hilang sih.”
Dan teriakan-teriakan lain mulai bersahutan. Ello memilih segera membanting pintu kamar mandi. Sehingga suara cempreng Erro dan Echa beserta tangisan bayi kembar mereka tidak terdengar.
***
Ello menatap pantulan wajahnya di cermin. Dia hanya mengenakan kaos putih polos milik Erro dan celana hitam kasual. Tunggu—serius dia mau ke rumah sakit pakai baju ini?
Ello melotot. Dia melirik jam tangannya. Ah, dia bisa disindir Rio berangkat telat lagi. Akhirnya dengan cuek dia melangkah keluar menggunakan kaos Erro. Di teras tampak Erro yang kini sudah memegang kameranya. Asyik mengambil foto si kembar di dalam setroller.
“Jaja senyum dong, jangan jutek banget ah jadi cowok. Ntar nggak ganteng loh. Eh, Incha cantik banget. Sini Papa jepret dulu.”
Erro mengarahkan kameranya. Tersenyum-senyum sendiri sembari bergerak maju mundur mencari angle yang pas. Lalu dia bersorak heboh ketika mendapat foto yang lucu. Echa hanya tertawa di sampingnya sambil membenarkan kerah baju suaminya yang tidak rapi.
Ello menatap mereka datar. “Udah ketemu?” sindirnya.
“Hehe... di meja ternyata.” Erro terkekeh.
“Ro, udahan dong. Lagian foto Finza sama Eza udah berjuta-juta di kamar. Buruan sana berangkat, ntar telat lagi.” Echa memulai sesi ceramah.
“Tau tuh!” Ello menceletuk. “Gue duluan ya, ada praktek jam sembilan. Btw, kaos lo gue pake nih Ro.”
“Iya, ambil aja. Bye.”
“Hati-hati, El.”
Ello melambaikan tangan. Dari jauh sibuk mengamati Erro dan Echa yang masih bersama si kembar. Asyik banget mereka sepertinya. Bahkan Erro rela-rela saja telat pergi kerja. Ah, dasar!
Tapi kalau dipikir-pikir—Happy Family?
Ah, bagus juga kelihatannya.
***
TBC
udah di mulai ni masalahnya. Btw si Ello agak menyebalkan juga ya inner-karakternya. tapi saya suka kok bad boy.
Comment on chapter BAB 1need more...