" Nak, hidup ini penuh perjuangan. Kamu dilahirkan bukan dari keturunan kerajaan, bukan pula dari keluarga konglomerat. Kamu butuh kaki yang kokoh untuk berjalan menerpa guncangan ombak kehidupan. Teruslah melangkah, agar kamu tahu apa arti hidup yang sesungguhnya".
Ini wejangan keramat yang maha dahsyat, yang tertancap dalam ingatanku sedari kecil. Petuah ibuku yang begitu mujarab, hingga mengantarkanku pada gerbang kuliah.
Siang itu, dengan menggeret travelbag reot berukuran 20 inc warna hitam, serta ransel yang sedang kupikul. Aku memasuki gerbang kos-kosan yang nampak seperti rumah susun, namun senyap sekali. Kosan ini memang tergolong bangunan baru. Bau catnya yang masih basah, sudah cukup mengganggu aroma penciumanku. Langkah kakiku terhenti. Mataku mulai jelalatan, menyorot tiap sudut bangunan bertirai tiap kamarnya. Kosan 3 lantai yang memiliki 35 kamar, seakan menghipnotisku. Sungguh tak ada manusia satupun yang kutemui saat itu, kecuali mba Ina si penjaga kos yang memberiku kunci kamar bertuliskan No. 16/2. Tentu saja kunci itu bisa kudapatkan setelah transaksi sengit yang kami lakukan. Harga kosan disini lumayan cukup bersahabat, hingga cocok dikantung mahasiswi desa sepertiku, yang jauh-jauh merantau ke Kota Malang demi seutas mimpi orangtuaku, yang hanya seorang petani kopi di dikampung—desa Talang benteng, kota Palembang.
Ini hari ke limaku berada di kota Malang, setelah kulengkapi seluruh berkas peryaratan untuk menjadi Mahasiswi S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang Tahun ajaran baru periode 2010-2011. Sebelumnya, aku tinggal bersama anak pamanku yang juga berkuliah di Kota Malang. Kota yang dijuluki kota bunga ini memang sangat ramai dipadati oleh para pelajar yang haus akan ilmu, tak terkecuali aku.
“ Eh kamu anak baru ya? “Sontak aku terkaget. Suara itu tiba-tiba muncul dari pintu gerbang tanpa ada suara hentakan kaki yang kudengar sebelumnya. Aku membalikkan badanku, menoleh pada pemilik suara lantang itu.
“ iya, Betul. Ini hari pertama ku, ngekos disini.“ aku tersenyum simpul. Ia adalah manusia kedua yang kutemui setelah Mba Ina. Manusia bergaya setengah tomboy. Rambutnya sebahu dan bersepatu cats putih bercorak garis-garis. Dialegnya pun tak bisa membohongiku, sudah bisa ku pastikan kalau darahnya bukan dari keturunan jawa. Sama sepertiku, manusia pendatang.
“Siapa namamu? Kamar nomor berapa?” gaya bicaranya seakan ingin mengintrogasi. Ia lebih cocok menjadi intel. Tak ada senyuman yang terukir dari wajahnya. “Galak sekali” pikirku demikian.
“ Mala. Nomor 16” jawabku singkat. Ia pun menganggukkan kepalanya dengan ritme yang lambat.
“ Ya sudah, sini saya bantu bawakan barangmu.” Ia langsung merampas travel bag milikku yang sudah usang ditelan waktu. Travel bag ini dibeli beberapa tahun silam oleh ayahku dan selalu bertengger diatas lemari, berselimutkan debu liar. Rodanya pun hampir copot saat wanita tomboy itu mulai menggeretnya. Wanita itu berjalan mendahuluiku. Aku terdiam melihat aksinya yang sedikit aneh.
“Tunggu apa lagi? Ayo jalan.” Kini ia yang menoleh kearahku. Memanggilku untuk mengikuti langkahnya.
“Oh iyaa-iya…mba” aku tercengang. “Bused, baik juga nih cewek sangar”. Aku mendesis dalam hati.
“Jangan panggil mba. Panggil saya Nila.” Itulah pertemuan pertamaku dengan Nila. Wanita cool nan cuek, namun hatinya selembut salju antartika.
Ini pertama kalinya, aku jauh dari orangtuaku. Setelah sekian lama, mulai dari orok sampai lulus SMA, aku selalu berada dibawah ketek ibuku. Peraduan ternyaman yang takkan pernah tergantikan. Aku memang lebih dekat dengan ibu dibanding ayahku. Mungkin karena kami sesama wanita, hingga aku lebih leluasa berbagi cerita dengannya.
Kosan 9A memiliki fasilitas yang cukup baik untuk kenyamanan penghuninya. Ukuran kamar rata-rata 3x2,5 meter persegi. Setiap kamar, sudah terisi tempat tidur beserta kasur, lemari, meja dan kursi hingga membuat tiap kamar nampak terlihat begitu padat. Saat libur semester tiba, kosan ini selalu sepi, apalagi sekitar 20 kamar belum berpenghuni. Pantas saja, saat pertama kali menginjakkan kaki disini, bangunan baru ini seakan tak punya masa depan. Sunyi senyap. Kosan ini memang sedikit susah ditemukan karena harus memasuki gang sempit terlebih dahulu. Lagipula, kosan ini baru saja beroperasi menjadi kos-kosan. Hingga, wajar saja belum banyak yang mengetahui keberadaannya.
Setelah berbenah, aku berkunjung ke kamar Nila. Aku tak tahu persis, di kamar nomor berapa ia menetap. Namun setelah Nila mengantarkan koperku ke kamar, aku sempat menengok langkah kakinya, saat menaiki tangga. Jadi, kuputuskan untuk ke lantai 3 dan mencari kamarnya. Ternyata tak begitu susah menemukan kamar Nila yang letaknya persis di depan tangga lantai 3. Tertulis No Kamar 35. Serta tergantung rapi ukiran kayu bertuliskan “Nila Saniyah ”
“Assalamualaikum ” salamku tepat di depan kamarnya.
“Waalaikumsalam, eh ternyata ada tamu yang datang, pake salam segala” jawab Nila tersenyum sambari bercanda. “Lah.. bisa juga nih orang becanda, senyum pula. Kupikir, sudah mati rasa humornya”. Lagi-lagi aku menggerutu dalam hati. Aku hanya membalas senyum Nila.
“Ayo, masuk Mala. Maaf ya, kamar saya lagi berantakan”. Nila langsung merapikan alat tulis yang berserahkan serta gambar hitam putih hasil goresan tangannya.
“Bagusnya…” Aku mengambil dan memandang gambar sketsa anime laki-laki. Seperti kartun jepang. Aku tak menyangka kalau tangan Nila begitu telaten bermain di atas kertas. Ia seakan menjelma menjadi Leonardo Da Vinci. Karya Nila begitu sempurna. Lukisan yang hanya mengandalkan pensil 2b, sudah bisa memberikan makna pada seutas kertas. Nila sangat berbakat melenggak-lenggokkan jemarinya di atas kertas putih. Ia punya daya seni lukis yang tinggi.
“Ahh.. ini hanya gambar biasa. Saya cuman amatiran saja” Jawab Nila, sambil merampas kembali kertas sketsa miliknya. Mukanya seketika berubah warna menjadi tomat mateng.
“Kamu kapan ospek” Tanya Nila sembari tersenyum. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. Ternyata jika diperhatikan dengan seksama, Nila memiliki Lesung pipit yang tak begitu dalam. Tanggung sekali.
“Seminggu lagi” jawabku sambil duduk di atas tempat tidur tak berkaki. Seperti ada bekas hasil gergaji yang nampak pada kayu tempat tidurnya. Ternyata selain pandai melukis, Nila juga mahir mendesign kamarnya hingga terlihat lebih luas dibandingkan dengan kamar-kamar lainnya. Styrofoam berwarna ungu telah tertempel di dinding kamarnya. Styrofoam itu ia gunakan untuk memajang kertas yang di tancap menggunakan paku jamur berdiameter 9mm. Selembar kertas bertuliskan tangan, menempel erat “Jadwal Kuliah Semester 1 Jurusan Planologi ITN”. Tanpa bertanya pun, aku sudah yakin kalau Nila adalah anak Jurusan Planologi Institut Teknologi Nasional. Kampus depan jalan raya, yang berada tepat diseberang--saat keluar dari gang sempit kosan kami.
