Seharian belajar di sekolah membuat kepala Abi sedikit berdenyut. Apa mungkin demamnya yang waktu itu datang lagi? Tapi cowok itu yakin suhu tubuhnya normal. Mungkin bukan demam, hanya sedang lelah saja.
Kelas juga semakin tidak menarik lagi baginya. Mungkinkah Kasih penyebabnya?
"Memikirkan Kasih?"
Abi buru-buru menoleh dan menemukan Haikal tersenyum dengan raut wajah yang aneh. Abi tahu jika seperti itu Haikal pasti tengah meledeknya.
"Haikal, pulang ini lo ngapain?"
"Di rumah, paling... tidur." Setelah itu Haikal terkekeh dengan jawabannya sendiri.
"Gue ikut ke rumah lo ya."
"Kenapa? Ada masalah sama Bunda lo lagi?"
Abi mengangguk kecil. Sementara Haikal kini menepuk-nepuk bahunya memberi kekuatan. Abi jadi merasa tidak enak harus membohongi Haikal.
Dia sedang tidak ada masalah dengan Marisha. Tapi dengan ayahnya, Raden. Gara-gara kertas origami kuning dari Kasih basah, Abi malas pulang ke rumah. Lagipula ia yakin ayahnya pasti akan pulang malam lagi.
"Bi, ya ampun gue lupa. Kata si Fina Pak Hamim mau adain ulangan dadakan nih!" pekik Haikal heboh setelah mengingat ulangan.
"Yaudah sih biasa aja, lo juga biasa nyontek ini."
Haikal menggaruki kepalanya konyol. Iya juga ya, kenapa Haikal jadi mendadak seperti orang pintar yang lupa belajar?
"Awas ya Bi, ntar gue nyontek."
***
Selasa yang mendung. Bukan karena langit sedang akan hujan atau matahari terhalang awan, tapi perasaan Raden yang tengah gundah. Masalah pagi tadi membuatnya merasa sudah gagal menjadi seorang ayah. Abi marah padanya sampai-sampai lupa pamit dan salam. Bagi Raden, hal itu adalah mendung.
Ia baru saja selesai mengantar sebuah paket dan masih tersisa satu lagi supaya pekerjaannya selesai. Setelah itu Raden akan membawa Abi ke Taman Mini sesuai permintaan anak itu.
Di tengah jalan begitu motornya belok ke sebuah gang kecil yang cukup sepi, ia merasakan keanehan. Kejadiannya begitu cepat hingga Raden hanya bisa melongo selang beberapa detik. Hingga sebuah pistol terarah ke depan wajahnya.
"Angkat tangan!!"
Suara kegaduhan dua orang yang melewatinya dengan meletakkan satu buah barang di dalam keranjang yang terdapat di motornya membuat jantung Raden mencelos. Refleks kedua tangannya terangkat hingga sejajar dengan telinganya.
"Kenapa saya—"
"Kalian kami tangkap karena menyelundupkan barang ilegal!" tegas polisi yang saat ini tengah mengarahkan pelatuknya.
Penyelundupan barang ilegal? Ilegal bagaimana bisa? Raden hanya seorang kurir. Dia harus bisa menjelaskan ini pada kedua polisi itu. Raden tidak akan membiarkan dirinya terperangkap ke dalam kesalahan orang lain.
"Saya bukan teman mereka, Pak. Saya hanya seorang kurir yang sedang melewati jalan ini."
"Kalau semua penjahat itu mengaku, maka polisi akan menganggur," kata salah satu polisi itu sembari tersenyum sinis pada Raden.
"Jika anda tidak percaya, silakan cek barang antaran saya."
"Oke."
Kedua polisi itu pun mendekati motor Raden dan memeriksa dua buah kotak berlapis kertas cokelat. Spontan dahi Raden berkerut, bagaimana bisa keranjang motornya mengeluarkan dua buah kotak, sedangkan ia yakin hanya tinggal mengirim satu barang.
"Ini dia! Masih mau mengelak? Zaman sekarang orang jahat sering memakai kedok murahan. Kurir? Hah! Ide anda kurang berkelas,"
"Tapi saya memang bukan penyelundup. Saya hanya seorang kurir, saya tidak mengenal kedua orang ini, Pak. Astaghfirullah... Saya bukan pengedar narkoba, Pak. Saya tidak terlibat dengan mereka."
"Benarkah?" Alis polisi itu terangkat. Sangat terkesan bahwa kalimatnya memojokkan sekali Raden untuk mengakui kesalahan yang tidak ia perbuat.
Raden melirik nametag di dada pria bersenjata itu. Rangga nama depannya, nama belakangnya Nugraha.
"Dia bos kami, Pak. Dia sedang melakukan penyamaran untuk mengirimkan barang itu pada kami."
"Tapi Pak, saya—"
Rangga Nugraha adalah polisi terbaik yang dikenal dapat menangkap berbagai macam buronan. Dari setiap kasus yang ia tangani tidak pernah gagal, selalu terselesaikan dengan baik.
"Jelaskan nanti di kantor polisi."
***
Bagaimana dengan Abi?
Apa anak itu sudah makan?
Bagaimana sekolahnya hari ini?
Raden terus memikirkan Abi di rumah, ia bahkan tidak peduli dengan lebam di wajahnya akibat pukulan beberapa polisi saat di introgasi beberapa jam yang lalu.
Sekarang hari sudah cukup larut, jam menunjukkan pukul dua belas malam. Bagaimana Abi di rumah, dengan siapa dan apakah Abi sudah tidur atau menunggu dirinya. Bagaimana jika anak itu ketakutan karena sendirian tanpa ayahnya. Bagaimana jika Abi kembali mendapat mimpi buruk dan tidak menemukan ayahnya di sampingnya?
Air mata mengucur begitu saja kala Raden khawatir pada putranya. Demi Tuhan, iya bukan seorang pengedar narkoba apalagi dituduh menjadi seorang bos.
Sudah jadi hukum alam dan ketentuan Tuhan kalau setiap manusia harus mendapatkan ujian hidup. Iya, mau tidak mau Raden harus menunggu keputusan dari pihak berwajib untuk mendapatkan kebebasannya. Mendapatkan ganjaran untuk perbuatan yang bahkan tidak dia lakukan.
Keesokan harinya Raden dikejutkan dengan suara lantang dan tegas milik polisi yang menjaga sel semalam. Pria berseragam itu memanggil nama Raden dan membawanya menuju persidangan.
Raden maju dengan yakin menghampiri dua pria yang kemarin menyebutnya bos. Sudah cukup Raden diam, ia ingin memberi keduanya pelajaran atas apa yang mereka lakukan.
Raden menarik kerah pakaian salah satu dari mereka dengan tatapan bengis dan satu kepalan tangan yang sudah siap ia layangkan.
"Katakan pada polisi kalau kita tidak saling mengenal. Katakan padanya saya bukan pengedar narkoba, apalagi bos kalian? KATAKAN!"
"Hei cukup-cukup. Lepaskan!"
Raden mundur hanya karena perintah polisi. Ia bahkan harus kembali menelan emosinya, ia hanya bisa berdoa semoga dipersidangan hari ini Tuhan menunjukkan kebenarannya.
Karena keributan itu Raden dan kedua pria itu berada dalam mobil yang berbeda.
Sepanjang perjalanan menuju tempat persidangan, Raden hanya diam dengan ditertawakan sirine mobil polisi dan pikiran khawatirnya tentang Abi.
Ayah akan pulang, Abi. Tunggu Ayah, Nak...
***
Semalam Abi pikir ayahnya sudah pulang ke rumah. Karena ia sangat mengantuk jadi tidak berniat menunggui ayahnya pulang. Namun, ketika bangun dari tidurnya dan menengok kamar Raden, ayahnya itu tidak ada di sana.
Abi memutuskan menunggu hingga pukul 06.30 WIB. Dengan perasaan takut dan gelisah ia memutuskan untuk menanyakan ayahnya ke tempat kerjanya.
Hanya butuh berjalan beberapa meter saja Abi sudah sampai di depan kantor kecil milik Pak Kus.
"Abi, tumben ke sini, Nak. Kenapa?" tanya Pak Kus antusias.
"Ayah kok belum pulang ya, Pak? Apa Ayah lembur sampai pagi?"
Baiklah, Abi tahu pekerjaan ayahnya hanya seorang kurir. Ia juga belum pernah mendengar seorang kurir harus lembur hingga pagi dan lupa segalanya, termasuk menghubungi Abi. Namun, itu adalah satu-satunya spekulasi yang mungkin melintas di kepalanya.
"Raden belum pulang? Benarkah?" Pak Kus terlihat tengah berpikir apakah benar bahwa Raden belum pulang? Pria itu sudah semakin tua dan tidak mengingat jelas siapa saja yang sudah kembali dan mengembalikan motornya.
"Sebentar Bapak cek dulu motornya ya?"
Pak Kus masuk ke dalam kantornya dan kembali dengan raut wajah berbeda. Abi takut kekhawatirannya menjadi nyata.
"Abi benar, Ayah Abi belum kembali. Motornya tidak ada di parkiran."
"A-ayah... Ke mana ya, Pak?"
Pak Kus menggeleng. Sedangkan, Abi berbalik badan setelah pamit pada pria tua itu.
Abi tidak boleh berprasangka buruk terhadap ayahnya. Mungkin saja ayahnya sedang ada urusan. Tapi Abi tidak tahu kenapa perasaannya menjadi tidak enak. Sungguh, semoga ini bukan pertanda buruk.
***
Kalau saja ayahnya tidak meninggalkan uang di lemari, mungkin Abi tidak bisa makan hari ini. Cowok itu mengambil sedikit dan memutuskan pergi ke sekolah meski terlambat dan mendapat hukuman membersihkan toilet.
Kini ia sedang makan di kantin bersama Haikal yang sangat tahu kalau Abi sedang dalam keadaan gundah.
"Gue punya burung yang bisa diajak bicara. Ke mana-mana kita selalu bersama—" Haikal berhenti sejenak karena Abi menatapnya horor. Mungkin cowok itu sedang bertanya dalam diam tentang cerita Haikal.
"Suatu hari burung itu terlihat murung. Tapi karena gue nggak berani nanya ya gue diem aja. Sampai akhirnya gue malah ngoceh nggak jelas gini."
"Jadi lo ngatain gue burung?" sahut Abi kesal.
Haikal terkekeh kemudian mengacungkan tanda V menggunakan jari tangannya.
"Dua hari yang lalu lo galau karena Kasih, kemarin katanya ada masalah sama Bunda. Jadi, sekarang masalahnya apaan?"
"Nggak ada!" putus Abi. Ia memang harus kembali berbohong untuk menutupi kebohongannya yang dulu. Bukankah begitu definisi sebuah kebohongan? Tidak akan cukup dilakukan sekali.
"Ya udah."
Beberapa menit berlalu mereka hanya sibuk memakan siomay. Tidak keduanya sih, hanya Haikal. Sementara Abi terlihat ogah-ogahan memasukkan potongan siomay ke dalam mulutnya. Ia terus saja memikirkan keberadaan ayahnya. Apa ayahnya marah karena Abi berlaku tidak sopan kemarin?
Abi sangat takut kalau ternyata ayahnya kabur karena tidak suka anak seperti dirinya. Bagaimana kalau Raden ternyata kembali memilih keluarganya? lalu Abi hanya akan berakhir sendirian.
***
Raden tidak tahu harus bersyukur atau apa. Persidangan hari ini sungguh membuatnya tidak bisa menyuarakan kebenarannya. Apa seperti ini rasanya digantung?
"Persidangan akan dilanjutkan pada hari jumat, mohon kepada jaksa penuntut dan pembela untuk menyiapkan segala bukti yang konkrit. Dengan ini persidangan hari ini resmi berakhir."
Dengan sangat terpaksa Raden kembali dibuat tidak tenang. Kenapa tidak langsung saja semuanya berakhir. Toh, ia jelas tidak bersalah. Kini dia harus kembali menelan kenyataan untuk berakhir menginap di kantor polisi.
"Bolehkah saya pulang untuk bertemu anak saya, Pak?" pinta Raden. Dua polisi di masing-masing sisi tubuhnya hanya saling lirik tanpa berniat menjawab.
"Pak, saya mohon. Saya meninggalkan anak saya di rumah sendirian. Dia tidak tahu kalau saya ada masalah, tolong..."
"Dia pasti mencari saya, Pak. Saya tidak bisa membayangkan hal itu..."
Dua polisi yang mengiring Raden berhenti berjalan. Mereka saling pandang dengan anggukan kepala. Raden terus merapalkan doa dalam hati supaya bisa diizinkan pulang untuk bertemu dengan Abi.
"Kamu boleh pulang dan kembali hari jumat," kata salah satu dari dua polisi yang mengantarnya ke persidangan itu. Raden langsung melebarkan matanya, senang mendengar hal itu. "Tapi dengan satu syarat, kamu akan selalu diawasi oleh salah satu rekan kami."
"Iya, saya tidak keberatan. Terima kasih banyak, Pak."
Dua polisi itu tidak mengucapkan apapun lagi, kemudian membiarkan Raden mengambil motornya di kantor polisi dan siap untuk pulang. Meski begitu untuk dua hari ke depan hingga hari persidangan terakhir dilaksanakan, Raden akan mendapatkan pengawasan dari pihak kepolisian.
Tangannya sudah akan menarik setir kemudi motornya hingga tiba-tiba seorang polisi berdiri di hadapannya dengan senyum meremehkan. Senyum yang sama seperti kemarin.
