Bayangan kita berlari-lari, mengejar gelap di ujung terang
Horizon yang kita pandang hanya batasan, yang tidak mampu terlewati
Atau mungkin bisa kita lalui, namun harus memilih
Apakah akan melayang ke horizon barat bersama senja?
Atau kita harus terbang menjemput bulan di timur sana?
Atau malah kita ‘kan tenggelam dalam hutan-hutan perjalanan?
Manapun, gelap akan berlari-lari menelan bayangan kita, memaksa kita sendirian dan bertahan
Manapun, bayangan akan berkhianat bersama gelap untuk membunuh kita dalam kesendirian
Mungkin, gelap memang sudah menjadi takdir kita
○○○○
LAKI-LAKI PERTAMA, HORIZON SENJA
Biar kuceritakan tentang seorang laki-laki yang membenci gelap, tapi menyukai lembayung di ujung barat. Tentang laki-laki yang sebetulnya punya fisik menarik, tapi tertutup oleh tindak tanduknya yang canggung di balik sikap tenangnya. Optimis dan ketakutan berbaur secara sempurna dalam sorot matanya. Dia punya tatanan rambut yang tidak sesuai. Terlalu nyaman dengan pakaian yang dikenakan meskipun setelan itu nyaris tidak pantas, mata yang takut melakukan kontak.
Laki-laki yang menjadi tokoh pertama yang akan aku perkenalkan kepada kalian. Si Horizon Senja.
Aku membuka tutup belakang ponsel pintar, mencabut baterai, dan mengambil kartu simnya begitu bus yang sedang kutumpangi hampir tiba di pemberhentian terakhir. Ini langkah yang bagus untuk memulai sebuah petualangan liar; membuang seluruh hal terakhir yang masih menghubungkanku dengan rumah.
Sebetulnya aku mau sekalian membuang ponsel pintar ini, tapi kupikir, suatu hari aku mungkin akan membutuhkannya. Aku perlu diingatkan berkali-kali, kalau sekarang aku hidup pada zaman ponsel lebih penting daripada kitab suci.
Aku memandang ke atas dari balik kaca jendela, menikmati saat-saat terakhir berada dalam bus mewah ini. Langit yang menggantung di atas sana memberikan atmosfer yang berbeda dalam benakku. Seolah ada batas tidak langsung antara langit di kota dan di kampung tempatku berasal, padahal itu adalah langit yang sama.
Dulu, setiap melihat penampakan kota di televisi, aku selalu merasa kalau kota menawarkan segalanya.
Gairah dan ketenangan. Semangat dan putus asa. Positif dan negatif. Kenyamanan sekaligus ketidakamanan. Semuanya. Kota menawarkan apa saja yang mereka miliki, dan mereka memiliki semuanya.
Sekarang aku tahu kalau perasaanku betul.
Aku menyukai semua itu. Kota berarti petualangan maha gila yang akan aku jalani ke depannya.
Bus berhenti di pemberhentian terakhir dan aku bersemangat untuk turun. Terminal terlihat sangat ramai dan sibuk. Kesibukan yang terasa tidak wajar di mataku yang terbiasa dengan sistem alon-alon asal kelakon di kampung.
Ini adalah kesibukan khas kota. Inilah kesibukan orang-orang kota.
Kartu sim ini kugenggam sesaat, membayangkan bahwa sekarang akan banyak pesan masuk atau telepon tidak terjawab dari tempat yang selama ini kusebut rumah. Tidak, itu bukan rumahku, itu rumah orangtuaku. Itu rumah mereka, surga mereka. Aku belum menemukan surgaku sendiri.
Kubuang kartu sim itu bersama dengan kantong plastik berisi muntahan ke jaring sampah terdekat. Ransel hitam berada di punggungku dengan kuat beserta satu tas berukuran sedang, berisi pakaian dan segala hal untuk menunjang hidupku. Mataku nyalang memperhatikan aktivitas terminal, tapi otakku berpikir dengan cepat.
Mula-mula, aku harus mencari tempat tinggal, pastinya. Kamar kos kecil mungkin bagus. Murah dan jauh lebih menghemat pengeluaran ketimbang tinggal di wisma murah yang disarankan Bapak untuk menjamin kenyamananku. Bapak lupa kalau aku tidak pernah membutuhkan kenyamanan, aku butuh petualangan.
Kemudian, setelah menemukan kamar kos aku akan mencari pekerjaan.
Aku mungkin ceroboh, tapi aku tidak bodoh. Semua petualangan pasti akan sangat menyenangkan, tapi tetap saja petualangan menyenangkan itu membutuhkan benda laknat bernama uang. Jadi, aku akan mencari uang sebanyak mungkin. Sampai kantong-kantongku tidak lagi cukup untuk menampung apa yang harus ditampungnya.
Aku duduk sebentar di bangku halte, mengamati keadaan dengan dagu terangkat. Hal yang aku pelajari ketika merencanakan pelarian ini adalah bertingkahlah seperti orang kota. Boleh menunjukkan wajah lelah, tapi jangan sekali-kali menunjukkan tampang tolol di manapun, apalagi wajah kebingungan. Terutama di pusat-pusat kejahatan seperti pasar dan terminal. Kamu bisa langsung selesai di detik pertama tiba di kota. Bahkan sebelum kamu sempat menikmati polusinya.
Kendaraan lalu lalang di depanku. Menyemburkan asap sekaligus rasa pengap yang menggumpal dalam paru-paru. Semua terlihat terburu-buru. Bahkan detik jamku seakan berputar lebih cepat di kota ini.
Tik-tok, tik-tok, tik-tok, tik-tik-tik-tik-tik.
Mereka berjalan dan berkendara dengan wajah frustasi. Seolah-olah gedung kantor tempat mereka bekerja akan hilang jika mereka terlambat seperempat detik saja. Seolah bersantai akan membakar mereka dalam penderitaan yang berkepanjangan.
Mereka itu, tidak pernah sadar bahwa kepenatan yang mereka rasakan, beban hidup yang semakin berat itu terjadi karena mereka menaikkan standar yang sebetulnya tidak pernah ada. Mereka terlalu mengejar dunia, sampai dunia pun dengan leluasa mempermainkan hidup dengan standar palsu yang terpasang tinggi-tinggi di pucuk langit. Manusia-manusia tolol yang tidak menghargai hidup itu telah terjebak ke dalam standar yang mereka ciptakan sendiri.
Sebuah selebaran di tiang listrik di sebelah tempat dudukku menarik perhatian. Selebaran itu terbuat dari karton dan berwarna kuning terang. Terlihat cemerlang dan sangat mencolok di antara puluhan iklan sedot WC dan reparasi AC yang tumpang tindih.
Selebaran itu bertuliskan tentang lowongan kerja penuh waktu di Lude’s Cave. Gua Lude.
Lude’s Cave, itu nama yang sedikit menjengkelkan. Aku benci gelap dan lembab. Aku benci gua ataupun tempat yang mirip dengan itu. Aku bisa membayangkan tempat seperti apa yang akan aku datangi ini. Bukan sebuah gua betulan, tapi pasti menyerupai itu.
Aku bedecih ketika ingat kalau aku sedang tak punya pilihan. Aku butuh dana untuk menyokong kehidupanku. Dan Lude’s Cave menjadi pilihan yang bagus.
Setelah menghabiskan roti dan membuang bungkusnya sembarangan, aku langsung mencabut selebaran dan berdiri. Beberapa bapak-bapak pengemudi betor alias becak motor langsung ikut berdiri, menawarkan jasanya yang berbayar. Tapi aku menolak. Aku mungkin tidak tahu persis tempat ini, tapi aku tahu ini tidak jauh.
Karena dalam selebaran tertulis jelas kalimat 500 m dari terminal bus ke arah tenggara, seberang perempatan.
***
Waktu aku bilang aku benci tempat yang mirip sama gua, itu serius. Aku benci nama Lude’s Cave, karena Cave berarti gua. Tapi, aku lebih benci lagi pada Lude’s Cave setelah melihat penampakan luarnya yang lebih mirip sama rumah tua tidak terurus ketimbang kafe.
Dan ini bukan jenis rumah tua yang menawarkan kesan elegan!
Jendela bermodel kampungan warna hijau tua dan dindingnya warna putih. Semua warnanya kusam. Kontras sama bangunan-bangunan di kanan-kiri yang mewah dan mentereng.
Namun sebenci-bencinya dengan penampilan sesungguhnya Lude’s Cave, aku lebih benci kepada laki-laki yang duduk di meja tengah, di bawah kipas angin tua yang berputar disertai bunyi memilukan tulang rusuk.
Usia laki-laki itu mungkin hanya lebih tua beberapa tahun dariku. Dia, sebetulnya, punya wajah yang teramat sangat maskulin. Tapi, ada sesuatu pada wajah itu, yang membuat keseluruhan fitur wajahnya menjadi suram.
Rambutnya tebal, hitam legam, dan serasi dengan kulit langsatnya. Rambut itu enggak panjang, tapi juga enggak pendek. Melewati telinga, meskipun tidak sampai ke pangkal leher dan luar biasa berantakan. Mengikal di atas alis.
Matanya seperti mata beruang, pupil hitam besar dengan iris cokelat terang yang dalam. Tatapannya tidak terfokus, seperti malas melakukan kontak dengan siapapun.
Setelan yang dipakainya cuma kaos lengan panjang bertuliskan Nirvana warna hitam yang mungkin dia beli waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Celananya jeans merek terkenal. Dulu kurasa berwarna biru, tapi sekarang luntur dan jadi berwarna abu-abu.
Sepatunya agak lumayan, Chuck Taylor putih gading, nampak baru. Satu-satunya yang mencolok, sekaligus satu-satunya yang bisa dibanggakan dari penampilan laki-laki itu secara keseluruhan.
“Selamat datang,” katanya menyambutku sambil mengunyah keripik tempe. Dia melirikku sekilas, lalu fokus pada stoplesnya.
“Aku bukan pelanggan,” aku menjawab kaku sambil meremas selebaran di tangan.
“Bukan.” Dia tersenyum, “Saya juga bukan. Udah lama sejak ada orang yang masuk ke sini sebagai pelanggan.”
“Aku mau melamar kerja. Pengumumannya ada di tiang listrik.” Kuacungkan brosur kuning menyala kepadanya. “Kamu sendirian, kayaknya belum ada yang lamar pekerjaan ini.”
“Oh, kerja,” dia bergumam. “Gajinya dikit. Tempat ini enggak punya cukup laba untuk kasih gaji besar.”
Tanpa diberitahupun, kurasa aku sudah menebak kalau tempat ini enggak pernah ada labanya. Tidak gulung tikar saja sudah untung. Aku berdiri dengan bertumpu di kaki kiri, sementara dia masih asyik mengambil satu demi satu keripik tempenya.
“Aku bisa dapat kamar gratis, kayak yang ditulis di brosur?”
“Ya.”
“Dapat jatah makan?”
“Ya. Enggak ada pelanggan yang bisa habiskan makanan di dapur.”
“Kalau gitu enggak masalah berapapun jumlah gajiku.”
Untuk pertama kalinya sejak aku masuk ke dalam kafe ini, dia melihat aku. Betul-betul melihat, bukannya menoleh sekilas seperti yang tadi dia lakukan. Mata beruangnya menyipit, menyiratkan pandangan yang membuatku enggak nyaman. Pandangan curiga bercampur geli.
“Siapa namamu?”
“Wii.”
“Wii?” Dia menggelengkan kepala. “Umur?”
“18 tahun, 3 bulan lagi.”
“Kuliah?”
“Enggak.”
“Baru lulus SMA?”
“Ya.”
“Mau ujian masuk universitas?”
“Enggak.”
Sudut bibirnya terangkat lagi. Dia mengamatiku dari atas ke bawah, mengamati agak lama pada tas besar yang kujinjing, lalu kembali fokus pada stoples keripik tempe. “Kamu kabur dari rumah, iyakan?”
Aku menghela napas dan langsung membuang selebaran itu ke sudut ruangan. Di situ tidak ada tempat sampah, atau menurut pikiranku, ruangan itu adalah tong sampah yang sebenarnya, mengingat betapa kotornya di dalam sana. Menambahkan selembar kertas lagi di dalamnya mungkin bukan masalah.
“Kurasa lowongan pekerjaannya enggak pernah ada. Maaf.”
“Kamu diterima,” katanya tepat ketika aku memegang handle pintu. Aku menoleh.
“Apa?”
“Kamarmu ada di lantai dua pintu hijau. Dapur ada di balik pintu di belakang meja bar dan semua ransum makanmu ada di sana. Bagus kalau kamu bisa makan semuanya, jadi tidak ada yang terbuang. Tapi, tolong sisakan untuk kucing-kucing di ujung gang.”
Dia berdiri, membuatku sadar betapa tingginya dia. Punggungnya agak membungkuk dan bahunya tidak seimbang.
“Saya Kaisar,” katanya. “Yang punya tempat ini. Namamu Wii, yang kerja di sini.”
Aku menyipit. “Kenapa diterima?”
“Kenapa tanya?”
“Aku pelarian, kan?” Aku mengedarkan pandangan secara menyeluruh ke sudut ruang. “Tempat ini aneh. Kamu aneh.”
“Kami butuh satu orang aneh lagi untuk melengkapi,” katanya. “Remaja cewek pelarian. Pemberontak perempuan. Cukup aneh untuk bisa masuk aliansi.”
Dia meletakkan stoples keripik tempe ke rak yang menempel di dinding. Di sana, berjejer banyak stoples kaca serupa yang sudah kosong. Dan lebih banyak lagi yang berisi macam-macam kudapan; manisan pala, keripik tempe.
Aku melihat dengan waspada ke punggung lebarnya yang tertutup kaus. “Kamu bandar sabu?”
“Bukan, saya pemilik Lude’s Cave.”
Dia berbalik dan berjalan mendekatiku sambil merogoh ke belakang celana jeansnya. Mau apa dia? Kujatuhkan tas yang dari tadi kujinjing sambil mengokohkan pijakan di lantai. Menghitung langkah kakinya yang terdengar menggema dalam ruangan ini.
Tangannya mendadak teracung dan menjatuhkan kunci ke atas tanganku yang sudah memasang kuda-kuda pertahanan. Kupikir tadi dia mau menusukkan pisau atau apa, ternyata hanya memberikan kunci. Aku melempar pandangan bertanya padanya.
“Kunci. Jangan hilang, itu tinggal satu-satunya. Enggak perlu ramah-ramah sama pelanggan kalau enggak mau. Bude Rah datang setiap jam 4 untuk masak semua menu, dia punya kunci satu lagi. Kalau ada pelanggan, tugasmu cuma manaskan di microwave.” Dia berhenti sebentar, “Itu juga kalau ada pelanggan yang datang.”
Lalu, dia keluar begitu saja. Meninggalkanku di dalam sini sendirian. Kipas angin di tengah ruangan berderit-derit, seakan minta tolong untuk diistirahatkan, menjadi satu-satunya suara yang menemani. Setelah tertegun beberapa saat, aku menyadari sesuatu.
Aku berbalik dan membuka pintu untuk mengejar dia. Laki-laki itu. Kaisar. Tapi dia sudah tidak ada. Kutolehkan kepala ke kiri dan kanan trotoar, tapi dia benar-benar tidak ada. Seakan-akan menghilang.
Kunci di tanganku adalah bukti kalau dia betul-betul ada. Aku berputar, berusaha mencari jejaknya. Nihil. Aku menggigit bibir dengan perasaan resah. Mengapa ada orang yang begitu mudah memberikan kunci rumah kepada orang yang baru dikenal? Tempat macam apa dan orang seperti apa yang hidup dalam rumah hantu ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu otomatis tersangkut dalam pikiranku dan membuatku tidak nyaman. Tapi, bukankah tidak ada salahnya menginap satu malam sebelum mencari tahu segala hal? Kugenggam kunci itu erat-erat sambil kembali masuk ke Lude’s Cave. Kubalik papan di pintu menjadi closed dan menaiki tangga ke lantai dua. Di ujung tangga, aku bisa melihat foto laki-laki itu tergantung secara menyedihkan. Berdebu dan bersawang.
Kucopot bingkai itu dari dinding dan kuletak di atas meja di sebelahnya lalu bergegas membuka satu-satunya pintu yang berwarna hijau tua. Pintu kamarku dan melakukan scanning singkat.
Secara keseluruhan, kamar ini dapat diterima. Kecil, tapi masih bisa diterima. Jelas kamar ini kosong, tapi aku enggak merasakan ada satu debupun yang melayang di udara. Di sini bersih, tidak seperti bagian lain rumah. Seolah-olah, kamar ini selalu ditempati. Kulemparkan tas jinjing ke atas ranjang, kemudian kubuka satu persatu kancing kemeja yang melekat di tubuh.
Kamar ini aneh. Kafe ini aneh. Laki-laki itu ..., jauh lebih aneh. Siapa dia? Kenapa dia menerimaku jadi pegawai? Aku melemparkan diri ke sebelah tas jinjing dan menutup mata, tanpa berniat untuk berberes terlebih dulu.
Hari di mana aku menceburkan diri ke Lude’s Cave, hari itu adalah hari di mana aku berurusan dengan hal-hal aneh. Termasuk diriku sendiri.
***
@dede_pratiwi Makasih Kak Dede Sayang :*
Comment on chapter PHI