Loading...
Logo TinLit
Read Story - Satu Nama untuk Ayahku
MENU
About Us  


Hari minggu pagi Abi selalu menyempatkan waktu menemani Marisha berbelanja. Meskipun Haikal selalu meledeknya bersikap seperti anak perempuan tapi Abi tidak peduli. Apa salahnya berjalan sambil mendorong troli bersama perempuan yang sudah melahirkannya? Kadang Abi harus menceramahi Haikal untuk berlaku sama seperti dirinya.

Abi terus mendorong troli dengan setia mengikuti langkah Bunda. Tidak jarang juga cowok itu mengambil snack yang menarik perhatiannya kemudian diletakkan di dalam troli.

Kebersamaan seperti ini adalah momen terbaik bagi Marisha karena merasa sudah menjadi seorang ibu paling bahagia ditemani belanja oleh putranya. Suatu hari nanti jika ia dikaruniai anak dari Kashaf, maka Marisha akan mengajarkan hal yang sama juga.

Setelah dirasa keperluannya masuk semua di dalam troli, Marisha mengajak Abi mengantre di depan meja kasir yang lumayan panjang. Hari ini sedang ada diskon spesial bulan April yang diberikan cuma-cuma. Jadi, pastinya kaum hawa yang memiliki citarasa tinggi terhadap hal-hal yang menyangkut soal diskon menjadi hal wajib untuk dikunjungi. Contohnya saja seperti Marisha.

Seorang perempuan terbalut outer maroon panjang dengan tas putih gading berjalan menaiki eskalator yang jaraknya lumayan dekat dari tempat Marisha mengantre. Perempuan itu tidak sadar bahwa Marisha menemukannya. Buru-buru Marisha membuka dompetnya dan menyerahkan sebuah credit card kepada Abi. Dengan kebingungannya mau tidak mau Abi segera memindahkan benda pipih itu ke tangannya.

"Bunda kelupaan harus beli sesuatu. Abi bayar aja kalau udah lama ya." Setelah mengucapkan kalimat itu, Marisha berlarian mengejar perempuan outer maroon tadi.

Abi sempat melirik bundanya berjalan menaiki eskalator. Itu berarti hal yang ingin dibeli bundanya ada di lantai dua. Tapi, bukankah lantai dua itu tempatnya pakaian dan segala pernak-pernik. Apa bunda ingin membeli pakaian?

Abi segera berjalan tepat di depan kasir dan menyusun semua belanjaannya di atas meja. Sedangkan sang kasir perempuan yang masih terlihat muda itu terlihat menyunggingkan senyuman. Mungkin dia aneh melihat remaja laki-laki seperti Abi belanja kebutuhan rumah sangat banyak.

Napas Marisha memburu naik turun begitu matanya berhasil menangkap sosok perempuan outer maroon tersebut. Dengan cekatan Marisha menarik lengannya hingga perempuan itu menoleh dengan rasa kaget.

Masih saling pandang tidak percaya lidah Marisha terasa sangat kelu. Bagaimana bisa sosok di hadapannya kini sama sekali tidak berniat mengunjungi putranya meski berkeliaran di dekat mereka. Apa tidak ada sedikitpun jiwa keibuan dalam raganya, bahkan Marisha yang tidak tahu caranya mengandung saja tidak bisa melihat Abi sedih, kecewa hingga berani melakukan beberapa aksi mogok jika keinginannya tidak terkabul. Dia adalah kakaknya, perempuan outer maroon yang selama ini sembunyi entah di mana. Atau, memang Diah tidak pernah peduli lagi pada dia dan Abi.

"Mbak..." kata pertama yang berhasil dikeluarkan Marisha adalah sapaan untuk kakaknya. Untuk perempuan paling berjasa dalam hidupnya. Menjaganya dari umur lima belas tahun, hingga berhasil membiayai sekolahnya hingga sukses seperti saat ini. Marisha tidak akan pernah melupakan jasa Diah. Sungguh!

"Mbak..." Ada liquid bening yang menyelimuti bola mata Diah saat ini. Seperti sesuatu yang harus ditahan tapi terlanjur terlepas juga.

"Mbak Diah ke mana aja? Mbak nggak kangen sama Abi?"

Hanya orang yang tidak punya hatilah yang tidak pernah merindukan buah hatinya sendiri. Diah mungkin salah satu dari orang itu, makanya dengan seluruh kekuatan yang ia kerahkan rasa rindunya membeku seperti perasaannya yang terlanjur dikecewakan.

"Mbak selama ini tinggal di mana? Mbak kapan mau kembali sama kita?"

Diah masih enggan membuka mulutnya. Ia butuh beberapa menit supaya tenggorokannya yang tercekat bisa bebas kembali.

"Demi Allah Mbak tolong katakan sesuatu, jangan diam saja."

Lalu Diah tersenyum. Ekspresi aneh yang membuat Marisha makin tidak mengerti.

"Akan ada masa di mana kamu mengerti alasan dari keputusan Mbak ini, Mar. Jadi bisakah kamu melepaskan Mbak dan membiarkan Mbak pergi?"

Tapi cekalan tangan Marisha makin mengerat setelah Diah menuntaskan kalimatnya. Mana mungkin ia akan melepaskan hasil buruannya begitu saja. Tiga belas tahun lamanya dan Marisha akan terus mengalah? Tidak akan. Cukup sampai di sini saja dia diam.

"Mbak pernah melihat Abi?"

"Sudah. Mbak menemuinya di sekolah dan memberikan foto ayahnya. Apa kau sudah menjawab pertanyaannya? Sekarang biarkan anak itu tahu siapa ayahnya."

Marisha mengusap kasar pipinya dengan kedua telapak tangan. Iya, Marisha kini melepaskan cekalan tangannya di lengan Diah. Karena dia sudah mengerti bahwa kakaknya sama sekali tidak peduli pada Abi. Jawaban itu membuktikan Diah memang sudah membuang Abi padanya.

"Jangan salahkan aku kalau Abi menganggap aku ibunya, Mbak."

"Mbak tahu. Kau berhasil mendidik Abi. Dia jadi anak yang sopan dan sangat manis. Katakan saja kamu adalah ibu kandungnya, Mar. Karena Mbak sudah tidak peduli."

"Kenapa Mbak? Kalau dulu Mbak tidak siap mempunyai anak kenapa memilih melahirkan Abi?!" suara Marisha semakin meninggi. Kini tidak jarang beberapa orang yang menyaksikan adegan itu menatap horor ke arah mereka.

"Kalau kamu sudah lelah, serahkan saja pada Raden. Serahkan Abi pada ayahnya. Pada pria yang tidak bertanggung jawab itu!" balas Diah tidak kalah ketus. Dadanya tiba-tiba berdenyut, Diah menekan dengan salah satu tangannya.

"Biarkan hidupmu bebas, Mar. Kalau sudah tidak sanggup, serahkan pada Raden. Dia harus menanggung perbuatannya tiga belas tahun yang lalu!"

Dan kalimat itu adalah penutup dari pertemuan pertama mereka setelah tiga belas tahun berlalu. Seharusnya Marisha menahan Diah, tetapi kekuatannya sudah habis sampai di sini. Kasihan Abi jika mengetahui apa yang ada di dalam pemikiran ibu kandungnya sendiri.

Marisha mengusap wajahnya dan sedikit memberikan polesan di sana guna menyamarkan jejak air matanya. Setelah turun dari eskalator, Marisha melihat punggung Abi yang tengah bersandar di depan mobilnya sambil memegangi belanjaan mereka yang sangat banyak.

"Abi, maaf ya Bunda lama."

Abi menoleh dan segera mengulurkan credit card Marisha yang langsung disambut olehnya.

"Yang dicari ada Bunda?" tanya Abi.

Marisha menunduk sekilas. Yang dicari memang ada Abi, tapi sudah pergi lagi dan Marisha tidak akan peduli. Karena dia tahu alasan Diah sungguh sangat kejam.

Marisha kemudian menggeleng.
"Tidak ada. Sudahlah nanti saja kapan-kapan."

Abi tidak terlalu mempermasalahkan benda apa yang dicari Bunda sampai ke lantai dua. Mungkin hanya kaum hawa saja yang mengerti.

Abi lupa tidak membawa tabletnya jadi memilih memandangi pemandangan jalanan di balik kaca mobil.

"Bunda, Abi mau nanya dong."

"Apa?"

Abi sempat ragu ingin menanyakan pada Bunda. Tapi, ia sudah terlanjur penasaran juga.

"Waktu itu Kasih pendarahan Bunda, katanya itu urusan cewek. Tapi, kenapa Kasih yang masih tiga belas tahun udah ngalamin pendarahan, Bun?"

Sontak Marisha tertawa nyaring. Abi ada-ada saja. Tapi Marisha sudah mengerti kata pendarahan yang dimaksud Abi itu apa.

"Itu namanya darah haid, Abi. Hanya dialami sama perempuan yang sudah masuk masa puber. Udah ah jangan nanya yang kayak gitu, karena Abi nggak mungkin ngerti. Nanti saja, di pelajaran biologi juga nanti ada."

"Hehe... Maaf Bunda," senyum Abi konyol.

 

***

 

"Abi tahu Lalisa Blackpink, kan?"

"Tahu dong. Dia kan pernah muncul di TV."

"Menurut Abi cantik Lalisa Blackpink atau Kasih?"

"Hahah...." tawa Abi menggelegar. Pertanyaan tidak berfaedah Kasih kali ini sungguh mengocok perutnya.

"Ya pasti cantikan Lisa-lah," kata Abi geleng-geleng kepala.

Kasih tersenyum manis meski tidak mendapat pembelaan Abi. Baginya membuat Abi tertawa adalah keberhasilan. Kasih memang sengaja menjadi cerewet di depan Abi saat ini. Ia tidak suka melihat wajah serius Abi yang sedang mengerjakan soal matematika, ia lebih suka melihat Abi tersenyum saja.

Saat ini guru matematika mereka meminta setiap kelompok berdikusi mencari jawaban dari soal yang diberikan berbeda untuk masing-masing kelompok. Dan sialnya, Abi kebagian kelompok dengan Kasih, Rizki dan Feby.

"Heh cewek kunti, kerjaan lo daritadi ngomongin Lisa Blackpink mulu. Mana coba kerjaan lo udah beres belum?"

Kasih langsung berpura-pura menundukan kepala dan mencoret asal angka di buku tugasnya. Diberi satu soal pun Kasih belum selesai, ditambah mengobrol tidak jelas dan memperhatikan wajah Abi. Jadi, di buku tugasnya kini baru tertulis soalnya saja.

"Punya gue udah bener, kan, Bi?" tanya Feby menyodorkan buku tugasnya untuk diteliti Abi. Diantara keempatnya memang Abi-lah yang dikatakan paling menonjol. Di semester kemarin Abi berhasil mendapat peringkat kedua paralel di sekolah.

"Iya udah bener kok. Gue salin di kertas folio ya."

Baru saja Abi akan memposisikan kertas folio di atas buku cetaknya, tiba-tiba Kasih merebut tanpa izin.

"Abi, tukeran kerjaan aja. Abi nerusin jawaban punya Kasih, nanti Kasih yang nyalin semua jawaban di kertas folio. Ya?" alis gadis itu naik turun membujuk Abi agar mau bertukar dengannya.

"Yaelah ribet lo. Ya udah ini! Awas tulis yang rapih, jangan sampai ada angka yang typo."

Kasih mengacungkan ibu jarinya dan menunjukan senyum kemenangannya kepada Abi. Sedangkan Rizki dan Feby yang merasa sudah selesai hanya senyum-senyum geli memperhatikan perdebatan Abi dengan Kasih.

"Semangat nulisnya, Kas," ujar Rizki di sebelahnya.

"Makasih, Rizki. Abi gak mau nyemangatin Kasih?" tuding gadis itu mendongak menunggu jawaban Abi.

Namun tangan Abi malah menekan kepala Kasih hingga gadis itu kembali menunduk dan dengan sebal kembali memindahi angka dari buku Feby ke kertas folio.

 

***

 

Marisha jadi tidak bersemangat menyusun laporan hasil rapat yang sudah ditandatangani Pak Ridwan. Tangannya memang bergerak menumpuknya menjadi makin tinggi, tapi matanya tertumpu pada satu titik. Marisha memperhatikan vas bunga kecil di atas meja kerjanya dengan ingatan tentang pertemuan kemarin dengan Diah.

Rina yang menyadari perubahan sikap Marisha yang tidak seperti biasa mencoba membuyarkan lamunan gadis itu dengan mengetuk meja tiga kali.

Alhasil Marisha kini menoleh dan gelagapan menyadari laporannya tersusun tidak beraturan.

"Mar, lagi galau kamu? Ngelamun aja dari tadi," tebak Rina.

"Nggak kok, Rin. Aku cuma lagi nggak enak badan aja," bohongnya menyembunyikan masalah pribadi dengan alasan sakit.

"Ijin aja kalau gitu. Lagian lo itu karyawan kesayangan kali, jadi boleh-boleh aja kalau ijin. Terus juga lo jarang ambil cuti, kan?"

Benar juga sih kata Rina. Soal pekerjaan Marisha tidak pernah setengah-setengah. Kalaupun dia memang menjadi kesayangan bosnya, itu hasil dari kerja kerasnya selama ini. Tapi, Marisha tidak mau mencampuradukkan masalah pribadi dengan kerjaan.

"Gak ah Rin, manja banget aku segini aja minta ijin. Udah, kuat kok."

"Iya deh."

Kashaf berjalan santai setelah keluar dari lift di lantai empat tempat kerja Marisha berada. Di sana Kashaf merupakan orang terkenal yang diperbolehkan keluar masuk begitu saja. Selain itu, Kashaf juga merupakan investor terbesar di perusahaan Marisha.