"Jangan harap kesalahan kamu terlupakan." Akunya, Rangga Nugraha.
Raden menatap tajam manik polisi yang cukup disegani banyak orang tersebut. Ternyata kita tidak boleh memandang orang dari seberapa hebat dia dipuji, karena nyatanya popularitas memang bukan penentu segalanya.
"Karena saya memang tidak pernah berbohong. Allah akan memihak orang-orang yang jujur. Permisi Pak, apa anda bisa pergi dari hadapan saya atau tidak?"
"Saya tidak akan pergi darimu, karena saya adalah orang yang akan menangani kasus lama ini berlangsung." Rangga terkekeh kemudian bergeser dan membiarkan Raden pergi dari tempatnya.
Sebuah motor butut yang memang hanya digunakan untuk berpergian mengantar barang-barang orang lain sudah menemani Raden untuk memberikan kebahagiaan pada Abi, putranya. Motor itu jugalah yang kini menemaninya pergi menemui Abi setelah mendapatkan masalah tak terduga.
Dari depan kantor kepolisian hingga menuju rumahnya Raden tidak pernah berhenti bersyukur bisa diberikan waktu menemui putranya. Walaupun dia tetap harus diawasi oleh Rangga, Raden tetap mensyukuri waktu berharga tersebut.
Karena ini masih jam sekolah Abi, maka Raden menepi di depan kantor Pak Kus. Pria tua itu langsung berlarian menghampirinya ketika mengenali motor yang Raden gunakan.
"Raden. Masya Allah kamu dari mana? Kata anakmu seharian kamu nggak pulang ya?"
Raden menghela napas panjang. Ia tidak tahu ingin menjelaskan apa pada Pak Kus. Tapi ia tidak bisa jujur karena Pak Kus pasti akan melibatkan dirinya. Lebih baik Raden tanggung saja sendiri masalah ini.
"Sa-saya... Itu lho Pak, Pak Kus kan tahu kalau saya kabur dari rumah ibu saya, semalam saya ke sana untuk menjenguknya yang sedang sakit." Raden merapal kata maaf dalam hati. Bukan berarti ia mendoakan hal yang buruk pada ibunya. Hanya saja dia tidak tahu alasan apa yang bisa membuat Pak Kus percaya.
"Ya sudah hari ini kamu tidak usah mengantar barang ya. Istirahat saja di rumah, kasihan Abi sepertinya khawatir."
"Terima kasih Pak. Saya permisi." Raden menyerahkan helm pada Pak Kus kemudian berbalik arah.
"Tunggu!"
Dengan terpaksa Raden kembali menghadap Pak Kus yang menghentikan langkahnya.
"Wajah kamu kenapa, Den?
"Hah? I-ini..."
***
"Wajah Ayah nggak apa-apa. Kamu kan tahu di rumah nenek kamu banyak penjaganya, Ayah sedikit melakukan atraksilah di sana. Udah, ini nggak apa-apa kok." Sudah dua kali Raden bohong soal lukanya pada Abi dan Pak Kus. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah terlanjur jadi bubur.
Abi menatap sendu ayahnya. Inikah saatnya bagi Abi meminta maaf?
"Ayah... Abi minta maaf, Abi nggak bermaksud marah sama Ayah. Abi cuma sedih karena origami pemberian teman Abi rusak. Tapi, Ayah mau kan maafin Abi?"
Raden membekap putranya ke dalam pelukan. Kenapa perasaan takutnya muncul di saat seperti ini. Raden takut sekali ia akan meninggalkan Abi. Tidak, ini tidak akan terjadi. Sampai kapan pun Raden tidak akan membiarkan apapun memisahkan mereka.
"Ayah nggak marah sama Abi. Nggak kok, Ayah nggak marah, karena Ayah sangat sayang sama Abi."
Air mata sudah tidak bisa lagi dibendung oleh Raden. Ia menangis tanpa suara sambil mengusap punggung putranya.
"Ayah... Abi juga sayang Ayah. Ayah janji ya jangan tinggalin Abi sendirian."
"Ayah tidak akan meninggalkan Abi sendirian."
Raden berharap ucapannya di dengar oleh Tuhan sebagai doa dan permohonannya. Ia tidak minta apapun, yang diminta hanya satu. Tolong jangan pisahkan dia dengan putranya.
Karena masa depan siapa yang tahu, Raden hanya tahu hari ini ia bersyukur masih bisa memeluk putranya. Setidaknya sebelum hari jumat tiba.
Hidup memang penuh kejutan.