Matanya terpejam dengan tangan yang menopang kepalanya. Kelopak matanya bergerak-gerak. Dia berdiri di tengah sebuah ruangan yang luas, menengok ke segala arah dan menyadari dirinya berada di alam bawah sadar. Terpikirkan olehnya bahwa dirinya jatuh tertidur.
Ruangan yang sangat luas terbentang dihadapannya. Dia tahu tempat itu. Sebuah kamar di sebelah kamar ayahnya. Sisi-sisi kamar sangat kosong dengan jendela yang tertutup rapat. Sesuatu yang ganjil adalah dengan adanya setangkai mawar berwarna biru yang diletakkan di atas peti.
Peti itu terletak di tengah-tengah ruangan. Berwarna putih dengan kabut yang mengepul dari peti berukuran persegi panjang itu. Kakinya terseret mendekat. Langkahnya berat dan tanpa daya. Permukaan peti itu licin dan mengkilap. Telapak tangannya mengusap peti itu. Dingin. Peti itu terbuat dari es.
Usapan tangannya semakin naik meneliti ukiran aneh di tepian peti. Tiba-tiba muncul tubuh putih pucat tertidur di dalam peti. Dia terlonjak. Seorang wanita terbaring di dalam peti es yang mengepulkan kabut. Wajahnya pucat seakan sudah terlalu lama berada di dalam peti. Tangannya dilipat di atas perutnya. Di salah satu jari, melingkar sebuah cincin berwarna hijau terang. Es sepertinya telah mengawetkan tubuh itu.
Wajahnya tampak seperti terakhir kali dia terlihat. Cantik. Kakinya gemetaran hingga tak mampu menopang bobot tubuhnya. Dia terjatuh di lantai. Air matanya mengalir di sudut mata. Mulutnya terbuka seakan mencoba menghirup napas banyak-banyak.
Wanita itu. Dia mengenalinya.
Seharusnya wanita itu sudah dikremasi, tetapi tubuhnya masih utuh dan terawetkan di dalam es. Lalu, mayat siapa yang sudah dikremasi dan dikubur di pemakaman keluarga?
Matanya mendadak terbuka. Dia kembali pada kenyataan. Mimpi itu terus muncul di kepalanya sejak menemukan bahwa mayat ibunya terbaring di dalam peti es. Masih tidak terpikirkan alasan kenapa tubuh ibunya diawetkan.
Jemarinya mulai mengetuk-ngetuk meja. Tatapan matanya menerawang. Apakah ada sesuatu yang coba disembunyikan ayahnya?
Suara gebrakan terdengar. Pintu ruangan itu terbuka paksa oleh beberapa orang yang menerobos masuk. Jinu menghentikan ketukan jarinya dan melirik tanpa minat. Seorang pria tua berjenggot hitam memelototinya. Dua orang pengawal tampak bersiap untuk menghunus pedang yang tersampir di pinggangnya.
"Semalam anda berada di mana?" ucap pria berjenggot itu.
Jinu menoleh sedikit. "Di kamar. Kau sudah tanya pengawal Gong? Bukannya dia sudah menjelaskannya saat tertangkap semalam?"
Pria itu tampak tidak puas. Rahangnya mengeras. "Tidakkah anda terpikir kalau kalian bersekongkol? Anda menyelinap ke dalam kediaman Raja?"
Jinu tersenyum. Pria berjenggot itu memprovokasinya. Tangannya meraih buah kesemek kering di sudut meja. Kemudian melahap buah itu dalam sekali makan. "Ayah yang bilang?"
Pria berjenggot itu semakin merasa geram. Sudut bibirnya menaik. Mungkin dia sedang menahan diri untuk tidak segera menebas kepala pemuda yang menjadi putra mahkota itu.
"Sepertinya keributan semalam bukan keributan biasa. Pengawal pribadimu ditemukan berkeliaran di sekitar kediaman Raja. Anda berani mengabaikan perintah baginda?"
Jinu memajukan tubuhnya. "Boleh aku mengajukan pertanyaan? Kenapa ayah melarangku mengunjungi kediamannya di malam hari? Ada yang dia sembunyikan?"
Rahang pria tua itu semakin mengeras. Dahinya berkerut menahan amarah. Jinu tersenyum di dalam hati. Memprovokasi pria tua bermata merah itu selalu mengasyikan. Karena dia termasuk pria pemarah.
"Anda tahu bukan, konsekuensi dari mengabaikan perintah Raja? Walau putra mahkota sekali pun, anda tidak akan terlepas dari hukuman!"
