BAB I
CEWEK CEROBOH
Jakarta, 2016.
~Govoriat, chto esli
Kto-nibud’ikaiet
Eto znachit, chto iego
Kto-to vspominaiet
Esli eto vsamom dielie
Vsamom dielie tak
To proshu minya nie vspominat’ nikak~
Lagu dari film animasi anak-anak Rusia yang terkenal, Marsha and The Bear episode 22 menggema dari handphone-ku. Aku menyetel setting-an ringtone handphone-ku dengan lagu tersebut sebab lagunya ceria dan memberikan vibe positif setiap kali mendengarkan. Kulihat sebuah nomor asing yang muncul, aku mengernyitkan dahi sebentar sebelum akhirnya ku-swipe layar handphone-ku ke arah kanan untuk menerima panggilannya.
“Halo, dengan Fulangi Janya?” suara wanita muda dari seberang telepon berbicara dengan nada yang sopan dan halus.
“Halo, ya benar. Dengan siapa saya bicara?” tanyaku balik pada pemilik nomor asing yang tidak kukenal itu.
“Saya Ririn dari Pusat Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Rusia (PKR) di Jakarta, mengkonfirmasikan wawancara untuk program beasiswa ke Rusia yang saudari ajukan, jatuh pada hari Selasa minggu ini.” ujarnya sopan. Ah, aku sedikit terkejut ternyata dari PKR. Nomornya belum sempat kusimpan di kontak handphone-ku.
“Baiklah, saya mengkonfirmasikan kehadiran saya pada hari tersebut.” jawabku mantap. Wanita muda tersebut menanyakan berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan sambungan telepon kami. Sejujurnya telepon inilah yang sudah kutunggu selama beberapa minggu belakangan. Siswa yang mendapat panggilan untuk wawancara atau tes berarti sudah lulus seleksi beasiswa.
Aku sedang mengajukan beasiswa untuk program sarjana di Rusia. Banyak orang bertanya mengapa aku tertarik dengan Rusia? Sebab, aku suka belajar bahasa asing dan tentunya aku ingin pengalaman baru di benua lain. Kebanyakan temanku setelah lulus dari SMA sepertiku ini memilih untuk masuk perguruan tinggi negeri melalui SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) atau UMB (Ujian Masuk Bersama) yang saingannya seluruh Indonesia, bayangkan saja seluruh Indonesia.
Kalau gagal SNMPTN, SBMPTN atau UMB pilihan selanjutnya jelas kuliah di perguruan tinggi swasta. Yang jelas saat ini banyak sekali PTS di Indonesia mutunya tidak kalah bagus dengan PTN, bagi yang lain bisa memilih ke luar negeri, sebagian memilih langsung terjun dalam dunia kerja atau yang paling ekstrem masuk ke dunia pernikahan. Itulah, jalan hidup orang berbeda-beda, cukup jalani, nikmati dan syukuri.
Umumnya teman-temanku yang berminat melanjutkan studi ke luar negeri akan memilih kuliah di Amerika, Eropa, Jepang, China atau yang dekat Singapura dan Malaysia, jarang sekali yang memilih Rusia. Itulah alasan lain aku memilih negara Rusia karena aku tidak ingin mengikuti arus seperti orang-orang, aku ingin berbeda dari yang lain, ditambah aku menyukai keunikan termasuk bahasanya. Ya, bahasa Rusia cukup unik. Sayangnya bahasa ini kalah pamor dengan bahasa Jepang, China, Jerman, Arab dan Korea di Indonesia. Aku melihat adanya peluang yang cukup baik karena tidak banyak orang dapat berbahasa Rusia.
Ayah dan ibuku cukup setuju dan merestui keinginanku berkuliah di Rusia. Keluargaku bukan borjuis tapi masih bisa membiayai anak-anaknya untuk berkuliah di luar negeri. Apalagi, aku sedang mengincar beasiswa, jelas bukan beasiswa untuk siswa tidak mampu namun beasiswa untuk anak yang bisa dibilang ‘cukup’ pintar. Tapi aku tidak merasa bahwa aku ini pintar, hanya saja otakku ini cukup mampu belajar dengan giat. Ditambah lagi adanya faktor ‘x’, aku percaya adanya faktor ‘x’ ini. Yaitu faktor keberuntungan. Aku tidak begitu pintar, hanya saja aku beruntung.
Aku sempat membaca di internet banyak nitizen yang tidak setuju orang yang tidak miskin mendapat beasiswa, padahal jenis beasiswa macam-macam. Ada beasiswa untuk siswa berprestasi yang murni dilihat dari prestasi dan nilai akademiknya, ada pula memang beasiswa untuk siswa tidak mampu yang ditanggung pemerintah. Meskipun begitu, jangan harap mudah untuk lulus dalam sebuah saringan beasiswa, tentu pemberi beasiswa tidak ingin menyia-nyiakan dana besar hanya untuk menginvestasi orang-orang sembarangan, mereka benar-benar menyaring secara gila-gilaan.
Pemerintah Rusia setiap tahun mengadakan pendaftaran program beasiswa untuk berkuliah di Rusia bagi mahasiswa asing, termasuk mahasiswa Indonesia. Aku yang baru lulus SMA akan mengambil program S-1 yang nantinya akan berjalan 4 tahun, sebelumnya 1 tahun program bahasa Rusia di Fakultas persiapan secara gratis juga. Aku sudah mulai belajar bahasa Rusia 8 bulan yang lalu di tempat kursus di Jakarta, sehingga ketika sampai di Rusia nanti aku hanya memperlancar saja bahasa Rusiaku. Untungnya tahun sejak 2016 ini dipermudah proses administrasi beasiswa ke Rusia, sebelumnya harus mendatangi cabang Rossotrudnichestvo, lembaga negara yang mengurus beasiswa kini aku dimudahkan hanya dengan mengirim secara online di situsnya.
Aku harus segera memberitahukan kabar gembira ini ke ibuku. Aku bergegas turun ke lantai bawah untuk mengabarinya. Kulongok ibu sedang tidur siang di kamarnya. Aku berjalan pelan-pelan menuju arahnya, kebahagianku sulit dibendung. Aku tidak bisa menahannya.
“Ibu...” aku membangunkan ibuku dari tidur siangnya. Saat ini di rumah tidak ada siapa-siapa selain aku dan ibu. Sebab ayah sedang di kantor dan adikku, Djuwita sedang sekolah. Aku sebagai siswa SMA yang baru lulus jelas menganggur di rumah siang hari begini.
“hmmm...” ibu hanya menyahut kecil. Matanya masih terpejam. Aku tahu benar, ibu masih larut dalam mimpinya. Aku tidak sanggup membangunkannya secara langsung, aku hanya mengecup pipinya. Terlihat ada bekas merah lipatan bantal di pipinya. Ibu yang sedikit terkejut akhirnya terbangun sebab aku jarang-jarang mengecup pipinya.
“Ada apa ini?” ia keheranan. Aku cengegesan di hadapannya. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku.
“Aku lulus seleksi beasiswa ke Rusia. Selasa akan ada wawancara di PKR.” ujarku bersemangat.
“Waaah... selamat ya sayangku, cintaku, manisku.” ibu yang tadinya masih setengah tidur kini sudah melonjak kaget dan memeluk tubuhku erat. Aku bisa merasakan dirinya ikut bangga dengan pencapaianku di titik ini, lulus seleksi beasiswa. Meski setelah ini aku harus melewati wawancara dan tes di PKR tapi setidaknya aku sudah lulus seleksi tahap sebelumnya kan.
***
Sebelum mendaftar beasiswa ini, aku sudah memilih 6 universitas dan jurusan yang hendak aku masuki yang memang menerima mahasiswa dari luar Rusia, kemudian nantinya pemerintah Rusia yang akan memilih aku akan ditempatkan di mana. Tentunya berdasarkan nilai seleksiku.
Hari tes wawancara di PKR pun tiba. Seluruh anggota keluargaku menyemangatiku tanpa putus. Dengan doa dan harapan yang bagus-bagus. Hari baik pasti datang pada niat yang baik. Seperti dugaan, aku dengan mudah lulus tes di PKR setelah sebelumnya melewati berbagai macam tes.
Hasil tidak pernah mengkhianati sebuah proses. Aku lulus tes yang diadakan di PKR. Finalnya, pengumpulan dokumen ke PKR. Aku memang menginginkan mendapat beasiswa ini, ketika aku berhasil mendapatkannya entah mengapa aku tidak percaya. Aku berhasil. Aku dengan otak biasa saja, berhasil tembus beasiswa sarjana di Rusia. Ayolah, ini bukan sesuatu hal biasa. Ada banyak anak pintar di sekolahku dulu tapi tidak banyak yang tembus beasiswa ke luar negeri. Sekarang, aku percaya bahwa permainan nasib ada pada tiap-tiap kehidupan.
Dari enam universitas yang kupilih, ternyata nasib membawaku ke Saint Petersburg State Polytechnical di kota Saint Petersburg, sebuah kota terbesar di Rusia. Di Saint Petersburg State Polytechnical aku mengambil jurusan Linguistik dan Lintas Budaya Komunikasi. Bukan tanpa alasan aku mengambil jurusan Linguistik, karena aku orang yang suka belajar bahasa.
Kebiasaan unik di keluarga kami, jika di antara aku dan Djuwita, adik perempuanku ada yang mendapat nilai bagus, menang lomba, dapat juara, mendapat penghargaan di sekolah, atau ayah yang naik pangkat, ayah dapat bonus dari kantor pasti ada selebrasi unik di keluarga kami. Dengan mengadakan makan malam di restoran kesukaan. Ibu beranggapan segala yang patut mendapat reward harus dirayakan, agar momen kebahagiaan di keluarga tetap terjaga. Tak heran, sudah 21 tahun menikah kedua orang tuaku sangat mesra. Karena, mereka bahagia. Ibu percaya, orang tua yang bahagia akan menjadikan anak-anak mereka bahagia dan memiliki hidup berkualitas.
Dan untuk merayakan keberhasilanku lulus beasiswa kuliah di Rusia, malam ini kami sekeluarga bersiap-siap makan malam di Kintan Buffet yang cabangnya ada di mal besar Jakarta. Tentu saja pemilihan restoran ini dari preferensi menu makanan kesukaanku, makan daging sebanyak-banyaknya. Aku melihat senyum di wajah ayahku tidak dapat ditutupi mendengar kabar aku lulus beasiswa ke Rusia, memang laki-laki tak pandai berekspresi seperti perempuan tapi jika mereka sedang bahagia tetap saja tidak dapat menyembunyikan aura kebahagiaan itu.
Ibu sudah terlihat siap dengan memakai baju terusan panjang berwarna biru dongker bermotif bunga-bunga di kerahnya, ibuku walau sudah berkepala 4 tetap menawan dilihat. Dengan tubuhnya yang masih langsing terjaga dan wajahnya yang setiap bulan rajin dirawat di klinik kecantikan langganan, kulitnya pun masih seputih susu, bahkan zaman ibuku masih muda dia disebut ‘Oshin’ tokoh Jepang yang terkenal pada masanya mungkin karena ibu berdarah mojang Bandung, sunda pisan tak ayal kulitnya putih sekali. Dirinya sama sekali tidak terlihat seperti ibu-ibu yang sudah memiliki dua orang puteri. Sering kali ia kegirangan kalau dipanggil ‘Mbak’ atau ‘Kakak’ oleh SPG di mal.
Ya, ibuku cantik. Banyak yang bilang kecantikan ibu menurun padaku, sedangkan Djuwita adik perempuanku, dia plek-ketiplek dari ayahku. Ayahku tinggi, jenjang tapi berkulit sawo matang karena keturunan Jawa. Jadi ibarat pembagian gen semua dapat sama rata, aku mewarisi gen ibuku dan Djuwita mewarisi gen ayahku dari segi fisik.
Ibu menikah dengan ayahku selepas dirinya lulus kuliah S1 di Universitas Indonesia, ayahku dulu adalah seniornya di kampus. Mereka terlibat cinlok dan akhirnya memutuskan menikah setelah berpacaran 2 tahun. Kisah lovey-dovey ini berulang kali mereka ceritakan padaku, sehingga aku selalu hafal jalan ceritanya. Awal mula mereka bertemulah, masa-masa pacaranlah, cupunya ayahku zaman kuliahlah, hingga ibuku yang menjadi primadona kampus karena kecantikannya.
