Sejak pagi tadi, ruang kelas 3 IPS H terdengar paling riuh dibanding kelas lain yang lebih fokus bekerjasama membuat dekorasi untuk acara festival akhir tahun. Semua tampak santai saling bergurau. Sesekali mereka saling mengejar, menimpuk, bahkan memiting.
Hanya beberapa murid yang memperhatikan peringatan guru yang kebetulan lewat untuk mengabsen kelas lain.
Langit di luar tampak sendu, awan gelap tampak bergerak dengan cepat tertiup angin. Beberapa kali sinar matahari tertutup awan, namun sesekali secercah sinar mengarah pada satu titip seperti lampu sorot di tengah panggung.
“Kenapa kamu sekarang sering memakai kaos dalam berlengan panjang dan sarung tangan?” Jonathan bertanya perlahan.
Ia tak bisa memastikan emosi Mikael kali ini.
Mikael menutup buku catatannya sembari menghela napas. Ia belum melakukan hal yang mengerikan, namun Jonathan sudah terlihat bergidik dan kembali ke mejanya. Bersikap seolah ia tak pernah menanyakan apa pun.
Mikael melirik ke meja kedua dekat pintu kelas, Samuel sendiri terlihat sibuk dengan kertas karton dan guntingnya. Mejanya dipenuhi serakan lem, plastik hitam besar yang berisi potongan kertas putih kecil.
Samuel bekerja sendiri di tengah teman-temannya yang sibuk dengan obrolan mereka.
“Jo,” panggil Mikael dari bangkunya.
“Oi?” Jonathan seketika menjawab dengan spontan.
“Festival sekolah dilakukan antar kelas atau antar individu?”
“Antar kelas.”
“Lalu, apa yang sudah kamu lakukan untuk acara itu?” tanya Mikael.
Jonathan terdiam.
Tubuhnya mematung, tapi matanya melirik ke sekitarnya. Pandangannya tertuju pada Samuel yang terlihat bekerja sendiri untuk persiapan acara festival. Ia tahu maksud Mikael agar membantu Samuel.
Tapi, bukankah sejak perdebatan mengenai Samuel yang berpacaran dengan anak IPA itu artinya mereka harus memusuhi Samuel?
Meski begitu, Jonathan masih tak terlalu yakin dengan kesimpulannya terhadap sikap Mikael ini. Nada suara Mikael terdengar seperti memerintahnya untuk membantu Samuel. Ia baru yakin setelah Mikael beranjak dari bangkunya dengan kasar—menarik perhatian kelas.
Mikael berkata, “acara festival kelas harusnya dipersiapkan satu kelas.”
Seluruh pasang mata di kelas menatap ke arah Mikael yang terlihat dingin dengan temperamen yang buruk. Tak ada yang benar-benar berani menatap mata Mikael langsung. Mereka hanya menatap ke arah Mikael.
“Lalu kenapa kalian sibuk mengobrolkan hal yang tidak penting dan membiarkan ketua kelas kita menyiapkan semuanya sendiri?!” suara berat Mikael yang khas terdengar semakin meningkat dan diakhiri dengan teriakan penuh emosi.
Percayalah, seluruh kelas lebih segan pada Mikael daripada pada guru mereka.
Kenapa?
Entahlah, mereka melakukannya secara alami, tanpa alasan. Hanya terjadi begitu saja. Seolah Mikael memiliki wibawa dari dalam dirinya.
“I... itu karena kemarin Samuel berbuat salah dan berkelahi denganmu. Kami pikir itu artinya dia adalah musuh,” salah satu anak laki-laki angkat bicara dengan terbata-bata.
Tanpa menunggu reaksi Mikael yang lebih mengerikan, seluruh murid bergegas mengerubungi meja Samuel. Menyambar apa pun yang ada di sana, bertanya apa yang harus dilakukan dengan semua bahan itu.
“Setidaknya, dia tidak merugikan kita... seperti yang dilakukan Amadeo. Berhenti menghakimi dia,” kata Mikael.
Artikan saja sikap Mikael kali ini sebagai tanda permintaan maafnya pada Samuel. Mikael bukan tipe orang yang akan secara terang-terangan mengatakan ‘maaf’, meskipun ia melakukan kesalahan. Meskipun ia merasa menyesal dan ingin membuat segalanya kembali seperti semula, ia tidak pernah melakukannya dengan cara baik, seperti duduk bersama untuk meminta maaf dan berbicara baik-baik.
Mikael menghampiri meja Samuel. “Aku izin untuk UAS susulan di gedung IPA,” ucapnya.
Samuel tertegun dengan sikap sopan temannya, namun akhirnya ia mengangguk juga.
Sebagai rasa terimakasih, Samuel mengatakan, “fokuslah mengerjakan, jangan khawatirkan yang di sini,” dengan senyuman yang menyumbulkan gigi gingsulnya.
***
“Waah, sudah kuduga. Perpustakaannya lebih ramai dibanding kelasnya,” bisik Pak Toni yang baru saja membuka pintu perpustakaan di gedung IPA.
“Ruang di ujung sana, sudah bapak sediakan lembar soal dan lembar jawaban. Tutup pintunya dan kerjakan di sana. Kalau sudah selesai, bapak tunggu di meja penjaga perpustakaan,” jelas Pak Toni sembari menghampir penjaga perpustakaan dan langsung mengobrol begitu melihat pintu ruang ujian Mikael ditutup.
Sedang ada UAS susulan.
Begitulah tulisan yang tergantung di depan pintu ruang diskusi kecil dalam ruang perpustakaan ini. Ruangan yang memang selalu digunakan untuk hal-hal seperti ini.
Beberapa yang lewat ruang itu hanya membacanya sekilas, mengerutkan alis, kemudian tak acuh.
Termasuk Fania, ah, bukan... itu Nila. Anak perempuan berdagu lancip dengan mata bulat dan wajah yang kecil, dengan rambut yang dikucir ekor kuda.
Anak perempuan itu baru saja kabur dari tanggungjawabnya.
Sebentar.
Bukan benar-benar tanggungjawab Nila untuk memimpin teman-temannya dalam persiapan festival. Ia sangat tak peduli. Robi sudah meminta karya sketsanya dan semua akan selesai dengan memberikan kumpulan sketsa itu jika saja ide itu diterima.
Tapi, kemarin Fania baru saja mengusulkan sebuah ide spektakulernya, dan Nila tak ingin terlibat. Ia tak peduli jika seluruh temannya menilai Tifanny Amalia Deilo itu bukan orang yang bertanggungjawab, toh, mereka menilai Fania... bukan Nila.
Bagus bagi Nila, jika Fania mendapat masalah. Ia membenci Fania sejak ia menjadi penghuni baru dari tubuh ini, tentu saja karena mulut Fania yang mudah menyinggung perasaan.
Fania: "Waaah, Nila. Kau benar-benar yang terburuk!"
Nila hanya tersenyum, hanya bibir kanannya yang terangkat. Begitu Fania berkomentar, ia diam. Tak acuh dan tetap melakukan sesukanya. Ia lebih berfokus pada rasa dingin ruang ber-AC ini.
Dua anak perempuan di seberang rak buku Nila itu tengah berbisik sesuatu yang bisa Nila dengar.
“UAS susulan? Memangnya teman sekelas kita itu sudah siuman?” tanya seorang anak perempuan dengan gigi yang berbehel dengan karet behel berwarna hitam.
“Veero maksudmu? Aku tidak melihat dia di kelas tadi,” jawab anak perempuan lain dengan model rambut bob.
Veero? Sepertinya menarik bagi Nila.
Nila memutari rak buku di depannya. Ia berdehem mendekati dua anak perempuan itu. Kemudian merangkul keduanya seperti seorang atlet yang sedang membuat strategi dengan timnya di lapangan.
Kedua anak perempuan itu pun hanya menatap Nila heran, mereka tak mengenalnya. Benar, murid kelas IPA tidak saling mengenal kecuali teman kelasnya, ketika ada yang naik level ke kelas High atau Medium, atau turun level ke kelas Low atau Medium. Maka mereka akan melupakan orang yang pergi itu.
“Apa kalian baru saja membicarakan tentang Veero?” tanya Nila yang semakin mengeratkan rangkulannya karena mereka memberontak.
“Ya, dia teman sekelas kami—3 IPA M.”
Nila mengernyitkan alisnya sebelah. “Dengar! Aku tidak terbiasa berbicara dengan kaum rendah, karena aku selalu ada di kelas High dan aku selalu ranking pertama, yang artinya aku adalah yang terpintar di antara kalian semua kelas 3,” ucapnya sembari menatap keduanya bergantian.
Fania: "Wahhh, lihat! Siapa yang sedang membanggakan siapa? Itu hasil kerja kerasku! Kamu memamerkannya dengan sangat ahli!"
Veero: "Maaf, Fania. Bukan berarti aku berpihak pada Nila. Tapi, Nila tolong berusahalah lebih keras."
“Jadi, maksud kalian di kelas 3 IPA M ada murid yang bernama Veero?”
“Ya.”
“Ceritakan bagaimana dia mati?”
“Mati? Bukankah itu terlalu kasar?” seru perempuan berbehel hitam.
Anak perempuan berambut bob itu menyela. “Tidak, dia masih hidup. Setidaknya, belum ada guru yang mengumumkan kematiannya.”
Nila melepaskan rangkulannya. Kemudian menatap keduanya bergantian. “Jadi, dia masih hidup?”
“Ya, dia sempat koma karena jatuh terjun dari tangga darurat waktu itu,” jelas perempuan berbehel dengan berbisik lebih keras. “Bahkan suaranya sampai terdengar keras, seperti kelapa yang jatuh dari pohon,” lanjutnya sembari bergidik saat tatapannya menerawang jauh.
Anak perempuan satunya mengangguk. “Kukira kepalanya mendarat lebih dulu, karena waktu itu dia sempat hampir bangun sambil memegangi kepalanya. Mungkin berkunang-kunang, ya?” terangnya.
“Ya, aku juga yakin begitu! Dia bahkan langsung pingsan waktu itu,” sahut temannya, “lalu tidak pernah bangun lagi, koma,” lanjutnya.
“Pasti dia sekarang sudah sadar dan UAS susulan di dalam sana.”
Nila mengangguk. Menatap pintu yang tertutup itu. Sayang sekali, ia pikir nama Veero tidak banyak orang yang memakainya, tapi ternyata ada orang lain juga yang memiliki nama yang sama. Ia menatap dua anak perempuan itu bergantian, memastikan sekali lagi bahwa mereka tidak sedang membodohinya.
“Maaf, Veero. Itu bukan kamu,” ucap Nila lirih sembari menatap pintu dengan gantungan bertuliskan sedang ada UAS susulan.
Veero: "Bisakah setidaknya, kamu menemui orang itu?"
Fania: "Sayang sekali, Nila tidak akan melakukan itu."
Nila tersenyum khas meremehkan orang, bibir kanannya terangkat sebelah. “Aku tidak akan melakukannya, jika Fania yang meminta,” bisiknya, sangat lirih, lebih lirih dari suara angin.
Hampir 2 jam Nila menunggu orang yang bernama Veero dari kelas 3 IPA M itu keluar dari ruangan itu. Ia bahkan sudah duduk di meja baca dekat pintu itu, kemudian berkeliling ke seluruh rak buku, menggambar di selembar kertas kecil, membaca beberapa buku tentang cara memadukan warna untuk cat air, dia menguap 5 kali di meja bacanya.
Mikael baru saja membuka pintu. Pandangan pertamanya adalah seorang anak perempuan dengan wajah kecil dan rambut yang diikat ke atas, serta tatapan sombong sepertinya. Mikael tak berminat membuat keributan di kandang orang, jadi ia memilih mengabaikan anak perempuan itu.
“Veero?” anak perempuan itu memanggil seseorang, entah, siapa, tapi Mikael merasa tak nyaman karena ia terus menatapnya. Bahkan ia bisa merasakan anak perempuan itu menghujam punggungnya dengan tatapan dan panggilan pada orang yang bernama Veero.
“Hei, anak jangkung kurus kering! Apa kamu tuli?”
