Gelap.
“Mama?”
Ini aneh. Aku sedang berada di kelas ketika tiba-tiba saja lampu mati. Kemudian kulihat Mama berdiri tepat di hadapanku, tersenyum hangat sembari membawa sepiring telur kornet. Hanya Mama yang dapat kulihat, selain itu hanya gelap.
“Rayan, Mama udah masak telur kornet kesukaanmu untuk sarapan. Kenapa nggak dimakan?” omel Mama dengan muka galaknya.
“Mama buatin sarapan buat Rayan? Kok Rayan nggak tahu?” Aku menggaruk-garuk kepalaku bingung.
Kulihat Mama tertawa kecil, cantik sekali. “Jangan lupa sarapan, dong. Belajar di sekolah juga butuh energi supaya bisa fokus.”
“Makasih, Ma,” ucapku tulus.
Kuulurkan tanganku untuk meraih piring yang dibawa Mama, tapi tanganku tidak cukup panjang untuk meraihnya. Aneh sekali. Aku berdiri, mendekat kepada Mama. Namun semakin aku mendekat, Mama semakin menjauh. Aku tidak dapat menggapainya. Aku berlari mengejar Mama yang semakin menjauh, tapi usahaku sia-sia. Hingga aku kehabisan tenaga, aku masih belum dapat meraih sepiring telur kornet dari tangan Mama. Aku jatuh, lututku terluka dan berdarah. Kemudian air mataku ikut jatuh. Rasanya sakit.
Kriingg… kriingg… kriingg….
“AH!”
Hanya mimpi buruk.
***
Aku sudah hendak mengeluarkan sepeda ketika mimpiku semalam kembali terlintas di benakku.
“Jangan lupa sarapan, dong. Belajar di sekolah juga butuh energi supaya bisa fokus.”
Sudut bibirku terangkat membentuk seulas senyum. Kutinggalkan sepedaku untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan di dapur. Lantas kutemukan sebungkus roti yang kubeli dua hari lalu. Belum kadaluarsa, syukurlah.
Roti itu habis dalam sekejap, bahkan sebelum aku sampai di garasi lagi untuk mengeluarkan sepedaku. Kukayuh sepedaku sembari bersiul, menikmati pemandangan kota Solo pagi hari.
Reihan menyambutku di lapangan parkir. Awalnya aku agak bingung melihat cengiran di wajahnya. Namun akhirnya aku mengerti.
“Ninja baru?” tanyaku antusias.
Percakapan kami ketika perjalanan melalui koridor-koridor hingga tiba di kelas didominasi oleh Reihan yang menceritakan motor barunya, diperoleh dari ayahnya sebagai kado ulang tahun.
Aku ikut bahagia, juga iri.
Setibanya di kelas, kami disambut oleh Ravka yang sedang panik lantaran belum mengerjakan tugas. “Ray, Rei—”
Reihan, yang paling ‘rajin’ di antar kami bertiga, langsung mengeluarkan buku tulisnya, membuat Ravka seketika sujud syukur. Aku duduk di sebelah Ravka, ikut-ikutan mencontek PR yang sudah dikerjakan Reihan. Maksudku, guru privat Reihan.
Pelajaran di sekolah berlangsung cukup menyenangkan, meski tak jarang rasa kantuk menghampiriku. Kadang-kadang, aku merasa ada sepasang mata yang mengawasiku. Meski sudah tahu siapa orang yang mengawasiku tersebut, aku tetap menoleh untuk memastikan. Benar saja, Raissa.
Ia langsung salah tingkah ketika tertangkap basah memperhatikanku. Aku pun tersenyum canggung. Ya Tuhan, aku selalu merasa bersalah padanya.
Tiba-tiba aku teringat dengan Rania. Sedang apa, ya, dia di kelas sebelah? Tanpa sadar, senyumku mengembang ketika memikirkannya.
***
Namaku Narayan, kerap disapa Rayan, anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakakku Narendra, kerap disapa Rendra, saat ini sedang kuliah di Jakarta.
Adikku Naresvan, kerap disapa Resvan, tinggal di Semarang bersama Mama.
Aku tinggal di Solo bersama Papa, meskipun kalau boleh jujur, ia jarang sekali ada di rumah. Jadi, aku agak terkejut siang ini, ketika kudapati mobil Papa terparkir manis di depan rumah saat aku pulang dari sekolah.
