"2008...?"
Hana langsung mengangkat kepalanya dan memperhatikan sekitarnya. Spanduk dan banner yang menghiasi keramaian disekitar juga menuliskan kata-kata yang sama 'Sale Akhir Tahun! 28-31 Desember 2008'. Detik itu, Hana baru menyadari segalanya. Segala keanehan yang tiba-tiba menghampirinya. Hana baru saja menjelajah waktu, kembali ke tahun 2008. Pintu gudang itu adalah mesin waktu.
Matahari semakin bergelincir ke barat. Dengan langkah yang mulai berat, Hana berjalan tanpa arah, tak tahu harus kemana dan pada siapa ia harus meminta tolong. Melapor kepolisi pun tak akan gunanya. Yang ada ia hanya dianggap sebagai imigran gelap yang tidak memiliki identitas. Sebab, ia sendiri tidak tahu apa saat ini ada dua Hana atau hanya dia seorang.
Tepat saat Hana berjalan di pinggir jalan raya, beberapa mobil polisi terlihat dari kejauhan. Beberapa polisi dan petugas ambulan nampak tergesa-gesa menuruni lembah kecil di pinggir Jalan menghampiri kerumunan orang-orang di antara alang-alang dekat sungai. Entah apa yang terjadi, namun yang pasti sesuatu yang buruk terjadi di sebrang sana. Lagi-lagi, Hana yang selalu ingin tahu, mengesampingkan kekhawatirannya dan segera menghampiri kerumunan yang semakin ramai tersebut.
Di antara kerumunan orang-orang dan beberapa petugas kepolisian dan petugas ambulan yang nampak hilir mudik. Hana berjingkrak mencari celah untuk melihat apa yang terjadi. Ia melihat seorang wanita berambut kemerahan yang sudah terlihat pucat itu mengapung di pinggir sungai dengan tertelungkup. Pada tubuhnya terlihat beberapa bekas lebam di sekitar lengan dan kakinya.
Tak jauh dari tempatnya berdiri seorang polisi datang untuk memasang garis polisi dan mensterilkan tempat kejadian perkara. Terlihat juga sepasang sendal jepit, tas jinjing kecil dan kantung plastik hitam di pinggir jembatan yang sedang diamankan.
"Bunuh diri ya?" tanya seorang wanita tua pada orang-orang di sampingnya.
"Kayaknya iya" seorang anak SMA yang masih lengkap dengan seragamnya menjawab sambil tak henti memperhatikan para polisi dan petugas medis tersebut.
Hana pun terus memperhatikan para polisi tersebut. Ada perasaan aneh yang mengalir dalam dirinya, seolah ia merasakan apa yang ayahnya rasakan saat menemukan kasus-kasus kriminal seperti ini. Dengan begitu serius, Hana memperhatikan satu demi satu proses evakuasi jasad wanita tersebut. Namun betapa kagetnya Hana saat melihat wajah wanita tersebut. Dalam sekejap ia teringat sesuatu yang berkaitan dengan sang ayah. Bukan kematian atau pun kasus hilangnya sang ayah melainkan hal lainnya. Ia teringat akan satu hal. Sesuatu yang tak akan bisa dijelaskan dalam kata-kata. Sebuah kejanggalan yang menciptakan sebuah kesempatan baru. Hana melangkah mundur sambil menutup mulutnya yang menganga tak mempercayai apa yang telah ia sadari.
Gadis yang tewas itu adalah sosok yang tidak asing. Sosok wajah yang mengisi beberapa halaman di scrapbooknya, tepatnya pada artikel-artikel koran yang ia simpan. Hana tahu gadis yang tewas itu. Hana tahu bagaimana gadis itu mati dan kini Hana tahu dimana ia berada. Gadis tewas tersebut bernama Mira. Seorang mahasiswi tingkat akhir yang diduga tewas bunuh diri. Hana ingat betul segala informasi tentang gadis itu dari artikel koran dan buku catatan ayahnya. Kasus kematian gadis ini adalah beberapa kasus terakhir yang diselidiki ayahnya sebelum ia menghilang. Kasus itu adalah awal mula dari deretan kasus yang menggiring ayahnya pada 'kematian'. Dan kini, bagaikan sebuah kejaiban, Hana melintasi waktu dan berhenti tepat pada saat kasus pertama dimulai. Entah apa semua ini adalah kejutan atau justru akan membawa Hana jatuh semakin dalam, yang jelas kini ia mulai menemukan titik terang. Ia tahu apa yang harus dilakukan.
Tanpa sadar, Hana terus melangkah mendekati garis polisi di saat beberapa polisi sibuk menertibkan orang-orang di sekitar tempat kejadian perkara.
"Oi.. mbak! Mbak siapa? tolong jangan dekat-dekat ya" perintah seorang polisi sambil menghisap puntung rokoknya.
"Ehm.. maaf pak.. ehmm saya... wartawan" jawab Hana agak sedikit ragu.
"Wartawan? Mana tanda pengenalnya?"
Hana dengan cepat mengeluarkan kartu persnya dan menunjukkannya pada polisi itu. Polisi itu mengambil kartu pers Hana namun hanya melihat kartunya sekilas dan langsung mengembalikannya.
"Wartawan infortaiment ngapain di sini? Korbannya kan bukan artis? Jangan dekat-dekat" ujar polisi itu dengan nada dingin sambil mendorong kartu pers Hana ke dadanya. Sebetulnya, ia merasa sangat gugup, takut jika polisi itu menyadari kalau kartu pers itu adalah kartu yang dikeluarkan pada 2016. Sedikit saja polisi itu menyadari kejanggalan pada kartu persnya, maka tamatlah riwayat Hana, yang akan dilabeli sebagai wartawan gadungan atau wartawan gila.
Hana pun hanya bisa mematung di luar garis polisi dan kembali memperhatikan anggota polisi tersebut. Polisi bertubuh tinggi tersebut terlihat sibuk ke sana kemari. Ia nampak sibuk dengan anak buahnya. Meskipun dilihat dari wajah dan penampilannyanya, polisi itu terbilang masih cukup muda, mungkin usianya sekitar 27-29 tahun. Cukup mengangumkan melihat polisi muda sepertinya bekerja dengan gigih.
"Apa perempuan itu bunuh diri?" Tanya Hana pada polisi tersebut dengan suara yang agak meninggi agar terdengar diantara suara kerumunan warga. Polisi itu nampak menatap Hana dingin, seolah menyiratkan kata-kata jangan-sok-tahu. Polisi itu menyelesaikan rokoknya yang dibuang di jalan dan kemudian diinjak. Ia lalu menghampiri Hana sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Arogan sekali.
"Mbak tau dari mana? Kami aja belum memulai penyelidikan" ucap polisi itu.
"Itu....."
"Dari sendal jepitnya? Ha? Sekilas memang terlihat bunuh diri tapi kami belum bisa menyimpulkan apa-apa. Seseorang baru saja menelpon kantor polisi karena melihat mayat. Dan kami baru datang kesini. Mbak juga lihat kan kita baru tiba.."
"Begini a-"
"Oi! Pak Dani!" polisi itu memotong ucapan Hana. Ia berteriak dan melambaikan tangannya memanggil seseroang di belakang Hana. Dan tanpa sepatah kata apapun, ia melewati garis polisi, meninggalkan Hana begitu saja, dan menghampiri sosok yang polisi itu panggil sebagai Dani.
Hana memutar tubuhnya mengikuti arah polisi itu pergi. Mendengar polisi itu menyerukan nama 'Dani' membuat tubuhnya merasa seperti tersetrum sengat listrik tegangan rendah. Dalam sekejap saja, jantungnya terasa berdetak sepuluh kali lebih cepat. Hatinya seolah mengharapkan sesuatu. Perasaannya kini bagai sebuah sungai keruh yang mendadak kembali mengalir dan perlahan airnya kembali jernih saat melihat sosok yang dipanggil Dani tersebut. Luka itu, kerinduan itu, satu per satu bagai mengalir dari dirinya sampai tubuhnya terasa bergetar hebat menahan perasaannya. Kerinduan yang mengalir pergi kini berubah menjadi air mata begitu sosok pria paruh baya nampak menghampiri polisi tersebut. Karena Hana tahu pria paruh baya tersebut. Sangat tahu. Pria paruh baya tersebut adalah Dani Putra, ayah kandungnya.
"Ayah" ucap Hana sangaat pelan sambil meneteskan air mata.
Ya, sang ayah, Dani, memang masih bernafas dan hidup baik-baik saja di Desember 2008. Hana yang menatap ayahnya dari kejauhan hanya bisa terpaku. Air matanya hampir mengaburkan pandangan matanya sementara jantungnya terus berdegup kencang. Rasanya ia ingin segera berlari dan memeluk sang ayah. Ia tak mampu berkata dan hanya berusaha menahan tangis bahagia dan rasa ketidakpercayaannya. Betapa ia berharap mamanya berada di sini, merasakan apa yang ia rasakan dan melihat apa yang ia temukan. Karena dari sekian banyak kejanggalan yang terjadi, kali ini adalah kejanggalan yang paling indah.
Hana tetap terdiam saat ayahnya mulai melangkah ke arahnya dari kejauhan. Bibirnya berkali-kali mengucap kata 'ayah' sambil terus melihat sosok pria yang datang mendekat itu. Namun hatinya langsung merasa kaku begitu sang ayah berjalan, berlalu tanpa sedikitpun menatapnya. Ayahnya tak mengenalinya. Mungkinkah karena Hana di 2008 adalah Hana yang masih murid SMA? Hana tidak tahu. Yang jelas, pria yang Hana panggil ayah itu berlalu begitu saja seolah tak mengenalinya. Perasaannya yang awalnya terasa seperti sungai yang kembali jernih dan mengalir, seketika terasa menjadi sungai yang membeku seperti es. Ada jutaan bahkan milyaran hal yang ingin Hana sampaikan pada Ayahnya. Namun sepertinya masih belum saatnya. Ia masih harus menahan diri.
Hana kembali memutar tubuhnya dan terus menatap punggung ayahnya yang menjauh. Sang ayah sibuk berdiskusi dengan polisi muda yang tadi berbicara dengannya. Mereka saling berbicara sambil menunjuk-nunjuk jenazah Mira yang sudah dimasukan kedalam kantung jenazah dan dibawa ke dalam mobil ambulan. Hana tak tahu apa yang mereka bicarakan namun satu yang pasti, mereka membicarakan kasus kematian Mira.
Dalam hitungan detik, Hana tiba-tiba tersadar. Bagai tersambar petir yang kemudian menjernihkan pikirannya, muncul ide gila dalam kepala Hana. Sebuah ide yang mungkin bisa mengembalikannya pada waktu dan tempat yang seharusnya, bahkan mungkin dapat menyelamatkan ayahnya. Hana menatap ayahnya yang masih bersama detektif tersebut kemudian melihat jenazah di arah yang lainnya secara bergantian. Sebuah segitiga di antara mereka seolah membentuk sebuah pertolongan dari Tuhan. Hana dapat menyelamatkan dirinya. Hana dapat menyelamatkan ayahnya. Hana dapat mengubah kenyataan, bahkan masa depannya.
Mantap thor. lanjutkan ceritanya
Comment on chapter Chapter 1 - Timeline