Pekerjaan Vera siang itu bukanlah pekerjaan yang berat, justru sangat datar sampai dirinya sendiri sudah mulai bosan. Danis Chandler, manajer pribadinya, berkata bahwa pekerjaan hari itu memang tidak begitu berdampak pada karier Vera, tetapi cukup penting baginya untuk tetap hadir. Bagaimanapun, seorang supermodel seperti dirinya harus mempertahankan profesionalitas baik di depan para klien maupun model lain—Vera sedikit keberatan dengan gagasan ini.
“Kau memiliki reputasi gemilang selama empat tahun ini,” peringat pria gemuk pencinta rokok itu dengan mata serius seperti biasanya, “dan pekerjaanku disampingmu adalah untuk menjaga reputasimu agar tidak hancur hanya karena alasan bosan atau malas. Terlebih lagi, jangan pernah menganggap sebuah pekerjaan seperti ini sebagai sesuatu yang sepele. Ingatlah, klien selalu mengawasi. Keangkuhan dan kesombongan memang selalu bermain di dalam industri seperti ini, tetapi biarkan diriku berkata kepadamu, Vera van Ugde: Hanya gunakan perilaku seperti itu di depan kamera tanpa membawanya ke kehidupan nyata.”
Tentu, Vera akan memutar mata bosan jika pria itu mulai berceramah. Biasanya, gadis itu bahkan enggan mendengar perkataan Danis dan lebih memilih utnuk mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Bukan berarti Vera tidak menghargai Danis ataupun membencinya, justru dia bersyukur karena mendapatkan seorang manajer seperti Danis Chandler. Vera tidak dapat mencari seorang manajer pribadi lain yang sepandai dan sehebat Danis, dan dia tidak akan pernah membiarkan posisi pria gendut yang mulai beruban itu digantikan oleh siapa pun. Namun, tetap saja, setiap orang pasti akan merasa jenuh jika selalu didikte untuk melakukan suatu pekerjaan.
Danis sendiri adalah pria yang mengenalkan Vera van Ugde ke industri hiburan. Awalnya, Vera sama saja dengan gadis sekolah tinggi lainnya yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dia bahkan sempat berpikir untuk menjadi seorang dokter hewan yang, tentu saja, akan dikelilingi oleh kotoran binatang—Vera selalu tersenyum ketika dia mengingat ide buruknya ini. Namun, segera setelah Vera lulus dari sekolahnya, Danis Chandler datang ke kediaman keluarga van Ugde untuk bertemu Vera. Dia menawarkan diri untuk menunjukkan dunia yang Vera tidak pernah sentuh dan—pastinya—sebuah dunia yang lebih baik daripada tumpukan kotoran binatang. Hanya saja, siapa yang ingin mempercayai pria gendut asing berbau rokok yang tiba-tiba datang menawarkan dunia hiburan yang penuh akan ‘hiburan’? Bahkan Vera saat itu mendecak jijik karena dirinya yang mulai berpikir hal yang tidak-tidak.
Sebenarnya, Danis enggan untuk pergi dari kediaman itu sampai Vera menerima tawarannya—Vera bisa melihat sorotan ambisi dari mata Danis—tetapi dia tetap diusir dan pergi dari sana setelah meninggalkan sehelai kartu nama yang menghantui Vera semalaman. Ya, malamnya, Vera van Ugde tidak bisa tidur. Gadis itu sibuk mencari informasi tentang Danis dari sekumpulan orang yang mengenalnya, dan beberapa hari setelah itu, justru Vera-lah yang memaksa Danis Chandler untuk menjadi manajer pribadinya.
Danis berhasil melakukan pekerjaan yang memukau. Baru dua bulan Vera menginjakkan kakinya di dalam industri hiburan, Danis sudah memampukan dirinya untuk tampil di sampul majalah-majalah terkenal di dalam negeri. Tiga bulan setelah itu, Vera dan Danis terbang ke Milan, Italia, untuk menghadiri fashion-week pertama Vera. Empat bulan setelah itu, foto-foto Vera mulai muncul di etalase-etalase butik terkemuka, majalah-majalah fashion terkenal, dan sempat akan mengikuti perlombaan kecantikan meski Vera cepat-cepat membatalkan kontrak itu.
“Terlalu banyak permainan uang di sana. Sebaiknya, kau tidak menyetujuinya,” begitu kata Danis, dan Vera memutuskan untuk mendengarkan saja.
Ya, Danis Chandler membuat Vera van Ugde berubah dari gadis pencinta kotoran binatang menjadi bintang model standar internasional hanya dalam waktu kurang dari dua tahun. Danis selalu menawarkan peluang-peluang emas bagi Vera karena dia memiliki jaringan yang luas di dalam industri, dan dugaan awal Vera yang berpikir bahwa Danis adalah seorang pria cabul membuatnya merasa malu. Sungguh sangat malu.
“Maaf karena sudah memikirkan hal yang tidak-tidak tentang dirimu,” kata gadis itu di dalam pesawat saat mereka baru saja kembali dari fashion-week keduanya di Hongkong. Meski Danis tersenyum dan sudah memaafkannya, tetapi tetap saja Vera merasa bersalah. Saat itulah, Vera van Ugde memutuskan untuk fokus ke dunia hiburan bukan untuk menikmati kehidupan yang glamor, kekayaan, dunia sosial yang gemilang, ataupun detik-detik malam yang erat kaitannya dengan dunia hiburan. Tidak, tidak semua itu, Vera tidak memandang semua itu sebagai prioritas, justru kerja keras yang Vera lakukan hanyalah untuk menghargai jerih payah Danis yang selalu mengutamakan Vera di tiap pekerjaannya—juga dengan ... B’Edro.
Kenakalan seorang Vera van Ugde memang ada ...banyak, tetapi semua kenakalan itu hanya terlihat saat dia sedang berada bersama manajernya. Vera enggan melakukan begitu banyak atraksi di depan klien atau model lain. Dia tidak ingin mencari muka di depan orang-orang itu meski reputasinya dipertaruhkan. Ya, memang Vera memiliki dua atau tiga teman model yang lumayan dekat, tetapi keberadaan mereka tidak sedekat hubungan Vera dengan Danis. Pria gendut itu sudah menjadi sahabat Vera, pengganti ayahnya, bahkan hubungan mereka sangat dekat sampai Danis sendiri tahu muka seperti apa yang Vera akan buat ketika gadis itu tidak sengaja meninggalkan barang-barang pentingnya di dalam kamar hotel saat berpergian.
“Kita akan kehabisan uang hanya untuk membiayai pengiriman barang-barangmu dari luar negeri,” gerutu Danis saat Vera hanya memasang wajah kikuk dan senyum lebar di bandara.
Berbeda dari pekerjaan glamor yang pernah dia lewati sepanjang kariernya, pekerjaan Vera siang itu benar-benar begitu jauh di bawah taraf di mana dia seharusnya berada. Ya, Vera sudah biasa melakukan sesi foto di luar ruangan yang akan terlihat begitu natural, sempat beberapa kali merekam video di tempat-tempat epik, bertemu dengan para klien yang memiliki selera busana yang unik dan menarik, tetapi sekarang? Tidak. Semuanya jauh berbeda. Vera mendapatkan sesi fotonya di dalam ruangan, tidak ada merek terkenal yang terpampang di dalam studio, dan kliennya yang sekarang tidak begitu memedulikan gaya foto seperti apa yang seharusnya Vera tunjukkan, seakan kliennya itu tidak begitu peduli dan tertarik dengan pekerjaannya sendiri.
“Jalang,” gumam Vera yang memutar mata bosan, tetapi Danis sempat mendengar itu dan sekarang matanya melotot kesal—Vera berpura-pura tidak melihatnya.
Vera van Ugde adalah seorang gadis Belanda yang memiliki darah Denmark; Ibunya adalah orang Belanda sedangkan sang Ayah—yang hanya menginginkan pertarungan panas di atas ranjang lalu meninggalkan seorang wanita yang hamil—adalah seorang keturunan Denmark. Gen kedua orang tuanya itu membuat Vera memiliki paras yang unik. Rambut Vera berwarna cokelat terang, matanya berwarna hijau kebiruan, alisnya tajam dan tegas, hidungnya mancung tajam, tulang pipinya proporsional dengan bibir tipis di bawah hidung, sayang sekali Vera tidak memiliki lesung pipit yang ibunya miliki. Untungnya, gadis itu memiliki tubuh tinggi sang Ayah—atau seperti itulah yang ibunya bilang. Vera memiliki tangan dan kaki yang jenjang tetapi tidak membuatnya terlihat kurus, sedangkan warna kulitnya putih hidup yang sedikit kecokelatan membuatnya terlihat anggun.
Jika ingin berkata jujur, perawakan yang Vera miliki adalah sifat keras yang tidak peduli akan apa pun, tepat seperti watak kedua orang tuanya. Untung saja, Danis memoles sifat itu agar cocok dengan reputasi Vera yang gemilang. Pria itu berhasil membuat Vera berubah dari calon babu binatang menjadi seorang lady yang anggun pembawaannya dan santun kata-katanya—kecuali gumaman terkutuk tadi yang bahkan Danis sendiri tidak pernah dengar lagi semenjak dua tahun yang lalu.
Segera setelah pekerjaannya siang itu selesai, Vera kembali ke kamar hotelnya. Dia terlalu lelah untuk sekadar membuang-buang waktu di studio tadi hanya untuk bersosialisasi. Beberapa model yang juga bekerja di tempat tadi memang sempat mengajak Vera untuk pergi menikmati waktu di kota atau setidaknya pergi ke restoran bersama. Namun, Danis-lah yang menolak. “Maaf, dia sedikit sibuk. Mungkin lain kali,” potong Danis dengan nada sopan dan tatapan teduh. Setelah itu, dia membawa Vera pergi dari sana selagi gadis itu bersyukur karena sudah terhindar dari dunia drama yang paling dia benci.
“Bersiaplah untuk acara nanti malam, Vera.” Danis mengantarnya sampai di depan pintu kamar hotel, lalu memberikannya tatapan mata biru yang kelam. Tampaknya, pria itu benar-benar kelelahan, terlihat jelas dari rambutnya yang sedikit berantakan. “Bagaimanapun, pekerjaan yang tadi hanya untuk menyibukkanmu sebentar sedangkan acara nanti malam adalah yang nomor satu. Apakah kau mengerti?”
Vera van Ugde hanya mengangguk sebelum menutup pintu kamarnya. Namun, belum sempat pintu itu menutup sempurna, Danis menyela. “Jika ada apa pun yang kau butuhkan, teleponlah aku,” pinta si pria dengan wajah peduli, dan Vera mengangguk sekali lagi tetapi dengan bibir tersenyum kali ini.
“Terima kasih,” lugas si gadis yang menutup pintu kamar sampai rapat.
Selama di dalam kamar hotel, Vera hanya bisa bermalas-malasan di atas tempat tidur. Dia hanya memakai hoodie berwarna hijau gelap tanpa dalaman sama sekali. Vera memang sempat memesan camilan untuk mengisi perutnya, dan pelayan pria yang mengantarkan makanan itu sempat melihat seberapa menggodanya penampilan Vera sekarang. Namun, gadis itu tidak peduli. Selama empat tahun Vera berada di dunia hiburan membuat dirinya merasa biasa saja meski seseorang menatapnya dengan hasrat seksual, toh tidak ada seorang pun yang tidak menikmati hal seperti itu.
Vera menikmati kentang gorengnya sambil beberapa kali menengok ke acara televisi yang menampilkan berita-berita dalam negeri. Dia tadi sempat ingin tidur sejenak, sekadar untuk membiarkan matanya istirahat. Namun, setelah 19 kali mengarungi tempat tidur dengan segala macam gaya nyaman yang justru tidak terasa nyaman sedikit pun, Vera tetap tidak bisa terlelap. Alhasil, dia lebih memilih terjaga dengan sepiring camilan. Lagi pula, langit sekarang sudah mulai berubah sore, sudah tidak ada lagi waktu untuk bermalas-malasan karena dia harus segera bersiap-siap untuk acara nanti malam.
Berita di televisi yang sedang dia tonton sekarang menunjukkan sebuah peristiwa yang membuat gempar seisi Kota London, Inggris. Para penjaga perbatasan di selatan menemukan sekelompok imigran yang menyeludupkan banyak sekali narkoba di kargo kapal mereka. Terdapat tiga tong besar mariyuana, dua peti ganja, sekotak ekstasi, dan dua botol senyawa narkotika lainnya yang tidak begitu Vera dengarkan. Gadis model yang menyaksikan berita itu lantas berubah panik. Dia cepat-cepat menarik ponselnya untuk menghubungi seseorang tanpa pikir panjang.
“Terkutuk kau, Vincent! Katakan bahwa kapal yang ditangkap di Inggris bukanlah milik kita!” panik Vera dengan bahasa Inggris fasih meski logat bahasa ibunya masih dapat terdengar.
Vincent, pria yang berada di ujung lain sambungan telepon itu, lantas menjawab dengan suara bergetar. Suaranya terdengar cukup lucu seperti suara berat Patrick Star dari kartun Spongebob Squarepants. “Bukan, Nona. I-itu bukan milik kita. Namun, kapal lain yang berlayar di Skotlandia adalah milik kita ..., dan kapal itu bernasib tidak jauh berbeda.”
Vera hampir saja melempar ponselnya jika saja otaknya tidak berpikir cepat. “Berapa kerugian kita?” tanyanya dengan nada marah yang tertahan di tenggorokan.
“Saya belum menghitungnya pasti, tetapi jika terka-menerka dapat dilakukan, maka ...,”
“Kautahu aku tidak suka disibukkan oleh hal-hal berbau kegagalan, bukan?”
Vincent terdengar seperti menelan ludahnya, dan itu bukanlah petanda baik bagi Vera. “Sekitar £25.000 ..., sedikitnya.”
Kali ini, Vera meremas tangannya sekuat tenaga sampai jemarinya memutih dan mendingin. Dia ingin mengutuk lagi, terlebih saat Vincent kembali berbicara, Vera hampir saja bersumpah untuk mengebiri pria itu dengan tangannya sendiri. Namun, dia tetap diam karena Vera tahu bahwa semua itu tidak akan membantu banyak.
“Perihal kapal kita yang berada di Skotlandia, Nona,” sambung pria itu. “Kapal itu tidak ditangkap seperti kapal di perbatasan Inggris, melainkan ... ditenggelamkan.”
“Oleh polisi atau petugas keamanan lainnya?” curiga Vera. Sayangnya, Vincent membantah.
“Saya belum tahu siapa yang menenggelamkan kapal itu, tetapi satu-satunya yang saya yakini adalah tidak adanya keterlibatan satuan keamanan Skotlandia di dalam peristiwa itu.”
Fakta itu terdengar cukup aneh di dalam kepala Vera. “Maksudmu, terdapat orang lain yang dengan sengaja melakukannya?”
“Ya,” lalu, Vincent cepat-cepat memotong bahkan sebelum Vera sempat berbicara. “Saya akan mencaritahu siapa orang itu, Nona. Kali ini, saya akan fokus.”
Awalnya, tetap, Vera van Ugde berkeras hati untuk mempercayainya lagi. Ini bukanlah pertama kalinya Vincent lalai dengan pekerjaannya. Muatan dari kapal yang Vincent kirim melewati laut Skotlandia memanglah milik Vera, tetapi itu bukanlah kapal pertama yang berakhir nahas hanya karena Vincent salah memilih jalur aman untuk perdagangan gelap mereka. Kejadian ini sudah menjadi tragedi yang ke-sekian kalinya. Tundra adalah sebuah wilayah yang bisa menggambarkan seberapa keringnya pengampunan di dalam hati Vera sekarang. Hanya saja, ketika Vincent kembali memohon, akhirnya Vera memberikan kesempatan kedua kepadanya. “Jangan kecewakan aku lagi,” dan sambungan telepon itu akhirnya putus.
Toh, Vincent adalah pria bodoh yang bisa dengan mudah dimanipulasi dan diajak berkompromi. Jarang sekali Vera bisa menemukan pria bodoh seperti itu di dunia gelap mafia, dan membuang Vincent sama saja seperti membuang keset kaki di depan pintu rumah. Vera tidak begitu mau bekerja sendirian lagi seperti dulu: Mengurus kapal yang akan digunakan sebagai alat pengiriman, menentukan jalur aman untuk dijelajahi kapal, dan mencari tempat penyimpanan sementara di negara tujuan. Demi Tuhan, itu merepotkan untuk dilakukan oleh seorang diri, dan Vera lebih memilih untuk memiliki rekan meski Vincent adalah orang yang bodoh. Namun, tetap saja, Vera mengerang kesal sebelum benar-benar melempar ponselnya ke sudut kamar. Dengan lemparan itulah Vera melampiaskan semua amarahnya hari itu. Sayangnya, suara benturan besar di dinding kamar membuat Danis yang berada di kamar sebelah langsung pergi mengetuk pintu kamar Vera dengan suara panik di tiap kata-katanya.
“Apa yang terjadi?” panik pria itu. “Apa yang terjadi?” Namun, Vera hanya tertawa tanda tidak terjadinya apa pun. Latihan bersandiwaranya terbukti sukses di saat-saat seperti ini.
Saat Matahari sore itu membuat langit Kota London berubah keemasan, barulah Vera van Ugde mulai bersiap-siap untuk acara nanti malam. Danis Chandler sebenarnya sudah menyiapkan penata rias untuk membantu Vera bersiap-siap, tetapi gadis itu menolak halus. “Aku memilih tampilan natural, Danis. Terima kasih, tetapi aku tidak butuh tangan-tangan lain untuk menata diriku sendiri.”—penolakannya tidak sehalus yang dibayangkan.
Vera memilih gaun ketat berwarna hitam yang sepanjang pangkal paha, guipure yang halus, mousseline desoie yang diikat cukup ketat di dada bagian bawah sehingga mampu mengangkat buah dadanya agar kelihatan lebih penuh, dan decolletage yang membentuk renda-renda di sekitar kerahnya mampu memberikan Vera kesan anggun sekaligus secuil sensasi intimidasi. Bagian bawah gaun hitam itu memang pendek, tetapi lengannya panjang dan bermodel renda yang akan melebar saat Vera mengangkat tangan. Ya, gaunnya saja sudah memesona, terlebih indah lagi saat Vera mulai merias wajah dan rambutnya agar terlihat lebih menarik.
Danis yang melihat Vera keluar kamar dengan gaun eksotis, rambut cokelatnya yang gerai rapi, dan riasan wajahnya yang natural sampai tidak bisa berkomentar banyak selain, “Wow,” dan hanya itu. Manajernya bisu meski sudah sering kali melihat Vera berpenampilan menarik seperti sekarang.
Tanpa basa-basi terlalu lama, Danis Chandler langsung membawa Vera pergi ke acara di tempat salah satu kliennya. Tempat itu adalah sebuah rumah besar di pinggir Kota London yang jauh dari hiruk pikuk kota. Pesta itu diadakan di halaman belakang rumah di mana taman dan kolam berenang mengambil tempat. Di sana, sudah berdiri meja-meja hidangan, para pelayan, dan para tamu undangan yang kebanyakan adalah para model papan atas layaknya Vera.
Langit malam saat itu benar-benar cerah. Lampu-lampu di dalam rumah sengaja diredupkan agar semua hadirin dapat melihat indahnya langit malam yang ditaburi berlaksa-laksa bintang dan cahaya perak bulan purnama. Angin suam musim panas membuat siapa pun merasa nyaman, terlebih lagi dengan semua camilan dan minuman yang sudah disediakan. Suasana saat itu benar-benar sebuah surga dunia.
Selama pesta sedang berlangsung, Vera van Ugde sendiri tidak berada jauh dari Danis. Dia tetap mengekor selagi manajernya sibuk menyapa orang-orang yang dia kenal. Vera memang beberapa kali sempat menyapa model-model yang dia kenali di sana, tetapi kebanyakan waktunya dia habiskan untuk menatap permukaan kolam berenang yang membiaskan ribuan cahaya indah dari langit malam—memang terdapat lampu dari dasar kolam, tetapi tidak begitu terang sehingga permukaan air tetap membiaskan kelap-kelip bintang di langit indah meski keadaan sedang gelap.
Beberapa model pria dari yang sopan sampai yang melirik nakal sudah sempat mengajak Vera untuk menikmati waktu berdua, tetapi semuanya dia tolak. Beberapa gadis juga sempat menghampirinya untuk sekadar bersosialisasi, tetapi Vera menghindar dengan cepat. Terdapat seorang pria berbadan besar yang juga datang menghampirinya saat melihat Danis berjalan pergi, tetapi Vera bahkan tidak menyia-nyiakan sepatah kata pun kepada pria bermata seks itu. Alhasil, sepanjang pesta berlangsung, Vera tidak melakukan apa pun selain berdiri diam, berlalu menjauh dari orang-orang, melirik selidik, tersenyum paksa, dan tertawa garing. Bagaimanapun, dia tidak pernah tertarik dengan dunia sosial tidak peduli seberapa glamornya dunia itu. Baginya, dunia sosial—manusia—tidaklah penting. Vera ingin menjadi seorang dokter hewan, ingat?
Acara malam itu sempat dibuka oleh seorang klien yang Vera kenal baik. Wanita yang dulu bekerja sebagai model itu adalah orang yang mengajari Vera bagaimana caranya berjalan dengan benar. Ya, wanita itu adalah pelatih yang dulu Danis bayar untuk melatih Vera, tetapi sekarang wanita itu beralih menjadi pebisnis majalah dan terlihat sukses dengan pekerjaannya yang sekarang. Vera dan wanita itu sempat berbicara singkat tentang pekerjaan yang Vera lakukan saat ini, dan tidak jarang wanita itu menunjukkan Vera beberapa klien lain yang besar kemungkinan menjadi klien Vera di masa depan. “Dengan menghadiri acara itu, reputasimu bisa semakin naik dan mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih bagus,” kata Danis sejak awal, dan Vera tahu apa yang pria itu maksud sekarang.
Setelah acara selesai, halaman rumah itu mulai ditinggali oleh para tamu. Namun, Vera terjebak di sana karena Danis yang masih sibuk mengobrol dengan para kenalannya. Gadis itu tetap berada di dekat kolam selagi Danis dan yang lain sudah masuk ke dalam rumah. Danis memang sempat mengajak Vera untuk ikut masuk, tetapi dia ingin menikmati suasana hening di tempat nyaman itu seorang diri walau hanya sejenak. Sayangnya, meski angin datang hanya untuk meniup dirinya, nihilnya suara menandakan sebuah bukti nyata akan kesendirian, dan biasan cahaya di permukaan kolam sudah menunjukkan gambaran nyata bahwa tidak ada seorang pun selain Vera di sekitar kolam, tetapi ... Vera tidaklah sendirian.
“Kau terkenal, hm?” sahut seorang pria yang datang menemaninya. Pria itu memakai kaus hitam yang dibalut jaket kulit berwarna senada sedangkan celana panjang ketatnya berwarna biru kelam. Awalnya, Vera hanya memperhatikan rupa pria itu dari pantulan di permukaan air kolam, tetapi ketika dia mendengar suara pria itu yang seakan membuat wujud tangan yang mampu menarik dagunya untuk beralih, lantas Vera menengok. Si gadis bisa melihat rupa lelaki itu dengan teliti sekarang. Rambut pria itu berwarna gagak, dibiarkan berantakan agar mata biru terangnya dapat memberikan kesan liar saat menatap mata Vera ..., dan dia berhasil. Biasanya, Vera akan langsung menunduk dan pergi, tetapi pria itu berhasil membuatnya mematung diam untuk sesaat di tempatnya berdiri sekarang.
“Kau bukan model, hm?” tanya Vera dengan intonasi si pria yang sengaja dia tiru. “Kau tidak terlihat seperti mereka.”
“Maksudmu wajahku?” si pria tersenyum tengil. Entah mengapa, Vera tertawa melihat senyum itu.
“Dunia model tidak selamanya berurusan dengan wajah, dan bukan dari sana aku menerkanya.”
“Dari apa? Pakaianku?” Namun, Vera tetap menggeleng. “Oh, katakanlah, kumohon.”
“Dari pembawaanmu,” tebak Vera. “Kau bahkan bukan seperti orang kebanyakan.”
“Oh, haruskah diriku terpukau?” goda si pria, tetapi Vera mendengkus lemas sambil memutar bola matanya. “Namaku Jennar E’Neille. Kau bisa memanggilku Jennar, atau E’Neille, tetapi kumohon jangan pernah memanggilku dengan E saja.”
“Bagaimana jika aku tidak akan pernah memanggilmu, E?”
“Oh, kau baru saja melakukannya.”
Vera tersenyum, tanpa paksaan kali ini ..., dan terkikik kecil di sela-sela bibirnya yang meruncing. “Vera van Ugde,” sahutnya sambil mengulurkan tangan.
Namun, belum sempat Jennar menggapai tangan itu, Vera sudah lebih dulu berpaling. Jennar menatapnya penuh goda karena dia pikir, Vera mencoba untuk jual mahal. Hanya saja, Vera berlalu bukan karena dia memang bermaksud untuk begitu. Ponselnya baru saja berdering, dan sekarang Vera hendak mengambil ponsel itu.
Jennar mengulum bibir tanda kikuk, dan si gadis melihat kecacatan itu. “Vera, hm? Singkatan atau nama lain dari Veritas, Dewi Kejujuran dari mitologi Roma.”
“Kau bisa membaca buku-buku mitologimu, kulihat,” ejek Vera sambil mengangguk. Saat dia mendapatkan ponsel di dalam tas tangannya, daripada menerima telepon dari seseorang, Vera lebih memilih untuk memutuskan sambungan itu dan beralih kembali kepada Jennar. “Sedangkan Jennar?” tanya Vera yang memutuskan pembicaraannya bersama Jennar sebagai sebuah prioritas. “Nama dari mitologi mana itu?”
“Ah, tidak dari mana pun. Orang-orang purba tidak akan memiliki kepintaran dan imajinasi yang cukup untuk menamakan anak mereka ‘Jennar’. Namun, jika kau mencari ‘E’ di dalam sebuah mitologi, maka kau akan mendapatkan banyak sekali nama dewa. Zeus, misalnya. Demi Tuhan, Poseidon dan Hades juga.” Vera melirik konyol karena itu tidak masuk akal. “Namun, mereka sama-sama memiliki ‘E’, bukan? Bahkan, kau bisa menemukan ‘E’ di dalam ‘Vera’,” goda Jennar dengan alis hitamnya yang sengaja dia mainkan.
Vera terkekeh mendengar gurauan itu. Gadis itu mengakui bahwa Jennar tidak seperti pria lain yang menginginkan dirinya untuk dinikmati atau sekadar cari muka. Justru, Jennar terlihat seperti hanya menginginkan obrolan singkat, dan Vera tidak merasa keberatan untuk memberikannya. Gadis itu baru saja hendak ikut bergurau bersama Jennar sebagai tanda bahwa dia merasa nyaman, tetapi ponselnya kembali bergetar dan membuat Vera kembali pasif.
“Maaf, hanya masalah pekerjaan yang tidak begitu penting untuk sekarang.”
Jennar memaklumi. “Lagi pula, siapa di antara kita yang tidak memiliki pekerjaan yang merepotkan, hm? Tidak ada. Kita sama-sama direpotkan oleh dunia sosial seperti ini.”
Ya, Vera harus mengakui bahwa Jennar E’Neille adalah orang yang unik, tidak seperti kebanyakan orang lain yang dia temui. Itulah alasan mengapa dia masih ingin berbicara kepada pria itu—terlepas dari penampilannya yang menarik—tetapi ponselnya kembali berdering sekali lagi sampai Vera hampir saja melemparnya ke kolam berenang.
“Kau sebaiknya mengangkatnya,” kata Jennar yang juga merasa terganggu. “Mungkin itu sesuatu yang penting.”
Vera mengalah dengan wajah tidak enak. Dia akhirnya menarik keluar ponsel itu dan menemukan nama Vincent di sana. Berbeda dengan dua telepon tadi, dering kali ini menunjukkan sebuah pesan teks. Karena Vera pikir itu tidak akan begitu penting, maka dia menutup ponselnya lagi. Namun, Jennar menahannya.
“Itu sangat penting, percayalah.” Mata biru pria itu menajam dan berubah serius meski senyum tipis tetap berada di bibirnya. “Aku yakin itu dari Vincent.”
Wajah cantik Vera van Ugde berubah dari mimik ceria menjadi wajah datar yang mulai dibalut oleh ketakutan. “Dari mana kautahu?” selidiknya, tetapi Jennar lebih menyuruhnya untuk membaca pesan itu dengan cepat.
“Mungkin tentang kapal kalian yang tenggelam di Skotlandia,” kata Jennar yang membuat Vera semakin paranoid.
Gadis itu melangkah mundur, menjauh dari Jennar yang seakan tahu semua tentang pekerjaan gelap Vera sebagai pengedar narkoba. Vera hendak berpaling dari sana. Dia ingin lari. Namun, Jennar mencengkeram tangan Vera dengan cepat lalu memberikannya tatapan tajam.
“Baca pesannya,” perintah pria itu.
Vera yang tidak mengerti tentang keadaannya dan merasa terancam lantas memikirkan jalan keluar. Sayangnya, dia tidak bisa gegabah karena dia tahu bahwa Jennar memang bukan kebanyakan orang. Mungkin, pria itu menginginkannya mati. Siapa pun yang tahu dan ikut campur dengan dunia gelap seperti yang Vera nikmati sudah pasti tidak asing dengan murahnya nyawa seseorang. Setiap hari, orang-orang di dunia gelap semakin berkurang, dan itu terjadi karena banyak yang bermain terlalu dalam atau ada seseorang yang membuat kesalahan. Di tiap detiknya, kehidupan orang-orang di dunia gelap bisa saja berubah dari yang mengancam ... menjadi yang terancam. Tidak bisa diragukan lagi bahwa Vera berada di posisi yang terancam. Bagaimana bisa dia meragukan tangannya yang digenggam erat dan diberikan tatapan tajam seorang pria seperti sekarang. Maka dari itu, Vera hanya bisa mendengarkan perintah Jennar selagi lelaki itu mempererat cengkeraman tangannya.
Tangan Vera yang gemetar mulai membuka ponselnya, membaca pesan yang Vincent kirimkan kepada nonanya. Pesan itu berisikan perihal kapalnya di Skotlandia yang tenggelam tepat seperti yang Jennar bilang, tetapi pesan itu hanya berisikan dua buah kalimat dengan dua buah kata di antaranya yang membuat Vera berubah panik, yaitu “Sang Cahaya,” dan Vera membulatkan matanya segera setelah dia selesai membaca pesan itu.
“Kau ... dia?” tebak Vera. “Sang Cahaya?”
Jennar menggeleng, tersenyum tajam, dan mata birunya mendingin sampai terlihat seperti batu safir runcing yang menakutkan. “Kami, lebih tepatnya. Ya, kami adalah orang yang menenggelamkan kapal berisikan narkoba milikmu, tetapi tujuan kami bukanlah tentang kapal itu. Kami justru datang untukmu.”
“Mengancamku, maksudmu?” sanggah Vera yang sudah lama panik sampai dia bisa merasakan denyut nadi di tenggorokannya sendiri. Bahkan, lengannya yang Jennar genggam mulai mendingin sampai terasa kesemutan. “Kalian ingin memeras hartaku, menghancurkan karierku? Atau bahkan membunuhku?”
“Kami tidak seanarkis itu, Nona van Ugde. Alih-alih membunuhmu, kami justru ...,” Jennar menyempatkan diri untuk menengok ke arah Danis yang masih mengobrol di dalam rumah, terlihat jelas dari balik pintu halaman yang hanya bermodalkan kaca tebal. Ketika dia menemukan Danis yang tidak sadar akan keadaan Vera yang terpojok, lantas pria berpenampilan gelap itu kembali menatap Vera. Jennar tersenyum selebar mungkin, dan sekarang wajahnya tidak terlihat berbeda dari Pennywise, si badut tari. Vera bergidik ketakutan dibuatnya.
“Kami justru hendak merekrutmu.”
wah keren ...
Comment on chapter Prologue