Begitu netranya menemukan gadis berbalut kemeja kasual berwarna krem, Kashaf segera berdiri di depan meja Marisha dengan memasang senyum paling menawannya.

"Sudah makan siang?"

Marisha mengulum bibirnya tersenyum samar. Ia ingin sekali memeluk Kashaf saat ini dan mengadu soal pertemuannya dengan Diah kemarin. Hanya Kashaf yang bisa menjadi obat baginya. Kashaf yang selalu menenangkannya.

"Yuk.." tanpa menunggu jawaban dari Marisha lagi Kashaf langsung menarik lengan gadis itu menuju lift untuk mencapai lantai satu.

Seperti biasa mereka makan di restauran yang selalu Marisha rindukan. Bukan karena masakan dan interiornya saja. Tapi juga kebersamaannya dengan Kashaf Rajendra Angkasa.

"Kemarin aku ketemu sama Mbak Diah." Akhirnya Marisha berani membuka suara pada Kashaf.

"Terus bagaimana? Apa dia akan pulang?"

Marisha menggeleng lemah.

"Mbak Diah malah nyuruh aku untuk mempertemukan Abi dengan ayahnya."

"Kamu tahu siapa orang itu?"

"Namanya Raden Kalingga."

"Apa??"

Marisha tersentak dengan keterkejutan Kashaf yang terucap tiba-tiba itu. Kenapa setelah mendengar nama Raden Kalingga, ekspresi Kashaf berubah total?

"Kamu mengenal orang itu?"

"Dia pemilik dari salah satu perusahaan online shop terbesar se-asia, Marisha."

Rahang Marisha terbuka lebar tanpa sadar. Otaknya masih berusaha mencerna kalimat yang diucapkan Kashaf. Jika Raden Kalingga seterkenal itu, lalu apakah Diah sengaja membuang Abi untuk citra pria monster itu?

Marisha berdiri dari duduknya dengan wajah merah karena marah. "Aku tahu alasan kenapa Mbak Diah tidak melakukan apapun sampai sekarang dan memilih kabur membuang Abi."

"Marisha, duduk dulu atur emosi kamu. Bicara pelan-pelan denganku," pinta Kashaf lembut menarik lengan kekasihnya hingga terduduk kembali.

Marisha mengusap wajahnya gusar. Kenapa misteri ini baru sekarang terpecahkan. Baru sekarang, di saat Diah kabur lagi.

"Aku tidak menyangka ternyata Mbak Diah selemah itu."

"Lalu apa keputusanmu selanjutnya, Marisha?"

Diambilnya udara sebanyak mungkin untuk memenuhi paru-parunya kemudian Marisha menggenggam telapak tangan Kashaf erat. Sangat erat seperti takut kehilangan.

"Bantu aku menghancurkan pria itu, Kashaf."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
Horses For Courses
11871      2370     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
Game of Dream
1457      812     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
Without End
1359      596     1     
Mystery
Di tahun akhir masa SMA nya, atas ajakan dari sahabat baiknya, ia ikut kencan buta dan bertemu dengan pria tampan dengan perilaku yang sangat sopan. Ia merasa bahwa pria tersebut memiliki sisi lain dan tak bisa tak menjadi tertarik, hingga mengantarkan dirinya sendiri terjebak ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Kebahagiaan, ketakutan, perasaan terbelenggu, tercekik, sesak nafas, dan ha...
12 Kenangan Shilla
546      378     4     
Short Story
Cerita tentang Shilla di hari terakhir di masa sekolahnya. Mau tau tentang 12 kenangan Shilla pada masa sekolah? Simak cerita ini!
Lagu Ruth
435      312     0     
Short Story
wujud cintaku lebih dari sekedar berdansa bersamamu
Love and Pain
615      378     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
Bullying
574      353     4     
Inspirational
Bullying ... kata ini bukan lagi sesuatu yang asing di telinga kita. Setiap orang berusaha menghindari kata-kata ini. Tapi tahukah kalian, hampir seluruh anak pernah mengalami bullying, bahkan lebih miris itu dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Aurel Ferdiansyah, adalah seorang gadis yang cantik dan pintar. Itu yang tampak diluaran. Namun, di dalamnya ia adalah gadis rapuh yang terhempas angi...
Listen To My HeartBeat
586      357     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Tuhan, Inikah Cita-Citaku ?
4217      1738     9     
Inspirational
Kadang kita bingung menghadapi hidup ini, bukan karena banyak masalah saja, namun lebih dari itu sebenarnya apa tujuan Tuhan membuat semua ini ?