Serentak teman-teman menghela nafas panjang, terutama Kartika. Raut wajahnya terlihat lesu kembali. Aku bergegas berlarian menuju gedung perpustakaan lantai lima, mencari sesosok mahasiswa berkemeja navy. Pandanganku menelusuri tiap rak buku yang terjajar rapi. Namun sosok yang kucari tidak ada.
"Sarah, ngapain kamu? Clingak-clinguk kayak mau nyari sesuatu?" tanya seorang gadis berkerudung dengan tinggi semampai, yang tak lain adalah Astrid.
"Eee... Enggak, aku ketemu seseorang yang sepertiya ku kenal." Mataku berhenti menelusuri setiap rak, tatapanku tertuju pada Astrid
"Di dunia ini banyak orang yang mirip." Jawabnya sambil merangkul beberapa buah buku.
"iya, kamu benar. Ngomong-ngomong kamu ga ada mata kuliah hari ini? Kok udah kluyuran di perpus?"
"Udah selesai. Ini mau nyari buku juga buat ngerjain soal fisika." Matanya tertuju pada buku-buku dasar fisika.
"Tugasmu banyak ya sis?" sindirku.
"Halah, kayak kamu nggak aja." Astrid menepuk bahuku.
"Heheheh... Eh, keluar yuuk... Cari makan di kantin."
"Yuk... Aku juga laper nih, dari tadi cemilanya cuman soal aja." Jawab Astrid sambil menyerahkan beberapa buku ke petugas perpustakaan untuk dipijam.
"Akhir-akhir ini soal dan tugas memang lebih mengenyangkan Trid daripada makanan." aku nyengir, petugas perpus melirikku.
Aku dan Astrid selalu bersama sejak masa SMA. Saat kuliah juga kami dipertemukan kembali. Astrid yang berada di jurusan Teknik Fisika berada tidak jauh dari fakultas Teknik Kimai. Jadi pada saat senggang ketika tidak ada kuliah, kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu dan membahas beberapa mata kuliah yang saling berhubungan.
Kami menuju kantin perpus yang berada di lantai satu. Menu makana yang paling aku sukai adalah nasi goreng terasi. Selain itu juga penjualnya, bu Minah terkadang suka memberikan ekstra telur mata sapi gratis bagi para pelangganan tetapnya.
"Menu biasanya bu, dua..." Aku medekati bu Minah yang sedang duduk santai meulis catatan di buku penjualan.
"Siap bos..." Beliau langsung berdiri menyiapkan makanan yang lami pesan.
Astrid menarik kursi kosong tak jauh dari jendela kaca yang menghadap sebuah tanaman-tanaman kecil. Kami duduk bersama.
"Trid.. kamu percaya reinkarnasi?" mataku menatap Astrid yang membaca buku-buku dari lantai lima.
"Iya, kenapa memang?." tanyanya, sambil menyeruput es teh yang barusan dihidangkan.
"Tadi waktu aku nyari buku di perpus, aku nyium aroma persiiss sama aromanya Hayam Wuruk sewaktu di Majapahit. Perawakanya, penampilanya dari belakang itu juga mirip banget cak. Sayangnya aku belum sempet ngliat dia dari depan."
"Hahaha... Ini udah hampir dua taun lho Sar sejak kejadian itu. Dan kamu masih belum bisa move on juga. Kamu juga masih setia memakai cincin pemberian Hayam Wuruk." Astrid tertawa, melepas sedotan yang menempel di mulutnya. Tatapanya tertuju pada cincin yang menempel di jari manisku.
"Itu ga akan pernah kulupakan Trid. "
"Iya wez lah.. Kamu kayaknya butuh tugas lebih banyak lagi Sar."
"Hush! Tugasku udah banyak hari ini." Aku menghela nafas panjang.
"Hahaha.. Sama. Ntar bakal begadang lagi nih dikampus. Eh, kamu masih inget koin emas dari Majapahit yang kamu beri waktu itu Sar?"
"Iya, Kenapa?"
"Jujur ya.. Aku awalnya ga percaya sama kamu. Aku memberanikan diri minggu lalu untuk bertanya ke toko emas pinggir jalan." Astrid menyeruput sisa teh yang masih tertinggal di balik es batu.
"Trus??"
"Emas beneran itu Sar,!! Gila! majapahit sekaya itu ya. Trus koinnya masih aku simpen dirumah sih"
"Kalau kamu ngrasain kembali ke masa lalu kayak aku, kamu pasti takjub deh,percaya! Jauh lebih wah daripada yang ada di buku sejarah" aku bersemangat
memang jika koin emas yang ada di majapahit adalah Emas asli. Mengingat Majapahit dahulunya adalah sebuah negri dengan gemah ripah loh jinawi. Bahkan saking kayanya, para tamu yang biasanya dijamu di area Telaga Segaran, diminta oleh raja membuang piring emas yang digunakan ke dalam Telaga segaran. Sebagai bukti mahsyurna kerajaan Majapahit.
Kami menghabiskan sisa waktu kami sampai sore hari di kampus, lalu meninggalkan Astrid bergelut dengan tugas yang mengelilinya. Ditemani oleh sepeda motor matic, aku pulang menuju rumah. Melewati pepohonan rimbun yang daunnya menari kesana-kemari tertiup angin. Senja yang masih malu untuk menampakkan dirinya itu mulai muncul ke permukaan.
Melewati lambang struktur atom atom yang berputar-putar ke inti sebagai tanda bahwa aku sudah keluar dari komplek kampus Institut Teknologi Sepuluh November. Sekarang yang tampak adalah perumahan-perumahan elit yang berjajar di setiap pinggir jalan. Kendaraan-kendaraan beroda empat memenuhi setiap arah jalan pulang dari kampus.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !