“Kamu cukup berani,”
Aku menoleh sambil berusaha menutupi ransel yang penuh dengan alat-alat untuk melarikan diri dengan selembar kain tipis, bekas taplak meja dapur. Kemudian kuhela napas lega ketika mengetahui kalau itu dia. Sedang berjongkok sambil bertopang dagu di kusen jendela yang terbuka.
Namanya Kino, teman sepermainanku sejak masih duduk di bangku SD. Meskipun kawan sejak lama, aku tidak benar-benar mengenal dia. Asal-usulnya, tempat dia sekolah, maupun usianya. Hanya kuperkirakan dia sepantaran denganku. Bernasib sama denganku; terjebak di lingkaran yang berputar lambat ini. Terjebak di desa kecil tak tersentuh.
Di antara anak-anak tetanggaku yang berisik dan bodoh, Kino menjadi orang yang menonjol. Teman diskusi yang menyenangkan.
Untuk menyalakan sebuah lampu, kita harus menyamakan tegangan. Jika arus terlalu lemah dari yang dibutuhkan, lampu redup. Jika arus terlalu kuat, lampu meledak. Orangpun begitu.
Untuk menjalin sebuah persahabatan, kita harus selevel. Kino adalah orang yang memiliki level sama denganku. Kami sama-sama anak buangan tetangga yang jadi topik favorit mulut-mulut tetangga penggunjing.
“Kamu,” desahku sambil memegang dada kiri, “kukira Bapak.”
“Seperti biasa, kamu terlalu khawatir.”
Kino melompat masuk. Sampai sekarang, aku tidak pernah tahu bagaimana caranya bisa melompat masuk ke sini melalui jendela kecil. Tapi lompatannya indah, seperti sedang melayang. Langkahnya juga ringan, kurasa telapak kakinya tidak pernah benar-benar menginjak tanah. Mungkin, dia pernah belajar berjalan di udara di suatu tempat.
“Kukira, ini pertemuan terakhir kita.”
“Menurutmu begitu?”
“Aku mau pergi.”
“Sudah jelas,kan. Buntelanmu sudah siap.”
Kino menunjuk tas-tas yang menggembung penuh baju dan pecahan celengan ayam yang kusembunyikan di bawah tempat tidur. Dia berkeliling untuk memastikan keadaan kamarku dan nyengir kocak.
“Kamu benar-benar siap buat pergi.”
“Umurku udah delapan belas,” sahutku tajam, “Udah bisa mandiri. Udah punya KTP.”
“Aku enggak bilang apa-apa.”
Kuperhatikan gerakan Kino yang dengan tenang menjatuhkan diri di atas tilamku yang keras. Dia masih memakai seragam sekolah yang seperti biasa, bersih. Dasinya juga masih terikat longgar, dengan lipatan celana yang mirip rel kereta, lurus tanpa cela. Hari ini rambutnya berwarna biru.
“Kamu umur berapa, sih?” tanyaku yang heran melihat pakaiannya.
Kino menyeringai, “Kenapa?”
“Sekolahmu belum libur, ya?”
“Mau tau aja.”
“Kamu enggak pernah mandi kayaknya. Bajumu enggak pernah ganti.”
“Yang mau pergi berisik banget!”
Aku mengangkat bahu lalu melanjutkan diri untuk berkemas. Tanggal kepergianku semakin dekat, jadi aku harus buru-buru. Tidak ada waktu mengurusi Kino, si Anak Aneh nomor dua. Kenapa nomor dua? Karena yang nomor satu itu aku.
“There is nothing to writing. All you do is sit down at a typewriter and bleed.”
Aku menoleh sedikit.
“Ernest,” jawabku singkat sambil melipat peta-peta perjalanan. Dia tertawa.
“Salah.”
“Enggak mungkin.”
“Memang benar, salah. Yang benar Ernest Hemingway.”
“Mampus kau, dikoyak-koyak sepi!”
Kino tertawa keras-keras sambil memegangi perut. Aku melotot, menyuruhnya untuk diam atau Bapak akan muncul ke sini dan aku akan jadi ceritaan tetangga lagi. Tapi Kino menolak untuk diam.
“Orang Indonesia mana yang enggak tahu kalau itu Chairil Anwar?”
“Laki-laki tolol mana yang ketawa keras-keras di kamar perempuan?”
“Ah, terlalu khawatir lagi!” Kino mendesah. “Mau aku teriak sampai mati juga enggak akan ada yang tahu.”
“Kenapa, mau bilang kalau kamu bisa menirukan suara kelelawar? Yang frekuensinya enggak bisa didengar manusia?”
“Enggak, tapi memang begitu adanya. Enggak ada yang bisa dengar aku, kecuali kamu, kan?”
“Coba bicara, kenapa bisa begitu?”
Kino merangkak di atas tempat tidur, lalu duduk bersandar di sana. Dan berkata sambil menatapku sungguh-sungguh. “Karena kamu juga kelelawar.”
Kemudian Kino tertawa. Suara tawa paling sunyi yang pernah kudengar.
***
Pertama-tama, aku merasakan kakiku digoyang. Lalu beberapa saat setelah goyangannya berhenti, kurasakan pantatku ditepuk keras sampai membuatku kaget dan otomatis terduduk. Gelap. Ada bayangan yang bergerak di ujung tempat tidur.
Sudah kuduga bahwa tempat ini mencurigakan.
“Sampeyan pegawai baru di sini, toh?”
Aku mengerjap dan cepat-cepat turun dari tempat tidur. Hasilnya aku sempoyongan dan baru bisa menyeimbangkan diri dengan memegang kepala tempat tidur. “Jam berapa ini?”
“4 kurang 5.”
Bayangan itu bergerak-gerak lagi. Terdengar suara jentikan saklar dan kamar ini menjadi terang benderang. Refleks kuangkat tangan kiri untuk menutup mata yang mendadak silau. Setelah mataku terbiasa oleh cahaya yang ada, perlahan kuturunkan tanganku dan berdiri kaku di samping tempat tidur.
“Kamu yang namanya Bude Rah?”
Bayangan itu kini punya rupa dan bentuk yang padat. Seorang manusia berjenis kelamin perempuan, berumur kira-kira setengah abad lebih dan sedang bergerak ke sana ke mari untuk membersihkan kamar.
“Kamu yang namanya Bude Rah?” aku mengulangi pertanyaan.
Perempuan yang kuduga sebagai Bude Rah itu menghentikan aktivitasnya sebentar untuk melihatku dari atas ke bawah. Orang ini sedang menilaiku. Pasti. Dia berhenti sebentar di kepalan tanganku, lalu kembali menatap wajahku.
“Kamu?”
“Iya, kamu. Kamu Bude Rah?”
“Apa saya sudah menikah dengan Pakde sampeyan?”
Aku menggeleng dan masih mengawasi perempuan itu dengan hati-hati. Perempuan itu kembali beres-beres di kamar. Dia mengangkat tasku dari tempat tidur dan memasukkannya ke lemari.
“Nanti tolong tasnya dibongkar hari ini juga. Pakaiannya juga susun dalam lemari,” katanya padaku, lalu mengambil kemeja yang kemarin kupakai dan menumpuknya dalam keranjang di sudut ruangan.
“Kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu Bude Rah atau bukan?”
“Nama saya memang Rah, tapi saya bukan Bude sampeyan.”
Hm? Jawaban macam apa itu? Orang macam apa perempuan ini? Tempat seperti apa yang sedang aku singgahi sekarang?
“Kaisar bilang orang yang kerja di sini namanya Bude Rah.”
“Dia boleh bilang begitu karena saya memang sudah menikah dengan Pakdenya.” Perempuan itu, Rah, menyuruhku bergeser sementara dia merapikan seprai yang berantakan akibat kutiduri semalaman. “Sampeyan tidak saya izinkan memanggil Bude Rah karena saya tidak pernah menikah dengan Pakde sampeyan. Ngerti, toh?”
Setelah berkata seperti itu, dia keluar.
Aku tidak diizinkan memanggil Bude dan aku tidak dimarahi karena menyebutnya kamu. Padahal biasanya aku akan dihukum kerja di sawah kalau memanggil ‘kamu’ atau ‘kau’ pada orang yang lebih tua. Meskipun selisih usianya hanya setahun. Tetangga-tetangga selalu bilang kalau aku tidak punya sopan santun. Aku selalu menjadi topik favorit ibu-ibu di saung sawah.
Tapi barusan, perempuan berumur setengah abad yang seumuran dengan ibu-ibu tetangga, malah melarangku memanggilnya Bude. Dia tidak terganggu waktu aku mengatakan kamu kepadanya. Apakah karena Rah tinggal di kota jadi tidak terganggu dengan ketidaksopananku? Karena kabarnya, di kota orang tidak sopan jauh lebih banyak.
Kubuka satu-satunya jendela yang ada di kamar. Pemandangan kota di dini hari seperti melihat orang mati. Sunyi, senyap, tidak berdaya. Satu-satunya hal menarik cuma lampu-lampu yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hidup. Padahal, itulah pertanda bahwa kota ini mati.
Lampu-lampu.
Orang tidak membutuhkan lampu ketika dia hidup, orang membutuhkan lampu waktu dia mati. Karena saat seseorang itu mati, dia akan kehilangan cahaya dalam matanya. Makanya dia butuh lampu, supaya matanya bercahaya lagi.
Sebuah truk besar lewat di jalan depan sana menjadi satu-satunya benda yang bergerak.
Kupikir, cara mendapatkan petualangan hanya dengan cara menggembel dan pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengacungkan jempol untuk dapat tumpangan hidup selama beberapa jam sebelum sampai ke tempat tujuan baru.
Setelah bertemu dengan Rah, aku tahu pendapatku salah.
***
@dede_pratiwi Makasih Kak Dede Sayang :*
Comment on chapter PHI