Sesampainya di pemukiman Mleccha, Dyah dan aku menuruni kuda. Kami berjalan ke arah rumahku. Riang tawa anak-anak bermain permainah tradisional, engklek. Langkah kakiku pun berhenti. Aku serasa bernostalgia dengan masa kecilku. Permainan yang paling aku sukai. Sapaan dari seorang anak kecil tiba-tiba menghentikan lamunanku.
"Mbakyuu.. !" Wulan melambaikan tangan kecilnya ke arahku.
Dyah menoleh kearahku. Wulan menyadari juika yang berada di sampingku adalah seorang tuan putri, sonTidak Wulan dan teman-temanya langsung berjejeran menunduk menghadap tuan putri. Dyah yang tadinya tertawa riang, kini wajahnya berubah menjadi awan mendung dengan ekspresi kesedihanya itu.
"Boleh mbakyu ikut main, Wulan?" aku perlahan mendekatinya, merayu seorang anak kecil dengan wajah polosnya itu.
Wulan menggelengkan kepala,tanda untuk menolak ajakanku.
"Eeh.. Kenapa nduk?"
Wulan menunjuk ke arah tuan putri, sepertinya dia merasa malu. Anak kecil memang tidak bisa berbohong. Melihat jawabanya itu, Dyah tersenyum datar dan segera memalingkan tubuhnya untuk kembali ke istana. Tanganku menggenggamnya, menahan dia untuk pergi dari sisiku.
"Ndak papa Wulan, tuan putri juga sama kayak mbakyu, temannya Wulan juga." Aku tersenyum pada wulan sambil mendekatkan telunjuk kanan dan kiri. Sebagai isyarat untuk mengajak Dyah berteman dengan anak-anak kecil itu. Negosiasiku berhasil. Wulan mengangguk, dan mengajak kami bermain bersama.
Aku pun mulai melemparkan kreweng pecahan gerabah di petak yang sudah ditulis. Aku mulai melangkah,satu persatu melewati petak yang lainya. Sekilas aku melirik Dyah, pandanganya berubah menjadi ceria sekali.
Setelah giliranku selesai, aku menyerahkan kreweng milikku kepada Dyah. Dyah yang nampak ragu itu mulai melemparkan ke peTidak yang ia tuju. Perlahan ia mulai melangkah dengan satu kaki berjalan melewati satu persatu peTidak, namun 'hap', Dyah yang tidak tebiasa dengan permainan rakyat jelata itu jatuh dengan kedua kakinya. Baju kerajaan yang ia pakai menyapu tanah, dan mengotori tanganya yang mulus nan bersih itu. Wulan dan teman-temanya tertawa lepas. Dyah yang tadinya diam kini juga ikut tertawa bersama kami.
Tawa anak-anak kini larut dalam senja yang mulai hadir di ufuk barat, permainan kami bubar, para anak-anak mulai pulang kerumahnya masing-masing. Akupun juga pulang bersama Wulan yang menggandeng tanganku, kini tangan kirinya juga menggandeng tangan Dyah. Dyah pun terkejut, lalu aku tersenyum kepadanya, kini Dyah menerima genggaman tangan dari Wulan.
"Mbakyuu.. Simbok masak ikan wader kesukaanku. Mbakyu nanti makan sama Wulan ya?"kepalanya menoleh ke arahku dan ke arah Dyah.
Dari kejauhan simbok Darmi melambaikan tanganya lalu menunduk di hadapan sang putri. Wulan kecil mencoba merayu ibunya.
"Mbok.. Wulan boleh ya ajak makan tuan putri sama mbak yu makan dirumah?" bujuk Wulan sambil menggoyang-goyang tangan si mbok Darmi.
"Ampun ndoro, kami tidak punya piring emas untuk menjamu ndoro, piring kami hanyalah dari tanah liat."
"Ndak papa mbok.." Dyah tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Kini kami duduk di pendopo mini depan rumah simbok, bercengkrama sambil menikmati lauk wader goreng dengan sambal bawang buatan simbok. Ini lebih baik, menurutku daripada masakan sup jukut harsyan yang di bubuhi kemenyan, menyeramkan.
Suara petir menggelegar mengusir juntaan bintang-bintang di langit malam, gumpalan awan menutupi sang bulan. Menghentikan kebersamaan kami. Dyah pun bergegas berpamitan kepada simbok, Wulan dan aku, lalu memacu kudanya untuk kembali menuju istana.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !