Read More >>"> Time Travel : Majapahit Empire (senyumnya yang seperti bulan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Time Travel : Majapahit Empire
MENU
About Us  

Aku menikmati kesendirian ini, diruang sempit yang hanya nyala api kecil yang Tidak berpendirian itu, nyala dan meredup tertiup angin kecil masuk dari sela-sela dinding bambu. Sesekali aku melihat awan yang tidak bersahabat itu, masih menampakkkan gemuruh kelabu yang nantinya akan membasahi bumi dengan rintik-rintik air yang menggantung di dalamnya. Aku bersandar pada kegelapan ini, membuka handphone, mencoba mengingat kenangan-kenangan dengan melihat semua file foto yang ada. Fotoku bersama Astrid saat menaiki kereta wisata, atau foto bersama teman-teman saat mengunjungi satu-persatu situs Trowulan. Aku menghela nafas panjang, merindukan mereka semua.

Hingga tanpa sadar, perlahan air mata membasahi pipi. Perasaanku tercampur aduk, rindu, sedih, senang kini bercampur aduk menjadi satu. Aku merindukan ibu, merindukan tawa teman-teman, merindukan zamanku dulu. Tangisanku pecah, seolah ruangan kosong ini menjadi saksi kerinduan seorang anak manusia yang tenggelam dalam sebuah karma. Karma dalam meremehkan Sejarah. Kejadian ini adalah sebuah arti dari mimpiku dulu. Bercermin dan membawa buku sejarah.

Langit pun Tidak terima dengan kesedihanku, perlahan air mulai jatuh rintik-rintik menemani sebuah tangisan ini. suara ketukan pintu menghentikan itu semua, aku mengusap air mataku lalu perlahan membuka pintu, seorang pemuda berwajah tirus dan setinggi 180 cm datang dihadapanku. Dia berlindung dari hujan meskipun Tidak sedikit bajunya terkena rintik air. Dialah baginda raja, Hayam Wuruk.

Senyumanya bagai rembulan yang kini bersembunyi di balik awan malam, tiba-tiba menjadi sebuah penghibur hati yang gundah gulana.

"Oh baginda raja.. Dyah sudah pulang dari tadi." Aku menunduk hormat, seorang raja yang biasanya mencari adiknya yang belum pulang saat malam.

Hayam Wuruk menggelengkan kepalanya,

"Aku sedang tidak mencari Dyah, Sarah. Dia sudah sampai di istana beberapa menit sebelum aku pergi, aku sedang mengawasi pembuatan rumah burung hantu di sawah, dan berkeliling sebentar di pemukiman Mleccha. Lalu aku mendengar sebuah tangisan dari luar, dan itu berasal dari rumahmu, awalnya aku mengira itu dedemit, hehehe.."

Seorang raja yang berpakaian rakyat jelata ini tampak berbeda dari biasanya. Yang aku lihat kini ia hanyalah seorang pemuda yang tampak seperti sedang melakukan ronda malam.

"Boleh aku masuk, Sarah ? hujan sudah mulai deras."

"Oh silahkan.. Baginda raja Hayam Wuruk."

Lalu sang Hayam Wuruk masuk,dan duduk di atas dipan kecil yang keras itu.

"Kenapa kamu menangis, Sarah ? katakanlah, mungkin ada suatu permasalahan yang bisa aku bantu ?"

Aku bergegas menutup pintu rumah dan duduk di sebelah Hayam Wuruk. Dia sonTidak kaget menatapku, dan bergeser ke arah lain.

"Ho hoo.. Kamu orang pertama yang berani duduk disamping raja. Jika Gajah Mada melihat hal ini, kamu pasti langsung dibunuh."

Aku pun langsung tertawa, karena melihat ekspresi raja yang kikuk melihat tingkahku.

"Aku sudah mendengar semua cerita tentangmu dari Dyah. Jadi sepertinya memang benar, di zamanmu sudah tidak ada kerajaan lagi."

"Hmm, iya.." Aku mengangguk.

"Lalu, berapa tahun itu dari sekarang? Bagaiman dengan nasib Nusantara yang selama ini Gajah Mada perjuangkan?"

"Mm.. 700 tahun dari sekarang baginda Hayam Wuruk. Namun, selama itu juga Nusantara masih tetap utuh, meskipun tidak ada yang namanya kerajaan."

"Ow.. Syukurlah jika harus seperti itu. Perjuangan Gajahmada tidaklah sia-sia. Sarah, Dyah sering bercerita tentangmu. Ekspresinya selalu terlihat senang jika menyangkut suatu hal tentang dirimu." Aku menatapnya, melihat ekspresi yang berubah bahagia ketika membahas adiknya.

"Trimakasih Sarah, terima kasih telah menjadi teman adikku, Dyah. Kamu orang pertama yang dekat dengan Dyah."

"Benarkah yang mulia Hayam Wuruk? Dyah juga pernah bercerita tentang itu." Tanyaku kaget. Mana mungkin juga seorang putri raja tidak memiliki teman dekat.

"Ya, kamu benar Sarah. Dahulu, ibunda kami, ratu Tribuwana Tunggadewi mangkat. Dan aku naik tahta ketika berumur 16 tahun. Saat itu juga, Dyah berumur 10 th. Usia yang muda untuk ditinggal ayahanda dan ibunda kami. Aku sudah seperti ayah dan kakak bagi Dyah. Selama ini Dyah selalu pergi dari istana untuk mencari teman dari kalangan rakyat jelata. Akan tetapi, perbedaan kasta membuat mereka menjauh dari Dyah. Tapi semenjak bertemu denganmu, hari-harinya selalu dipenuhi kebahagiaan." Hayam Wuruk tersenyum, begitupun aku.

"Tapi mohon ampun baginda raja, aku Tidak bisa selamanya disini. Aku harus kembali ke duniaku."

"Ya, aku tahu Sarah. Puncak musim panas kurang beberapa minggu lagi. Aku akan membantumu kembali ke duniamu. Aku punya sesuatu untukmu." Hayam Wuruk mengeluarkan sebuah cincin dari dalam bajunya, cincin emas benrbentuk naga yang melingkar, di tengah – tengahnya terdapat batu Opal yang berwarna merah darah.

"Apa iini yang mulia? " tanyaku kaget di saat sang raja mengeluarkan cincin nan cantik itu.

"Ini kenang-kenangan untukmu Sarah, jika suatu saat kamu kembali ke duniamu, ingatlah aku dan Dyah saat melihat cincin ini." Hayam Wuruk meletakkan cincinya di atas telapak tanganku.

Aku mengangguk, Tidak mungkin juga aku melupakan mereka, yang selama ini selalu banyak membantuku di kehidupan Majapahit. aku juga beruntung memiliki teman Dyah dan Hayam Wuruk, mereka orang yang baik.

"Satu hal lagi Sarah, kamu boleh memanggilku.. Baginda Sri."

Tawaku lepas, Sri mengingatkanku pada suatu nyanyian Didi Kempot yang berjudul 'Sri minggat'.

"Wakaka.. Nang mulio Srii, nang mulio Srii.."

Hayam Wuruk seketika itu langsung terperanga melihatku, dan Tidak lama dia pun juga ikut tertawa bersamaku.

"Yang kedua.. Kamu orang pertama yang menertawakan nama raja. Sarah, sebenarnya aku punya nama lain selain Hayam Wuruk. Yaitu Sri Rajasanagara."

"Hehehe.. Oke, boleh aku memanggil raja dengan baginda Rajasa. Menurutku itu lebih baik. Daripada Sri." Aku mencoba menghentikan tawaku.

"Baiklah.. Sarah, aku harus kembali saat ini juga. Hujan sudah mulai berhenti. Aku akan kembali ke sawah untuk melihat para burung hantu. jika itu berhasil untuk membasmi tikus, aku akan sangat berterima kasih padamu Sarah. aku akan memberikan sesuatu untukmu." Hayam Wuruk beranjak pergi dari rumahku, menuju kuda peliharaanya, yang setia menunggu dibawah derasnya hujan.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D

    Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !
  • dhannianggra

    @rara_el_hasan aaahh.. makasii ^_^ share ke teman-temanmu juga ya :)

    Comment on chapter perkampungan majapahit
  • rara_el_hasan

    wah keren ....

    Comment on chapter perkampungan majapahit
Similar Tags
Surat untuk Tahun 2001
3048      1697     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...