Kumasukkan sepedaku ke garasi, kemudian aku berjalan menuju ruang tamu. Aku tidak berharap banyak, serius, karena aku tahu sembilan puluh sembilan persen kemungkinan aku akan kembali dikecewakan. Namun bukankah masih ada satu persen harapan bahwa Papa akan membuatku tersenyum kembali hari ini?
Namun setelah kulihat Papa, dengan seorang wanita bersurai merah duduk di pangkuannya, aku tahu satu persen itu tidak ada gunanya, jauh lebih kecil dan tidak bisa dibandingkan dengan yang sembilan puluh sembilan. Sia-sia.
“Oh, halo, Rayan!” Wanita itu langsung menyapa ketika sadar aku sudah pulang.
Papa ikut menatapku. “Halo, bos kecilku!”
Aku tersenyum kecil, tidak menjawab, dan langsung berderap ke kamarku.
Di kamar, sembari berbaring menatap langit-langit, aku memikirkan banyak hal, mengingat-ingat apakah wanita yang tadi itu pernah kemari sebelumnya dan bertemu denganku, karena Papa terlalu sering membawa wanita yang berbeda-beda ke rumah.
Jengah dengan pemikiran ini, aku pun memutuskan untuk bermain PS. Game bisa membuatku lupa akan segala masalah. Hidup ini akan jadi sejuta kali lebih mudah apabila kau tidak memikirkan apapun, bukan?
Sampai sore, aku terus bermain game, hingga kudengar suara mobil Papa yang dinyalakan dan bergerak meninggalkan rumah. Aku melempar stik PS-ku, kembali merebahkan diri di kasur, kembali menatap langit-langit kamar dengan sejuta pikiran di kepala.
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa bermain game bukanlah jalan keluar dari permasalahanku, melainkan hanya tempat pelarian sementara, yang mana masalah pasti akan terus mengejarku sebelum aku menyelesaikannya.
Kalau boleh jujur, setelah Mama dan Papa bercerai, aku merasa hampa. Meskipun aku punya banyak teman, meskipun aku punya Rania sebagai kekasihku. Aku berlimpah kasih sayang, tapi aku tetap merasa kesepian.
Lantas bagaimana cara menyelesaikan masalah ini?
***
“Ray, denger-denger katanya Rania lagi deket sama Rangga.”
Aku menatap Ravka bingung. “Maksudnya?”
Ravka membuka ponselnya dan menunjukkan sebuah foto padaku –Rangga dan Rania di pantai. Mataku sukses terbelalak. Foto itu diunggah kemarin sore oleh Rangga, padahal pagi harinya Rania mengatakan padaku bahwa ia tidak bisa pergi menonton film karena ada acara keluarga.
Aku bangkit, berjalan keluar kelas meninggalkan Ravka. Jantungku berdebar tak karuan. Aku harus tenang, tidak boleh berprasangka buruk.
Setibanya di kelas Rania, aku tertegun.
Rania dan Rangga, duduk bersebelahan, mendengarkan lagu dari earphone yang sama, tertawa bersama.
Hatiku remuk.
Rania terkejut melihatku berdiri di ambang pintu. Ia segera melepas earphone tersebut dan berlari menghampiriku. “Rayan, sejak kapan kamu di sini?”
“Baru aja.”
“Ke kantin, yuk? Aku pengen makan soto!” Rania menggandeng lenganku sembari tersenyum manja.
Aku membalas senyumnya. “Maaf, aku harus belajar buat ulangan nanti. Kamu ke kantin sama temen kamu yang lain dulu aja, ya.” Perlahan tangannya kulepaskan dan aku pun melangkah pergi.
“Rayan!!” Baru tiga langkah, Rania memanggilku.
Aku berbalik.
“Itu yang nggak aku suka dari kamu. Kamu nggak pernah nyelesaiin masalah. Kamu selalu melarikan diri. Kamu selalu jadi pihak yang mengalah.”
Aku mengernyit heran. Mengapa jadi dia yang marah?
“Kamu pasti udah lihat fotoku sama Rangga, kan? Iya, kemarin aku emang bohong. Aku pergi ke Jogja sama Rangga, berdua aja. Kamu harusnya ma—”
“Udah, Ran. Cukup. Kamu nggak usah jelasin apa-apa lagi. Aku anggap hal ini nggak pernah terjadi. Jadi, aku mohon mulai sekarang kamu jauhi Rangga.”
“Aku bukan pengen minta maaf sama kamu, Ray. Aku sama sekali nggak menyesal.”
“Terus?”
Rania menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kita putus aja.”
Sekali lagi kutegaskan, hatiku remuk.
***
Kabar tentang berakhirnya hubunganku dengan Rania dengan cepat menyebar di sekolah, entah bagaimana. Selain itu, aku semakin terganggu oleh rumor mengenai Rania yang diam-diam sudah menjalin hubungan dengan Rangga.
Aku sangat menyukai Rania sejak awal. Meskipun ia berbuat hal-hal buruk sekalipun, aku pasti akan tetap menyukainya.
"Rayan, kamu nggak apa-apa?”
Aku menoleh dan mendapati Raissa berdiri di sampingku sembari menatap cemas. “Nggak tahu,” jawabku sekenanya.
Gadis itu duduk di kursi di depanku. Saat ini jam istirahat kedua dan kelas sedang sepi. Raissa hanya akan berani bicara denganku saat sedang sepi seperti sekarang ini. “Kamu ngelamun terus dari tadi.”
“Nggak, kok. Aku cuma lagi mikir.”
“Tentang apa?”
“Banyak.”
“Jangan mikir tentang banyak hal dalam satu waktu. Nanti nggak bakal nemu kesimpulan dan malah bikin stres.”
Aku tersenyum. “Kalau kamu gimana? Biasanya mikirin apa?”
Raissa ragu-ragu sejenak sebelum menjawab, “Kamu.”
“Eh?”
“Aku sering mikirin kamu. Jadi jangan sedih, ya. Anggap aku bayangan yang selalu ngikutin kamu. Kalau kamu sedih, ada aku yang juga ikut sedih.”
***
Pulang sekolah, kembali kulihat mobil Papa di depan rumah. Aku sedang dalam suasana hati yang kurang baik, jadi kuharap aku tidak harus berinteraksi dalam bentuk apapun terhadap Papa atau wanita yang dibawanya ke rumah hari ini.
Namun ternyata hari ini Papa tidak membawa satupun wanita ke rumah. Hari ini hanya ada Papa, dengan berita buruk yang dibawanya.
“Papa akan menikah lagi.”
Aku tidak habis pikir.
“Setelah acara pernikahan, Papa akan pindah ke Bali. Calon istri Papa mengelola beberapa hotel di sana.”
Duniaku hancur.
“Mungkin sekitar bulan depan.”
Aku bahkan belum lulus SMA.
“Sebenarnya Papa ingin mengajakmu tinggal di Bali. Namun setelah dipikir-pikir, lebih baik kamu tinggal di Solo dulu sama Om Tony. Sebentar lagi kamu kelas tiga.”
Terserah saja.
“Papa harap kamu bisa mengerti.”
Aku penasaran siapa wanita yang akan menikah dengan Papa.
“Ah, sudah sore. Papa harus pergi. Kamu baik-baik di rumah, ya. Jangan lupa, minggu depan kita ke Semarang buat dateng ke pernikahan mama kamu.”
Aku tidak mungkin lupa.
Papa berjalan pergi, tapi aku menahan tangannya.
“Ada apa?” tanya Papa.
“Tadi pagi... aku putus sama pacarku,” ucapku pelan.
Papa tertawa, seakan-akan kesedihanku ini hanya lelucon. “Itu hal yang biasa. Banyak cewek lain di dunia ini. Kamu tinggal cari lagi yang lebih cantik dari mantan kamu.”
Tapi aku hanya menyukainya, Pa. Seperti Papa yang hanya menyukai Mama, dulu.
Kemudian Papa benar-benar pergi.
***
Sejujurnya, aku tidak tahu pasti terhadap siapa aku marah.
Papa dan Mama memutuskan untuk berpisah lima tahun yang lalu demi kebaikan mereka masing-masing. Aku pun menganggap itu keputusan yang cukup baik. Karena jika tidak, aku tidak tega melihat Mama terus-menerus menangis.