Sambil ngobrol santai, Nila pun masih lanjut membereskan kamarnya dari kertas dan alat tulisnya yang masih berserahkan. Kami ngobrol layaknya teman lama, yang terpisahkan oleh waktu. Sejauh ini, aku merasa bahwa Nila adalah sosok teman yang asik diajak ngobrol, walaupun garis wajahnya terlihat judes. Ia wanita yang sangat pelit membagi senyumnya pada orang lain, apalagi pada orang yang baru ia kenal. Namun percayalah, ia adalah wanita pemilik hati yang syahdu.
“ Gimana ya rasanya jadi mahasiswa.” Aku menengadahkan kepala keatas sembari berpikir.
“ Jangan terlalu banyak mikir. Nanti kesambet. “ Nila melemparkan kertas kecil padaku. Ia berhasil membuyarkan lamunanku untuk kesekian kalinya. Aku hanya tersenyum simpul padanya. Seminggu lagi, Nila akan aktif kuliah, sedangkan aku baru akan ospek minggu depan. Nila start seminggu lebih awal dariku.
“Yang pasti, kita nikmati saja masa-masa kuliah yang nanti ada di depan mata ”. Kata Nila dengan bijak.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala saat mendengar ucapan Nila.
“Gedebuk!” Suara terdengar dengan keras. Seakan ada barang terjatuh dari tangga. Aku dan Nila, spontan keluar kamar dan ingin melihat kejadian apa yang telah terjadi.
Terpampang jelas seorang wanita seusia kami, yang sedang kesusahan menaikkan barangnya untuk bisa sampai kelantai 3. Tak ada sela kosong di tangannya. Genggamannya terisi penuh oleh tas jinjing dan kardus berukuran aqua gelas yang di ikat erat menggunakan tali rafia. Pundaknya pun memikul ransel besar, seperti tas ransel keril pendaki gunung.
Kami menghampiri wanita itu dan langsung membantu membawakan barang bawaannya.
“Nomor Kamar berapa? Nila bertanya sembari membawa tas jinjing milik wanita yang kami tak tahu, berasal dari kota manakah dia. Aku membantu mengangkat kardus yang memang lumayan beratnya, hingga membuat bekas tali terlihat jelas pada telapak tanganku.
“ Siapa? Aku yak? Jawab wanita itu dengan polosnya.
Nila menghela nafas panjang.
“ Siapa lagi kalau bukan kamu” Nila menjawab dengan datar.
Aku tersenyum melihat ekspresi wajah Nila yang memelas. Lucu banget espresinya. Sangar-sangar tapi lucu, karena ia tetap saja baik pada semua orang. Ia tak bisa melihat orang lain kesusahan, berada di depan matanya.
“Ohh.. aku ya. Nomor 34 ..Hehehe” dia menjawab nyengir sembari melihat angka yang tertera pada kuncinya.
Tanpa basa basi, kami langsung membawa barang wanita itu, tepat di depan kamar 34. Kamar yang persis berada di samping kamar Nila.
“Makasih banyak ya. Kenalin, nama aku Ira” ia menyodorkan tangannya untuk berkenalan dengan kami. Ia tersenyum sumringah. Wajahnya ceria sekali.
Kami pun berkenalan sambil bersalam-salaman sembari menyebutkan nama masing-masing.
Ira membongkar isi kardus dan tasnya. Aku speechless ketika melihat isi barang yang ia bawa. Ada Rice Cooker kecil merk miyako, beras sekitar 2 kilo yang terbungkus kresek hitam, abon sapi dalam kemasan besar, kangkung yang sudah sedikit layu, garam, gula, bawang putih, bawang merah beserta bumbu masak yang berderet panjang. Lengkap sekali sandang pangan yang ia bawa.
