Sudah dua hari semenjak Vera van Ugde terakhir kali bertemu dengan Jennar. Sekarang, dia sudah memiliki pilihan bulat untuk bergabung dengan para Cahaya, ikut bercampur tangan di dalam dunia gelap yang jauh lebih gelap daripada miliknya yang dulu. Oleh karena pilihannya itu, Vera harus kehilangan pekerjaan modelling-nya, tidak lagi memiliki koneksi dengan para mafia, dan tidak ada lagi hubungan langsung bersama keluarganya, tidak juga dengan Danis Chandler. Vera harus mengorbankan apa yang dia miliki agar semua orang yang dia cintai selamat dari terkaman para Cahaya, dan Vera harus menelan kenyataan pahit bahwa dia akan menjadi salah satu dari mereka nantinya.
Setelah bergulat dengan pikirannya selama dua hari, Vera akhirnya memutuskan bahwa kehidupan orang-orang yang dia cintai lebih penting daripada apa pun yang dia miliki saat itu. Vera mengorbankan dirinya meski tetap berberat hati. Maka dari itu, dia meninggalkan kediaman keluarga van Ugde di tengah malam buta untuk pergi ke alamat yang tertulis di secarik kertas pemberian Jennar.
Sebelum pergi, Vera menyempatkan diri untuk mendatangi kamar Nero van Ugde, adiknya. Dia mengecup pelan dahi Nero yang sedang tertidur sebagai tanda selamat tinggal. Adiknya itu tidak bangun atau apa pun, jadi Vera meninggalkannya tanpa membuat suara sedikit pun. Namun, suasana tenang itu berbeda jauh dengan suasana saat Vera menghampiri Veronica van Ugde, Ibunya.
"Rob, Ayahmu, juga melakukan hal yang sama," kata sang Ibu saat Vera berjalan memasuki kamarnya. "Dia juga pergi saat malam berubah larut seperti sekarang. Namun, semenjak malam kepergiannya, Ibu tidak pernah lagi tidur pulas karena takut bahwa malam seperti itu akan datang sekali lagi--malam perginya orang yang Ibu cintai."
Veronica memberikan segelas anggur kepada putrinya, lalu meminta Vera untuk duduk bersamanya di pinggiran ranjang. "Pengorbanan adalah apa yang harus kita bayar sebagai tiket masuk ke kehidupan yang menurut kita lebih baik daripada yang kita miliki sekarang." Sela. Sang Ibu meminum anggurnya dan membiarkan kegelapan ruangan memanggil keheningan. Vera juga meminum anggurnya, tetapi anggur itu terasa hambar dan tidak terasa sedap sedikit pun, lantas dia meletakkannya di atas nakas kayu lalu beralih kepada Ibunya lagi.
"Kau akan kembali?" tanya Veronica dengan suara bergetar.
Vera mengangguk. "Jika aku bisa."
"Hm," dengkus Ibunya dengan seutas senyum miris. "Tepat seperti apa yang Rob katakan terakhir kali. Namun, dia tidak kembali sampai sekarang."
"Aku akan kembali," janji Vera yang enggan membuat Ibunya merasa sedih. "Aku pasti akan kembali."
Alih-alih tersenyum tanda bahagia, sang Ibu hanya bisa mengusap pipi Vera lalu menunduk dengan wajah masam. "Jangan bernazar jika kau tidak bisa menepatinya." Vera masih tetap ingin berjanji dan menentang pikiran buruk sang Ibu, tetapi Veronica tetap berpikiran keras. "Berhentilah berpikir optimis, Sayangku, karena semakin tinggi pohon menjulang, maka semakin kencang saat dia terjatuh. Ibu tahu bahwa kau tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti ini. Bagaimanapun, kau adalah anak Ibu. Pikiranmu akan selalu realistis. Namun," saat itulah Veronica menangis dan menggenggam tangan Vera dengan jemarinya yang dingin dan gemetar, "tetap ingatlah di mana rumahmu berada, Gadisku."
Vera mengangguk dengan garis bening di pipinya. "Aku berjanji," ucapnya sambil memeluk sang Ibu. "Aku berjanji."
Setelah berpamitan kepada Ibunya, Vera tidak lagi membuang-buang waktu untuk sekadar menunjukkan perasaannya lagi. Dia langsung pergi dari kediaman keluarga van Ugde untuk memulai dunia barunya. Hanya saja, bukannya pergi sendirian, perjalanan Vera van Ugde justru dimulai dengan datangnya seseorang ke kediaman keluarganya.
"Seseorang butuh tumpangan, kukira?" cibir Jennar E'Neille yang tiba-tiba sudah berada di depan rumah Vera. Pria itu ditemani sebuah mobil sedan berwarna hitam. Dia melambaikan tangannya dari kursi kemudi, memberikan salamnya kepada Vera dari jendela mobil yang terbuka.
Vera tidak begitu mengerti bagaimana bisa iblis satu itu tahu bahwa dirinya hendak pergi malam itu juga. Dia tidak mengerti bagaimana bisa Jennar mengetahui informasi yang bahkan tidak pernah dia beberkan kepada siapa pun. Iblis satu itu benar-benar di luar dugaan. Namun, alih-alih mendengkus kesal atau mencekik Jennar akibat rasa benci yang kental di dalam dadanya, Vera lebih memilih untuk masuk ke dalam mobil dan diam tanpa kata-kata. Dia sengaja duduk di kursi belakang agar jarak di antara mereka tidak terlalu dekat, tetapi jarak yang dia buat tidak cukup jauh untuk menunjukkan seberapa besar rasa bencinya kepada Jennar.
"Jika kau merasa kesal kepadaku, maka kau salah besar, Nona van Udge," kata Jennar yang melirik Vera dari kaca spion dengan mata biru terangnya. Saat itu, mobil sudah berjalan dan mulai memasuki wilayah kota. Lampu-lampu jalan berjejer di trotoar, cahayanya menyinari mata biru terang Jennar silih berganti, membuat rambut hitam pria itu mengilat sekejap sebelum kembali buram di detik lain. Pria itu membiarkan jendela di sampingnya terbuka, membuat angin tengah malam yang dingin berputar di dalam mobil dengan aura yang terasa janggal--Vera tidak mengerti dan tidak ingin mengerti bagaimana bisa dia merasakan hal seperti itu.
"Atasanku yang memaksa," ujar Jennar yang kembali memecahkan keheningan, "dan aku hanya melakukan apa yang dia katakan tanpa terkecuali. Jadi, rasa bencimu kepadaku itu tidaklah relevan sedikit pun. Namun, jika boleh berkata jujur, rasa benci membenci di dalam dunia gelap yang kita nikmati sekarang adalah suatu hal yang normal. Jika kau memang membenciku, maka biarlah begitu," dengkus Jennar dengan nada meledek. "Aku tidak masalah."
"Keparat," gumam Vera, tetapi Jennar hanya tersenyum tanpa satu pun kalimat respons darinya.
Awalnya, Vera sendiri yang ingin sekali bungkam selama mereka berada di dalam perjalanan. Dia sangat benci dengan situasi yang sedang dia lalui sekarang dan lebih memilih untuk diam. Terlalu banyak yang sudah berlalu hanya dalam hitungan hari, dan hampir semuanya tidak membuat Vera merasa nyaman, terutama keberadaan Jennar. Namun, karena sebuah rasa penasaran di dalam benaknya, lantas Vera menyerah dari keheningan dan mulai berkata-kata. "Bagaimana bisa kautahu kalau aku akan pergi malam ini?"
Alih-alih menjawab, Jennar justru melirik Vera dari spion sambil menggeleng pelan. "Aku tahu kau memiliki banyak sekali pertanyaan, tetapi percayalah, banyak pertanyaan yang sebaiknya tidak terjawab."
"Mengapa?" tanya Vera yang merasa tidak terima.
"Karena setelah kautahu, kau tidak akan bisa melupakannya. Itulah kutukan dari informasi dunia gelap."
"Aku tidak peduli."
Jennar tertawa. "Mungkin keras kepalamu itulah yang atasanku kagumi."
"Jawablah pertanyaanku."
"Kau akan kecewa."
"Aku tidak peduli."
Jennar mendengkus pelan tanda menyerah. "Kami menyadap pembicaraanmu dengan Danis Chandler di telepon dua hari yang lalu, juga dengan voicemail perpisahan tadi yang kau kirimkan untuk Nero. Kami menyadap semuanya, semua pembicaraan yang kau miliki." Mata Vera melotot tajam, tetapi cepat-cepat dia alihkan agar Jennar tidak melihat seberapa terkejutnya dia sekarang. "Dari sanalah kami tahu bahwa kau memutuskan untuk pergi. Aku harus berkata bahwa diriku terpukau akan bagaimana dirimu berbohong kepada manajermu sendiri. Kau berbicara kepadanya seakan kau akan kembali menjadi model setelah kepentinganmu ini usai."
"Berbohong adalah satu-satunya cara untuk membuatnya mengerti," sela Vera.
"Namun, kau seharusnya sudah mengerti betul bahwa tidak ada jalan kembali dari semua ini--"
"Aku mengerti!" potong si gadis dengan nada tinggi. "Aku mengerti," kali ini bergumam dengan nada lirih.
Ya, tentu, Vera sudah mengerti semuanya. Dengan dirinya yang masuk ke dalam dunia gelap, dia tidak dapat kembali lagi menjadi dirinya yang lama. Semua jerih payahnya untuk menjadi model, hubungannya dengan Danis, dan hubungan dengan keluarganya, semua itu sirna saat Vera memilih untuk menyerah kepada Para Cahaya. Tentu, dia masih merasa kehilangan atas semua yang dia tinggalkan, terasa seperti ada sebuah lubang besar yang menganga di dalam dadanya, tanda sebuah kehilangan yang teramat dalam, tetapi apa? Pergi meninggalkan semua yang dia cintai adalah keputusan yang lebih baik daripada benar-benar kehilangan semuanya--Vera pasti akan merasa jauh lebih sengsara jika memang dia diam. Pilihannya yang sekarang tentu lebih baik daripada pikirannya yang berkeras hati dan tetap bergelut menjadi model. Vera akan kehilangan semua yang dia cintai jika berani memilih pilihan egois itu. Namun, tidakkah dengan meninggalkan mereka juga adalah pilihan yang egois? Tidakkah semua pilihan itu adalah pilihan yang egois? Entah, dia tidak yakin. Vera bahkan tidak yakin jika dia sedang berpikir logis sekarang.
Jennar E'Neille membawa Vera ke sebuah gedung penyimpanan tertinggal di kota sebelah. Gedung itu berada di dekat pelabuhan, tidak jauh dari pabrik ikan kaleng, dan pantai yang bertuliskan 'Dilarang Berenang'. Gedung penyimpanan itu berukuran besar, berada cukup jauh dari jalan raya, jauh dari tempat di mana Jennar memarkirkan mobilnya. "Kita jalan kaki," ketusnya kepada Vera sesampainya mereka di depan pelabuhan.
Di sekitar sana, Vera tidak menemukan begitu banyak kehidupan. Memang terdapat dua-tiga mobil yang berlalu-lalang di jalan raya, gedung pabrik yang tampak masih ditempati beberapa pekerja, dan pelabuhan yang dijaga oleh beberapa pria berbadan besar, tetapi wilayah pantai yang Jennar dan dirinya masuki tidaklah berpenghuni sama sekali.
Wilayah pantai itu dikelilingi oleh pagar kawat, terdapat sebuah gerbang masuk yang bertuliskan 'Dilarang Masuk, Wilayah Pribadi' selain larangan berenang di sampingnya. Gerbang besi itu dirantai dan terkunci oleh gembok besar, terdapat lingkaran kawat berduri di atas gerbang, dan sebuah simbol petir familier yang tertempel di pojok kanan gerbang itu.
"Gerbangnya dialiri listrik," peringat Vera yang mengerti semua larangan. "Jangan bertindak bodoh untuk--"
"Aku akan menjadi orang bodoh," seru Jennar yang cepat-cepat menarik gembok besar itu lalu membukanya dengan sebuah kunci. Setelah gembok itu jatuh di atas pasir pantai, Jennar menatap Vera dengan tatapan meledeknya. "Apakah kau akan ikut menjadi orang bodoh?"
Vera mendengkus. Dia mendorong pundak Jennar sebelum berlalu ketika pria itu membuka pintu gerbang lebar-lebar. Ketika Jennar menutup gerbang kawat di belakangnya, Vera dapat mendengar suara decitan karat di engsel gerbang. Saat itulah dia tahu bahwa wilayah pantai itu adalah markas Para Cahaya yang mungkin saja dibiarkan terlihat gersang seperti tak tersentuh oleh peradaban. Sayangnya, Jennar menepis konklusi pikiran Vera.