Jinu menggebrak meja. Bertepatan dengan itu, pengawalnya berteriak dan menghambur masuk ke ruang belajar yang penuh ketegangan itu. Pengawal itu langsung menutup mulutnya begitu melihat beberapa pasang mata memelototinya.
"Kau tidak percaya kalau semalam aku berada di kamar? Mau menginterogasi setiap orang yang berjaga di kamarku?" Jinu memajukan wajahnya mendekati si pria berjenggot. Mata hitamnya berkilat.
"Anda datang kemari untuk menanyakan hal itu langsung pada putra mahkota, Penasihat Woo? Bukankah saya sudah menjelaskan semuanya semalam? Ini hanya kesalah pahaman."Pengawal Gong menunduk di samping pria berjenggot itu.
"Sepertinya bukan kesalah pahaman. Mungkin memang benar ada sesuatu yang disembunyikan di kediaman Raja yang tidak boleh kuketahui. Benar begitu, penasihat Woo?"
Kalau diibaratkan gunung berapi. Saat ini kepala Penasihat Woo sudah mulai berasap dan sebentar lagi akan menyemburkan lava panas ke sepenjuru arah. Mata merahnya saja sudah tampak seperti laser.
"Tidak ada yang disembunyikan!!" Setelah berkata begitu, pria berjenggot itu keluar bersama dua pengawalnya. Sementara itu, seringaian muncul dari sudut bibir Jinu.
Pengawal Gong menutup pintu setelah memastikan Penasihat Woo beserta dua pengawalnya telah benar-benar pergi. Kemudian dia berdiri di depan Jinu.
"Saya sudah memperoleh informasi penting seperti yang anda perintahkan." Pengawal itu mengambil buah kesemek kering dan langsung memakannya. Jinu mengawasi gerakan pengawalnya yang seolah tidak menyadari posisinya itu.
"Enak?"
"Iya, ini enak sekali ...." Pengawal Gong berhenti. Tuannya tengah memelototinya. Dia menelan buah kesemek itu dengan susah payah. "Saya mendengar kalau Penasihat Woo sedang mencari tahu tentang bola kristal blood moon."
Mata Jinu melebar. Tidak pernah ada orang yang mengungkit-ungkit hal itu. "Penasihat Woo? Kenapa?"
"Nah, hamba tidak tahu. Tapi, putra mahkota, bukankah blood moon itu hanya legenda?"
"Memang cuma legenda." Jinu duduk dan memegangi pelipisnya. "Harusnya memang cuma legenda," lanjutnya di dalam hati.
"Ah, semua kekacauan itu membuatku kurang bersemangat. Aku butuh yang manis-manis."
"Haruskah hamba bawakan camilan?" Pengawal Gong menawarkan diri.
"Tidak. Tidak usah. Bukan itu yang kumaksud." Jinu tersenyum aneh. Perasaan pengawal Gong mulai tidak enak. "Aku akan menyamar dan mencari gadis cantik." Jinu berdiri dengan senyuman penuh kebanggaan.
"Sudah kuduga," batin pengawal Gong. Dia harus menghentikan kelakuan putra mahkota sebelum benar-benar tidak bisa disembuhkan.
-----
Angin berhembus kencang seiring dengan langkahnya yang terburu-buru menuju ke suatu tempat. Mata hijaunya tampak serius. Dia mengalami hari yang paling sial hari ini.
Dia berhasil mendapatkan seorang buronan tetapi tidak ada yang percaya. Sekarang buronan itu kabur entah kemana, lalu uang 600 Pen miliknya habis dirampok dan menurut informasi si buronan, kakaknya yang bernama Hong lah yang merampoknya. Haruskah dia percaya pada perkataan seorang buronan?
Uang adalah benda paling berharga untuknya. Dia sampai harus melakukan berbagai pekerjaan untuk mengumpulkan 600 Pen yang pada akhirnya dirampok kakaknya. Dia tidak mau mempercayai perkataan si buronan tapi apa salahnya mengkonfirmasi langsung?
Hong, kakaknya tengah bersenang-senang di gubuk samping area penginapan bersama teman-teman dan beberapa wanita penghibur. Alkohol dan makanan berserakan di atas meja. Mendadak dia menjadi muak. Kehidupan kakaknya begitu bahagia dan makmur hanya karena dia keturunan asli klan Chae.
Dia berdiri di depan undakan yang menjadi akses jalan untuk menaiki gubuk. Wajahnya tampak seolah menantang. Seorang teman kakaknya menyenggol lengan Hong, memberitahu pemuda mabuk itu mengenai keberadaan Heo.
.
.
.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1 - Penginapan Gyesi