Lelaki itu terbangun setelah merasakan dadanya sesak akibat mengalami mimpi buruk. Setiap bangun tidur selalu saja ada yang mendatanginya di alam mimpi. Entah harus seperti apa lagi agar hidupnya tenang.
Ia melangkah mendekati lemari pendingin dan mengambil air mineral dalam botol, lalu meneguknya hingga tersisa setengah. Pandangannya menerawang entah pada satu titik dengan pemikiran merambah bebas tanpa sadar.
"Yasa." Ia menoleh begitu namanya disebut. Seorang wanita tua tengah berjalan mendekat ke arahnya.
"Mimpi buruk lagi?"
"Iya, Oma."
Wanita itu membelai surai hitam lelaki yang ia panggil Yasa penuh kasih sayang. Jika melihat kedua matanya siapa saja pasti menemukan kesedihan. Meski sudah lewat beberapa tahun lamanya, namun luka itu masih tetap bersarang.
"Coba periksakan diri ke dokter, Nak. Bagaimanapun Oma khawatir kalau kamu masih terus bermimpi buruk begitu."
Tapi Yasa tidak suka, ia memang sering mendengar nasihat dari Oma Kirana agar mau pergi ke psikiater dan berkonsultasi tentang mimpi buruk yang sering mendatanginya itu. Menurutnya hanya membuang waktu, Yasa bukan lagi anak kecil yang tidak bisa mengatasinya.
"Aku sudah terbiasa dengan itu, Oma."
"Kamu suka sekali menyangkal, Yasa. Ya sudah itu terserah padamu saja. Oma hanya menyarankan supaya kamu lebih bisa menikmati hidup. Lupakan saja masa lalu, Nak."
Yasa hanya mengulum senyum simpul dan mengiyakan kalimat Oma lewat anggukan kepala. Sejujurnya di dalam hatinya kini, kasus sang ayah adalah prioritas utamanya.
"Pergi dulu ya, Oma."
"Yas—" Ia menoleh kembali pada Oma sambil menaikkan alis menantikan lanjutan kalimatnya. "Kamu akan ke rumah sakit lagi?" tanya Oma.
"Iya, Oma. Satu-satunya saksi yang bisa aku bawa adalah polisi itu."
"Semoga berhasil, Nak."
"Terima kasih, Oma."
Dirinya juga berharap polisi itu segera membuka matanya setelah koma selama dua belas tahun lamanya. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi, kasihan ayahnya nanti.
***
"Kenapa kamu masih terus di sini? Saya sudah muak melihat wajah kamu, pergi dari sini!" Bentakan demi bentakan selalu Abi terima sejak tiga tahun terakhir. Hingga ia harus bersabar menunggu hanya untuk bisa membawa polisi itu dan menjadikannya saksi di persidangan nanti.
"Kamu benar-benar tidak punya muka ya, ayah kamu itu orang yang sudah bikin suami saya koma selama Ini. Kamu mau apalagi, hah?"
Abi hampir saja akan membiarkan air matanya lolos begitu kata ayah yang seorang pembunuh keluar dari mulut wanita di hadapannya kini. Semua orang pasti berpikir hal yang sama. Menganggap bahwa ayahnya adalah seorang penjahat ulung, yang sudah berani mengambil kehidupan orang lain. Tapi pada kenyataannya polisi itu tidak benar-benar meninggal. Seharusnya ayahnya tidak dihukum seperti itu. Pasti sekarang ayahnya masih bersamanya kalau saja para penuntut itu bisa sedikit berpikir dengan benar.
"Saya hanya perlu bicara dengan beliau saja."
"Hah! Bicara apa? Membujuknya lagi untuk menjadi saksi? Bagimana kalau suami saya tidak bangun?" Suara wanita itu semakin parau. Sempat berhenti karena terisak beberapa saat.
"Saya yakin beliau akan sadar, Bu. Saya minta maaf kalau memang selalu mengganggu, tapi ini penting bagi saya. Saya mohon..."
"Pergilah! Saya tidak mengerti lagi..."
Meskipun dengan nada angkuh Abi bersyukur karena diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan rawat polisi tersebut. Dia masih saja setia menutup mata tanpa lelah dan tanda-tanda akan terbangun. Abi terus berdoa setiap datang ke sana. Duduk di sebelah bangsal yang menjadi sandaran pria itu agar segera sadar, demi ayahnya, demi sang pelindung mata pedang.
Masih selalu diingat hari itu di mana Abi menangis kesetanan setelah mengetahui bahwa ayahnya dicap sebagai seorang pengedar narkoba dan pembunuh, lalu mendapat hukuman mati. Hari itu pagi-pagi sekali Abi meminta Kashaf mengantarnya ke lapas. Kemudian Abi sadar, hidupnya dimulai setelah hari itu. Kini ia akan berusaha menjadi pembela untuk ayahnya.
"Pak, saya Abi yang selalu mendatangi Bapak di sini. Semoga Bapak masih ingat saya dan cerita soal ayah saya. Saya mohon bertahanlah, karena Allah tidak akan melupakan Bapak. Saya yakin Bapak akan segera sadar."
"Ayah saya sudah tidak ada lagi di dunia ini, Pak. Dia rela mendapat hukuman untuk dosa yang tidak ia perbuat. Saya percaya seratus persen padanya karena dia bukan orang jahat. Saya—"
Bip.. Bip.. Bip..
Abi tersentak lalu menoleh ke alat pendeteksi jantung yang selama ini menjadi penopang hidup pria itu. Ia kalap dan langsung menekan tombol alarm untuk memanggil dokter.
Muncul sang istri dengan panik masuk dan menghampiri suaminya. Jantungnya berpacu cepat khawatir terjadi sesuatu yang tidak bisa ia bayangkan.
"Pergi kamu! Cepat pergi!"
"Tapi—" Abi tidak ingin pergi dari sana sebelum memastikan apakah suara alat itu adalah pertanda bahwa polisi itu akan sadar. Jadi ia tetap berdiri tegap meski perempuan itu terus berusaha mengusirnya.
"Ada apa ini?" Seorang dokter datang dengan diikuti oleh beberapa perawat dan suster.
Abi melangkah seolah menjadi wali dari pria itu. "Saya melihat bibirnya hampir bergerak Dok, setelah itu EKG-nya berbunyi nyaring."
"Tenang, saya akan periksa sebentar. Suster—" Seorang perempuan berpakaian putih mendekat ke arah dokter saat merasa terpanggil.
"Iya, Dok."
"Katakan pada keluarga pasien untuk menunggu di luar."
"Baik, Dok."
Abi menatap nanar perempuan yang saat ini tengah menunduk dalam dengan isakan yang terus keluar dari mulutnya. Abi pun begitu, sebenarnya hatinya ikut terluka. Bagaimana jika itu pertanda buruk? Apa Abi harus merelakan nama ayahnya akan selalu buruk di mata dunia?
Beberapa menit setelah menunggu, akhirnya pintu ruang rawat terbuka. Abi menjadi yang paling cekatan mendekati sang dokter dan menanyakan kabar dari hasil pemeriksaannya.
"Beliau sadar. Atas kehendak Tuhan, akhirnya beliau sadar." Pria berkulit putih itu mendekati istri dari pasiennya dan memberikan tepukan hangat di bahu sebelah kiri.
"Selamat Bu, pengorbanan Anda selama dua belas tahun terbayarkan. Silakan, temui suami Anda."
Perempuan itu lantas segera menemui suaminya meninggalkan sang dokter dan Abi yang tengah meneteskan air mata.
"Terima kasih banyak, Dokter."
Dokter tersebut tersenyum menampilkan garis pada matanya yang sipit. Setelah kepergian para pahlawan kesehatan itu, Abi melangkah gontai mencapai daun pintu untuk melihat sang polisi.
"Pak, ya Allah kenapa Bapak baru sadar sekarang. Tapi Ibu bersyukur akhirnya Bapak tidak pergi, Ibu senang..."
"I-ibu.. Dia siapa Bu?"
Saat pria itu menunjuk dirinya, Abi langsung menunjukkan senyum lebar. Setelah koma selama itu ternyata beliau masih mengingat semuanya. Abi langsung mendekat dan menyapa polisi itu ramah.
"Kenapa masih di sini?" gerutu sang perempuan.
"Bapak ingat dengan nama Raden Kalingga? Orang yang menjadi pengawasan dalam tugas Bapak tiga belas tahun silam," ujar Abi.
Polisi itu nampak tengah berpikir keras sembari melayangkan tatapan pada wajah Abi yang sepertinya begitu familier di ingatan.
"Saya sedang mengangkat kembali kasus ini untuk mendapat keadilan ayah saya. Karena saya yakin anda tahu semua ini."
Pria itu masih diam saja, entah apa yang ada dalam pikirannya. Sebenarnya Abi gemas ingin membuatnya bicara, kenapa hanya diam saja.
"Sudah cukup! Suami saya sudah tidak ingat tentang ayah kamu! Pergi saja!"
Sepertinya Abi harus lebih bersabar. Demi ayahnya, apapun akan ia pertaruhkan. Jangankan sekedar waktu dan kesabaran. Abi bahkan rela bertukar tempat.
"Ini kartu nama saya, Pak. Tolong hubungi saya jika Bapak mengingat sesuatu tentang Raden Kalingga. Permisi, Assalammualaikum..."
Abi pamit dari ruangan dan melangkah penuh beban dari sana. Harus berapa lama lagi dia menunggu?
"Raden..." Suara polisi itu membuat Abi segera menoleh ke belakang dan membelalakkan mata menunggu kelanjutan kalimat yang akan diutarakan pria itu.
"Dia di mana?"
Abi langsung mendekat dan menceritakan semua kejadian yang menimpa ayahnya hingga mendapatkan hukuman mati. Polisi itu mengangguk paham di sela-sela kalimat yang Abi ucapkan. Sepertinya ia mengingat dengan jelas semuanya. Bahkan sang perempuan yang sejak kedatangan Abi selalu membentak kini dengan khusyu mendengarkan cerita yang Abi bawa.
"Saya berharap Bapak mau bersaksi untuk ayah saya."
Polisi itu dan istrinya saling pandang. Kemudian perempuan itu mengangguk dan polisi itu menoleh menatap Abi. Sangat lekat sampai akhirnya mengangguk.
"Kapan persidangannya dimulai, Nak?"
***
Abi mendudukkan dirinya di kursi sebelah Kashaf yang tengah membaca koran dengan embusan napas lelahnya. Satu masalah tentang persaksian sepertinya cukup. Tapi, entah kenapa Abi masih ragu bisa memenangkan kasus ini.
Kashaf menoleh dan terkejut melihat Abi duduk tanpa reaksi lain, hanya diam dan bernapas. Pria itu terkekeh dengan melipat korannya dan meletakkannya di atas meja.
"Ada yang sedang dipikirkan?"
Abi menoleh dan mengedikkan bahunya tidak tahu. "Aku tidak yakin bisa memenangkan ini, Om."
"Om rasa kamu pasti menang untuk kasus pembunuhan, Abi. Tapi bagaimana dengan pengedaran narkoba? Kamu tidak menemukan saksi lain yang kuat?"
Ah, kenapa Abi tidak kepikiran soal itu. Saksi untuk kasus kedua milik ayahnya, pengedaran barang terlarang. Tapi ia tidak tahu soal itu.
"Bukankah ayahmu seorang kurir?" tanya Kashaf.
"Iya, Om."
"Bisa ceritakan pada Om?"
"Di situ mereka mengira Ayah adalah bandar pengedar narkoba sejak dua tahun yang lalu."
"Tapi bukankah kamu sama ayah kamu baru hidup di sana selama dua bulan?"
Benar, bagaimana mungkin kasus ini mulus tanpa celah. Demi Tuhan, apa saja yang sudah menggelapkan mata para pemuka keadilan itu?
"Abi bawa saksi yang bersangkutan dengan kehidupan ayah Abi dari dua tahun sebelumnya."
"Keluarga ayah!" tegas Abi teringat keluarga ayahnya.
Kashaf menepuk bahu Abi memberikan energi positif. Lewat sorot mata teduhnya, pria yang sudah Abi anggap seperti ayah baginya itu menyalurkan kekuatan.
Setelah berbicara dengan Om Kashaf, Abi yakin pasti akan berhasil memenangkan kasus ayahnya ini. Tapi masalahnya, apakah keluarga Kalingga akan menerima dirinya?
Tangannya bergerak membuka laci di sebelah tempat tidur dan menemukan surat terlipat di sana. Abi masih sangat ingat pada benda itu. Yang entah apa isinya, belum sempat ia baca tapi sudah dirusak oleh ayahnya.
***
Pagi-pagi sekali Abi memutuskan untuk mengunjungi rumah keluarga ayahnya. Dengan bermodalkan ingatan tentang dua belas tahun lalu akhirnya ia berhasil berdiri di depan rumah mewah milik ayahnya dulu.
Keraguan muncul di permukaan dan membuat nyali Abi menciut. Tapi, jika ia terus mengalah pada rasa takut, maka bagaimana dengan nasib ayahnya. Abi harus yakin dan penuh percaya diri.
Ia meminta izin masuk ke dalam pada seorang satpam. Penjaga rumah di sana sudah berbeda dengan yang dulu Abi pernah lihat. Setelah menjelaskan dengan detail pada satpam tersebut, Abi diperbolehkan masuk. Ia menekan bel beberapa kali hingga pintu itu terbuka dan menampilkan seorang pelayan.
"Ada yang bisa dibantu?"
Abi menunjukkan kartu namanya sebagai seorang jaksa. "Saya ingin bertemu dengan nenek saya."
Pelayan itu nampak terkejut mendengar ucapan Abi. Tapi tetap mengizinkannya duduk menunggu, sementara dirinya memanggil sang tuan rumah dari dalam kamar.
Abi melihat ke sekeliling rumah dan terpaku ketika melihat sebuah foto besar yang menampilkan perempuan tua dengan tanggal yang tertera di bawahnya. Tanggal yang sama seperti hari kematian ayahnya.
Mungkinkah?
"Siapa kamu?"
Abi terlonjak, kemudian menoleh dan melihat seorang wanita mendekatinya. Keduanya kembali duduk saling berpandangan. Kemudian datang pelayan tadi meletakkan dua minuman di meja.
"Saya Abiyasa, putra Raden Kalingga."
Jauh di luar dugaan, perempuan itu malah langsung menangis. Ia bahkan sudah meringsek maju hingga duduk bersebelahan dengan Abi, dengan keponakannya sendiri.
"Jadi itu kamu?" tanyanya sembari mengusap kedua pipi yang langsung basah akibat menangis.
"Tante tahu soal A-Ayah?"
"Seorang pria yang dieksekusi mati? Apa benar seperti itu?"
Abi menggeleng kuat. "Nggak. Itu semua salah, Tante. Ayah bukan orang seperti itu. Aku datang ke sini untuk meminta Tante dan Nenek agar mau menjadi saksi untuk kasus Ayah nanti."
"Mama.. Sudah meninggal. Setelah mendengar hari itu putranya dieksekusi, penyakit jantung Mama kambuh."
Jadi di foto yang barusan Abi lihat itu benar. Itu foto kepergian neneknya. Lelaki itu sungguh merasa menyesal tidak pernah menemui beliau. Andai saja ia bisa membujuk ayahnya untuk sesekali mengunjungi neneknya, semua ini pasti masih belum terlambat.
Melihat Abi menunduk dalam dan menangis pelan, Safira membelai suara hitam keponakannya.
"Nenek sayang sama kamu. Dia sebenarnya sangat ingin memiliki cucu laki-laki dari Raden. Nenek terlambat menyadari itu semua, namun beliau sudah memaafkan kamu dan ayahmu."
"Benarkah, Tante?"
Safira mengangguk sambil tersenyum. Kesedihan yang semula terpampang jelas di wajah Abi kini sirna dengan sendirinya.
"Jadi, Tante mau kan bersaksi untuk kasus Ayah?"
"Apapun untuk adikku, Raden."
Abi tersenyum bahagia. Ia akan buktikan bahwa dirinya berbeda dengan yang dulu. Abi akan berusaha memperjuangkan nama baik ayahnya.
Demi penjaga dirinya, Abi akan terus berjuang dan membuktikan pada dunia bahwa ayahnya bukan seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang pria berhati malaikat untuk Abi, untuk putranya.