Ayah menyetir mobil dengan tenang, di sampingnya ada ibuku yang menemani sesekali riweh mengingatkan agar mobil tidak melaju terlalu cepat di jalanan ibu kota. Djuwita sibuk bermain dengan ponselnya. Tentu saja, Djuwita sama seperti anak remaja lainnya yang kecanduan gadget.
“Djuwita, Fulangi, matikan ponselmu. Kita akan makan malam sekeluarga, Ibu tidak ingin kalian asyik dengan ponsel masing-masing. Quality time.” tegas ibu. Djuwita hanya cemberut sambil dimasukannya ponsel ke tas mungilnya.
Djuwita adikku masih duduk di bangku 2 SMP, perawakannya tinggi menurun dari gen ayahku membuatnya tinggi menjulang, bahkan hanya beda beberapa cm dari aku kakaknya. Dia anak yang baik tentu saja, namun karena gejolak pubertas kadang membuatnya bertingkah menyebalkan dan akhirnya kami sering bertengkar dengan hal-hal sepele. Sebagai kakak, aku akan menjadi orang yang selalu disalahkan. Menang atau kalah dalam pertengkaran bersama adik perempuan tidak ada gunanya, aku akan selalu kalah dan salah.
Tapi akhir-akhir ini Djuwita bersikap baik padaku. Mungkin karena aku akan meninggalkannya untuk berkuliah di Rusia. Aku bisa merasakan, dia sedikit sedih. Tangkapku, karena tidak ada teman lagi di rumah. Teman bertengkar, teman berbagi snack, teman curhat, teman rebutan makanan enak, teman ribut, teman iri, teman cemburu kasih sayang. Bukankah saudara kandung adalah teman segalanya?
Setelah memarkirkan mobil di basement mal, kami berempat berjalan menuju restoran Kintan Buffet Japanesse BBQ all you can eat. Ibu berjalan dengan tangan menggelayut pada lengan kanan ayah, sedangkan aku berjalan di belakangnya dengan Djuwita. Mungkin, hari ini terakhir kami berjalan sekeluarga bersama sebelum aku pergi ke Rusia. Hm... mengapa aku sedikit sedih?
Seorang pramusaji menyambut kami di depan restoran dan menuntun ke sebuah tempat duduk keluarga yang kosong. Aku tidak sabar memakan sepuasnya, all you can eat. Tanpa aba-aba, Djuwita sudah bergerilya mengambil dessert sepuasnya. Jangan ditanya untuk ukuran Djuwita makannya cukup banyak. Apa karena sedang dalam masa pertumbuhan? Anak ini badog sekali. Sedangkan ayah dan ibuku sibuk membakar daging sapi tipis-tipis panjang sambil ngobrol mesra dan cekikikan berdua. Aku sendiri kebagian tugas mengambil ice cream yang dipesan ayah ibuku.
Empat buah cup ice cream di tanganku, aku sedikit kepayahan membawanya. Memang aku ceroboh benar tapi aku sedikit ambisus, terlalu capek kalau harus bolak-balik mengambil ice cream, lebih baik kubawa empat cup sekaligus. Mataku tidak melihat ke arah mana pun, kecuali ke arah empat cup ice cream di tanganku. Aku tidak ingin menjatuhkan mereka. Karena hal itu pulalah, aku menubruk sesorang di depanku yang sedang antre mengambil curry.
“BRUUUUUUK!!” aku menubruk orang di depanku dan terjatuh karena kehilangan keseimbangan.
Celaka, aku bisa merasakan ice cream yang kugenggam jelas menubruk baju orang di depanku ini. Aku menggigit bibir bawahku. Khawatir orang tersebut akan memakiku. Ya, orang Jakarta terkenal berwatak keras dan to the point kan?
“Hei. Kau tidak apa?” suara bass seorang cowok menggema. Aku memincingkan mataku untuk jelas melihat siapa pemilik suara bass itu. Sesosok cowok tinggi, kurasa dia usianya tidak jauh beda denganku atau mungkin beda beberapa tahun dariku, wajahnya tampan, bibirnya merah merekah, dengan kulit putih sehingga alisnya yang hitam lebat sungguh kontras dalam bingkai wajahnya.
“Yaa... tidak apa.” jawabku pelan. Cowok itu mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Aku melihat keempat cup ice cream-ku sudah berantakan di lantai. Dia memakai kemeja flannel berwarna abu-abu yang di beberapa bagiannya sudah terkena ice cream.
“Aduh, aku sungguh minta maaf. Aku tidak sengaja.” aku meminta maaf padanya. Aku mengeluarkan sapu tangan yang ada di sakuku. Kebetulan aku perfeksionis, jadi selalu membawa sapu tangan di saku. Aku memberikan sapu tangan itu padanya. Cowok itu menyunggingkan senyumnya setelah menerima sapu tangan itu, dia menatapku tajam.
“Kau bermaksud memberikan sapu tangan ini padaku?” tanyanya.
Aku menggigit bibir bawahku, apakah orang ini akan marah dan mengamuk tidak terima? Bagaimana ini?
“Ya. Sebagai permintaan maafku karena tidak sengaja menabrak dan merusak bajumu.” jawabku hati-hati.
“Oke, kuterima maafmu kalau begitu.” tanpa basa-basi cowok itu pergi meninggalkanku. Dengan sigap karyawan restoran sudah membersihkan lantai yang terkena ceceran ice cream. Ah, dia pergi begitu saja? Padahal bajunya terkena ice cream-ku. Sungguh orang yang dermawan.
Aku orang yang cukup ceroboh, sering terjatuh, sering menumpahkan air, menjatuhkan barang, memecahkan barang, merusak sesuatu tanpa disengaja. Misalnya, tahun kemarin aku harus masuk rumah sakit karena terjatuh terselengkat kakiku sendiri, konyol bukan? Atau aku pernah merusak pintu kulkas karena terlalu sering menutupnya dengan keras. Aku dikenal sebagai tangan berbahaya. Tak ayal, kecerobohanku ini merugikan orang lain. Juga, tidak sekali dua kali aku menumpahkan minuman pada orang lain, tentu dengan tidak sengaja. Aku si ceroboh parah. Jika ada lomba orang paling ceroboh, mungkin aku pemenangnya.
Dari pengalaman kecerobohanku, respon orang yang ikut terkena dampak berbeda-beda tapi paling banyak mereka akan marah-marah dan bahkan ada yang sampai mengumpat serapah. Untungnya, kali ini korban kecerobohanku tidak marah-marah dan langsung pergi ketika aku meminta maaf. Nice person.
“Kamu gak bikin ulah kan?” ibu bertanya menggodaku. Seolah paham benar dengan perilaku cerobohku. Aku tidak ingin menanggung malu, dengan segera berkelit.
“Tidak dong.” jawabku berbohong. Sebelum kembali ke meja keluargaku, aku sudah membersihkan cipratan ice cream dan mengambil empat cup yang baru. Djuwita memandangku curiga sambil mulutnya penuh dengan daging BBQ.
“Di negeri orang nanti, kau harus berhati-hati. Orang Indonesia terkenal ramah tamah, tapi kalau kau ceroboh di negeri orang. Bisa berbahaya.” ayahku memperingatkan.
“Benar. Dengarkan kata Ayahmu.” tambah ibuku sedikit khawatir.
Aku menghela nafas panjang. Ah, benar juga ucapan mereka. Aku harus lebih berhati-hati mulai saat ini.
“Aku gak bisa bayangin, Kak Fulangi hidup di Rusia seorang diri. Dia kan benar-benar ceroboh.” celetuk Djuwita.
“Hahahahaha! Dasar kau!” aku mencubit pipinya yang masih mengembul karena mengunyah BBQ dengan rasa sedikit sebal dan gemas.
“Artinya makan malam ini sebagai perayaan diterimanya Fulangi di Saint Petersburg State Polytechnical dan juga sebagai makan malam bersama melepas Fulangi juga sebelum berkuliah di sana.” ujar ibu. Tiba-tiba sedikit rasa haru muncul, sebelum tawa kami berempat pecah karena Djuwita kentut sembarangan karena perutnya terisi gas.
Memang, Djuwita tidak bisa diduga sikapnya kadang menyebalkan, kadang juga lawak sekali. Dia humoris seperti ayahku. Mereka berdua pelawak handal di keluarga kami. Tingkahnya yang spontanitas memang menimbulkan gelak tawa dan kadang sakit perut.
***
Lanjut dong. :D
Comment on chapter BAB 2 Pergi