Aku pun tidak memiliki alasan untuk marah terhadap Rania. Dia meninggalkanku karena kesalahanku sendiri. Aku bukan laki-laki yang tegas dan keren seperti Rangga. Aku hanya laki-laki lemah yang selalu mengalah terhadap apapun. Rania pasti membenciku karena hal itu.
Teman-teman yang lain bersikap sangat baik padaku, terutama Reihan dan Ravka. Namun yang selalu tidak dapat kupahami : mengapa aku tetap merasa kesepian?
Pada akhirnya, aku menyalahkan diriku sendiri, perasaanku sendiri.
Aku berjalan tanpa arah, hingga tanpa sadar kakiku membawaku ke sebuah jembatan layang yang baru saja dibangun, tetapi belum resmi dibuka. Bagaimana aku bisa sampai di sini?
Aku pun berniat pulang kembali ke rumah, tetapi tiba-tiba saja sebuah pikiran buruk melintas di benakku. Tidak sepenuhnya buruk, sih, karena penderitaanku akan berakhir.
Perlahan namun pasti, aku melangkah menuju pagar pembatas dan melihat keadaan di bawahnya. Tidak terlalu tinggi dari jalanan di bawah sana. Namun jika terjatuh, apalagi jika jalan sedang ramai seperti sekarang, kemungkinan besar akan ada kendaraan yang menabrak. Skenario yang cukup baik.
***
Namaku Narayan, usiaku tujuh belas tahun, dan aku merindukan keluargaku setengah mati.
Aku rindu bermain dengan Kak Rendra dan Resvan. Aku rindu telur kornet buatan Mama. Aku rindu menceritakan banyak hal pada Papa.
Jika suatu hari nanti aku terlahir kembali di kehidupan yang baru, kuharap aku tidak harus berpisah dengan keluargaku. Kuharap aku tidak harus melihat Mama menangis lagi. Kuharap kakakku tidak harus berkata “semua akan baik-baik saja” dengan mata berkaca-kaca. Kuharap adikku tidak memelukku dengan ketakutan. Kuharap Papa tidak menyukai wanita selain Mama. Kuharap aku punya pacar yang menyukaiku sebesar aku menyukainya.
Dan kuharap aku tidak lagi menjadi pecundang.
Selamat tinggal.
***
“Aku sering mikirin kamu. Jadi jangan sedih, ya. Anggap aku bayangan yang selalu ngikutin kamu. Kalau kamu sedih, ada aku yang juga ikut sedih.”
Raissa!
Aku turun dari pagar pembatas. Nafasku naik turun tidak karuan. Apa yang baru saja kulakukan? Seandainya ucapan Raissa tadi siang tidak terlintas dalam benakku, mungkin saja nyawaku sudah melayang sekarang.
Tanpa sadar, aku menangis dengan keras. Orang-orang yang melintas menatapku heran, tapi aku tidak peduli. Aku sudah terlalu banyak berfikir hingga rasanya otakku akan meledak.
"Jangan mikir tentang banyak hal dalam satu waktu. Nanti nggak bakal nemu kesimpulan dan malah bikin stres.”
Raissa benar.
Masih sambil menangis, aku pun melangkah pulang. Tidak ada yang berubah, aku masih dihantui masa depan yang tidak pasti.
Namun kali ini, aku memutuskan untuk tidak lagi menjadi pengecut. Aku tidak akan melarikan diri dan mengalah begitu saja pada masalah.
Aku berjanji pada diriku sendiri : bahwa aku akan terus menjalani hidup ini sekuat yang aku bisa, bahwa aku akan menjalani hidupku dengan baik demi masa depan yang jauh lebih baik.
Banyak yang mengatakan bahwa orang yang paling menyakiti dirimu adalah orang-orang yang paling kaucinta. Itu terbukti benar dalam hidupku, tetapi aku tidak akan membuat orang lain merasakan sakit yang sama karena aku.
Setidaknya demi Raissa, aku harus berusaha.
“I’d do ANYTHING to be able to promise my future kids that their dad will always be in their life and they will never have to be those kids that say “my parents are divorced” or “oh, I’ll be at my mom’s this weekend”.
- Unknown
Karena nyawa seseorang dapat terselamatkan hanya dengan satu orang yang peduli.