Kami pun menaiki kereta wisata, aku yang duduk terpaku di atas kursi kereta terdiam sambil menikmati pemandangan yang sekejap berubah. Dahulunya adalah rumah-rumah penduduk, kanal perairan dan pasar, sekarang berubah menjadi sebuah lahan kosong luas yang berubah menjadi taman dan rerumputan.
Candi-candi yang tidak termakan oleh zaman, tetap berdiri kokoh sebagai saksi bisu kesuksesan zaman Majapahit. Hanya saja aku merasa sedih karena aku tidak bisa menemui Dyah dan Hayam Wuruk kembali.
Kereta wisata kami melewati sebuah Telaga Segaran, telaga yang dahulunya bersih dan jernih itu sekarang berubah menjadi mistis, namun tetap kokoh. Aku mengingat kenanganku bersama Hayam Wuruk saat dibawah pohon maja senja itu.
Aku melihat sekeliling telaga, namun pohon maja yang sudah disakralkan itu kini tidak ada. Saksi bisu pertemuanku dengan Hayam Wuruk, dan Dyah. Menikmati senja di sore hari di bawah pohon maja. Kini yang ada adalah barisan pohon dan pagar besi yang membatasi Telaga Segaran itu.
Kereta kami berhenti di destinasi terakhir studi wisata, museum Trowulan. Satu persatu teman teman menuruni kereta dan berjalan menuju bangunan rumah yang di depanya terdapat barisan-barisan arca dan prasati yang diam membisu.
Indri mulai beraksi dengan kamera DSLR-nya, tanganya yang putih pucat daritadi memegang kamera kesayanganya itu. Memotret beberapa prasasti yang ada. Sedangkan Erik masih bersikukuh dengan tanganya yang sedari tadi bergerak tanpa henti mencatat setiap keterangan-keterangan yang ada di museum.
Astrid menggandeng tanganku, sekilas melihat raut wajahku yang terdiam bisu. Dia menyenggol bahuku dan berkata,
"Hei Sar, ngapain kamu nglamun aja!"
"Mm.. gak papa Trid." Aku menggelengkan kepala.
Prasasti-prasasti kini sudah tampak usang, beberapa keropos karena termakan oleh zaman.
Aku melihat sebuah replika rumah kerajaan Majapahit, sama seperti tempat tinggalku di pemukiman Mleccha. Hanya bertiang kayu dan berdinding anyaman bambu tetap membuatku nyaman tinggal di Majapahit. ini semua berkat ki Waluyo, mbok Darmi dan Wulan yang membuatku mersa nyaman, terutama Dyah.
Sumur jobong yang aku gunakan sebagai sumber air ini kini berubah menjadi artefak peninggalan penduduk majaphit. Sumur yang bahan utamanya terbuat dari tanah liat dan berbentuk bulat,sebagian tepinya pecah. Disampingnya terdapat gerabah tanah liat yang berbentuk seperti gentong digunakan sebagai tempat menyimpan air.
Kakiku terus dan terus melangkah dan melangkah perlahan, bernostalgia dengan barang-barang antik yang aku pakai di kehidupan sehari-hari di Majapahit.
lampu minyak dengan patung naga kecil di bawahnya, kini duduk manis dibalik lemari kaca. Lampu unik ini selalu menemaniku di saat gelap menyelimuti malam. Kini aku hanya bisa memandanginya di balik kaca.
Langkahku terhenti pada sebuah prasasti dengan patung 3 orang berdampingan. Prasasti yang sudah mulai usang, namun masih terlihat jelas setiap detail ukiran-ukirannya, itu adalah patung diriku, Hayam Wuruk dan Dyah yang dibuat ketika di Majapahit.
"Prasasti persahabatan.. Ini Hayam Wuruk dan Dyah, namun yang satunya masih belum diketahui siapa. Namun sepertinya adalah teman dari baginda raja dan tuan putri." Astrid berdiri di depanku dan membaca keterangan dari prasati tersebut.
Tanganku menyentuh prasasti tersebut, menyentuh bentuk wajah Dyah dan Hayam Wuruk, aku benar-benar merindukan mereka semua, merindukan semua kenangan yang kami buat di Majapahit yang kini mereka hanya bisa kusentuh dalam sebuah patung.
"Sarah, bukanya itu mirip denganmu? Yang disebelah hayam wuruk." Sahut Indri yang memotret prasasti tersebut.
Teman – teman lalu berkumpul dan berpendapat serupa dengan Ima. Namun pandanganku tetap kepada sebuah batu yang terukir wajah kami bertiga.
Aku merindukan kalian...
Aku merindukan kalian...
Hanya itu kata- kata yang bisa kuucapkan. Hingga aku tak sadar, air mata perlahan menuruni pipiku.
Tangisanku pecah..
Aku benar-benar menyesal karena tak sepatah kata perpisahan yang sempat kuucapkan kepada dyah.
Dyah,maafkan aku..
Teman-teman lain bergerombol melihatku. Melihat seorang siswi yang bersimpuh menangis di depan sebuah patung, patung sejarah pula. Namun tidak untukku. Perjalanan waktu ke masa lalu adalah sebuah kejadian yang tak akan pernah kulupakan
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !