Loading...
Logo TinLit
Read Story - Satu Nama untuk Ayahku
MENU
About Us  


Saat jam pelajaran olahraga berlangsung Abi sudah berada di lapangan lebih dulu bersama Haikal untuk membantunya menyiapkan beberapa keperluan untuk permainan basket. Tapi bukan tidak mungkin kalau ia tetap melihat Kasih mengekorinya juga.

"Lo ganggu banget sih, Kas!" celetuk Haikal terang-terangan. Tapi bukannya menyingkir, Kasih malah memposisikan dirinya di sebelah Abi yang sedang menghitung bola basket.

"Sirik kali sih, Haikal. Nggak punya gebetan ya? Abi kan ada Kasih," tunjuk gadis itu pada dirinya sendiri.

"Gebetan palalu penjol. Kasih... Kasih... Sumpah lo receh banget sih, auto mules nih."

"Hina aja Kasih, hina terus... Terkutuklah nanti Haikal. Awas ada azab yang akan menghampiri orang-orang zolim macam dirimu."

Abi hanya berdecak saja memperhatikan perdebatan aneh dari Kasih dan Haikal.

Untungnya guru olahraga mereka sampai dengan diikuti teman-teman sekelas mereka yang sudah memakai pakaian olahraga. Jadi, Kasih langsung terdiam.

Murid laki-laki berbaris paling depan diikuti oleh murid perempuan yang jumlahnya lebih banyak. Kasih langsung memposisikan dirinya di belakang Abi yang sudah berdiri paling depan. Gadis itu tanpa malu menjadi murid perempuan yang menyela di antara murid laki-laki karena seharusnya barisan murid perempuan dimulai dari baris ketiga.

"Eh cewek kunti, salah barisan lo tuh!" Abi menoleh ke belakang dan menemukan Kasih sedang menunjukkan deretan giginya tanpa dosa.

"Ih.. Gak mau, Kasih maunya baris di belakang masnya."

Mas? Sumpah mulut Kasih benar-benar cepat sekali mengeluarkan panggilan seenaknya untuk Abi.

"Serah lo deh, palingan nanti ditegur Pak Wawan!" ancam Abi lalu kembali ke posisi awalnya menghadap ke depan.

Tapi sepertinya guru olahraga mereka tidak terlalu mengurusi barisan. Atau karena tubuh kecil Kasih yang tidak terjangkau oleh penglihatannya? Pak Wawan hanya khusyu menjelaskan perihal teknik-teknik dasar permainan bola basket.

 

***

 

Seusai pelajaran dan istirahat, Abi tidak langsung berganti seragam karena guru Bahasa Inggris mereka sedang tidak bisa mengajar hari ini. Seperti kebiasaan umumnya jika kelas sedang kosong, maka Abi dan Haikal suka memanfaatkan waktu untuk tidur di kelas.

Dengan melipat kedua tangannya Abi langsung menenggelamkan kepalanya di sana. Baru beberapa detik memejamkan mata, tiba-tiba cowok itu merasa pipinya dipermainkan seseorang. Dan benar saja begitu ia membuka mata, ada Kasih sedang mengatur mimik mukanya.

"Ngapain?" sentak Abi tidak bisa lembut. Memang jika berbicara dengan Kasih tenaga itu diperlukan. Selain membutuhkan mental sekuat baja, iman juga harus tetap kokoh.

"Abi kalau mau tidur ya tidur aja. Kasih gak ngelarang."

"Ya tapi perlakuan lo tadi tuh ganggu, kunti!"

Kasih menggaruki kepalanya yang tidak gatal. "Hehe... Maaf, maaf."

"Sana gih jauh-jauh, rese lo!" usir Abi dan mendapati wajah Kasih sudah tertekuk dengan bibir yang dimajukan.

Abi memutar haluan menghadap ke sisi lain menghindari wajah Kasih. Lantas ia berusaha kembali mendapat ketentraman untuk tidur siangnya yang tertunda.

Anehnya setelah diganggu Kasih tadi niat tidur Abi jadi gagal total. Meskipun berusaha memejamkan matanya ia tetap tidak bisa terlelap. Berbeda jauh dengan Haikal yang sekarang pasti sudah bermimpi sampai ke Eropa.

"Abiii.... Tolongin Kasih..." tiba-tiba suara cempreng milik gadis perusuh itu memasuki gendang telinga Abi.

Ia tidak peduli apapun yang terjadi pada Kasih. Meskipun telinganya menangkap sensor sebuah permintaan tolong Abi akan berpura-pura saja tidak tahu.

"Abiii...."

Tapi jeritan Kasih makin menjadi setelah beberapa menit Abi abaikan. Karena terlanjur penasaran, Abi beranjak dari kursinya dan menghampiri sumber suara itu.

Ternyata di depan pintu kelasnya Kasih tengah dijambak beberapa siswi. Abi langsung saja mendorong tubuh mereka yang melakukan kekerasan pada Kasih, lalu menarik lengan gadis itu untuk berdiri dari posisinya.

"Masih jaman aja bully-an gini?" tukas Abi tepat di depan kedua cewek yang melongo dilontarkan pertanyaan tersebut.

Sedangkan Kasih sudah melambung tinggi hanya karena tangan Abi melekat di pergelangan lengannya.

"Yeilah... Ini kita lagi latihan drama buat pelajaran Bahasa Indonesia minggu depan, Abi. Lebay lo! Jangan-jangan lo suka ya sama Kasih?"

Abi segera menolehkan kepalanya menatap tajam pelaku yang sudah sia-sia ia selamatkan itu. Setelah mengetahui kebenarannya, Abi langsung mengempas tangan Kasih begitu saja.

"Terus kenapa cewek ini nyebut nama gue?" tanya Abi lagi pada Hani, cewek yang tadi berpura-pura menjambak rambut Kasih.

"Tahu tuh yang bikin naskah kan si Kasih, jadi tokohnya ya pasti ada nama lo-nya."

Kasih mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya bersamaan ke depan wajah Abi.

"Hihi... Kan udah dibilang Kasih tuh beneran suka sama masnya."

"Bodo!"

 

***

 

Dari balik jendela kamar yang terletak di lantai enam sebuah kost tersembunyi, sepasang mata tengah menatap nanar ke ujung lampu temaram yang menjadi lamunannya sore itu. Embusan napas keluar satu-persatu menandakan organnya akan hilang fungsi cepat atau lambat.

"Abiyasa Syamsah Fajaro," bibirnya mengeja satu nama yang dulu sekali pernah ia ucapkan setelah menuntunnya menyapa dunia. Membantunya mencari udara, anak kandungnya sendiri.

Hati kecilnya menjerit kasar namun air matanya seolah sudah kering. Diah hanya bisa meratapi yang telah lalu. Dengan berharap penderitaan hanya menjadi miliknya seorang.

"Anda memiliki kanker paru-paru stadium akhir. Sebaiknya kita melakukan kemote—"

"Waktu saya tinggal berapa lama lagi, Dok?"

"Umur hanya milik Tuhan, jangan menyerah, Bu."

"Berapa lama Dokter?"

"Tiga bulan saja jika tidak melakukan usaha apapun."

Bibir keringnya kembali menggumamkan nama Abiyasa Syamsah Fajaro dengan tangan kanan yang kesulitan menekan bagian dadanya.

Di penghujung waktunya Diah berharap Abi dan Raden hidup bersama. Diah berharap pergi tanpa membuat tangisan. Diah berharap takdir Abi tidak pernah seperti dirinya.

"Abiyasa.... Akh!" tenggorokannya terasa tercekat, semua oksigen bahkan tidak bisa sampai ke paru-parunya.

Diah luruh ke lantai setelah nama putranya terucap. Kemudian ia hanya merasa waktu berhenti berputar dan berganti dengan kegelapan.

"Ya Allah Diah..."

 

***

 

Marisha memandangi wajah Kashaf yang tengah mengulurkan undangan pernikahan dari salah satu aktris yang pernah bermain di filmnya. Kashaf memang menepati janjinya membuat film dengan latar di Jakarta. Ia tidak ingin intensitas pertengkarannya dengan Marisha bertambah.

"Aku akan menjemputmu," kata Kashaf.

"Aku tidak mau datang," celetuk Marisha tiba-tiba.

"Lho, kenapa?"

Padahal jelas itu adalah undangan khusus yang diberikan kepada Kashaf dan pria itu sangat berharap bisa datang bersama Marisha. Tapi apa yang telah membuat gadis itu dengan gampangnya malah menolak begitu saja.

"Aku tidak mau nanti mendengar desas-desus tentang kita yang belum juga menikah."

"Ya itulah masalahmu, Marisha. Takut di jugde orang lain tapi masih bertahan dengan keputusan salahmu itu." Kashaf sudah membuka topik pembicaraan yang akan menyerempet pada hal-hal yang membuat Marisha tersulut emosi.

"Katanya kamu mau menungguku? Kalau memang sudah tidak sanggup, tinggalkan saja aku. Pasti banyak kok yang mau menikah sama kamu. Sutradara muda, tampan dan terkenal seperti dirimu, Kashaf Rajendra Angkasa."

"Coba berpiikir secara realita, Mar. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang tidak kamu sukai juga. Kenapa kamu selalu menganggap diriku ini tidak pernah serius. Sudah enam belas tahun kita berhubungan tapi kamu tidak pernah berubah sedikitpun."

Pertengkaran selalu menghampiri keduanya. Entah itu harus dimulai tanpa sengaja atau memang disengaja seperti hari ini. Jelas Marisha yang memulai semuanya dengan sengaja. Menyinggung perasaan Kashaf dengan menolak ajakannya.

"Maafkan aku." Dan kesekian ribu kalinya mungkin, hanya Kashaf yang akan memulai dahulu permintaan maafnya. Meskipun Marisha yang bersalah.

Gadis itu hanya diam tapi pikirannya seolah menerjemahkan sindiran Kashaf tentang dirinya yang tidak pernah berubah, egois dan selalu ingin menang. Padahal Kashaf itu benar, semua yang ia katakan baik untuk masa depan mereka. Mau dibawa ke mana hubungan yang enam belas tahun terjalin ini, sementara usia keduanya sudah sangat cukup matang untuk melangsungkan bahtera rumah tangga.

"Aku minta maaf, Mar. Baiklah jika kamu tidak bisa datang, tidak apa-apa. Karena kamu lebih penting daripada apapun di duniaku."

Kashaf tersenyum kemudian mengusap pipi kanan Marisha. "Aku pulang dulu ya... Bye."

Marisha tertegun sendiri mendengar permintaan maaf terucap dari Kashaf. Selalu seperti itu, tapi kini Marisha seolah sadar sikapnya salah.

"Kashaf," dipanggilnya pria yang sudah berbalik arah darinya dengan suara sangat lembut. Jujur Marisha sangat takut Kashaf pergi dan tidak akan kembali padanya. Lalu, ia hanya akan merasakan kesepian yang mendalam.

Kashaf berbalik kembali dan menengadah menunggu jawaban Marisha.

"Aku mau pergi ke sana denganmu, kumohon jangan marah..." lirihnya dengan kepala menunduk. Marisha takut melihat kedua bola mata Kashaf saat ini.

"Baiklah, jangan lupa dandan yang cantik. Nanti aku jemput ya."

"Jadi aku tidak cantik kalau tidak berdandan, begitu?"

Kashaf mengacak puncak kepala Marisha yang tengah mencebik dengan mulut yang mengerucut, sangat lucu.

"Apa dirimu sedang pms? Sensitif sekali sih?"

"Bodo ah."

Sepertinya pertengkaran mereka akan dimulai kembali. Dan ini salah satu contoh pertengkaran tidak disengaja di antara mereka.

 

***

 

Suara tangisan terdengar begitu nyaring memenuhi kesunyian malam yang berada di dalam sebuah kamar kecil. Siapapun yang mendengarnya pasti merasa iba dan ikut meneteskan air mata.

Sekali-kali tangannya bergerak mengelus dadanya yang sesak. Seharusnya ia tidak menangis, karena hal itu dapat membuat penyakitnya kambuh. Tapi, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain menangis.

Karena menyesal memang tidak pernah pindah di awal. Kehadirannya bagaikan sebuah pertanda bahwa semua akan segera berakhir. Baik dengan sebuah kebahagiaan maupun penderitaan. Mungkin pilihan kedua adalah jalan hidup bagi Diah.

Semua yang dimulai akan berakhir dengan cara yang sama. Jika kita memulai dengan kebaikan pasti akan berakhir baik pula. Tapi jika kita memulainya dengan tidak baik, jangan berharap akan menuai kebaikan. Meskipun Tuhan bisa menjadikan hal mustahil menjadi mungkin.

Terdengar suara pintu diketuk dan membuat Diah segera menghapus jejak air mata di pipinya kemudian beranjak membuka pintunya.

"Diah, makan dulu, habis itu diminum obatnya ya?" seorang wanita tua berjalan membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam dan segelas air putih.