"Kita hanya sedang menyusup masuk," kata si pria. "Kautahu, hal-hal ilegal adalah apa yang selalu kita lakukan di sembarang tempat, dan tempat tinggal ini hanyalah salah satunya," lalu dia tertawa tanpa memikirkan benak Vera yang benar-benar tidak mengerti satu pun hal yang terjadi sekarang.
"Jika kau berpikir bahwa Para Cahaya tinggal di sini, maka kaulah orang bodoh. Kami hanya tinggal sementara di tempat ini sambil menunggumu menyerah, lantas mencari tempat perlindungan yang jauh dari mata publik. Alhasil, di sinilah kita berada, gedung penyimpanan yang sudah lama tertinggal."
Gedung itu lebih mirip seperti hanggar daripada gedung penyimpanan, tinggi dan lebar, cocok untuk tempat penyimpanan kargo besar bahkan pesawat. Tidak ada satu pun ventilasi di sana kecuali pintu garasi berkarat yang menganga lebar. Penerangan di tempat itu tidak begitu terang, tetapi sudah cukup terang untuk dilihat dari jauh. Gedung itu berada tepat di sisi pantai, cukup jauh perjalanan yang Vera dan Jennar tempuh untuk sampai di sana.
Vera masih menenteng ranselnya di pundak, melangkah gontai di atas pasir pantai yang seakan menelan sepatunya. Tadi, Jennar sebenarnya sempat ingin menawarkan diri untuk membawakan ranselnya, tetapi Vera menolak mentah-mentah. "Sentuh, maka itu adalah hal terakhir yang kausentuh."
Jennar terkekeh. "Kautahu bahwa aku bisa saja membunuhmu di tempat ini, bukan?" ancamnya dengan mata biru yang menajam dan mendingin, tetapi itu hanyalah gurauan. "Di dunia seperti ini, nyawa tidak lebih berharga dari satu embusan nafas. Ingatlah hal itu selalu."
Vera van Ugde tidak begitu memikirkan perkataan Jennar. Dia tahu bahwa nyawanya jauh lebih penting daripada milik Jennar. Bagaimanapun, itu sudah menjadi misinya untuk membawa Vera ikut menjadi Para Cahaya. Jika Jennar membunuhnya, maka dia akan menyalahi misi--hal bodoh untuknya memberikan Vera ancaman seperti tadi. Vera tidak bodoh, demi Tuhan, dan pikirannya itu langsung terbukti kebenarannya.
Saat itu, Jennar dan Vera sebentar lagi akan sampai di gedung penyimpanan. Jarak tujuan mereka itu masih sekitar lima belas meter atau lebih. Dari jauh, Vera dapat melihat bayangan orang-orang yang berada di dalam gedung dari pintu yang terbuka lebar, suara gelak tawa beberapa pria juga dapat Vera dengar walau samar. Namun, dari semua yang mata dan telinganya tangkap, Vera tidak mendapatkan sebuah sosok gelap di sudut pintu masuk gedung itu. Dia tidak menyadari sebuah senapan yang mengarah ke kepalanya sedari tadi.
Jennar-lah yang sadar akan bidikan senjata itu lantas menarik tangan Vera, lalu menyembunyikan gadis itu di belakangnya. Mata Jennar saat itu benar-benar tajam, warna birunya seakan menyala diterpa cahaya Bulan, dan angin pantai yang dingin membuat rambut gagaknya melambai selagi warna putih kulitnya memucat. Keheningan di detik itu membuat Vera merasa menggigil meski dia belum tahu apa yang sedang terjadi, dan ketika dia sadar akan bidikan senapan di dalam kegelapan yang coba Jennar lindungi darinya, saat itulah Vera bergidik ngeri sampai matanya membulat panik.
"Dia datang sesuai kesepakatan," seru Jennar yang masih mencengkeram lengan Vera. Dari genggamannya, Vera tahu bahwa Jennar juga ketakutan, bahkan jemarinya mendingin meski tidak gemetar. "Agency menginginkannya hidup. Tidakkah kaudengar kata-kata terakhirnya?"
"Justru kau yang tidak mendengar kata-kata terakhirnya," jawab orang di dalam kegelapan itu. Dari suaranya, Vera tahu bahwa itu suara wanita, dan suara itu sangat dingin sampai terkesan tajam.
"Jika kau membunuhnya, maka kau akan berada di dalam masalah. Seharusnya, kau sadar itu." Jennar melepaskan genggamannya dari Vera tetapi tubuhnya masih berdiri tegap melindungi Vera. Vera sendiri hanya dapat melihat sosok gelap itu dari balik pundak Jennar, tidak lebih. Alhasil, dia tidak dapat melihat jelas sosok wanita yang menjadi antagonis di ujung sana. "Aku akan bersaksi kepada Agency dan tidak akan berada di pihakmu jika kau melakukan ini semua," ancam Jennar dengan suara dingin yang tidak pernah Vera dengar sebelumnya. Suara itu membuatnya merasa ... takut. "Kau akan menjadi pengkhianat, Jessica. Berhentilah sekarang juga."
Mereka sempat diam beberapa detik tanpa seorang pun yang berkata-kata. Wanita pemegang senjata tidak berbicara lagi, Jennar juga diam untuk menunjukkan pendiriannya yang kukuh, dan Vera sendiri hanya dapat mematung karena takut. Siapa pun yang berada di sana dapat mendengar suara embusan angin laut yang bersiul di dalam keheningan, suara ombak yang saling melahap, dan ... keheningan. Memang masih terdapat suara obrolan di dalam gedung penyimpanan, tetapi suara-suara itu tidak membantu banyak di dalam kegelapan dan ketakutan yang Vera rasakan.
Orang yang menyudahi keheningan itu adalah si wanita. Dia keluar dari dalam kegelapan, lalu berjalan ke depan pintu gedung di mana cahaya menyorot tubuhnya. Vera dapat melihat rambut pirang pasir Jessica yang diikat satu, kulitnya yang putih dingin, dan tubuhnya yang ramping dengan lengan berotot. Dia hanya memakai sporty bra berwarna hitam sebagai atasan, celana jin hitam pendek sepanjang pangkal paha, dan sepatu lari yang juga berwarna hitam. Itu semua tampak normal untuk orang-orang yang sedang menikmati musim panas--memang cukup aneh untuk dipakai saat malam--tetapi terdapat satu hal yang membuat Vera bergidik takut dari penampilan wanita itu, yaitu senapan besar yang dia genggam dengan kedua tangannya.
Wanita bernama Jessica itu akhirnya menyerah setelah melihat Jennar tetap berdiri melindungi Vera. Dia berbalik, mendengkus selagi tatapan matanya membesit ke arah Vera. Tentu, dari tatapan itu, Vera tahu bahwa Jessica tidak menyukainya, tetapi Jennar membantah.
"Dia hanya suka bercanda," kata Jennar sambil tersenyum. Wajahnya yang sekarang tidak lagi menakutkan seperti tadi. Bibirnya sudah menekuk dengan seringai seperti biasa, matanya menatap jenaka meski tetap berwarna biru tajam, dan suaranya sudah kembali normal dan tidak lagi terdengar dingin. Vera lebih suka Jennar yang dia lihat sekarang, terlihat kurang menakutkan--meski dia tetap merasa takut akan apa yang Jennar dan teman gilanya dapat lakukan.
Jennar E'Neille melangkah memasuki gedung penyimpanan bersama Vera di sampingnya. Ketika berada di dalam sana, Vera dapat melihat beberapa kumpulan kotak kayu tua yang anehnya tidak lapuk, bersusun-susun membentuk beberapa tumpukan yang seakan menjadi dinding-dinding labirin. Di langit-langit gedung, terdapat sebuah bohlam yang bersinar terang tetapi tidak cukup terang untuk menyinari seisi ruangan, ditambah lagi dengan tumpukan kotak kayu yang menjulang tinggi sanggup membuat bayangan gelap di sana sini. Di satu waktu, Vera dapat mencium bau kayu yang dilapisi minyak, tetapi di detik lain, dia dapat mencium aroma garam khas angin laut. Kulitnya dapat merasakan udara lembap di dalam gedung itu, terasa hangat tetapi cukup basah sampai terasa tidak nyaman, untung saja pintu dibiarkan terbuka lebar agar angin sejuk pantai dapat meniup masuk dengan bebas.
Jennar memperkenalkan Vera kepada beberapa orang yang menjadi rekan barunya. "Yang ini bernama Jacob Mozniak," tunjuk Jennar kepada pria berambut pirang gondrong berwajah khas orang Jerman dengan mata besar dan pipi kurus.
"Clark Nolan," kali ini kepada pria kulit putih dengan rambut cokelat yang Vera terka sebagai orang asli Amerika--wajahnya mirip suku Indian.
"Tentu, kau sudah bertemu dengan Jessica Angelik," ya, wajah wanita itu masih menunjukkan betapa bencinya dia kepada Vera, tetapi gadis itu tidak dapat mengalihkan pandangannya dari Jessica tanpa alasan. Wanita itu berwajah orang Irlandia dengan kulit pucat, bibir merona yang penuh, mata kelabu tajam, dan hidung mancung yang sedikit bengkok.
"Berlakulah macam-macam, Nona Manis, agar kaubisa bertemu dengan peluru senapanku secepat mungkin," ancam Jessica dari tempat duduknya yang berada di atas tumpukan kotak kayu di sudut ruangan.
Jacob ikut berbicara dari sudut ruangan yang lain. "Potonglah jariku bila Jessica benar-benar menembakmu, Vera. Dia hanya membual." Namun, segera setelah berkata seperti itu, Jessica langsung menembak Jacob dengan senapannya tanpa aba-aba ... meski meleset dan melubangi kotak kayu di samping targetnya. "Hei!" protes Jacob, tetapi Jessica tidak begitu memedulikannya.
Pria bernama Clark datang menghampiri Jennar untuk memberikannya sebotol bir, juga sebotol yang lain untuk Vera, tetapi Vera tolak dengan gelengan pelan. Sayangnya, Jennar mengambil alih botol bir dari Clark lalu memberikannya paksa kepada Vera. Tentu, Vera menolak lagi, tetapi Jennar tetap berkeras hati. "Jika kau menginginkan segelas anggur, maka kau akan mati kehausan karena minuman seperti itu tidak ada di tempat ini." Alhasil, Vera mengambilnya sekaligus membuat Jennar tersenyum tipis. "Kemarilah, ada seorang lagi yang belum kutunjukkan kepadamu."
Jennar membawa Vera ke sisi lain gedung penyimpanan, melewati tumpukan demi tumpukan kotak kayu yang menutupi lorong-lorong kosong. Sesampainya mereka di tempat orang yang Jennar maksud, sontak Vera membulatkan matanya. Dia terkejut.
"Nero?" gumamnya dengan suara yang mendadak serak.
"Nero?!" kali ini, suara Vera berubah panik diiringi oleh suara langkah kaki yang dia buat ke arah pemuda yang dia kenal betul. Pemuda itu berambut cokelat, alis dan bibirnya sedikit tebal, kulitnya putih pucat, dan mata birunya yang berbeda dari mata hijau Vera. Itu adalah Nero van Ugde, adiknya.
"Apa yang kaulakukan di sini?!"
Saat Vera mendapatkan adiknya berada di sana, pemuda itu sedang sibuk dengan laptopnya. Dia memakai headphone yang menutupi kedua telinganya sehingga keberadaan Vera tidak dia ketahui. Setelah Vera menarik kasar headphone-nya, barulah saat itu si pemuda melihat Vera dengan kejut di dadanya sampai dia terjatuh dari kotak kayunya ke atas ubin semen yang kasar.
"Apa yang kaulakukan di sini?" ulang Vera dengan nada kesal bercampur kejut.
Si pemuda juga tidak kalah terkejutnya. "A-aku ...."
Jennar tiba-tiba menarik pelan tangan Vera dari belakang seakan dia mencoba untuk menenangkannya. "Vera, dia--"
"Dia adikku, Jennar!" ketus Vera yang melepaskan genggaman tangan Jennar sambil menggerutu kesal. "Aku bergabung dengan Cahaya agar dia tidak disentuh oleh kalian, tetapi dia justru berada di tempat terkutuk ini!"
"Vera, dengar--"
Namun, daripada mendengarkan perkataan Jennar, Vera justru langsung menjambak rambut Nero dengan amarah di tangannya. "Kau akan pulang, Bedebah--"
"Aku bukan adikmu!" bentak si pemuda yang dengan cepat menepis tangan Vera dari kepalanya. "Aku bukan Nero van Ugde!"
Vera awalnya menganggap itu semua bualan Nero. Bagaimanapun, adiknya itu selalu bergurau di waktu yang tidak tepat, terlebih lagi suara itu adalah suara Nero yang Vera tahu jelas. Itu adalah adiknya. Vera tidak mungkin salah.
Sayangnya, dia keliru. "Namanya adalah Minno Leith," potong Jennar yang mengulurkan tangannya kepada si pemuda yang terjatuh. Minno, pemuda yang Vera kira sebagai adiknya, meraih tangan Jennar sambil menggerutu kesal.
"Jauhkan dia dariku, mengerti?" ketus si pemuda, dan Jennar hanya mengangguk dengan kikik kecil dari bibirnya. Setelah itu, Minno kembali memasang headphone-nya dan mengacuhkan keberadaan Vera yang masih kebingungan di sampingnya. Beberapa kali, Minno memberikan tatapan tajam tanda kesal kepada Vera, sedangkan Vera sendiri benar-benar tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Dia mirip sekali dengan Nero," gumam Vera.
"Aneh, bukan?" Jennar tersenyum konyol di sampingnya, menarik Vera untuk menjauh dari Minno yang terus mengacuhkan keberadaannya. "Dia bukan adikmu, Vera. Sadarlah. Dia dan adikmu benar-benar berbeda meski tubuh mereka mungkin sangat mirip. Nero adalah--dari yang kuperhatikan--anak yang ceria, pemuda yang menikmati hari-harinya dengan kenormalan. Minno, di lain pihak, adalah kebalikannya. Dia hidup di dunia gelap semenjak orang tuanya meninggal. Dia benar-benar pemuda yang jauh dari kata normal. Ah, ya, dialah yang menyadap semua komunikasi yang kaubuat, baik itu telepon maupun pesan teks. Dia tahu tentang itu semua."
Vera mendadak bergidik ngeri. "Penguntit," gumamnya, tetapi Jennar membantah.
"Itu tuntutan pekerjaan, Vera. Jika tidak diberikan pekerjaan, dia tidak akan mau mengorek informasi tentang dirimu."
Vera mulai mengerti dengan apa yang sedang terjadi sekarang dan siapa sebenarnya mereka semua. Ya, mereka berlima adalah sebuah tim. Jennar E'Neille, Jessica Angelik, Jacob Mozniak, Clark Nolan, dan Minno Leith adalah sebuah tim yang bertugas untuk memaksanya ikut bergabung dengan Para Cahaya. Mereka adalah Para Cahaya.
"Sedangkan yang lain?" tanya Vera yang melirik tajam kepada Jennar dengan mata hijaunya. "Jessica adalah pembunuh yang menembak orang-orang di gedung pertokoan waktu itu, Minno adalah orang yang mencari informasi tentangku, dan kau adalah orang yang bertemu denganku secara langsung. Lalu, apa yang Jacob dan Clark lakukan di tim ini?"
"Kau benar-benar tajam, Nona van Ugde," pukau Jennar. "Aku terkesan akan seberapa cepat kau mengerti keadaan."
"Aku butuh jawaban, bukan rasa pukaumu."
Jennar lagi-lagi menunjukkan seringainya di tengah ruangan yang bercahaya remang. "Mereka bertugas untuk mengikutimu ke mana pun kaupergi. Kepada merekalah kau dapat panggil sebagai penguntit," lalu tertawa di akhir kalimatnya. "Kita akan memiliki hari yang berat besok. Sebaiknya, kau istirahat sekarang."
"Apa yang akan kita lakukan?" selidik Vera. "Menguntit orang lain untuk diajak bergabung sepertiku?"
Jennar menggeleng cepat sambil tersenyum. Dia berjalan meninggalkan Vera, melangkah memasuki sisi ruangan yang tak tersentuh cahaya. Jennar ... menghilang di dalam kegelapan itu, tetapi suaranya masih dapat Vera dengar, berkata, "Kita akan pergi ke Markas Pusat Para Cahaya."
@SusanSwansh Andah engga cocok baca karya gue yang judulnya Adikia berarti, loool. Gaya bahasanya beda soalnya, rada puitis juga
Comment on chapter The Tallest Tree