Aku penasaran, datang dari sudut indonesia manakah wanita ini? “ternyata ada juga yang lebih desa dari aku” aku nyengir dalam hati.
“Jauh loh ini, aku bawa dari Jakarta” katanya sembari mengeluarkan isi tasnya. Ia membeberkan dari mana ia berasal, tanpa membuat kami bertanya lebih dulu padanya.
“Apaaaa? Jakarta?” Aku terkaget .. nada suaraku tiba-tiba naik 1 oktaf. Aku seakan tak percaya kalau dia berasal dari kota metropolitan. Buyar ekspektasiku yang begitu tinggi pada kota pemilik gedung-gedung pencakar langit itu. Penampilannya tak mendukung untuk menjadi warga ibukota. Setahuku, warga ibukota penuh dengan gaya glamor, namun sangat berbeda dengan Ira, wajahnya memang begitu molek, namun ia terlihat sedikit udik. Tak jauh berbeda dengan kami. Awalnya, aku pikir ia dari desa terpencil, namun prediksiku salah.
“ Iya, dari ciracas tepatnya. Hehe” ia kembali tertawa kecil.
“ Kaget kan, pas aku bilang Jakarta? tapi penampilanku seperti ini! Di Jakarta itu, tidak hanya orang tajir tapi ada juga orang susah seperti aku namun bisa berkuliah. ” Ira kembali tersenyum. Ia begitu Bangga menceritakan bahwa ia adalah orang susah namun masih punya mimpi mengejar pendidikan.
“Sebagai ucapan terimakasih. Malam ini, akan aku buatkan kalian makanan ala Ira”. Ia kembali sumringah. Tentu saja kami takkan menolak permintaannya. “Kapan lagi makan gratis? “ aku menggelitik senang.
Ira menyiapkan dan mengolah semua bumbu masak yang ia bawa. Ia bagai Dominique Crenn sang master chef wanita asal Prancis. Tangannya lihai sekali memotong cabai dan sayur mayur. Ira begitu terampil memainkan spatula dan wajan. Hanya butuh 20 menit, tumis kangkung telah tersaji. Aroma masakan Ira, mengundang rasa laparku dan Nila. Kebetulan kamar Ira dan Nila berdekatan dengan dapur kosan yang berada dilantai 3. Alat masak pun lengkap tersedia.
“Uhhh, wangi banget masakannya” Aku mengendus kedekat makanan yang telah disajikan. Rasa laparku tak bisa ditunda lagi.
Sebelum membuat tumis kangkung, Ira sudah memasak nasi terlebih dahulu menggunakan ricecooker. Jadi saat semua telah terhidangkan, nasinya pun telah matang. Ira menyiapkan piring dan gelas. Kami tak diberi kesempatan untuk membantunya.
“Kalian duduk saja, hari ini akan kulayani kalian” itu lah kalimat yang bikin kami berdiam diri sambil melihat Ira yang begitu lincah bercengkrama dengan alat masak.
Sore menjelang malam, kami makan bersama sembari bertukar informasi. Nila memang sesuai dengan hasil penerawanganku. Ia berasal dari kawasan geografis Indonesia Timur, karena dialegnya yang tak mungkin menipu. Ia berasal dari kota Ambon. Sedangkan aku, berasal dari desa Talang Benteng yang berada di kota palembang. Untuk perkara Universitas, kami bertiga pun berbeda. Aku di Universitas Muhammadiyah Malang jurusan S1 Keperawatan, Nila di Institut Teknologi Nasional Jurusan Planologi, sedangkan Ira diterima di Universitas Brawijawa jurusan S1 Perikanan. Dari segi sifat pun, nampaknya tak ada satupun kesamaan dari kami bertiga. Aku sedikit khawatir, apakah kami bisa berkawan akrab sampai lulus kuliah nanti? Entahlah, hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Penasaran
Comment on chapter BAB 1 SIGURA-GURA 1/9A