Tubuh Abi bergetar setelah mendengar pembicaraan antara Marisha dan Kashaf. Demi Tuhan, tidak pernah terbayangkan sama sekali bahwa sosok yang dia panggil Bunda ternyata hanyalah tantenya. Lalu, kalau memang begitu adanya untuk apa Marisha berbohong?
Langkah Abi memelan demi mengusap air matanya yang menghalangi pandangan. Dia berpikir sejenak ke mana harus pergi dengan keadaan kacau begini. Sebuah foto ia keluarkan dari saku celananya, dipandanginya dengan pandangan menusuk tajam.
"Ayah..."
Abi segera mengeluarkan ponselnya untuk melakukan pencarian. Kemarin-kemarin Abi sempat mencari tahu sosok ayahnya di internet. Dia menemukan fakta bahwa pria itu adalah seorang pengusaha terkenal, membuatnya dengan mudah menemukan profil dia.
"Gue harus ketemu, Ayah. Cuma Ayah satu-satunya yang bisa menjelaskan semuanya," lirih Abi sambil mengetik sesuatu di ponselnya.
Setelah menemukan alamat kantor Raden, Abi langsung memesan ojek online. Dia sampai setelah lima belas menit perjalanan. Abi langsung berlari memasuki kantor tempat kerja Raden setelah izin kepada satpam yang bertugas dengan mengatakan bahwa dia anak dari salah satu karyawan di kantor itu.
Abi hanya berbekal perasaan ingin tahu untuk mencari sosok ayahnya. Dia berjalan tanpa tahu arah, namun kakinya berhenti tepat di depan dua orang yang tengah berdebat. Saat itu air mata Abi kembali berderai melihat salah satu dari orang itu adalah ayahnya.
"Ayah..."
***
Diah sakit parah. Setelah perpisahan selama 13 tahun, pertemuan semacam ini adalah penderitaan terberat bagi Raden. Dan saat ini dokter mengatakan bahwa perempuan yang menjadi cinta pertamanya tengah berjuang antara hidup dan mati.
"Mas Raden mau denganku yang cuma menjadi wanita penghibur di sini?"
"Kamu tidak pernah berbeda dari yang lain. Tapi kamu istimewa bagiku."
"Kalo aku hamil, apa Mas akan—"
"Aku akan menikahimu. Jangan khawatir ya."
Bodoh. Kejam. Tega. Kenapa Raden mau menikah dengan Nawang sedangkan saat itu sudah ada Abi di perut Diah. Kenapa Raden lupa janjinya?
Abi masih terlelap di bahu Raden. Anak itu tertidur setelah selesai menangis. Sedangkan Raden terus berdoa dalam hati untuk kesembuhan Diah.
Setelah lima menit, suara pintu terbuka membuat Raden beranjak. Abi yang sedang tidur pun jadi terbangun dan mengekori ayahnya menghampiri dokter.
"Waktu kematiannya pukul delapan malam lewat dua puluh menit."
Sebaris kalimat yang keluar dari Kayla. Dunia memang sesempit itu, Raden baru sadar bahwa pasien yang Kayla abaikan adalah Diah.
"Bohong! Siapa yang meninggal? Ibu Abi belum meninggal! Tidak!" jerit Abi dengan air matanya yang telah membasahi kedua pipinya.
Raden menatap Kayla, gadis itu juga sempat meneteskan air matanya, kemudian membuka pintu ruang ICU dengan gerakan lamban. Seolah dokter muda itu tidak memiliki energi sama sekali.
Abi langsung masuk ke dalam ruang ICU dan menubruk tubuh ibunya yang sudah dingin dan pucat. Abi menggerak-gerakkan tubuh ibunya tapi Diah tetap terbujur kaku di sana. Abi ingin menolak pernyataan dokter soal kematian ibunya. Tolong jangan sekarang, banyak yang ingin Abi tanyakan pada Diah.
"Ibu... Ini Abi. Ibu kenapa ninggalin Abi, Ibu nggak boleh pergi, Bu...."
Raden hanya memandang dengan linangan air matanya. Demi Tuhan, ia merasa menjadi pria paling jahat sedunia telah menelantarkan Diah.
"Ibu... Abi mohon bangun... Jelaskan kenapa Bunda bohong soal Ibu... Kenapa ayah tidak mengenal Abi? Ayo Ibu bangun... Hiks."
Tangan Raden bergerak mengusap kening Diah. Terasa sangat dingin sekali, tidak seperti sentuhan mereka tiga belas tahun silam.
"Kenapa tidak pernah bilang kalau kamu masih menungguku, Diah..."
Abi mengangkat wajahnya memperhatikan gerak bibir ayahnya. Abi adalah satu-satunya yang tidak mengerti alur yang dibuat orangtuanya.
"Aku mencintaimu Diah... maafkan aku... Aku sungguh menyesal."
Saat tengah menangis, Raden tergelak karena sebuah jemari lain mengusap telapak tangannya. Dan tepat satu detik ia menemukan putranya menguatkan dengan cara sederhana. Hanya dengan senyuman dan pelukan perdamaian.
"Ayah jangan tinggalkan Abi seperti Ibu... Abi tidak mau tinggal sama orang lain."
***
Setelah selesai memakamkan Diah, Raden membawa Abi menemui keluarganya. Marisha sempat menolak karena belum rela berpisah dengan Abi, namun Kashaf terus meyakinkannya bahwa bagaimanapun Abi harus tinggal dengan orangtuanya sebab anak itu ingin.
Dengan masih mengenakan pakaian pemakaman serba hitam Raden menggandeng tangan putranya di depan ibu dan kakak perempuannya saat ini. Pandangan mereka tidak boleh melukai Abi, Raden tidak akan membiarkan itu.
"Kayla menolak menikah denganmu karena ini?" serobot kakak perempuannya dengan nada tidak suka yang tertangkap jelas.
"Kembalikan anak itu ke tempat asalnya dan bersihkan namamu, Raden!" Kali ini perintah dari Sari—ibu Raden—tidak termasuk ke dalam kewajiban yang harus pria itu kabulkan.
"Abi ini cucu Mama. Kenapa dia tidak boleh di sini?"
Safira menghampiri Raden dan tertawa hambar menentang kalimat adik lelakinya. "Cucu apa? Anak dari seorang pelacur? Lihat Ma, kelakuan Raden membuatnya terlihat begitu rendahan. Bagaimana Mama menjawab pertanyaan media jika seperti ini jadinya."
Sari menarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan apa yang akan ia tindak lanjuti.
"Pilih tetap di sini dengan membuang anak haram itu atau pergi dan memutuskan hubungan di antara kita."
Tubuh Abi bergetar mendengar pilihan yang dijatuhi pada ayahnya. Tak pelak air mata kembali menetes jatuh ke pipinya. Abi tidak mau jadi beban ayahnya, bukankah ia hanya ingin melihat seperti apa rupa ayahnya?
Jadi Abi membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari rumah besar milik keluarga Raden.
"Abi!" teriak Raden akan mengejar anak itu, tetapi ia sempat menoleh karena Sari menahan lengannya.
"Mama akan kembali kehilangan putra Mama. Raden tetap tidak akan meninggalkan Abi Ma, tidak akan. Permisi."
Raden berlari mengejar langkah Abi. Ke mana perginya anak itu? Langkahnya cepat sekali, padahal hanya terlewat beberapa detik saja tapi Raden sudah kehilangan jejaknya.
Tin....
Suara klakson motor menginterupsi pandangan Raden. Ia menoleh ke sumber suara itu dan melihat Abi tengah menunduk seperti orang meminta maaf.
"Abi!" Raden menarik lengan Abi dan membekapnya erat.
"Jangan pergi tanpa Ayah. Bukankah Abi sudah janji mau tinggal sama Ayah?"
"Keluarga Ayah bagaimana?"
Raden menghapus jejak air mata yang masih terlihat di kedua pipi putranya. Abi sangat tampan dan manis, perpaduan yang sempurna dari dirinya dan Diah. Bagaimana mungkin Raden membuang putranya sendiri, darah dagingnya.
"Abi nanti akan mengerti kenapa Ayah memilih jalan sendiri."
"Kapan?" Rasa keingintahuan Abi adalah ego anak itu sejak kecil.
"Nanti kalau Abi sudah besar."
"Abi sudah besar, sudah tiga belas tahun Ayah," elak Abi tidak terima.
"Iya iya," pasrah Raden sembari mengusap punggung putranya. Perasaan seperti inikah yang dirasakan seorang ayah jika berdebat dengan anaknya? Sangat membahagiakan.
"Hmm... ayah memilih Abi karena Ayah tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya karena tidak bersikap sesuai pilihan hati, sayang."
"Kita akan tinggal di mana ayah?"
Raden nampak berpikir sejenak. Dengan memutuskan keluar dari rumah dan memutuskan hubungan seperti yang dikatakan oleh ibunya dipastikan Raden sudah tidak punya apa-apa lagi.
"Kita cari kontrakan dekat sini ya."
Abi mengangguk saja dan mempercayakan semuanya pada ayahnya. Di sepanjang perjalanan mereka yang entah akan bermuara di mana Abi suka mendengarkan suara ayahnya yang tengah menceritakan pertemuan dirinya dengan Diah dulu. Abi sempat berpikir bahwa ia memang seorang anak haram karena lahir tanpa pernikahan. Tapi, apa pedulinya? Karena iya atau tanpa pernikahan pun Abi tetap berstatus sebagai anak Raden, darah lebih kental daripada air. Benar, kan?
***
"Abi tidak apa-apa kan tinggal di rumah yang kecil? Ayah janji kalau Ayah sudah dapat pekerjaan, Ayah akan beli rumah yang besar seperti rumah Bunda Marisha."
Abi menggeleng dengan senyum terpatri di wajahnya. Baginya rumah yang besar juga tidak mengukur kebahagiaan, buktinya meski Abi tinggal di rumah besar Marisha ia merasa kesepian. Setiap menitnya Abi selalu bertanya-tanya tentang orangtuanya.
"Abi nggak apa-apa kok Ayah, Abi malah senang karena bisa ketemu dan tinggal sama Ayah."
"Bunda Marisha memang mengajarkan yang terbaik untuk anak Ayah ini."
Abi menunduk sejenak, tiba-tiba ia merindukan Marisha. Apakah ia masih harus memanggilnya dengan sebutan bunda setelah semua kenyataan ini ia ketahui. Marisha juga tidak tahu kalau Abi diusir dari keluarga ayahnya. Jika Marisha tahu Abi yakin perempuan yang sekarang adalah tantenya itu pasti akan membujuknya kembali tinggal bersama. Abi juga tahu Marisha masih berat hati memaafkan ayahnya.
Pria monster yang selalu disebut Marisha adalah seorang ayah penyayang yang Abi ketahui. Meskipun baru dua hari sejak pertemuan mereka, tapi Abi sudah merasa nyaman dan aman bersamanya. Ternyata begini rasanya mempunyai ayah, sangat menyenangkan.
"Abi mau tidur di kamar yang mana?" tanya Raden dari arah dapur.
"Abi mau tidur sama Ayah aja."
Raden yang tengah membersihkan dapur menatap Abi dengan tatapan bahagia. Sungguh pria itu sudah tidak butuh apa-apa lagi. Abi adalah sebuah anugrah terindah yang Tuhan berikan untuknya.
"Katanya udah gede, udah tiga belas tahun."
"Abi masih kecil Ayah, belum puber. Kata guru di sekolah kalau udah mimpi basah berarti baru Abi udah gede."
Raden terbahak mendengar jawaban Abi yang sedikit menjabarkan soal masa puber. Raden jadi merasa iri pada Marisha yang dari Abi kecil selalu bersama anak itu. Raden juga ingin melihat keluguan Abi saat kecil.
"Tadi bilangnya kalau tiga belas tahun itu udah gede?"
"Gak mau tahu pokoknya Abi mau tidur sama Ayah aja!" serunya kemudian berjalan melihat kamar paling depan.
Rumah kontrakan yang Raden pilih berada jauh dari rumah keluarganya dan rumah Marisha. Rumahnya sederhana, terdiri dari dua kamar, dapur dan kamar mandi yang bersebelahan lalu ruang tamu. Untungnya Raden masih memiliki persediaan uang di dalam dompetnya. Karena saat ia akan menggunakan credit card-nya semua sudah diblokir oleh ibunya.
Satu menit setelah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, ponsel Abi berdering. Ternyata ada pesan chat dari kontak yang ia beri nama 'cewek kunti.'
Matanya melebar saat membaca deretan kalimat Kasih. Ternyata cewek itu tidak semenyebalkan aslinya kalau bisa bersikap seperti sekarang.
Abi jangan sedih ya, karena semua yang hidup adalah milik Allah. Kalau Abi butuh curhat, Kasih dengan senang hati dengerin Abi. Jangan nangis, senyum Abi....
Terbersit senyum tipis setelah ia membacanya. Kasih itu menyebalkan, cerewet dan seperti seorang bodyguard yang akan mengikutinya ke manapun ia pergi. Padahal sudah sering Abi mengabaikannya atau menjutekinya, tapi Kasih dengan gigih malah menyatakan kesukaannya.
"Katanya masih kecil, eh udah main chatting-an sama cewek."
Abi tergelak begitu menyadari ayahnya kini duduk ditepi ranjang tepat di sebelahnya. Sejak kapan ayahnya di sana? Abi lantas mengubah posisi menjadi duduk dan melirik ayahnya dengan wajah malu.
"Siapa yang chatting-an Ayah? Ini Abi baru aja dapet chat dari temen kok."
"Temen apa... Temen?"
Raden terkekeh menemukan raut merah di kedua pipi Abi. Melihat anaknya malu-malu seperti itu perasaan khawatir hilang begitu saja. Menguap seolah menerima kebahagiaan untuk datang. Raden berharap meski tanpa Diah ia mampu menjaga Abi. Menjaga titipan berharga dari perempuan yang dicintainya.
Malam itu Abi dan Raden tidur bersama di kamar pertama. Tapi Raden tidak bisa tidur nyenyak. Mungkin tidak nyaman dengan kasur di sana. Berbeda sekali dengan kenyamanan di dalam rumahnya. Jadi, saat terbangun pukul dua malam, ia beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat tahajud.
Raden sempat melirik Abi yang sudah terlelap saat ia akan memanjatkan doanya. Permintaan untuk putranya yang kini sudah beranjak remaja. Semoga dengan tinggal bersamanya, Abi tidak menemui jalan hidup yang susah.
Jika aku penuh dosa, hukum saja aku dan jangan anakku... Karena aku tidak akan sanggup melihatnya bersedih... Terima kasih ya Allah karena memberikan Abi adalah kebahagiaan terbesar bagiku...
***
Setelah izin dari sekolah dua hari tidak masuk sekolah dengan alasan masih berduka, hari ini Abi berangkat kembali. Di kelas ia mendapat beberapa ucapan penyemangat dari teman-temannya, tidak terkecuali Haikal dan Kasih.
Rasanya malas membahas Kasih setelah semalam ayahnya meledeknya terus. Sampai tadi pagi pun ketika mengantar ke sekolah Raden gencar meledek Abi. Sepertinya Abi mengetahui hobi ayahnya adalah meledek orang.
Abi salah jika menganggap Kasih gadis yang menyenangkan hanya dengan membaca pesannya semalam. Buktinya sekarang gadis itu membawa semangkuk bakso di hadapan Abi dan Haikal. Pertanyaannya adalah kenapa Kasih harus meninggalkan meja teman ceweknya dan menunjukkan senyum lima jari ke arah Abi. Sesekali mengunyah bakso sesekali melebarkan mulutnya. Memang sudah gila cewek bernama lengkap Sabrina Auxilia Kasih ini.
Dan yang membuat Abi bertambah mual adalah perdebatan yang akan tercipta antara Haikal dan Kasih. Suara mereka itu sungguh memekakkan telinga Abi.
"Makan ya makan aja nggak usah senyam-senyum gak jelas gitu bisa kali ah!"
"Buat Kasih itu nggak bisa, Haikal!" Ada saja jawaban yang keluar dari mulut Kasih ini. Jangan-jangan ia lahir dari mbah google, semuanya terjawab. Tapi Abi juga heran dengan Haikal, mau-maunya meladeni Kasih.
"Ya nggak heran sih. Lo kan keturunan orang gila. Jangan-jangan nyokap lo kerasukan jin deh waktu ngandung lo!"
Mendengar kata jin Abi langsung terbahak, ia menelan dahulu es jeruknya kemudian menatap Kasih yang sudah menebarkan aura ketidaksukaannya.
"Iya lah Haikal benar. Cewek kunti kan panggilan lo."
"Abi please ya... Kalau Abi yang manggil Kasih cewek kunti, itu adalah nama panggilan sayang Abi buat Kasih. Dengan senang hati Kasih rela."
Abi memijat keningnya frustasi meladeni kalimat Kasih. Daripada kesal ia memilih menghabiskan makanannya.
Abi kira Kasih hanya akan mengganggunya di kelas dan di kantin saja. Tetapi ia salah, sampai keluar dari gedung sekolah pun Kasih terus mengekorinya. Tepatnya di depan gerbang Kasih masih saja mengecoh.
"Lo ini kenapa sih ngikutin gue mulu?"
"Pulang bareng ya Abi... Eh, kok Abi gak bawa sepeda?"
Abi menggaruki tengkuknya merasa gugup apakah ia harus bercerita pada cewek perusuh ini atau tidak. Sementara Haikal saja belum tahu kalau ia pindah rumah.
"Suka-suka gue dong. Lo pulang aja sendiri gih, gue ada perlu."
"Perlu apa? Kasih ikut..."
Abi sudah melangkah satu langkah ke depan dan Kasih mengikutinya. Gadis itu bahkan menarik tas Abi hingga menyeretnya kembali ke posisi awal.
"Haduh.. Ini urusan cowok tau, cewek kunti kayak lo khususnya, gak boleh ikut. Awas lo kalau ngikutin!" ancam Abi kemudian berlari menjauhi Kasih yang sudah mengembuskan napas lelahnya.