Diah dan wanita itu duduk di  bawah ranjang dengan alas sebuah permadani, karena tempatnya tidak memuat kursi ataupun meja. Hanya ada ranjang tempat tidur, lemari pakaian, dan kamar mandi.

"Kenapa menangis terus? Dokter bilang jangan sering-sering menangis, Diah. Nanti dada kamu sakit lagi."

Dinasihati untuk berhenti menangis anehnya Diah malah meneteskan kembali air matanya.

"Aku.. Aku juga pasti akan mati kan, Bu?"

"Jangan bilang begitu, umur itu sudah ada yang ngatur. Hanya Allah yang tahu."

"Kenapa Ibu peduli padaku?"

Wanita tua itu tersenyum lalu mengusap lembut punggung Diah yang masih sesenggukan.

"Ibu peduli karena kita adalah sesama ciptaan Allah. Sama-sama saling membutuhkan orang lain. Lagipula Ibu senang melihatmu di sini, sejak kamu tinggal di sini rasa rindu Ibu terhadap anak Ibu yang sudah pergi ke Belgia bersama suaminya sedikit terobati," cerita sang Ibu. Diah lagi-lagi tidak berekspresi lain kecuali menekuk wajahnya dan berakhir meneteskan air mata yang anehnya tidak bisa kering meski sudah menangis berjam-jam pun.

"Kamu merindukan putramu, Diah?"

Diah mendongak, dari mana Ibu ini tahu soal anak Diah? Ah, tentu saja karena ia menangis sangat kencang.

Diah mengangguk pada akhirnya. Meskipun sempat ragu tapi air matanya menandakan bahwa pertanyaan wanita tua itu jawabannya adalah iya. Diah merindukan putranya, Abi.

"Kenapa tidak menemuinya? Kenapa kamu tidak mau memperbaiki semuanya kembali Diah?"

"Karena... Karena aku takut..." Diah terisak hingga kalimatnya terjeda sesaat.

"Aku tidak mau menodai kesucian putraku. Aku tidak bisa membenci pria itu. Aku terlalu lemah.... Aku tidak bisa, Bu."

"Sudah sudah... Jangan diteruskan. Ibu mengerti semuanya kok. Tapi Nak, maaf jika Ibu mengatakan ini. Jika Allah tidak memberi waktu lebih untuk pertemuanmu dengan mereka, apa kamu tidak akan menyesal? Bukan kamu, pasti mereka menyesal. Setidaknya temuilah mereka."

"Haruskah, Bu? Setelah tiga belas tahun aku kabur?"

Ibu itu mengangguk. "Makan dulu, Diah," katanya menyodorkan mangkuk buburnya ke arah Diah.

Sambil menyuap sedikit demi sedikit bubur ayam yang terasa hambar di lidahnya, Diah terus memikirkan kalimat wanita di hadapannya ini. Apa ia harus menemui Abi? Menemui Raden?

Pertanyaannya adalah apa dia sudah benar dengan memilih sembunyi?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
225      188     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Imperfect Rotation
182      160     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Mapel di Musim Gugur
463      331     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Memoreset (Sudah Terbit)
3907      1470     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...
Meruntuhkan Keraguan
1208      783     3     
Inspirational
Dengan usaha kita bisa berjalan menuju tempat yang diinginkan. Namun, jika disertai dengan doa, maka kita bisa berlari sangat cepat ke tempat tersebut.
Harmonia
4368      1378     4     
Humor
Kumpulan cerpen yang akan membuat hidup Anda berubah 360 derajat (muter ke tempat semula). Berisi tentang kisah-kisah inspiratif yang memotivasi dengan kemasan humor versi bangsa Yunani. Jika diterbitkan dalam bentuk cetak, buku ini akan sangat serba guna (bisa untuk bungkus gorengan). Anda akan mengalami sedikit mual dan pusing ketika membacanya. Selamat membaca, selamat terinspirasi, dan jangan...
MAMPU
7366      2433     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
INDIE
504      356     0     
Short Story
Bercerita mengenai kebebasan
Angkara
1137      670     1     
Inspirational
Semua orang memanggilnya Angka. Kalkulator berjalan yang benci matematika. Angka. Dibanding berkutat dengan kembaran namanya, dia lebih menyukai frasa. Kahlil Gibran adalah idolanya.
Kekasih Sima
338      219     1     
Short Story
Sebenarnya siapa kekasih Sima? Mengapa bisa selama lima tahun dicampakkan membuat Sima tetap kasmaran, sementara orang-orang lain memilih menggila?