Mikael merasa makian itu ditujukan padanya, berhubung dirinya memang tinggi dan kurus. Ia berbalik badan. Menatap anak perempuan yang gaya selangit itu, lalu menghampirinya ke meja baca.
“Aku tahu pesonaku sangat kuat. Tapi menggunakan trik murahan seperti salah mengira orang seperti itu... tidak mencerminkan kalau kamu orang yang pantas masuk kelas IPA,” ucap Mikael sembari memasukkan tangan kanan ke saku celana abu-abunya, sementara tangan kiri membawa lembar jawaban yang sudah terisi.
Nila tampak kesal. Kesal dengan anak kelas IPA M yang belagu dan sok keren, juga kesal karena Fania menertawakannya di dalam sana.
“Maaf, aku tidak berminat berkenalan dengan anak IPA.”
“Kamu bukan Veero?” Nila menanyakan ulang.
“Wah, kamu benar-benar ingin berkenalan denganku, ya?” Mikael tersenyum ramah. Selalu, senyum yang dipakai untuk mempermainkan banyak perempuan. Senyum yang selalu dipakai untuk memikat, sebelum ia menunjukkan sikap dinginnya ketika mangsanya sudah terpikat.
Mikael menunjukkan lembar jawab UASnya.
Tertulis dengan huruf kapital yang sangat besar, MIKAEL CANDRA.
Nila juga sempat membaca kelas dan nomor induknya, 3 IPS H, 321xxx. Nila tak bisa mengingat digit angka selanjutnya. Ia hanya bergumam, mengutuk dua anak perempuan yang membodohinya tadi.
Kemudian Mikael pergi dengan perasaan yang sangat keren. Ia mencari Pak Toni untuk memberikan lembar jawabnya, kemudian mengecek ponselnya.
Seharusnya, Amadeo sudah memberinya kabar. Ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok Amadeo.
Dapat! Anak laki-laki berambut mangkuk itu di depan pintu masuk perpustakaan. Ia baru saja memberikan isyarat agar Mikael membuka ponselnya.
Anak yang bicara denganmu tadi adalah Fania, Tifanny Amalia. Itu kesempatan emas, dia mengajakmu bicara duluan.
Amadeo keparaaaat! Kenapa kamu baru bilang sekarang!!!
Mikael memelototi Amadeo dari meja yang berbentuk seperti meja resepsionis.
Mikael menyisir rambutnya yang berantakan menutupi dahinya, dengan tatapan tajam ia kembali mencari sosok perempuan yang disebut sebagai Fania yang masih tak berpindah dari tempat sebelumnya. Kemudian ia buru-buru menghampiri Nila yang dikenal semua orang sebagai Fania.
Mikael berdehem di belakang Nila yang masih sibuk membaca bukunya di depan rak buku.
Anak perempuan dengan rambut diikat ke atas itu tampak tak peduli, bahkan tanpa melirik pun ia sudah tahu bahwa orang itu adalah Mikael.
“Aku memberikanmu tiket emas untuk berkenalan denganku.”
Nila membulatkan matanya begitu mendengar anak laki-laki ini berbicara dengan penuh percaya diri.
“Kamu Mikael Candra dan bukan Veero. Itu sudah cukup, terimakasih,” ucap Nila tanpa berlama-lama menutup bukunya.
“Aiiss, anak keparat ini,” Mikael memaki dengan sangat lirih. Amat sangat lirih, namun pendengaran tajam Nila mampu menangkapnya. Bahkan ketika Nila memelototinya, Mikael tidak terlalu menyadari bahwa Nila mendengar makiannya.
Masih lengkap dengan sarung tangan dan kaos dalam berlengan panjang, Mikael duduk di dekat rak buku tempat Nila membaca. Setidaknya, mereka harus saling berbicara.
Mikael duduk menghadap jendela kaca, keduanya menatap jauh ke luar sana. Beberapa daun yang belum kering pun rontok dan berterbangan tertiup angin. Halaman belakang gedung IPA pun terlihat kotor dengan daun dan ranting yang berserakan. Ruangan ini hening, begitu juga kedua orang ini.
“Kamu kelas 3 IPS H? Kamu kenal Samuel?” tanya Nila yang dikenal Mikael sebagai Fania sembari duduk di samping Mikael.
Mikael sempat melamun beberapa saat. Tapi, ia lekas tersadar. Lalu mengerjap beberapa kali setelah menatap perempuan itu dalam-dalam.
“Ah, iya. Dia ketua kelas kami.”
Nila mengangguk. Kemudian menatap ke arah luar jendela lagi. “Aku sudah beberapa kali menghubungi dia, tapi tidak ada jawaban. Apa dia sibuk?”
Mikael mengangguk. “Dia bekerja keras untuk persiapan festival. Anak kelas kami sedikit sulit diatur, jadi dia harus bekerja ekstra.”
Padahal dia bilang akan membalas pesan secepatnya. Nila tampak sedikit kecewa mendengarnya.
Udara AC terasa semakin dingin, tapi Mikael malah melepaskan sarung tangan hitamnya sebelah.
Perlahan. Sedikit ragu.
Mikael menggenggam tangan kanannya yang sudah tidak dibalut sarung tangan, menyelipkan di antara lututnya.
Ia ingin mengetahui tentang pacar Samuel ini, tapi ia tak benar-benar yakin jika harus memegang tangannya daripada mendekatkan diri secara alami. Jantungnya berdegup kencang. Ia gemetaran, bahkan terdengar dari suara napasnya.
Mikael sedang gugup, tapi siapa pun yang melihatnya pasti mengira kalau anak kurus kering ini sedang kedinginan.
“Fania, Samuel memintaku untuk...” Mikael lekas menggenggam tangan kiri Nila. Ia tak melanjutkan kata-katanya, juga tak memperdulikan wajah penasaran Nila akan kata-katanya barusan.
Mikael tak berkedip, bahkan semakin terbelalak. Kemudian memerah, sebelum akhirnya meneteskan air mata. Napasnya mungkin lebih sesak dari sebelumnya.
Ia melihat anak perempuan terbenam di kubangan darah kental di tepi jalan bertebing. Seragam putihnya bahkan berubah menjadi merah basah. Kemudian berganti dengan gambaran lain, anak perempuan itu berkali-kali menangis dan mendapat ancaman keras dari seorang wanita gendut separuh baya, tak hanya sekali.
Mikael melihatnya lebih dari tujuh kali dengan durasi yang sangat cepat. Kemudian di kenangan lain, anak perempuan itu menangis sembari memohon pada seorang wanita separuh baya bertubuh lebar dan berambut keriting. Tapi wanita tua itu terus mendorong anak perempuan itu ke dalam ruangan sempit, meski anak itu berusaha untuk keluar dari pintu itu lagi.
Saat itulah, air mata Mikael menetes tanpa mengalir di pipinya. Ia sangat tahu bagaimana rasanya terkurung.
Ia lekas melepaskan tangan Nila.
“Kamu menangis?” Nila bertanya terbata dengan wajah terkejut. Anak laki-laki belagu dengan rasa percaya diri yang tinggi tadi, menangis? Nila tak percaya, tapi itulah yang terlihat.
Mikael memalingkan wajahnya sembari memperbaiki ekspresinya agar tak terlihat aneh.
“Kamu pasti sedang berduka karena saudaramu ada yang meninggal,” ucap Mikael sembari berbalik menatap Nila.
Nila mengerutkan alisnya, bingung. Ia menggeleng pelan sembari menatap Mikael yang tetap terlihat aneh di matanya.
“Saudaramu tidak ada yang meninggal?” tanya Mikael perlahan. “Kecelakaan? Di jalanan bertebing?”
Fania mendengarnya dengan jelas! Tepat sekali! Itu adalah kematian Nila.
Untungnya, Nila tak pernah tahu detail kematiannya, dan juga tak memiliki ingatan apapun selain namanya. Bagaimana Mikael tahu?
Fania penasaran. Tapi, ia tak ingin Nila curiga dengan bersikap tiba-tiba mengambil alih peran.
@yurriansan uh she up..nanti ku baca
Comment on chapter satu