"Baiklah para hadirin, mahapatih sebentar lagi akan melakukan perjalanan bahari di laut Jawa, menyongsong sang fajar, menyatukan Nusantara dalam suatu ikatan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Sang mahapatih akan mengucapkan sumpah di depan kita semua."
tiba-tiba sayup suasana pendopo menjadi sakral, para hadirin terdiam hening bersiap untuk menjadi saksi dalam sumpah palapa yang akan diucapkan oleh mahapatih Gajah Mada. Hentak puluhan sepasang kaki menuju istana, diikuti oleh sang mahapatih di depanya, mereka adalah, para tim yang akan melakukan ekspedisi penaklukan wilayah diluar Majapahit, meminta restu kepada titisan sang dewa, baginda raja Hayam Wuruk.
Mahapatih Gajah Mada bersimpuh di depan sang raja diikuti oleh prajurit-prajurit yang di belakangnya, lalu beliau pun berdiri, diikuti oleh para hadirin yang ada di seluruh pendopo. Aku merasa seperti menjadi saksi hidup yang beruntung dalam menyaksikan sumpah palapa yang sebentar lagi akan Gajah Mada ucapkan, suaranya menggelegar, seperti petir di siang bolong.
"Sumpah amukti palapa..
lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman isun amukti palapa."
Hayam Wuruk mengangkat telapak tanganya, lalu berdiri di depan Gajahmada yang bersimpuh kembali memohon restu.
"Semoga Sang Hyang Widi, para dewa merestuimu mahapatih, merestui kalian semua. Semoga Nusantara akan segera terwujud, Takluk di bawah kaki Majapahit."
Hayam Wuruk meletakkan telapak tanganya diatas kepala Gajah Mada, tanda dari seorang raja yang melepaskan mahapatih kebesaranya, untuk pergi mengarungi daratan dan lautan, mewujudkan mimpi mahapatih Gajah Mada, menaklukan Nusantara. Para rombongan Gajah Mada keluar dari Pendopo Agung, diikuti oleh para hadirin dan sang raja, aku dan Dyah beranjak dari tempat dudukku, mengikuti mahapatih. Arak – arakan para prajurit disambut oleh ribuan rakyat yang berjejer di tepian jalan, memuji ambisi sang Gajah Mada. Aku yang menaiki kuda bersama Dyah masih tenggelam dalam lautan kebingungan.
"Dyah.."
"Hmm.. Apa Sarah?" kepalanya menoleh ke arahku. Aku merapikan rambut panjangnya yang berantakan.
"Aku akui, aku memang terkesan dengan sumpah yang diucapkan Gajahmada tadi. Tapi, jujur aku tidak tahu apa arti dari yang diucapkan sang mahapatih itu."
Hayam Wuruk yang menaiki kuda di sebelahku sontak tersenyum, mata teduhnya menatapku lembut "Gajah Mada bersumpah, tidak akan menikmati nikmat duniawi sebelum beliau menaklukan negara-negara gurun Seran, Tanjung Pura, Haru Pahang, Dompo, Bali, Palembang, Tumasik. Setelah itu semua Takluk di bawah Majapahit, barulah sang mahapatih beristirahat."
"Ouw.. Trimakasih baginda raja Hayam Wuruk." Aku mengangguk tanda mengerti.
Kini rombongan mahapatih tiba di gapura Wringin Lawang, keluar dari ibu kota Majapahit untuk melakukan ekspedisi. Sekilas aku melihat matahari di atas awan, masih menjauh dari peredaran, mungkin dia malu, malu karena telah mengirimku kembali ke masa lalu. Gumpalan awan –awan biru terus melindunginya. Kapan waktu itu tiba, kesempatan untukku kembali ke masa depan.
"Dyah.. Setelah ini Raka akan pergi bersama dengan para lurah, dan rakyat untuk berburu burung hantu di hutan. Kamu pergilah bersama Sarah."
Hayam Wuruk memutar kudanya, kembali ke istana untuk bersiap – siap dalam perburuan burung hantu, wajahnya tersenyum menatap Dyah, namun sekilas dia menatapku sambil tersenyum.
Mendengar hal itu, Dyah tersenyum riang. Memacu kudanya lebih cepat dari biasanya. Tanganku memeluk pinggangnya dengan erat, aroma bunga kenanga dari tubuhnya semerbak pergi bersama hembusan angin.
"Hahaha... Aku senang sekali Sarah.. Ayo kita kerumahmu." Dyah tertawa lepas, seolah beban dari penjara istana menghilang begitu saja. Begitupun diriku, berhari-hari tinggal di Majapahit, terkadang aku merasa lupa, lupa bahwa aku berasal dari masa depan.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !