Read More >>"> Asa (10|| Rapuhnya Gadis Kecil) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Asa
MENU
About Us  

Ruangan serba putih berbau obat itu diisi oleh celotehan gadis berambut sebahu yang tengah bercerita pada kakak kelasnya. Aslan dan Saffa saat ini tengah berada di ruang UKS, sambil merekap obat yang ada disana Saffa bercerita pada Aslan kejadian dimana ia pulang bersama dengan Adrian.

"Senenggg bangett kakk!!" Saffa memekik kegirangan, rasanya suhu tubuhnya tiba-tiba meningkat, ada kupu-kupu yang berterbangan diperutnya ketika ia kembali mengingat kejadian kemarin.

"Lo seneng gue yang repot harus jemput Adrian di rumah lo. Haduh... Lagian mau pdkt aja nyusahin sih lo berdua,"
"Loh kok situ kesel? Kan itu janji lo sendiri, mau ngelakuin apapun asal dapet maaf dari gue?"
"Iya, gue salah!"

Saffa terbahak melihat ekspresi Aslan yang cemberut, terlihat cowok jangkung itu sedang merajuk. Senyum jahil tercipta dibibir Saffa untuk menggoda Aslan.
"Lucu deh kakak kalo lagi ngambek," ujar Saffa, 

Aslan tak menjawab malah memalingkan wajahnya kearah lain lalu berdeham, "Hm. Jadi apa aja obat yang kurang?" tanya Aslan, padahal itu hanya alibi agar Saffa tak kembali menggodanya.

"Cuma obat pusing aja, sih. Paracetamol,"
"Heran itu obat abis mulu,"
"Mungkin mereka pusing karena banyaknya tugas yang dikasih guru, jadi minum itu deh."
"Bodoamat."

Tiba-tiba saja Aslan teringat bagaimana mereka sempat bertemu waktu itu, dimana saat Saffa membantu seorang nenek menyebrang di jalanan. Ukiran bulan sabit tercipta dibibir merah mudanya yang tak pernah tersentuh oleh rokok itu, entah kenapa rasanya nyaman saat mengingat gadis itu dibenaknya. Padahal orang yang sedang dipikirkannya berada di hadapannya.

"Kebiasaan ngelamun sambil senyum-senyum sendiri. Kalo orang lain yang liat ntar disangka gila lo kak,"
"Ya makanya, orang lain jangan sampe liat. Lo aja yang boleh liat."

Dibilang seperti itu Saffa malah mengumpat tanpa suara, menampakkan ekspresi jijiknya untuk menutupi degupan jantung yang seharusnya tak berdegup sekencang itu.

"Btw, Saff?" panggil Aslan pada Saffa yang sedang pura-pura menulis diatas secarik kertas,
"Hm?" 
"Lo panggil gue Aslan aja, gak usah pake embel-embel "Kak" gaenak dengernya."
"Iya ah, gak pantes juga lo di hormatin sama gue."
"Kurang ajar,"

Keduanya lalu tertawa, dan lanjut berbincang, kali ini topiknya berganti menjadi Adrian. Saffa terus bertanya seputar cowok yang ia sukai itu. Dengan berat hati, Aslan menjawab seadanya saja sambil menahan sesak dihati.

"Bantuin gue nge-date sama kak Adrian dong!" pinta Saffa pada Aslan, cowok itu sibuk memainkan mitela yang dibentuk menjadi donat.

"Sampe kapan sih, gue harus ikut campur dalam urusan percintaan lo?" tanya Aslan yang kemudian merutuki pertanyaan yang ia lontarkan, seharusnya ia tidak berkata seperti itu pada Saffa.

"Sampe takdir menyatukan gue dengan kak Adrian."
"Kalo nyatanya takdir itu salah? Dan Adrian gak di takdirin buat lo?"
"Lo yang bakalan bantu gue lah!"
"Gue nggak bisa ngelawan takdir."
"Aslan, apa gue pernah cerita kalau hati gue hancur sama cinta pertama gue?" Saffa menunduk, menahan air di mata yang sudah sudah siap kapanpun bila mau di jatuhkan. Aslan mendekatkan posisinya pada Saffa, memegang bahu gadis itu, seolah memberikan kekuatan, Saffa kembali mendongak menatap manik mata hitam yang sedang menatapnya intens.

"Ayah, ayah gue..."
"Saff, it's ok. Jangan dipaksakan untuk cerita, mungkin lain kali saat suasana hati lo ga seburuk sekarang."
"No, i must tell you about this. To let you know how i feel."
"Okay, i will listen to it,"
"Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Ayahnya yang selalu memberikan perhatian, selalu menyayanginya, selalu membelanya ketika ibu memarahi kita, selalu marah bila ada yang menyakiti gadisnya. Tapi coba lo bayangin? Gimana cinta pertama kita yang mematahkan hati kita sampe membuat luka yang sukar untuk kering, yang gak bisa di lupakan, yang selalu membekas di hati."
"Saffa..."
"Ayah gue, Lan, dia pergi ninggalin gue, Najwa, dan bunda. Pergi meninggalkan yang ada hanya untuk yang berada. Ayah adalah seorang dokter, pada suatu hari dia dapet seorang pasien public figure, orang itu selalu konsultasi dengan ayah, sampai tanpa sadar muncul benih-benih cinta diantara keduanya, tanpa diketahui bunda. Gue masih inget betul gimana bunda yang lagi menggenggam tangan Najwa yang memucat, deru nafasnya tak karuan, dadanya naik turun. Gue yang saat itu baru berumur 12 tahun nelfon ayah, tapi gak diangkat. Mungkin bunda juga udah ngelakuin hal serupa, jadi yang bisa bunda lakuin cuma berdoa agar Najwa baik-baik aja."

"Setelah itu? Setelah itu ga seperti apa yang terlintas di pikiran gue kan, Saff?" tanya Aslan, ia sempat berpikir bahwa Ayah Saffa akan pergi meninggalkan keluarga kecil itu. Dan lebih memilih perempuan artis yang katanya adalah pasien ayahnya Saffa.

"Ya, pemikiran lo gak salah, Lan. Besoknya Ayah dateng, gue menyambut ayah yang dateng dengan mobil di depan, tersenyum manis sama dia. Yang biasanya dia langsung meluk dan cium kening gue ini cuma mengusap rambut gue sesaat dan masuk kedalem rumah. Dia sempet bilang, "Saffa sayang, kamu diem disini dulu, ya? Jagain mobil ayah, jangan masuk. Tutup telinga kamu, lalu kamu bernyanyi." itu katanya. Dengan bodohnya gue ngelakuin hal yang disuruh ayah, nutup telinga sambil nyanyi lagu anak-anak yang berjudul hujan." 
"Ayah lo gak mau lo denger apa yang seharusnya lo gak denger."
"Ya, bijak memang, tapi tentu gue gak sebodoh itu, Lan! Diumur 12 tahun gue udah mengerti, gue lepas tangan gue yang menutupi telinga, samar-samar terdengar teriakan dari dalam rumah disusul ayah yang keluar dengan koper besar yang diseretnya. Bunda menangis dibelakangnya, memohon agar ayah tak pergi, ayah masuk kedalam mobil, dan pergi tanpa menengok kebelakang, tanpa berniat untuk kembali dan memperbaiki. Sejak saat itu gue benci dengan cinta pertama gue. Gue berusaha, agar gue bisa buat bunda bahagia. Lan, lo tahu? Rasanya semesta gak pernah berpihak sama gue, semesta mungkin udah membenci gue karena gue membenci ayah gue sendiri. Semesta gak suka gue, gak berhenti-berhentinya semesta terus mengingatkan luka ini." kali ini air mata Saffa telah jatuh tepat di pipinya, bahunya terguncang, Saffa terisak sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Aslan langsung mendekap tubuh yang rapuh itu, Aslan kira Saffa adalah gadis yang ceria, gadis yang usil dan jahil walau kadang suka jutek pada tiap orang yang mengganggunya. Ternyata, dibalik senyuman yang indah itu, dibalik senyuman yang mampu membuat bintang-bintang bersembunyi karena takut kalah indannya menyimpan luka yang tak kunjung kering, luka yang selalu teringat membuat hati menjadi sesak. Dibalik senyuman itu, ada cerita menyedihkan yang dituliskan orang yang disayanginya. Gadis yang ia kira kuat itu, ternyata rapuh, sangatlah rapuh didalamnya.

"Percayalah, semesta sedang menyusun rencana indah yang akan datang pada lo suatu hari nanti. Gue, Aslan yang akan membawa kebahagiaan itu untuk lo."

🔸🔸🔶

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags